Bab 2, Chapter 28: Kau Bodoh

Delapan tahun lalu.

Matahari mulai menyinari mataku. Aduh ganggu orang tidur aja. Oh iya sudah waktunya sekolah. Aku perlahan membuka mataku. Duduk sebentar di kasur. Menguap sembari mengusap mataku. Aku mulai turun dari kasurku dan berjalan keluar kamar.

Di ruang tamu, aku melihat ayah yang sedang duduk tertidur di sofa sembari memegang sebotol alkohol di tangannya. Aku tak mau mendekat karena baunya yang luar biasa. Mulutnya saja sudah bau alkohol.

Tiba-tiba, dari belakang terdengar suara orang berlari. Itu kakakku sedang pergi keluar. Dan tak lama kemudian, terdengar suara teriakan ibuku, "Hey nak! Gimana sekolahmu?"

"Masa bodo!" jawab kakak ku.

Aku sempat mengintip keluar dan melihat kakak ku bersama teman-temannya yang membawa sepeda motor.

"Ayo kita main ps dulu. Terus nanti malam kita balapan sambil minum-minum," ujar kakak ku.

"Sikat!" suara teman-temannya serempak.

Aku tak lama-lama mendengarkan pembicaraan mereka dan pergi ke dapur. Di dapur, aku bertemu dengan ibuku, sedang menyiapkan sarapan.

"Eh Sako udah bangun. Kamu mandi dulu sana. Habis mandi, pake seragan, langsung sarapan ya," ujar Ibu.

"Oke," jawabku.

Aku pun mandi. Setelah mandi kembali ke kamar, memakai seragan, dan kembali ke dapur.

"Sudah Bu," ujarku memasuki dapur.

"Nah ini, sarapan dulu. Biar jadi anak pinter," ujar Ibu.

Aku duduk di kursi dan melihat sarapan di depanku. Nasi, tahu goreng, dan telur. Seperti biasa. Ya walau biasanya gak ada telur sih.

Saat aku akan memakannya, aku melihat ibu yang langsung terburu-buru masuk ke kamar dan mengganti pakaian.

"Ibu gak makan?" tanyaku.

"Enggak, ibu masih kenyang. Ibu berangkat kerja dulu ya. Jangan lupa nanti barang-barang yang mau dibawa apa aja," ujar Ibu.

"Oke."

Setelah itu, aku pun melihat ibu yang langsung pergi. Aku kasihan sih, ibu kerja banting tulang biar keluarga ini bisa makan. Tenang saja bu, nanti kalo udah besar, aku pasti akan mendapat uang yang banyak dan buat ibu bahagia.

Aku pun pergi ke sekolah. Sesampainya di sekolah, seperti sekolah pada umumnya, banyak anak yang berjalan memasuki gerbang. Aku hanya berjalan biasa di masuk sekolah sembari memegangi tas. Tiba-tiba sekelompok laki-laki berisi empat orang menghampiriku.

"Yo Sako, terima kasih banyak ya buat contekan yang kemarin," ujar salah satu laki-laki itu sembari memegang tas ku.

"Iya nih. Terima kasih banget. Eh tapi ikut kami sebentar bisa enggak?" ujar laki-laki yang lain yang juga mendekatiku.

"Eh, tapi aku harus ke kelas sekarang," ujarku.

"Aduh, sebentar aja kok."

Tiba-tiba, laki-laki itu membawaku ke halaman belakang sekolah.

"Omong-omong, hari ini kan ujian. Aku minta contekannya dong," ujar laki-laki itu sembari menekan tanganku ke tembok.

"Eh, tapi kan kalo ujian gaboleh..." Para laki-laki itu mulai mendekatiku.

"Oh gamau bagi ya?"

Dan ya, aku dihajar mereka. Aku yang babak belur hanya bisa terkapar di tanah. 

"Lain kali makanya jangan main-main sama kami," ujar para anak laki-laki itu.

Aku mulai meraih tas ku dan berusaha berdiri. Mau lapor guru? Buat apa. Aku sudah pernah mencobanya. Namun hasilnya tak ada apa-apa. Para guru hanya cuek kepadaku.

