Bab 3

Part 3

"Jangan, Sya, nanti Tuan Dewa marah." Ruri memberikan peringatan agar aku tidak menghadiri acara reuni yang sudah kujanjikan.

"Kalau gak ada yang ngasih tau, dia gak bakalan tau." Aku membantah. Tidak ingin mengikuti perintahnya, juga melanggar larangan Dewangga agar tidak keluar rumah.

"Aku gak mau tanggung jawab ya kalau ada apa-apa." Ia mengancam, berkata lepas tangan jika seandainya nanti terjadi masalah setelah aku keluar rumah.

"Kamu kan punya power di rumah ini, jadi kamu handle yang lainnya biar gak ada yang berani buka suara." Aku memberikan saran.

"Tuan Dewa itu udah percaya banget sama aku, masa aku khianati kepercayaannya." Ia terlihat berat untuk melakukan.

"Ayolah, kita bestie kan?" Aku terus merayu agar diberi akses untuk keluar hari ini.

Ruri berdecak kesal, meski ia terlihat enggan untuk mengizinkan, tetap saja ia memberi jalan agar aku bisa keluar. Seluruh pekerja ia panggil untuk berkumpul. Diberinya mereka arahan agar tidak ada yang memberitahu Dewangga jika hari ini aku keluar rumah.

Lelaki itu tampak tegas dan penuh wibawa ketika berhadapan dengan para pekerja, sebab ia yang jadi kelapa pekerja di rumah ini. Tidak ada satu orang pun yang tampak berani membantah ucapannya.

"Kalau nanti aku dipecat gimana?" Ia kembali ke setelan awal setelah para pekerja kembali ke aktivitasnya masing-masing.

Ruri seperti dua orang berbeda. Ia bisa tegas dan manja. Kadang seperti lelaki pada umumnya, yang kekar dan penuh dengan ketegasan. Namun, terkadang kembali ngondek seperti sekarang.

"Tenang, ada aku." Aku meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Sebab, aku akan berpihak kepadanya jika nanti Dewangga tahu masalah ini.

"Biar aman, aku temenin ya." Ia menawarkan diri.

"Gak perlu, acaranya khusus buat para cewek kok. Jadi gak ada yang perlu dikhawatirin."

"Tapi tetap saja aku khawatir. Kamu itu tanggung jawabku selama Tuan Dewa gak ada." Ia bersikeras. Pada akhirnya aku mengalah, mengizinkan ia untuk mengantar ke tempat acara. Duduk di meja yang terpisah. Ia mengawasi dari jauh, tidak ikut gabung karena tidak ingin merusak suasana.

Ponsel berdenting, ada satu pesan masuk dari Dewangga sesaat setelah aku tiba di tempat acara.

[Kamu di mana?] Pertanyaan yang entah berapa kali sudah ia kirim sejak ia berangkat kerja.

[Rumah.] Aku berbohong membalas.

[Coba kirim foto.] Ia meminta untuk memastikan.

Aku sudah menebak ini akan terjadi, itulah sebabnya aku mengambil beberapa potret sebelum berangkat, agar Dewangga yakin aku ada di rumah.

Kukirim beberapa foto padanya.

[Seperti biasa, kamu selalu cantik.] Ia memberikan pujian.

Aku hanya menarik napas sebagai respons. Sebab, setiap pujian yang keluar dari mulutnya tidak lagi mampu memberikan getaran pada dada. Hambar. Itu yang kurasakan sekarang. Pernikahan yang belum genap setahun, telah hilang rasa nikmatnya. Apalagi ia enggan untuk memiliki anak. Membuatku semakin tersiksa dalam belenggu pernikahan kami.

"Kenapa, Sya?" Erin bertanya dengan tatapan begitu serius.

Aku mendongak, lalu memasang wajah senyum. "Gak papa."

"Giselle sudah hamil berapa bulan?" Teman yang lain mulai membuka obrolan.

"Kayaknya bulan depan bakalan lahiran, makanya gak diizinin suaminya buat keluar sendirian. Takut kenapa-napa." Teman yang lain ikut menimbrung.

"Kamu gak ada niat buat hamil?" Elsa menoleh padaku.

Aku jadi gelagapan harus menjawab apa. Sebab setiap kali berhubungan, Dewangga selalu keluar di luar, ia tidak pernah melakukan pelepasan di dalam.

"Kata Dewa mau menikmati masa-masa pengantin baru dulu." Aku menjawab dengan sungkan. Memasang wajah senyum dengan terpaksa.

Reuni kali ini terasa begitu berbeda, tidak ada kenyamanan sama sekali. Mungkin karena terlalu lama mendekam di rumah, jarang berinteraksi dengan orang-orang membuatku kehilangan jiwa sosial. Apalagi sejak tadi yang dibahas hanyalah masalah rumah tangga yang menurutku tidak akan pernah ada habisnya.

