"Injak dia!"
"Kau anak brengsek!"
Sekelompok anak-anak berkumpul mengepung seseorang, menginjak dan menendangnya. Anak-anak itu tampak dua kali lebih muda dari usianya karena mereka kurus kering dan sakit-sakitan.
"Hah! Hah!"
Anak-anak yang sekilas terlihat dalam kondisi memprihatinkan, kehabisan nafas seolah-olah cepat lelah hanya dengan beberapa tendangan.
"Ini….. bajingan menjijikkan."
"Kenapa ada orang semacam ini….."
Mereka menunduk seolah muak dan saling bertukar pandang.
"….. Ayo pergi."
"Hanya seperti ini?"
"Kalau begitu, apa kau akan membunuhnya?"
Terjadi keheningan. Ekspresi konflik muncul di wajah semua orang. Namun tak lama kemudian semua orang mengangguk dengan gugup.
"Ayo pergi."
"Tcuh! Nasib buruk."
Anak-anak itu berbalik sambil meludah dengan ekspresi kesal dan frustasi. Namun, ada emosi yang tak terlukiskan di mata mereka.
Seseorang bergumam dengan suara pelan.
"..... Apakah kita harus kelaparan lagi hari ini?"
"Jika para bajingan sialan itu tidak memulai perang, kita pasti bisa mengemis makanan."
"Kau membuatnya terdengar seperti kita bisa mengemis. Ku dengar ada lebih dari selusin orang meninggal karena kelaparan di sekitar daerah ku. Apa yang akan mereka berikan pada kita ketika tidak hanya para pengemis, tetapi para yangban saja juga kelaparan?."
"Sialan….."
Ada cahaya serupa di wajah anak-anak ketika mereka terhuyung-huyung menjauh.
Mungkin itu karena keputusasaan, atau ketakutan. Atau mungkin rasa tidak berdaya menghadapi penderitaan yang berada di luar kendali mereka.
Yang berkuasalah yang mengguncang dunia, namun dampaknya dirasakan oleh mereka yang tidak berdaya. Keputusasaan mereka yang hidupnya terguncang dan runtuh tanpa kemauannya begitu dalam dan berat hingga sulit digambarkan.
"Kenapa kau terus melihat ke belakang?"
"….. Bukankah dia akan mati kalau dibiarkan seperti itu?"
"Sialan, kalau dia mati, ya mati saja. Mengapa peduli jika aku juga bisa mati terlebih dahulu! Berhenti mengucapkan omong kosong, ayo pergi!"
Pada akhirnya, anak itu mengangguk setuju dan terus berjalan. Tapi meski begitu, ia terus menoleh ke belakang seolah ada sesuatu yang menghentikannya.
Mungkin hal yang menyebakannya terus-menerus melihat ke belakang itu adalah kemanusiaan yang ia tidak punya pilihan selain meninggalkannya, juga rasa bersalah yang ia tidak punya pilihan selain menghapusnya untuk bertahan hidup di dunia ini.
Setelah sekian lama semua orang pergi.
Gemerisik.
Seseorang yang tadinya terbaring seperti mati setelah diinjak anak-anak tiba-tiba bangkit.
Tubuh kurus dan mungil. Dia adalah seorang anak yang kelihatannya akan pingsan kapan saja meskipun dia tidak diinjak oleh banyak orang.
Anak itu, yang telah mengalami kekerasan yang begitu kejam dengan seluruh tubuhnya sehingga bahkan orang dewasa pun akan kesulitan menahannya, mencengkeram tanah dengan tangan gemetar.
Dengan pakaiannya yang sangat lusuh sehingga menyebutnya sebagai pengemis adalah suatu kemewahan, dan bahkan rambutnya yang tumbuh sembarangan dan berserakan, dia adalah tipe orang yang lebih cocok disebut binatang daripada pengemis.
"Tcuh!"
Anak itu memuntahkan darah. Tapi rasa amis di mulutnya tak kunjung hilang.
Anak itu, yang melihat sekeliling seperti binatang lemah, menggeledah lengan bajunya hanya setelah memastikan bahwa tidak ada orang di sekitarnya.
Itu adalah pangsit hitam yang telah terinjak dan rata, namun tetap tidak diserahkannya walau sudah diserang dengat sangat kejam.
