Orang-orang Semacam Kita

"Baik, mari kita mulai saja pertemuannya. Dan yang hadir adalah…," sebut seorang dalam ruangan yang pengap itu, ia memecah hening yang telah terlalu lama berlalu dan berputar-putar di sana, "Oh, wow! Jim! Kau saja yang hadir?"

"Kau mengharapkan siapa lagi?"

"Ya siapa lagi?" begitulah akhirnya terlepas tawa yang menggetirkan kaca-kaca jendela yang tipis di antara mereka.

Pria yang disapa sebagai 'Jim' berkali-kali membenarkan posisi duduknya setelah tawa-tawa bersurut-surut hilang. Ia pula mengecek satu dua kantong baju dan juga celana, depan belakang dan saku rahasia di balik kemeja putih tulangnya. Tak kembali berkata apapun, Jim menjadi perhatian lawan bicaranya. Dalam ruangan kecil yang hanya terdapat dua orang itu mereka hanya bisa bertatap-tatapan sembari pula ditatap kursi-kursi lipat yang duduk melingkar di sekeliling. Kipas angin yang sedu sedan berputar-putar di atas mereka pun enggan nimbrung dengan dirinya sendiri sibuk bersikeras memutar rotor tuanya.

"Jim! Ruangan ini agaknya panas ya! Kau ada minum tidak?"

"Ada, tunggu sebentar biar kuambil di luar, ya."

"Tidak, Jim! Tidak! Kita kan baru mau mulai!"

Jim kaget dan sebab kaget ia hanya bisa nurut saja sembari lawan bicaranya terus-terusan membolak-balik buku catatannya. Ketika yang di depan Jim mulai merogoh saku celananya, Jim sigap kembali mengecek saku celananya sendiri, lagi.

"Kenapa Jim?" kata orang itu dengan nada gembira dan sepucuk pulpen di tangan, "baik, kini kita benar-benar mulai."

"Apa yang mau dibahas hari ini?"

"Kau mau membahas apa Jim? Adakah yang mengganggumu akhir-akhir ini? Seperti biasa santai saja dan keluarkan semuanya! Ini kan perkumpulan untuk melegakan hati yang perih dan sesak."

"Tidak ada, kau sendiri?"

"Tidak sama sekali?"

"Tidak."

Sebentar ia termenung memikirkan hal lain yang sekiranya bisa digunakan untuk mengorek satu buah bab kehidupan dari Jim.

"Masak aku? Aku kan pusatnya di sini, aku pemantik!"

"Ya sudah, kita keluar saja kalau tak ada."

"Tidak! Pasti ada Jim! Pasti ada! sebentar yaa…," ia kembali membuka catatan-catatannya dan tak lama kemudian ia tutup dan kembali berkata, "baik, Jim, anggap ini untuk memantik ya."

Jim mulai memasang telinga dan lebih mendekatkan badan ke arah suara. Dari luar ruangan terdengar deret-deret orang berjalan dan satu dua nada terdengar seperti orang setengah berlari. Suara dari luar tidak terlalu terdengar namun jelas terdengar sedang ada deretan-deretan orang dan itu memikat penasaran Jim. Ketika Jim berusaha menaikkan pandangannya ke luar jendela dengan sedikit angkat pantat orang di depannya segera menahan tangannya dengan lembut.

"Apa pendapatmu, Jim, soal hujan malam tadi?"

"Apa ya. Buat susah saja, aku lupa memasukkan jemuran ke dalam."

"Hahaha, kebiasaanmu buruk Jim!"

"Lho, itu kan karena kamu kemarin juga."

"Aku? Enggak ah! Itu kan sebab Lisa."

"Widih, Lisa! Siapa lagi itu?" Jim memberi pertanyaan yang segera saja membuat lawan bicaranya terdiam malu dan memerahkan pipi.

Perlahan ia menggesek-gesek tangannya di antara paha dan menundukkan malu kepala. Senyum-senyum kecil bahagia ia semakin memerah-merahkan pipi. Suara-suara dari luar dan angin-angin yang agak rusuh yang mulai masuk ke dalam tak dirasakannya. Orang itu merasa hangat di hadapan Jim yang menunggu jawaban.

"Lisa ya Lisa, Jim! Masak tidak tahu."

"Aduh, lupa! Maaf ya, coba ceritakan biar aku dengar lagi si Lisa ini."

"Kamu ini! Lisa itu ya sama-sama sepert kita."

"Kita?"

"Eh," ia berpikir sejenak sebelum lanjut berkata, "lebih seperti kamu jika kupikir lagi, suka pakai pakaian seperti kamu juga sih, bedanya dia suka bawa-bawa catatan, seperti aku ini!"

Kemudian suara di luar kembali bergemuruh bersamaan dengan hujan yang menderu dari langit. Jim sudah bersiap berdiri lagi namun segera urung ketika orang di depannya tiba-tiba berwajah masam. Dari luar pula suara-suara baru mulai muncul. Beberapa malah terdengar berteriak dan beberapa lagi tertawa.

"Jim! Jim!" Sebut seorang dari balik pintu dan segera saja membuat Jim beranjak dari kursi.

"Tidak Jim, Tidak!" Kini ia menahan tangan Jim dengan lebih kasar sehingga membuat orang yang ditahan kepayahan sendiri sebelum berhasil meraih gagang pintu.

"Aku dibutuhkan, tolonglah."

"Tidak! Pertemuan penenang jiwa ini belum selesai! Kembalilah duduk Jim, tolong."

Suara-suara kembali lagi menyerukan nama Jim dengan tambahan gedor-gedoran di pintu. Sepertinya mereka tahu dimana Jim berada dan Jim tahu selayaknya tahu apa yang terjadi di luar sana.

"Mama! Mama!" Suara dari luar kian riuh.

"Aduh itu Ton! Tolonglah selesaikan acara ini!"

"Tidaaak! Belum selesai aku bercerita perihal Lisa!"

"Dan menurutmu sendiri kenapa ia pergi, hah!"

Sekejap diucapkan kata-kata itu segera memasuki relung pikiran lawan bicara Jim. Ia segera melemaskan pegangan dan akhirnya melepas sepenuhnya. Tangan yang dipakai menahan Jim kini ia telungkupkan untuk menutup mukanya. Dari bali kepal itu satu buah tetes turun. Entah tangis entah liur.

"Jim, maafkan aku Jim. Bawalah dia ke sini Jim! Aku tidak akan mengulangi perbuatanku lagi Jim."

"Maaf, tidak bisa," kata Jim sembari merapikan pakaiannya dan sekali lagi mengecek satu dua kantong di pakaiannya.

"Aku tidak akan mencuri darimu lagi Jim. Aku mau dia ada lagi Jim, main pertemuan-pertemuan seperti ini Jim. Sumpah, Jim!" 

"Maaf, tidak bisa. Aku kembali nanti," pamit Jim sebelum membuka pintu.

"Tidak Jim! Aku tidak akan menyembunyikan dosis lagi darimu!"

Seketika Jim keluar, udara menjadi beda sekali. Di luar kacau dan orang-orang berkeliaran. Hujan yang semakin deras membuat makin ricuh saja suasana. Wajar, hujan lama tak turun dan sekali turun seperti hari ini dengan langit gelapnya jelas menggetirkan satu dua jiwa kawan-kawan Jim.

"Jim! Ton ke sana! Ayo ikut!" Datang dari orang sepertinya Jim segera mengikutinya dan sementara di luar ricuh di dalam ruangan yang tadi tak kalah ricuh.

Kini hanya terdengar rintihan dan deretan rengekan anak kecil dari sana.