Apakah Dia Bartender K...?

Kaki jenjangnya, tinggi dan postur tubuh tegapnya, bahkan suara dan warna rambut... Semuanya sama. Persis Bartender K.

Hanya saja...

Dia tidak memakai topeng~!!

Mala bisa melihat wajahnya yang tampan. Benarkah itu dia...? Tapi, Bartender K seorang informan. Dia pasti sangat berhati-hati dalam kemunculannya. Mungkinkah dia 'menjadi' orang ini? Inikah orang yang dia tiru selama ini? Mala tidak tahu jawabannya, tidak kunjung muncul jawaban yang tepat meski sudah berpikir keras. Tidak mungkin selama ini dia berada di toko tanpa penyamaran. Meski itu toko yang dia kelola sendiri. Tetap tidak mungkin.

Seisi kelas memperhatikan murid baru itu berdiri di depan memperkenalkan diri. Antusiasme dan ketidaksukaan bercampur dalam satu atmosfer.

"Namaku Klump, umur tujuh belas. Salam kenal semuanya..."

Kelas menjadi semakin bising oleh dengung percakapan para siswa-siswi di dalam.

"Mala, Mala! Kamu pindah aja, ya~? Aku mau duduk di sebelah Klump, kamu ke situ aja keberatan ngga?" pinta Isela berbisik antusias. Jari telunjuknya mengarah ke bangku kosong.

Memang dasar sahabat 'palsu', Mala mendesah sebal dan mengangguk. Membereskan tasnya, berjalan menuju ke satu-satunya bangku kosong yang ada di kelas, tepat di samping si cupu, bersebelahan dengan agak dempet. Tidak apa, lagipula dia tidak mau berurusan dengan Klump, nanti pikirannya melayang kemana-mana, tidak fokus pada pelajaran yang diterangkan.

Mata Klump mengikuti gerak Mala, dia tahu, Mala menghindarinya meski Mala juga tak rela melepas posisi duduknya. Tunggu saja, Mala, Isela. Klump tidak akan terpedaya!

***

Jam pelajaran akuntansi, waktu terasa melaju lambat. Itu jam pelajaran pertama, dan entah kenapa Mala mengantuk di pelajaran favoritnya. Pikiran Mala melayang, dia sedikit cemas—namun masih terkontrol—dan tak dapat dipungkiri dia tidak bisa tidak memikirkan Bartender K. Mala sempat menyadari tatapan Klump padanya, terlihat menyelidik, itu membuatnya sedikit tidak tenang. Mala berusaha menyembunyikan ekspresi tak mengenakkan dari wajahnya, dia tak boleh membuat ekspresi aneh atau misterius—peraturan yang selama ini menjaga keluarga Verrel, peraturan yang efektif meski harus merengut kebebasan berekspresi.

Jam pelajaran kedua bermula, terus berlanjut hingga jam ketiga—bukan mata pelajaran akuntansi lagi, tapi biologi. Pelajaran dimulai dengan pertanyaan, "Mengapa makhluk hidup yang terlahir albino bisa mempunyai mata merah?", dan diakhiri dengan bel istirahat berdering nyaring.

Mata Mala terasa berat, dan... seolah tersihir, Mala jatuh tertidur dengan mata terpejam erat.

Lima menit saja..., batinnya.

Alhasil, dia malah tertidur selama setengah jam, menghabiskan jam istirahat dengan kepala rebah di meja. Gadis itu tidak terusik rasa lapar, perutnya tidak sanggup membangunkannya dari tidur lelap.

Seseorang mengguncang pelan bahunya, Mala melenguh kecil, sebal. Siapa yang berani mengganggu tidur nyenyak-nya setelah sekian lama? Malas-malasan dia mengucek mata, lalu memaksakan diri membuka mata perlahan. Pemandangan pertama kali yang dilihatnya adalah... sepasang mata hitam sepekat jelaga yang menatapnya begitu lekat. Suara bariton yang mengucap, "Hei, sudah selesai istirahat-nya."

Bukan Klump... Tentu saja, untungnya bukan dia. Mala menatap kosong wajah rupawan itu. Kulit pucat, mata hitam yang katanya tidak pernah eksis di dunia—menurut studi biologi yang mengatakan segelap-gelapnya warna mata, pasti bukan hitam murni, melainkan coklat gelap. Dia tidak pernah melihat lelaki ini di mana pun. Mala mengerjapkan matanya berkali-kali, memejamkannya dengan erat sebentar—untuk merilekskan matanya—kemudian membuka mata dengan kesegaran yang sudah terkumpul.

Eh...? Klump...? Ke mana pria tadi? Dan bagaimana bisa Klump duduk di tempat si cupu—yang notabene dikenal sebagai lem lengket yang tidak pernah mau pindah dari kursi belakang?

Klump menoleh, mendapati pergerakan di sebelahnya.

"Kamu... Kenapa di sini?"

"Aku ingin di sini. Jadi aku menyuruh si cupu duduk di tempatku, di sebelah Isela."

Mala hendak membuka mulut lagi, tapi tertahan. Telunjuk Klump mengacung tegak di depan bibir. Mengisyaratkan untuk tenang.

"Shht, pelajaran akan dimulai."