Saat aku mencoba berdiri, tiba-tiba ada seseorang yang memegangi tanganku, membantuku berdiri.

"Eh?" aku menoleh ke arah orang itu. Seorang gadis, matanya setengah terbuka, dan ada bagian putih di rambutnya sedang menggigit roti di mulutnya dan tangannya membawa kotak obat-obatan.

"Siapa kau?" tanya ku.

"Ella," jawab gadis itu.

Aku melihatnya mulai memakai alkohol di luka-luka ku dan memasang perban.

"Kenapa kau menolongku?" tanyaku.

"Kau tidak mau ditolong?" tanya Ella dengan nada yang dingin.

"E-eh bukan gitu," ujarku. Aku pun membiarkan Ella merawatku.

"Siapa namamu?" tanyanya.

"Sako," jawabku. "Terima kasih ya," lanjutku.

"Hmm," suara pelan Ella. Ella selesai mengobatiku dan memasukkan obat-obatannya kembali ke kotaknya. 

Tiba-tiba terdengar suara bel masuk sekolah.

"Oh sudah masuk. Ayo cepat. Apa kau bisa jalan?" tanya Ella.

"Ya, aku bisa," ujarku sembari kembali berdiri. Jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku dan Ella pun bergegas masuk ke kelas.

***

Waktu berlalu, ujian hari ini bisa dibilang lancar. Pada saat pulang sekolah, aku merapikan tas ku tapi aku seperti merasa ada sesuatu yang kurang di tas ku. Pada saat tadi di halaman belakang sekolah, aku terlalu terburu-buru dan tak sempat mengecek barang-barangku yang mungkin terjatuh.

Aku pun kembali ke halaman belakang sekolah dan mencoba mengeceknya kembali. Saat hampir sampai di halaman belakang sekolah, aku melihat Ella yang sedang berlatih tinjuan. Hanya meninju angin awalnya. Namun setelah beberapa saat, dia menghampiri sebatang balok kayu yang bersandar di dekatnya. Dia meninju balok itu sekali dan balok kayu itu seketika pecah menjadi dua bagian.

Tiba-tiba, dia menyaut, "Hey, kau yang mengintipku. Kemari lah."

Sako langsung terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Dia menarik nafas berusaha menenangkan diri dan berjalan keluar perlahan.

"Oh Sako," ujar Ella sembari mengusap keringat.

"Kau berlatih bela diri?" tanyaku.

"Iya," jawabnya.

"Apa kau ikut turnamen bela diri atau semacamnya?" tanyaku sembari berjalan menghampiri Ella.

"Bisa dibilang begitu. Rumahku juga rawan begal jadi ya tak ada salahnya belajar bela diri kan?" jawabnya. "Omong-omong, bagaimana kalau kita pulang bareng?" ajak Ella.

"Eh? Kok tiba-tiba?" tanyaku.

"Aku tadi sempat berpapasan denganmu saat berangkat sekolah. Aku sebenarnya di belakangmu saat berangkat sekolah," ujar Ella sembari memasukkan barang-barangnya lagi ke dalam tas nya.

"Hah? Aku kok gak sadar?" tanya ku.

"Gak tahu juga ya. Tapi tadi aku sempat belok beli roti buat sarapan. Jadi ya aku ketinggalan. Terus tadi waktu nemu kamu lagi, kamu udah bonyok di sini," jawab Ella.

"Oh begitu ya. Boleh saja kalau kau mau pulang sama aku," ujarku.

"Oke," ujar Ella sembari mengenakan jaketnya.

Ella dan Aku pun pulang bersama. Tapi selama perjalanan, kami hanya diam. Tak ada sepatah kata pun yang keluar. Setelah beberapa saat berjalan kami sampai di sebuah pertigaan. Aku pun mencoba mencairkan suasana.

"Aku mau belok ke kanan. Apa rumahmu lewat sini juga?" tanyaku.

"Iya," jawab Ella singkat sembari mengambil lolipop di sakunya, membukanya, dan mengemutnya.

