Wuush.
Pedang itu menembus udara.
Itu merupakan tebasan yang sangat bersih. Namun, ujung pedangnya tidak setajam sebelumnya.
Apa pedangnya sudah tumpul?
Tidak, bukan begitu. Isi pedang itu hanyalah kelembutan.
Pedang Wudang adalah pedang yang mengandung kelembutan, bukan ketajaman.
Kenyataan bahwa serangan pedang cepat itu mengandung kelembutan yang mengalir, berarti keterampilan orang yang memegang pedang ini akan segera mencapai puncaknya.
Wuush.
Pedang berayun sekali lagi.
Tuk.
Namun serangan kali ini tidak semulus sebelumnya. Pendekar pedang itu menyerang lagi beberapa kali, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya, lalu dia menggelengkan kepalanya.
Kemudian.
"Sahyung! Sahyuuuuung!"
Pendekar pedang itu mengalihkan pandangannya ke samping. Sajae-nya yang gelisah berlari ke arahnya.
"Mengapa kau membuat keributan seperti itu?"
"Ki, kita dalam masalah besar, Jin Hyeon-sahyung! Apa kau sudah mendengar rumornya?"
Orang bernama Jinhyeon sedikit mengernyit.
"Rumor apa yang kau bicarakan? Bicaralah dengan jelas....."
Jin Hyeon hendak mengatakan sesuatu dengan tajam, tapi sajae-nya menyela dan berteriak dengan mendesak.
"Jang Ilso datang ke sini memimpin Aliansi Tiran Jahat!"
Mulut Jin Hyeon yang tadinya sedikit terbuka, kembali tertutup rapat. Berbeda dengan sebelumnya, ada rasa dingin di matanya.
"Apa itu benar?"
"Ya! Rumor itu telah tersebar. Mereka bergerak ke arah kita, dan berita ini datang dari persatuan pengemis yang memantau Aliansi Tiran Jahat."
"Begitu?"
Jin Hyeon mengangguk dengan berat.
Tapi itu saja, dia tidak berkata apa pun lagi. Sajae-nya, Jin Song, bertanya karena frustrasi dengan respon yang tidak terduga.
"Jadi, bagaimana ini sekarang, sahyung?"
"….Apanya yang bagaimana?"
"Ini Aliansi Tiran Jahat loh, Aliansi Tiran Jahat? Ini bukanlah lawan yang bisa dilawan oleh Wudang kita sendirian, kan?"
"….."
"Kudengar Shaolin juga dihancurkan….. Kita harus meninggalkan tempat ini sebelum mereka datang...."
"Tutup mulutmu."
Jin Song dikejutkan oleh peringatan mendadak itu dan menyusutkan lehernya.
"Sekali sesuatu diucapkan, tidak ada yang bisa menariknya kembali. Jadi jangan bicara sembarangan."
"Ma….. maafkan aku, sahyung."
"Ketua sekte lah yang akan memutuskan bagaimana menghadapi situasi ini. Kita hanya harus mengikuti perintah."
Siapa yang bisa menyangkal kata-kata itu? Jin Song mengangguk setuju.
"Tetapi."
"Ya?"
Namun, Jin Hyeon juga tidak bisa menahan pikirannya dan dia menambahkan kata-kata yang seharusnya tidak dia ucapkan.
"Jika kita akan melarikan diri pada saat seperti ini, kita tidak akan repot-repot melakukan bongmun."
Pedang Jin Hyeon yang digantungnya di pinggang, mengungkapkan cahaya hitam singkat.
Tuk tuk tuk tuk.
Suara langkah kaki yang mendesak bergema di halaman Wudang yang sangat sunyi.
"Kami menemui ketua sekte."
"Ketua sekte, semoga kesehatan dan kenyamanan menyertaimu!" (itu salam sopan saat bertemu gitu )
Beberapa orang yang berjalan di sekitar lapangan dengan cepat memberi hormat ketika mereka melihat kelompok itu bergerak dengan tergesa-gesa. Mereka sibuk berjalan tergesa-gesa bahkan tanpa memperhatikan murid-murid yang membungkuk kepada mereka, menunjukkan betapa mendesaknya mereka.
