11

Andira duduk santai di ruang tengah, sembari sedang membaca buku yang sebelumnya diambil dari rak buku milik Malena. Pasien pertama yang datang itu ialah wanita berusia 27 tahun, namanya Saras. Dia seorang wanita karir yang bekerja sebagai staff admin di suatu perusahaan retail besar di ibukota. Dia tahu bagaimana keadaan mental wanita tersebut yang kurang baik sejak lulus kuliah beberapa tahun sebelumnya- mendengar

sedikit dari cerita Malena, dan sempat rutin mengkonsumsi obat penenang tanpa resep dokter. Yang mana itu sangat berdampak buruk bagi kesehatannya, sebab tanpa obat penenang dia tak akan bisa tidur di malam hari atau mengalami insomnia parah, dan itu juga berdampak pada kinerjanya di kantor yang kian menurun beberapa waktu sebelumnya.

Keluhannya ketika pertama kali mendatangi Malena adalah ingin menyembuhkan ketergantungan konsumsi obat penenangnya, dan berkat ketelitian serta dedikasi Malena dalam mengatasi masalah tersebut. Sang dokter berhasil menggali lebih dalam lagi mengenai masalah atau kesulitan yang dihadapi Saras, maka dari itu pengobatannya terus berjalan hingga memasuki bulan ke 7. Namun sayangnya, Dia tidak mengetahui apa saja permasalahan yang Saras bawa selama melakukan pengobatannya. Sebab

konseling bersama Malena adalah sebuah kerahasiaan yang dijaga mati oleh sang dokter, agar para pasien tidak merasa insecure terhadap pandangan orang lain terhadap mereka. Padahal bersama dokter lain biasanya mereka para perawat bisa mendengar sedikit, bersama Malena hal tersebut tidak akan terjadi. 

Dirinya sebatas tahu bahwa Saras dan banyak pasien lainnya sangat betah dengan

konseling atau pengobatan yang mereka jalani dibawah naungan Malena.

Kriiiiiiing!

Seketika Andira terkejut, tersadar dari lamunan karena deringan telfon tiba-tiba. Dia meletakkan buku di sofa sebelum beranjak mendekati nakas di mana telfon berada, dengan jantung yang berdentam saking terkejutnya. Karena telfon tersebut adalah telfon rumah, Dia hanya bisa melihat nomor si penelfon yang asing. Suara deringnya cukup besar, yakin Malena dan si pasien di ruangan lain juga bisa mendengarnya.

Kebiasaannya sebagai seorang resepsionis klinik membuatnya terbiasa mengangkat telfon tanpa perintah Malena, dan pada deringan ketiga dia mengangkat telfon tersebut.

"halo, selamat siang. Kediaman dokter malena, dengan andira disini. Saya berbicara dengan siapa?" dengan kalimat template khas klinik ketika dia biasanya menyapa penelfon, tetapi tidak ada balasan dari seberang.

Padahal melihat dari interkom, panggilan masih berlangsung.

"halo, dengan andira disini. Ada yang bisa saya bantu?".

Tetap saja tidak ada balasan, dan itu membuat rautnya berubah heran. Bahkan suara nafas si penelfon pun tidak terdengar, semakin membuatnya gugup diantara keheranan entah kenapa.

"halo? Boleh saya tahu dengan siapa saya berbicara? Agar bisa saya sampaikan kepada dokter malena-".

Panggilan itu pun ditutup sepihak, dan semakin membuatnya dilanda kebingungan parah. Perlahan Dia mengembalikan gagang telfon pada tempatnya, lalu menoleh ke

arah lorong yang sepi, menandakan bahwa sesi konseling belum selesai. Dia yakin Malena mendengar suara telfon, tapi Dia tak bisa pergi ke sana jika tanpa informasi apapun dari si penelfon.

Drrrt!

Dia kembali berjengit terkejut karena suara getar smartphone di meja, segera dirinya mendekat untuk menyambar benda pipih tersebut karena sebuah pesan masuk. Pesan dari nomor kontak Malena yang membuatnya semakin terpaku, karena bersamaan dengan kembali berderingnya telfon rumah.

Kriiiiiiing!