Anak itu membuka pangsit kecil yang penuh dengan tanah dengan tangan kecilnya. Lalu perlahan-lahan memasukkannya ke dalam mulut.
Rasanya menjijikkan dengan terlalu banyak darah dan tanah. Namun, sang anak hanya mengunyah dengan baik dan menelannya tanpa banyak respons. Malah, itu terlihat seperti menikmati makanan lezat yang tidak ada duanya.
Jari-jari kurusnya merogoh pangsit lagi.
Untuk mendapatkannya, anak tersebut harus dipukuli hingga tidak ada bagian tubuhnya yang utuh, namun anak tersebut tidak membenci kenyataan tersebut. Lebih baik dipukuli daripada mati kelaparan.
Anak itu dengan jelas mengetahuinya.
Seseorang akan meninggal hari ini juga. Di antara mereka yang menginjaknya, seseorang akan mati dalam beberapa hari.
Jika manusia tidak makan, mereka mati. Hal yang sama berlaku untuk anak-anak. Kalau begitu, jumlah pemukulan segini sebagai imbalan atas pangsit yang satu ini sangatlah murah.
Bertahan hidup. Tidak ada yang lebih penting dari itu. Setidaknya di sini.
Saat anak itu menyeka darah dari mulutnya dengan lengan bajunya yang kotor.
"Apa kau baik-baik saja?"
Begitu seseorang berbicara, anak itu menjejalkan sisa pangsit ke dalam lengan bajunya dan menunjukkan giginya. Bentuk meringkuk itu sangat garang, seperti binatang buas yang waspada terhadap lingkungan sekitarnya.
Melihat itu, pengemis yang berbicara padanya dari kejauhan membuat ekspresi canggung.
"Tidak, aku hanya khawatir….. Aku bertanya-tanya apa semua baik-baik saja."
"….."
Itu jelas merupakan suara orang khawatir. Itu adalah kebaikan yang sulit diharapkan di dunia yang dingin seperti ini.
Namun kenyataannya, anak itu hanya memberikan tatapan dingin dan tanpa emosi pada kehangatan itu.
Meskipun menyadari bahwa anak itu tidak akan mudah didekati, pengemis itu tidak dengan mudah menyerah memberikan perhatian yang ramah.
"Jangan terlalu waspada seperti itu."
Pengemis itu perlahan mendekati anak itu seolah dia benar-benar khawatir.
"Jika tubuhmu dalam kondisi seperti itu, tidur di tempat yang dingin akan membuatmu membeku sampai mati. Aku hanya….."
Pengemis itu mendekat beberapa langkah, lalu berhenti. Dia menyadari bahwa anak itu sedang meraih sesuatu dari lengan bajunya dan mengeluarkan pisau tajam, bukan pangsit.
Sesaat kebingungan muncul di wajah pengemis itu.
Wajah pengemis yang memandangi anak dan pisau tajam itu secara bergantian, berubah menjadi sangat kejam seolah-olah ia yang sebelumnya hanyalah kebohongan. Sulit dipercaya bahwa ini adalah orang yang sama, yang berbicara begitu baik kepada anak itu beberapa saat yang lalu.
"Bocah brengsek ini….."
Pengemis yang menatap anak itu seolah-olah dia menimbang sesuatu di kepalanya, menggertakkan giginya dan terhuyung mundur beberapa langkah. Bagaimanapun juga, tampaknya dia menilai bahwa terlalu merugikan untuk mengambil risiko berurusan dengan pisau untuk merebut potongan pangsit yang tersisa.
"Berapa hari lagi menurutmu orang sepertimu akan bertahan?"
"….."
"Anak yang sekarat…. Saat kau mati, aku pasti akan merebusmu dan memakanmu. Aku akan mengawasimu. Anjing tidak berguna sepertimu."
Pengemis itu, melontarkan hinaan dan makian yang siapa pun tidak akan duga ditujukan ke seorang anak kecil, dengan tidak berdaya berbalik dan segera pergi.
Anak yang sudah lama mewaspadai pengemis itu, bangkit dari tempat duduknya dengan tekad bulat. Langkahnya yang pincang, lambat, namun mantap saat dia berjalan menuju jalan yang sepi.
Malam yang gelap.
Anak itu mendaki setengah jalan mendaki gunung, yang berbahaya bahkan di siang hari bolong, dan mengacak tumpukan dedaunan yang berguguran dengan sentuhan akrab.