Mendengar jawaban satu kata Ella, aku pun membatin, "Ya ampun, basa-basi dikit kek."

Aku dan Ella mulai berjalan belok ke kanan. Jalan itu agak sepi dan sedikit mencekam. Aku sudah biasa lewat sini sih. Tapi tetap saja takut melewati jalan ini. Dan bahkan aku tak sadar kalau aku berjalan menempel dengan Ella dan tak berani menjauh sedikitpun. Aku melirik ke arah wajah Ella dan, wajahnya biasa saja. Santai sembari mengemut lolipopnya.

Saat sedang berjalan di jalan itu, tiba-tiba sekelompok pria dewasa berisi enam orang datang dan mengepung kami.

"Hey-hey lihat siapa yang ada di sini," ujar salah satu dari mereka.

"Hmm bisa kita bekap, lalu kita minta bayaran kepada orang tua mereka. Mwehehehe," ujar yang lain.

Aku tentunya ketakutan dan semakin dekat kepada Ella. Tapi Ella hanya diam di tempat, tangannya masuk ke saku jaketnya, hanya memandang santai orang-orang itu sembari mengemut permennya.

"Ayo sini, selama kalian enggak nakal, kalian gak kenapa-napa kok," ujar salah satu orang itu sembari berjalan mendekat.

"Jangan dekat-dekat!" gertak ku.

"Aduh-duh jangan takut," ujar orang itu. Namun saat pria itu mendekat, dia tampak kebingungan melihat Ella yang biasa saja santai menatapnya.

"Eh? Kok dia santai banget ngelihat aku," gumam orang itu. Namun dia tak terlalu memikirkannya lebih lanjut. Orang itu pun lanjut berkata, "Jadilah seperti temanmu itu. Tenang sama nurut."

"Enggak!" gertak ku lagi.

Setelah aku menggertaknya begitu, dahi orang itu pun terlihat memerah. "Tch dasar binatang kau!" orang itu secara agresif mencoba meraihku. Namun tepat sebelum orang itu berhasil memegang leherku, tiba-tiba tangan orang itu berhenti. Saat aku melihatnya lagi, Ella lah yang mencengkeram pergelangan tangan orang itu.

"H-hey apa yang kau lakukan? Lepaskan!" gertak orang itu. "Apa-apaan ini. kekuatannya besar sekali untuk seukuran anak kecil," gumam orang itu di saat yang sama.

"Makanya jangan ganggu temenku, dasar botak plontos," ujar Ella.

"Apa kau bilang?!" orang itu pun tanpa pikir dua kali langsung mengarahkan tinjuan yang mengarah ke muka Ella.

Namun dengan sigap, Ella langsung menangkap kepalan tangannya dan mencengkeramnya.

"Apa?!" orang itu terkejut.

Ella lanjut merentangkan paksa kedua tangan orang itu dan dengan kakinya, dia menendang dagu orang itu. Orang itu bahkan sampai terbang karena tendangan Ella.

Melihat temannya ditendang seperti itu, orang-orang yang lain pun langsung menyerbu Ella bersamaan. Namun Ella tak gentar sedikitpun. Bahkan ekspresi santainya masih ada di wajahnya.

Salah satu dari mereka yang cukup dekat dengan Ella langsung mencoba mendaratkan tinjuan.

Di sisi lain, Ella hanya melirik sebentar dan langsung menembakkan stik lolipop yang ada di mulutnya ke wajah orang itu. Stik itu mengenai wajah orang itu dengan sangat keras. Buktinya orang itu tak jadi mendaratkan pukulan dan terlihat kesakitan.

Di saat orang itu masih kesakitan, Ella langsung melompat dan menendang kepala orang itu.

Tak lama kemudian, dua orang lagi ikut menyerbunya dari depan dan belakang. Saat kedua orang itu sudah berdekatan dan hampir menangkap Ella, dengan cepat Ella berlari ke depan, menjatuhkan dirinya, dan berseluncur melewati sela-sela kaki orang di depannya.

"Apa?!"