Rambut putih subur tergerai. Mereka adalah generasi tertinggi Wudang saat ini, yaitu generasi Heo. Berdiri memimpin mereka dengan wajah tegas, Heo Sanja, ketua sekte Wudang.
Setelah melewati Istana Sangcheong yang merupakan kediaman ketua sekte Wudang, mereka hanya berhenti berjalan ketika sampai di sebuah rumah kecil yang jauh dari sana.
Melihat gubuk bobrok dan tidak dapat dihuni dengan tatapan berat, Ho Sanja berkata dengan tegas.
"Kalian tunggu di sini."
"Ya."
Heo Sanja menarik napas dalam-dalam, berjalan menuju pintu, dan membuka mulutnya dengan nada sopan yang tidak pantas dengan posisinya sebagai ketua sekte.
"Ketua sekte. Apakah anda di dalam? Ini adalah Heo San."
Jika orang lain melihatnya, mereka akan menganggapnya aneh.
Tentu saja ketua sekte Wudang saat ini, pastilah Heo Sanja. Namun, Heo San justru menyebut orang yang berada di dalam penjara itu ketua sekte. Padahal tidak mungkin memiliki dua ketua sekte dalam sebuah sekte.
Namun, mereka yang mengikuti Heo San ke tempat ini membiarkan kata-kata dan tindakan aneh ini begitu saja, seolah-olah mereka sudah terbiasa dengan situasi seperti itu.
"Masuklah."
Ketika izin diberikan, Heo Sanja membuka pintu tanpa membuang waktu dan melangkah masuk.
Dan saat pemandangan di dalam terlihat, ekspresinya tiba-tiba menegang.
Dikatakan bahwa kesederhanaan adalah hal mendasar bagi seorang penganut Tao, namun rumah yang suram ini sudah sangat tua sehingga retak di sana-sini dan terkena angin kencang. Ini hampir terasa seperti tempat untuk pertobatan daripada tempat untuk pelatihan.
Tatapan Heo Sanja berpindah ke sudut. Ada seorang lelaki tua berambut putih duduk dengan jubah tua yang sudah kusam.
Heo Sanja dengan sopan membungkuk padanya.
"Heo San menemui ketua sekte." –salam Heo Sanja
Orang tua itu juga dengan tenang mengungkapkan rasa hormatnya. Namun tak lama kemudian, ekspresi teguran muncul di wajahnya.
"Ketua sekte-sajae. Berapa kali lagi aku harus memberitahumu bahwa orang ini bukan lagi ketua sekte Wudang?"
"Jangan berkata seperti itu, ketua sekte. Bagaimana orang yang kurang mampu seperti saya bisa menjadi ketua sekte Wudang? Langit dan bumi tahu bahwa karena keadaan yang tidak menguntungkan, untuk sementara saya mengambil posisi ketua sekte, yang sebenarnya tidak cocok untuk saya." (yep, heo sanja ngomongnya sopan banget, makanya pakai saya-anda)
Jawaban rendah hati Heo Sanja menyebabkan pria tua itu, Heo Dojin, menghela nafas panjang. Dia telah mengingatkan Heo Sanja berkali-kali, bahkan marah pun sudah dia lakukan. Namun, tidak ada seorang tetua yang mendengar kata-katanya, bahkan Heo Sanja sendiri.
Rambut hitam gelap yang tampak seperti mahkota dan alis tegas tiba-tiba berubah menjadi putih, membuat sulit untuk melihat seperti apa dia di masa lalu, namun wajah dan matanya yang dingin tidak jauh berbeda dengan masa lalu.
Tidak, sebaliknya, tatapan mata yang lebih dalam membuat orang yang melihatnya merasakan sikap tidak terikat yang tidak ditemukan pada Heo Dojin sebelumnya.