Setelah beberapa sentuhan, sebuah ruang yang hampir tidak cukup besar untuk seorang pria berjongkok muncul.
Anak itu menyelipkan diri ke dalamnya dan merosot kelelahan.
Meskipun dia hampir tidak sadarkan diri, alih-alih menyerah pada derasnya air (tertidur), dia malah mengeluarkan pangsit di tangannya, merobeknya menjadi potongan-potongan kecil, dan mulai mengunyahnya.
Ekspresi anak itu sama sekali tidak terlihat seperti anak kecil. Sambil mengunyah pangsit, anak itu melihat ke bawah gunung.
Ini adalah neraka dunia.
Nilai kehidupan manusia tidak selalu sama. Di dunia yang damai, nyawa seseorang lebih berharga dari apapun, tapi di dunia ini, nyawa seseorang bahkan tidak bernilai setengah dari pangsit basi ini.
Nilai kehidupan anak itu lebih rendah dari itu.
Orang yang paling rendah di tempat yang paling mengerikan akhirnya akan dipaksa pergi ke tempat dimana tidak ada orang lain.
Di mata anak yang memandang dari atas, ada banyak cahaya di bawah.
Itu adalah desa. Masih terlalu jauh dan menakutkan baginya.
Batas antara desa di mana orang hidup dan gunung tempat dia berada adalah cahaya. Meskipun tampak rapuh dan hampir padam, itu masih indah dan tidak bisa diabaikan.
Dengan gerakan acuh tak acuh, anak itu merobek pangsit dan memasukkannya ke dalam mulutnya lagi sambil menatap kumpulan cahaya yang bagaikan sungai.
Rasa tanah yang pekat dan aroma daun kering yang membusuk masuk ke dalam hidungnya.
Pandangan anak itu terarah ke tempat yang lebih jauh.
Cahaya di sana jauh lebih terang, indah, berwarna-warni daripada cahaya yang bisa dilihatnya dari dekat.
Saat ini, itu adalah tempat di mana anak itu bahkan tidak bisa menginjakkan kaki. Orang-orang yang menikmati cahaya berwarna-warni itu tidak dapat dibandingkan dengan mereka yang hidup mengandalkan cahaya yang sepertinya akan padam.
Anak itu berusaha meraihnya dengan tangan yang gemetar.
Cahaya itu terasa begitu dekat sehingga hampir bisa diraih. Rasanya hangat jika disentuh.
Namun, tentu saja, tangan anak itu tidak bisa meraihnya. Tidak ada kehangatan yang bisa dirasakan, Yang bisa dia nikmati hanyalah hawa dingin yang menembus sampai ke tulang-tulangnya.
Tetapi anak itu tidak putus asa atau kecewa.
Karena dia tahu sekarang.
Cahaya itu tidak selalu ada di sana sejak awal. Mereka adalah orang-orang yang merampas cahaya orang lain dan mengambil lebih banyak cahaya untuk diri mereka sendiri. Jika mereka bisa merampasnya, dia juga bisa. Seperti pangsit yang dia curi dan sembunyikan di lengan bajunya hari ini. Cahaya itu juga akan.....
Cahaya di mata anak itu semakin besar.
Cahayanya, yang menyebar semakin hangat, segera menyelimuti dunia seolah-olah bersinar terang. Batas-batas pemisah telah diruntuhkan, dan setiap tempat di dunia dipenuhi dengan cahaya terang.
Membuat candu. Anak itu mengulurkan tangan sekali lagi, mengetahui bahwa dia tidak akan menangkap kehangatannya.
Tapi pada saat itu.
Krak!
Dunia yang dilihat anak itu retak. Retakan seperti sarang laba-laba muncul di dunia yang tampak hangat, dan segera darah merah tua mengalir melalui celah tersebut.
Pupil anak itu bergetar.
Darah merah tua dengan cepat menutupi dunia. Tidak ada kehangatan sama sekali. Ketiadaan yang dingin dan menjijikkan menelan segalanya.
"Ah….."
Sebuah suara keluar dari mulut anak itu untuk pertama kalinya.
Tapi itu saja, suara yang tidak bisa berbicara dengan baik hanya keluar seperti erangan hewan yang terluka.
"Ah….. Aahh….."
Seluruh dunia menjadi hitam. Tanpa meninggalkan apapun. Mata anak itu dipenuhi dengan keputusasaan yang tajam.