Setelah melewati orang itu, Ella langsung berdiri dan melompat menendang kepala orang itu. Namun tak berhenti sampai situ, orang itu belum jatuh. Ella pun menjadikan pundak orang itu sebagai tumpuan dan dengan kuat menghentakkan kakinya hingga orang itu terjatuh sedangkan Ella sendiri melompat. Ella melompat salto ke belakang orang yang berada di belakangnya tadi dan dengan keras menginjak tengkuk orang itu. Kedua orang itu pun terjatuh.

Ella mendarat namun ada satu orang lagi yang menerjangnya. Kali ini seorang pria dengan tubuh yang lebih besar dari yang lain. Dia berlari dan mencoba menendang kepala Ella. Namun Ella menundukkan kepalanya tepat sebelum kaki orang itu sampai. Dan setelah menghindarinya, Ella pun membalas orang itu dengan menendang selangkangan orang itu yang masih terbuka. Orang itu pun langsung terjatuh sembari memegangi aset kecil nya yang tertendang itu.

Tak lama kemudian, satu orang terakhir yang membawa pisau mulai menerjang Ella. Orang itu mencoba menusuk kepala Ella namun dengan cepat, Ella memiringkan kepala dan tubuhnya menghindari pisau orang itu. Ella langsung menendang tangan orang itu yang memegang pisau membuat pisaunya pun terlepas dan melayang. Tak berhenti sampai di situ, Ella langsung menjatuhkan dirinya, dan menendang kedua kaki orang itu hingga terjatuh. Ella dengan cepat kembali berdiri dan menangkap pisau tadi.

Ella pun berjongkok di dekat orang itu dan menodongkan pisau yang ada di tangannya ke dagu orang itu.

"Pergi," ujar singkat Bela dengan suara dingin dan mata tajam.

Orang itu pun segera berdiri dan berlari. Tak hanya dia, orang-orang lain yang sudah dihajar Ella juga ikut kabur.

Aku hanya bisa terdiam melihat kejadian barusan. Aku juga melihat salah satu mata Ella yang diselimuti aura aneh bewarna merah namun hilang tak lama kemudian.

"Hey, Sako. Di depan ada pertigaan lagi, kau belok ke kiri kan?" tanya Ella sembari melempar pisau yang dia pegang ke tempat sampah yang ada di dekat sana.

"I-iya," jawabku.

"Aku akan belok ke kanan. Sampai jumpa besok ya," ujar Ella.

"Oke..."

Kami sempat berjalan bersama sebentar sebelum akhirnya kami pun berpisah. Tapi selama perjalanan, aku masih terbayang-bayang dengan apa yang Ella lakukan tadi.

Saat sedang berjalan, aku juga sempat membatin, "Bagaimana kalau aku kayak Ella ya?"

***

Setelah beberapa menit, aku pun sampai di rumah. Setibanya di rumah, aku pergi ke kamar. Mengambil pakaian bersih lalu pergi ke kamar mandi. Aku pun melepas seragamku, mandi, dan mengganti baju. Saat keluar dari kamar mandi, aku mulai mengambil sapu dan menyapu rumah. Sudah terbiasa saja setelah pulang sekolah langsung menyapu.

Saat aku sedang menyapu, tiba-tiba aku mendengar teriakan.

"BWAAAHHH DASAR gulp WANITA KEPARAT! Haha kau memukul kepalaku haha gulp." Ya suara ayahku yang mabuk diikuti dengan suara botol pecah.

Ya aku harus membersihkan pecahan kaca itu juga. Tepat setelah aku selesai menyapu rumah, Ibu datang. Aku pun langsung menghampirinya di pintu depan.

"Ibu!!" sapaku langsung memeluknya.

"Eh udah pulang ya," ujar Ibuku sembari mengelus kepalaku.

"Aku sudah bersih-bersih rumah juga," ujarku.

"Loh kamu kok banyak perban gini habis kenapa," Ibu langsung berjongkok di depanku.

"Cuma jatuh kok Bu," bohongku.