"Baiklah. Jadi, apa yang kau lakukan kemari?"
"Apakah anda tidak mendengar bahwa Aliansi Tiran Jahat akan datang ke sini?"
Heo Dojin tidak merespon dengan baik, tapi tatapan matanya yang berat menunjukkan bahwa dia sudah mendengar kabar tersebut.
"Apa yang harus saya lakukan, ketua sekte?"
Ketika tidak ada jawaban, Heo Sanja membuka mulutnya lagi dan mendesak.
"Para tetua sedang mendiskusikan kekalahan jumlah kita. Secara realistis sulit menghentikan mereka hanya dengan kekuatan Wudang."
"Hal yang sulit….."
"Ya. Lantas, bagaimana jika kita melakukan 'jangkrik emas melepaskan cangkangnya'?" (menghilang meninggalkan cangkang kosong; rencana pelarian yang penuh tipuan, baca komen untuk lebih lanjut.)
"'Jangkrik emas melepaskan cangkangnya'. Pada akhirnya, maksudmu kita harus melarikan diri."
"Itulah yang dimaksud para tetua."
"Apa ketua sekte-sajae memiliki pendapat yang sama?"
"Saya….. saya tidak tahu. Jalan apa yang tepat bagi Wudang….."
Heo Sanja terdiam.
Ini pasti akan menjadi keputusan yang sulit.
Melawan musuh secara langsung sama saja dengan bunuh diri. Aliansi Tiran Jahat saat ini berbeda dengan masa lalu. Mereka sudah menjadi Paeju di zaman ini, yang bisa menginjak-injak Shaolin, keluarga Peng, dan Kongtong. (penjelasan paeju di komen)
Hampir mustahil bagi Wudang untuk menangani orang-orang seperti itu sendirian.
Tapi mereka juga tidak bisa melatikan diri. Wudang tidak terlibat dalam urusan duniawi sejak melakukan bongmun. Namun, jika mereka mundur sekarang, mereka akan dikritik habis-habisan karena melepaskan segel Anda dan melarikan diri.
Tidak ada yang bisa dilepas dengan mudah, baik itu alasan maupun kepraktisan sesuai situasinya.
Itu sebabnya Heo Sanja tidak punya pilihan selain menyadarinya.
Betapa sulitnya pilihan yang harus diambil He Dojin di Sungai Yangtze di masa lalu. Terlepas dari benar atau salahnya, itu adalah keputusan yang membawa banyak beban.
"Bagi saya….. Ini terlalu sulit. Tolong bimbing saya, ketua sekte."
"….. 'Jangkrik emas melepaskan cangkangnya'."
Heo Dojin yang mengulanginya dengan tenang, mengangguk perlahan.
"Yang terpenting jangan sampai kehilangan murid Wudang dengan sia-sia. Pergilah ke Shaolin. Jika kita bergabung dengan murid Shaolin yang tetap di sana, kita akan mampu bertahan sampai dukungan Aliansi Teman Surgawi datang."
Heo Sanja yang hendak menganggukkan kepalanya, berhenti hampir tak bergerak sama sekali. Sesaat ia merasakan perasaan aneh dari kata-kata Heo Dojin.
Ada yang aneh.
"….. Apa anda bilang 'pergilah'? Bagaimana dengan anda?"
Heo Sanja bertanya dengan rasa ingin tahu, tapi Heo Dojin tidak menjawab. Heo Sanja menjadi sedikit gugup.
"Tentu saja, bukankah ketua sekte yang harus memimpin? Tapi bagaimana anda bisa mengatakan sesuatu seperti itu....."
"….."
"Ketua sekte?"
Heo Dojin tersenyum tipis saat didesak untuk menjawab.
"Kita bisa mundur sekali."
"….."