"Aaaaaaaaaaaahhhh!"
* * *
"Ryeonju-nim."
"….."
"Ryeonju-nim?"
Bulu mata panjang yang tergantung rapat di sepanjang mata tertutup itu berayun lembut. Kelopak mata perlahan terangkat, dan mata pucat muncul.
Matanya yang menatap kosong ke ruangan yang terasa sepi, akhirnya beralih ke orang yang berdiri di depannya.
"Persiapannya sudah selesai."
Bukannya menjawab, ia malah menunduk.
Kain panjang berwarna merah menyala, pola naga warna-warni yang disulam dengan benang emas, jari-jari panjang terlihat di bawah lengan lebar, dan cincin warna-warni di atasnya.
Ini adalah kenyataan. Dia tidak berpakaian compang-camping dan kotor.
Ia membalikkan tangan yang ia letakkan di sandaran tangan. Keringat dingin mengucur di telapak tangannya yang terbuka. Dia menatapnya sebentar dan akhirnya membuka mulutnya. Itu adalah wajah tanpa ekspresi dan tanpa arti.
"….. Cermin."
"Baik."
Atas perintahnya, Shibi (pelayan) dengan cepat menahan cermin di depannya.
Ia memandang wajahnya sendiri yang terpantul di cermin sebagai pemandangan asing.
Wajah yang ditutupi riasan mewah. Melalui untaian dari mahkota yang menutupi wajahnya, dia bisa melihat seorang pria dewasa, berbeda dari anak yang mirip binatang itu. Wajah putih bersih, bibir merah, dan mata cekung muram.
Apa dia sudah berubah?
Apakah pria yang terpantul di cermin sekarang berbeda dengan dirinya di masa lalu? Hanya karena wajahnya berubah dan apa yang ia kenakan di tubuhnya berubah?
Ia selesai bercermin dan perlahan bangkit.
Para pelayan bergegas menghampirinya untuk memberinya sentuhan terakhir pada pakaiannya, tetapi dia tidak mempedulikannya dan berjalan menuju pintu di depannya.
Tuk. Tuk.
Dia meraih pegangan pintu dan berhenti sejenak.
–Apa kau mengerti?
Dia belum bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak, mungkin kedepannya ia tetap tidak bisa menjawabnya.
Tapi.....
Matanya yang sempat terpejam akhirnya membuka pintu dengan kasar.
Brak.
DIa bisa melihat sekilas pemandangan yang terbentang di depan pintu yang terbuka lebar seolah-olah akan rusak.
Banyak orang berbaris.
Menekan rasa bergairah dan nafsu yang mendidih, seakan ingin meledak.
Berbekal mata seperti pisau, mereka menunggu orang itu.
Sudut merah mulut Jang Ilso perlahan berubah menjadi senyuman yang dalam.
Pandangannya beralih ke samping.
Matanya bertemu dengan Ho Gamyeong, yang berdiri di samping sekelompok orang yang berbaris. Ho Gamyeong berdiri di sana menatapnya sejenak, lalu menundukkan kepalanya dengan serius.
"Persiapannya….. sudah selesai, Ryeonju-nim."
"….."
"Perintahnya, tuan."
Mata Jang Ilso perlahan beralih ke langit. Warnanya biru tanpa satupun awan. Matahari terbit di timur bersinar terang, seolah menyambutnya.
"Ini hari yang indah."
Matanya menjadi mirip dengan mata seorang anak kecil yang sedang menatap cahaya yang tidak dapat terjangkau.
Tetap saja dia tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Jadi…..
"Ayo pergi."
Saatnya untuk mengambilnya. Hal-hal yang selama ini hanya bisa dia lihat.
Tuk.
Dia melangkah maju. Senyuman dalam muncul di bibir Jang Il-so.
Tempat paling indah di dunia. Tempat dimana orang-orang paling berkuasa di dunia tinggal. Jalan menuju ke sana sudah jelas.
"Pertama….. Bagaimana kalau kita mulai dengan Henan?"
Kedua mata itu melengkung seperti bulan sabit.
"Ayo pergi. Untuk menguasai dunia."
"Ya!"
Orang-orang yang berbaris mengikutinya.
Bilahnya yang sebelumnya tersembunyi sekarang terhunus dan siap untuk menyerang dunia. Dia tidak akan berhenti sampai semuanya selesai.