"Ya ampun lain kali hati-hati ya. Sekarang kamu ke kamar dulu ya. Ibu mau masak makan malam." Ibu langsung pergi ke kamarnya, mengganti baju, dan pergi ke dapur.

Aku sendiri langsung menuju kamar dan belajar. Aku fokus membaca buku pelajaranku tapi tiba-tiba ayah berteriak lagi.

"Ambilkan aku alkohol!"

Setiap sepuluh menit, ayah pasti paling tidak berteriak satu kali. Aku tentunya kesusahan untuk fokus belajar tapi ya mau bagaimana lagi.

Dua jam berlalu, dan ibu memanggilku.

"Nak, makan malamnya sudah siap!"

"Oke, Bu!" aku pun langsung bergegas ke dapur.

Di dapur, sudah ada dua mangkuk berisi sup yang tersaji di meja. Aku pun langsung duduk dan mengambil salah satunya. Sendokan pertama masuk ke mulut dan rasanya enak sekali.

"Makanannya enak Bu!" ujarku.

Ibu tersenyum dan berkata, "Makan yang banyak ya. Biar pinter."

Tidak lama kemudian, ayah datang ke dapur dan duduk di sebelahku. 

"Apa ini?" tanya ayah.

Ayah mulai mengambil sup yang lainnya dan ketika sendokan pertama masuk ke mulutnya, ayah langsung memuntahkannya.

"Makanan apa ini?! Seperti air comberan saja!" sentak ayah. "Dasar perempuan jalang! berani-beraninya kau membuat makanan seperti ini!"

Ayah langsung berdiri dari kursinya dan menghampiri ibu.

Aku terkejut ayah tiba-tiba begitu pun langsung melompat dan berusaha menahannya dengan memegangi tangannya.

"Ayah jangan!"

Namun ayah menarik tangannya dengan keras hingga mendekati ibu. Dan dengan tangannya yang lain, ayah menampar ibu.

"Ibu!!"

Aku masih berusaha menahan tangan ayah namun tiba-tiba ayah berbalik dan memukul wajahku. Aku pun jatuh tersungkur di lantai dan terluka di area pukulan ayah.

"Sako!!" Ibu langsung berusaha bangkit dan bergegas ke arahku.

"Keluarga tidak becus! punya istri sama anak tidak becus semua! Istri masak aja gabisa, anak juga cuma bisa minta uang!!" sentak Ayah dan langsung meninggalkan dapur.

"Sako, bentar ya nak. Ibu obatin kamu." Ibu yang panik langsung menggendongku ke kamarnya.

Aku yang setengah sadar melihat ke arah wajah panik ibu. Walau salah satu pipinya lebam karena tamparan ayah. Mengingat apa yang dilakukan ayah kepadaku dan ibu, aku pun memiliki tujuan baru.

"Aku ingin bisa bertarung."

***

Keesokan harinya di halaman belakang sekolah.

"Huh? Kenapa kau tiba-tiba ingin bisa bertarung?" tanya Ella

Aku sempat diam sebentar sebelum akhirnya menjawab, "Ada banyak yang terjadi kepadaku. Dan keinginanku sudah bulat, aku ingin bertarung."

"Hmm... boleh saja. Tapi apa kau siap? Aku enggak bakal nahan diri loh," tanyanya.

"Aku sangat siap," jawabku dengan suara mantap dan mata tajam.

Hari demi hari berlalu. Latihannya juga tidak mudah. Dia sering membuatku babak belur, walau ujung-ujungnya aku tetap diobati oleh dia. Namun kemampuanku juga mulai lebih baik dari waktu ke waktu.

Sampai pada suatu sore, aku dan Ella berlatih duel lagi. Pukulan demi pukulan aku lontarkan kepada Ella. Namun Ella berhasil menangkis semuanya. Setelah dia menangkis semua seranganku, dia membalasnya dengan memukul mengincar uluk hatiku. Aku sempat berfikir aku akan kalah lagi. Namun tiba-tiba aku refleks menghindarinya dengan memiringkan tubuhku dan berhasil. Tak hanya itu, aku langsung mengarahkan tinjuan ke wajah Ella. Mata Ella sendiri melebar melihat kecepatanku. Dan sekilas, aku melihat percikan aura bewarna merah itu lagi di tanganku diikuti dengan percikan listrik.

