Telingaku mendengar percakapanku sendiri dari dalam hati,
Balita saja berkemauan agar ia bisa berdiri kuat dan berjalan dengan kaki mungilnya, meski terjatuh dan gagal berulang kali.
Filosofi tersebut tak semerta-merta melekat erat di fikiran hingga melahirkan suatu niat. Karena, sebuah rasa terkoneksi dengan fikiran. Dan keduanya selalu berkesinambungan.
Menurutku, jangan gampang menyamakan seseorang dengan yang lainnya.
Apa yang kau usahakan sangat berbeda dengan apa yang sedang ku upayakan. Apa yang kau punya, boleh jadi jauh tak bisa ku dapat.
Pada titik rendah kedua ini, banyak asumsi dari otak kiri. Mewanti-wanti untuk selalu tahu diri, agar diam tak bertingkah seperti minta-minta.
Bahkan sudah diam saja, dikira orang yang tak tahu diuntung.
Manusia memang banyak persepsinya. Lihat gerak sedikit, sudah di cap sedemikian rupa. Dengar sedikit, sudah difonis pemgemis.
Banyaknya umpatan mereka di luar sana, tak tentu juga pernah mengalami keadaannya.
Bersyukur sekali aku masih punya kedua kaki, jadi aku berjalan lagi ke depan menghadapi penilaian orang-orang yang mereka sendiri tak mengalami.
Setelah bersuara, aku diam.
Ketika bersuara dihina,
Saat diam tetap dicerca,
Jadi, aku pilih jalan tak perduli. Karena sedih, perih, luka, kecewa hanya aku sendiri yang merasakannya, bukan mereka.
Kalau hidup terus mendengar apa kata orang, mau kemana lagi menentukan arah? Apalagi tanggapannya selalu miring. Lantas, harus se-gila apa lagi kau akan larut dalam hinaan bertahan di satu umpatan?