Ponsel yang berada di atas meja berdering, Dewangga ingin melakukan panggilan video. Kudiamkan benda pipih itu hingga ia berhenti berbunyi.

[Aku lagi istirahat makan siang, angkat. Sebentar lagi aku harus kembali bekerja.] Dewangga kembali mengirim pesan.

[Bentar, Yank. Aku mau pup.] Aku membalas.

[Gak papa, kita ngobrol sambil kamu pup. Waktuku tinggal sebentar.] Pesan balasan kembali masuk.

Entah ini sebuah anugerah atau hukuman. Memiliki suami yang over protektif, selalu memikirkanku di mana pun ia berada, juga tidak ingin istrinya melakukan apa-apa. Ia hanya ingin dilayani di ranjang, itu sudah cukup baginya. Selain itu, biarkan para pekerja yang bekerja.

Ponsel kembali berdering, membuatku semakin tidak bisa menikmati perkumpulan kali ini.

"Suami kamu nelpon itu, angkat!" Elsa berucap setelah ia melirik nama yang tertera di layar.

"Biarin aja." Aku menjawab dengan cuek.

[Yank.]

[Kamu pup tidak bawa hp?]

Ponsel akhirnya berhenti berbunyi sampai di sana. Namun, menit berikutnya Ruri datang menyusul dengan handphone yang melekat di telinganya.

"Pulang." Ia memberikan bahasa isyarat agar kami segera pulang.

"Aku balik duluan ya. Masih ada urusan soalnya." Aku bangkit berdiri, lekas beranjak pergi tanpa menunggu basa-basi salam perpisahan dari mereka.

"Kamu lagi di mana sih?" Dewangga langsung bertanya saat ponsel milik Ruri berpindah ke tanganku.

"Kan udah aku bilang, aku itu ada di rumah."

"Kok kedengarannya rame?" Ia terdengar curiga.

"Perasaanmu aja kali." Aku berkilah.

"Aku mau VC sebenarnya, tapi sudah tidak ada waktu. Jam istirahat sudah habis."

"Kamu kerja aja yang bener, nanti malam kalau mau VC kan masih bisa. Jangan rusak jam kerja kamu cuma buat mikirin aku."

"Kirimin aku foto miss v kamu sekarang, biar aku semangat kerjanya." Ia meminta.

Aku tersentak mendengar permintaannya. Sebab, kami tengah berada di mobil sekarang, dengan posisi Ruri yang tengah menyetir di sampingku. Tentu saja aku akan merasa sangat risih jika harus mengambil foto mesum tepat di depan matanya.

"Aku tunggu sekarang." Ia berpesan sebelum akhirnya ia memutus sambungan.

"Kenapa? Minta foto yang enggak-enggak?" Ruri seakan telah hapal kebiasaan bosnya itu. Selalu benar akan tebakannya.

"Padahal baru tadi malam kami VCS." Aku berucap dengan kesal.

"Kasih saja, daripada dia jajan di luar, mending dia kecanduan kamu." Lelaki itu berkomentar.

Ruri ada benarnya juga, lebih baik Dewangga kecanduan akan diriku ketimbang ia kecanduan jajan di luar.

Belum sempat aku mengirim fotoku padanya, ia telah mengirim foto alat vitalnya duluan.

[Aku selalu terangsang kalau mikirin kamu.] Ia mengirim potret senjatanya yang tengah menegang dengan cairan kental di bagian ujung. Air maninya terbuang sia-sia. Harusnya kami akan segera menjadi orang tua jika ia keluar di dalam, sekali saja.

Kupelorotkan celana dalam, lalu mengangkang dan memotret area selangkangan, kemudian mengirim foto padanya.

[Punya kamu selalu menggoda.] Ia selalu saja memberikan pujian untuk hal yang menurutkan sangat menjijikkan. Namun, tetap saja kulakukan.

[Coba kamu colok pakai jari tengah.]

Permintaannya mulai terdengar gila.

[Sakit, sisa waktu itu masih terasa nyut-nyutan.]

[Yasudah, biar aku berfantasi sendiri. Kamu jaga kesehatan. Love you.]

[Love you too.]

"Kamu terangsang gak sih kalau aku kayak gini di deket kamu?" Aku kembali menaikkan celana dalam setelah selesai berbalas pesan dengan Dewangga.

Ruri menghela napas dalam. "Aku lebih terangsang kalau liat Tuan Dewa gak pakai baju." Ia menjawab dengan tegas, membuatku merasa nyaman untuk melakukan hal vulgar ketika berada di dekatnya. Sebab, ia seorang wanita bagiku.