Aku pun berhasil mendaratkan pukulan ke wajah Ella. Ella yang terkena pukulan itu tak langsung terjatuh namun sempat terlihat pusing beberapa saat.

"Eh Ella, maafkan aku. Apa kau tidak apa-apa?" tanyaku menghampirinya.

Namun saat dekat dengan Ella, tiba-tiba dengan cepat dia menendang wajahku. Aku pun langsung tersungkur di tanah.

"Kau lengah," ujar Ella.

Aku yang masih tersungkur di tanah pun berusaha duduk dan berkata, "Hey aku khawatir denganmu tahu!"

Ella dengan dingin menjawab, "Musuhmu belum tentu mengkhawatirkanmu balik."

Aku pun hanya diam setelahnya.

Namun tak lama kemudian, Ella lanjut berkata, "Tapi perlu kuakui. Kau berkembang jauh lebih cepat dari perkiraanku. Bahkan sampai bisa mengenaiku. Tak banyak orang loh yang bisa mengenaiku saat bertarung."

Mendengar pujian Ella, aku pun tersenyum malu sembari berkata, "Hehe makasih ya.

Dia mengulurkan tangannya kepadaku. Aku pun menerima tangannya dan berdiri.

"Omong-omong kamu habis juara satu di kejuaraan bela diri ya. Selamat ya," ujarku.

"Terima kasih," ujar Ella dengan suara datar sembari mengambil botol minumnya.

"Datar banget suaranya. Gak seneng gitu?" tanyaku.

"Biasa aja," jawab Ella membuka botol air nya dan mulai minum.

"Oh. Jadi cewek kok unik," batinku.

"Tapi omong-omong, satu lawan yang masih kuingat adalah lawanku di final. Ekspresinya dia selama pertandingan terlihat seperti dia sangat ingin menang," ujar Ella.

"Iyakah? Siapa namanya?" tanyaku.

"Uh siapa namanya ya. Hmm... Jacky? ya sepertinya itu. Tapi ya sudah untuk apa dipikirkan," jawabnya.

Kami pun diam sesaat namun tiba-tiba aku teringat bahwa aku harus bertemu dengan guru sekarang.

"Oh ya aku ada janji sama guru. Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa ya," ujarku cepat-cepat mengambil tas.

"Oh ok," ujar Ella.

"Terima kasih untuk hari ini!" aku pun langsung bergegas pergi.

***

Aku berjalan menuju ruang guru. Namun tiba-tiba, para laki-laki yang pernah menghajarku menghampiriku lagi.

"Hey-hey ini yang waktu itu gak ngasih contekan ya?" ujar salah satu laki-laki itu menyeringai.

"Aduh sekarang udah jarang ngasih contekan sih. Enaknya kita apain ya?" tanya yang lainnya.

"Kita hajar lagi aja kali ya."

"Tunggu," salah satu dari mereka mendekat ke arahku.

Dia menatapku dan berkata, "Begini saja. Jika kau janji memberi contekanmu lagi, kami tidak akan menghajarmu lagi. Bagiamana?"

Aku tersenyum tipis dan menjawab, "Menjijikan sekali. Tidak, aku tidak akan menjadi babu kalian."

Wajah laki-laki di depanku pun langsung memerah ketika aku mengatakan hal itu.

"Apa yang barusan kau bilang?" ujar laki-laki itu sembari memegang kerah bajuku.

"Kau tuli? Aku tak akan menjadi budak dari sekelompok preman seperti kalian," jawabku tanpa ragu.

"Aku kasih kau kesempatan terakhir. Tarik kembali kata-katamu," ujar laki-laki itu kali ini terlihat kerutan di keningnya.

"Ti-dak."

Tanpa basa-basi lagi, laki-laki itu langsung mengarahkan tinjuan ke arah wajahku. Namun jika sebelumnya aku tak bisa melakukan apapun, kali ini berbeda.