"Tapi kita tidak bisa mundur dua kali. Saat kita mundur untuk kedua kalinya, arti dari langkah mundur pertama kita juga dinilai. Pada akhirnya Wudang akan dikritik karena melarikan diri dari musuh sebanyak dua kali karena takut akan kehilangan nyawa. Itu tidak seharusnya terjadi."
"Ti, tidak, ketua sekte. Tetapi….."
"Jadi kita harus membuktikannya. Bahwa Wudang tidak mundur begitu saja. Kita memiliki keinginan untuk melawan mereka."
"….."
"Bawa murid-murid dan pergi ke Shaolin. Aku akan tetap di sini dan melindungi apa yang tidak dapat aku lindungi di masa lalu."
"Apa maksud anda? Apa yang tidak bisa anda lindungi di masa lalu? Apa itu sebenarnya?"
Untuk sesaat, dingin meresap ke mata Heo Dojin.
"Kehormatan Wudang."
Beratnya kata-kata pendek itu sepertinya langsung membebani dirinya. Heo Sanja juga tersentak seperti tercekik. Energi yang dirasakan dari Heo Dojin begitu tajam hingga sajae-nya sendiri pun gemetar.
"Ketua…. sekte."
"Aku sendiri yang membuang….. kehormatan itu, dan bukan orang lain, untuk tenggelam di perairan dalam Sungai Yangtze."
Suara Heo Dojin seperti pedang yang telah ditempa dengan susah payah dalam waktu yang sangat lama.
"Aku hanya mencoba melindunginya. Kali ini, dengan pasti."
Heo Sanja merasa dirinya tercekik.
Dia sangat ingin menghentikannya. Dia ingin mencegahnya, dengan mengatakan itu tidak ada gunanya.
Tapi bagaimana mungkin?
Dia tahu. Kehidupan seperti apa yang dijalani Heo Dojin sejak dukun melakukan bongmun? Betapa menyakitkannya penebusan dosa yang dia jalani, menanggung harga atas apa yang telah dia lakukan.
Apa yang berani Heo Sanja katakan di depan Heo Dojin yang seperti itu? Heo Dojin berbicara dengan suara tenang.
"Kumpulkan murid-murid. Semakin cepat kau mengambil keputusan, semakin baik."
"Ke, ketua sekte."
"Sajae."
Saat Heo Sanja masih ragu-ragu, nada bicara Heo Dojin berubah. Karena suasana hati yang berubah total, Heo Sanja bahkan tidak berani menjawab dan akhirnya hanya menganggukkan kepalanya.
"Pimpin murid-murid dan pergi ke Shaolin. Dan tinggalkan hanya mereka yang memiliki tujuan yang sama denganku di sini."
Heo Dojin perlahan bangkit dari tempat duduknya.
"Aku tidak membutuhkan siapa pun untuk mati bersama ku. Tapi tidak apa-apa jika beberapa orang mati demi kehormatan Wudang. Aku akan memastikan kematian mereka tidak sia-sia."
"Ketua sekte….."
"Tidak perlu menghentikanku."
Senyuman menakutkan muncul di bibir Heo Dojin.
"Karena sejak hari itu dan saat itu, aku hidup hanya menunggu saat ini."
Heo Dojin diam-diam bergumam dan menatap langit-langit tua.
Tidak ada kebohongan apapun jika dia mengatakan bahwa dia telah menunggu hari ini.
Hanya satu hal.
Saat ia memejamkan mata, ada wajah seseorang yang terus muncul di pikirannya. Seorang pria muda meraih kerah bajunya dan melampiaskan amarahnya. Bersama Jang Ilso yang menertawakannya hari itu, itu adalah wajah yang tidak pernah dia lupakan.
"Sayang sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk meminta maaf. Tetapi….. Itu tidak masalah."
Senyuman di bibirnya sedikit melembut.
"Karena permintaan maaf bukanlah sesuatu yang dilakukan dengan kata-kata."
Maknanya pada akhirnya akan tersampaikan.
Dengan kematiannya.
Bahkan bagi dia yang berada jauh.