Aku langsung menangkap kepalan laki-laki itu dan balik meninju wajahnya. Hanya dengan sekali tinjuan, laki-laki itu langsung jatuh terkapar.

Laki-laki yang lain sempat terkejut melihat temannya namun tanpa pikir panjang, mereka langsung menyerbuku. Mereka mengarahkan pukulan ke arahku di saat yang bersamaan. Dengan cepat, aku menahan pukulan salah satu dari mereka, menariknya, dan ketika pukulan mereka sampai, aku menggunakan tubuh anak itu sebagai perisaiku.

Pukulan mereka mengenai kepala anak itu dan ketika aku melepaskannya, dia hanya jatuh lemas. Dua anak lainnya masih belum berhenti dan mencoba menyerangku lagi. Salah satu dari mereka mencoba memukulku lagi namun aku langsung menendang dagunya membuatnya terkapar di tanah.

Satu anak lagi, dia mencoba menendang kakiku. Namun aku berhasil melompat menghindarinya dan menendang kepala anak itu. Mereka semua pun jatuh tersungkur.

Aku berdiri mantap di depan mereka sedangkan mereka melihatku dengan ketakutan. Aku dengan dingin berkata, "Pergi."

Seketika, semua anak itu langsung berlari pergi.

Namun setelah kejadian itu, satu hal yang tak kusadar adalah Ella sedang mengintipku. Setelah semua anak itu pergi, Ella hanya berbalik dan ikut berjalan pergi.

***

Setelah menghajar anak-anak itu, aku pun ke ruang guru, lalu setelah semua selesai. Aku pun pulang.

Saat tiba di rumah, baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara teriakan, "Ambilkan aku alkohol!"

Ya sudah biasa lah. Aku pun pergi ke kamar. Namun tiba-tiba, aku mendengar suara gelas pecah. Aku pun langsung bergegas ke arah suara itu. Dan aku melihat ibu dan ayah dengan botol pecah di antara mereka.

"Dasar perempuan tidak becus! menuangkan minuman saja tumpah. Kau tidak tahu seberapa keras aku berusaha mendapatkan minuman itu!" sentak Ayah sembari memukul ibu.

Aku juga melihat kakak yang hanya menonton kejadian itu sembari menyeringai.

"Maaf, maaf," Ibu terus mengulang kata itu sembari dihajar ayah.

"Maaf tidak bisa mengembalikan minumanku!" sentak ayah.

Namun sebelum ayah sempat memukul ibu lagi, aku langsung memegang tangan ayah menghentikannya.

"Heh? ini urusan ayah. Kau tidak usah ikut campur," sentak ayah kepadaku.

"Tidak, ini urusanku juga," jawabku tegas.

"Kurang ajar sekali kau!"

"Sepertinya gadis kecil ini harus dikasih sedikit pelajaran ya," ujar kakak.

Kakak mendekat dan mengarahkan tendangan ke arah kepalaku. Tapi sebelum tendangannya sampai, aku sudah menghadangnya dengan punggung lenganku.

"Hah?!"

Aku dengan cepat memutar tanganku, memegang kaki kakak, dan membantingnya ke arah ayah. Mereka berdua pun langsung jatuh tersungkur.

"Hey, tidak kah kau punya sopan santun, aku ini AYAHMU!!" teriak ayah.

Saat ayah berteriak seperti itu, aku melihat banyak makhluk aneh dengan tampang tak wajar berada di sekeliling ayah. Ya walaupun menurutku tampang ayah sama seperti mereka. Dengan amarah, aku mengepalkan tanganku dan aura bewarna merah yang membara dan diiringi kilatan-kilatan petir menyelimuti tanganku.

Laki-laki di sekolahku, ayah, kakak, laki-laki, semuanya sampah. Ibu, Ella, mereka yang membantuku menjadi seperti sekarang.

"Kau bukan ayahku." Aku pun melaju dengan kecepatan super dan mendaratkan pukulan ke wajah ayahku.

***

Sekarang aku berada di kantor polisi. Aku sedang berada di ruang interogasi dan hanya ada seorang polisi di depanku. Dia menanyaiku beberapa pertanyaan. Dan setelah selesai, dia hanya duduk diam di depanku sembali menulis sesuatu di buku yang dia bawa. Cukup lama. Namun setelah beberapa saat berlalu, polisi itu berkata kepadaku, "Ada seseorang yang ingin menemuimu."

"Siapa?" tanyaku.

Polisi itu tak menjawab. Dia berdiri lalu meninggalkan ruangan begitu saja.

Tepat saat polisi itu keluar, ada orang lain yang masuk. Mengenakan mantel coklat dan bercelana panjang hitam.

"Kau Yurisako Ayame ya?" tanya laki-laki dewasa itu. Dia duduk di kursi di depanku dengan sangat santai. Salah satu tangannya ditaruh di belakang kursi dan kedua kakinya berada di atas meja.

"Siapa kau?" tanyaku datar.

"Kok kamu kayaknya tegang banget. Tenang enggak ku apa-apain kok. Aku Kuroto Kiriyato," jawabnya.

"Dimana ibuku?" tanyaku.

"Dia aman di rumahnya. Dan apa kau tahu? Aku melihat kejadian saat kau menghajar ayahmu tadi," ujarnya.

"Oh."

"Uh kamu kok kayak gak tertarik banget gitu ya." Kuroto pun menurunkan kedua kakinya, mencondongkan badannya ke depan, dan melipat kedua tangannya di atas meja. "Ya intinya, yang ingin ku beritahu kepadamu sekarang adalah, kau memiliki dua pilihan untuk kedepan. Dan sekarang, aku ingin meminta kau untuk memilih salah satu dari dua pilihan itu," ujar Kuroto dengan suara yang santai namun terdengar serius.

Aku pun mengangkat kedua alisku.

"Pilihan pertama, kau akan dipenjara dan terancam berbagai hukuman karena kasus pembunuhan, dan kau tak akan bisa melihat ibumu lagi," ujar Kuroto mengangkat telunjuknya.

Kuroto lanjut mengangkat jari tengahnya dan berkata, "Pilihan kedua adalah kau akan menjadi bagian dari organisasi penyihir juntoshi dan bekerja di sana. Kau juga bisa memberikan banyak uang untuk ibumu."

Aku masih diam mendengar perkataannya.

Kuroto pun melanjutkan, "Dan sekarang, aku ingin kau memilih satu di antara kedua pilihan ini."

***

Mengingat semua kejadian itu aku berkata kepada diriku sendiri sembari menatap kobaran api di depanku, "Hehe, semua karena para laki-laki bodoh itu. Seandainya mereka tak membuat ulah, aku mungkin akan hidup lebih lama dari ini."

Merasa ajal sudah dekat, aku pun menutup kedua mataku.

Namun tiba-tiba, aku mendengar Aruta berkata, "Hey Sako! Apa yang kau lamunkan? Kau karakter novel yang sedang flashback? Kalo mati minimal jangan ngajak-ngajak!"

Aruta memegang perutku dan berusaha menarikku keluar dari area semburan api itu.

"H-hey! Mau mati minimal jangan mesum juga!" aku melihat ke arah kobaran api itu dan kami berada sedikit di tepi area semburan junoi itu.

Melihat kesempatan, entah bagaimana tubuhku tiba-tiba bergerak dengan sendirinya. Muncul kilatan petir di kakiku. Aku memegang erat Aruta, dan menariknya keluar dari area semburan itu. Dan kami berhasil. Semburan junoi itu meleset tepat di bawah kakiku.

Aku dan Aruta pun jatuh bersebelahan.

"Dasar, kau sudah hampir mati saja masih mesum," ujarku.

"Enggak gitu! Aku ya gamau mati muda!" ujar Aruta.

Aruta dengan cepat kembali berdiri, mengulurkan tangannya kepadaku, dan berkata, "Ayo. Minimal kalo mati jangan ngajak-ngajak ya."

"Hehe, dasar bodoh." Aku pun menerima tangannya dan berdiri di sampingnya.