(jangan diangkat)

Bukan dirinya yang di telfon, tetapi rasanya seperti dirinya yang diteror. Dan Dia sejenak terpaku menatap horor telfon yang berdering sembari menggenggam kuat smartphonenya, Dia yakin Malena mengatakan itu karena suatu alasan. Sementara di ruangan konseling yang tenang namun tidak sunyi, karena suara metronom yang mengetuk setiap saat. Malena berdiri di hadapan nakas tempat telfon rumah tengah berdering, hanya menatap datar tanpa segurat pun emosi tergambar.

Sedangkan Saras tenang berbaring di kursi khusus dalam keadaan tak sadarkan diri, sebab sebelumnya Ia sengaja menggunakan Hypnotherapy untuk membuat Saras berada di alam bawah sadarnya sejenak setelah diskusi singkat.

Pada deringan kelima, baru Ia mengangkat panggilan tersebut. Namun tidak seperti Andira yang dengan tenang dan ramah menyapa si penelfon, Ia memilih untuk tidak bersuara sedikitpun seperti yang dilakukan Andira.

Ia hanya diam, berdiri tenang dan mendengarkan dengan seksama suara sekecil apapun dari seberang. Sementara suara detik metronom beradu di ruangan, netranya bergerak untuk menatap pantulan bayangan diri di kaca figura lukisan di hadapannya.

Beberapa menit terlewat dan tidak ada satu pun yang berbicara, Malena yakin Andira tidak mungkin mengangkat telfon di luar sana hanya karena penasaran.

*kamu punya pasien?*.

Akhirnya suara berat yang monoton itu menyapa rungunya, membuatnya setenang mungkin menghela nafas.

"iya. Dan Kamu membuat perawat asisten saya takut sebelumnya".

Ghani pasti mendengar suara detik metronom di latar belakangnya dari seberang sana, sebab keheningan yang cukup lama itu menemani keduanya. Ia memang sudah menebak bahwa si penelfon adalah Ghani, karena hanya pria itu sana yang akan mengganggunya dengan cara baru, mungkin untuk mengetes dirinya. Bagaimana Ia bisa seyakin itu?

Meskipun tahu Adnan masih berusaha menjangkaunya, tetapi Ia tahu Adnan bukanlah tipe yang akan menghubunginya untuk gangguan basa-basi seperti itu. Lagipula, mengetahui alamat rumah dan nomor telefon rumahnya adalah hal musthail untuk di dapat jika bukan salah seorang pasiennya.

*karena bukan dia yang saya harap angkat panggilan ini*.

Kepalanya menoleh sebahu, untuk melihat Saras yang masih tidak sadarkan diri.

"saya belum ada waktu. Masih sibuk dengan pekerjaan" tetap suaranya dipelankan, tapi tegas agar Ghani tahu dirinya tidak bisa berlama.

Juga Ia tahu apa alasan pria itu menelfonnya, dan tidak lagi begitu penasaran bagaimana Ghani bisa mendapatkan nomor telfon rumahnya meski itu bersifat rahasia

karena memang hanya para pasien pribadinya saja yang mengetahuinya.

*saya tahu. Hanya mau memastikan kamu emang ngga sendirian di

rumah*.

Bisa Ia bayangkan bagaimana sikap dan raut pongah pria itu di seberang sana, dengan senyum miring seperti ketika mereka berbincang. Mungkin Ghani tengah berada di pendopo karena tidak terdengar suara orang lain. Mungkin pria itu tengah mengamati karya seni pajangan yang ada. Mungkin tengah mengamati orang-orang dengan teleskop miliknya. Masih dengan gaya sederhananya, kaos polos atau oblong dan celana dungarees denim itu, surai arangnya yang berantakan mungkin saja diikat seperti kemarin, atau dibiarkan tergerai bebas dengan bekas usakkan jemari.

Seketika Ia tersentak sadar dari lamunan soal itu, baru menyadari tendensi Ghani sudah seperti seorang penguntit yang mulai meneror kehidupannya.

"saya ngga akan selalu sendirian".

Menyadari kenapa dirinya malah membayangkan tentang bagaimana pria itu ketika berada di Semestanya, yang menarik tapi penuh hal mencurigakan. Apalagi baru semalam dirinya bermimpi lagi soal pria itu yang kembali menerornya, dan panggilan yang berlangsung terkesan seperti sebelumnya ketika ia bermimpi buruk dan memutuskan mendatangi tempat sang empu untuk mengkonfrontasi ketidaknyamanannya. Kenapa semua serba kebetulan, kebetulan Ia bermimpi dan hanya

Ghani sendirilah obat penawarnya.

*ya ya. Bagaimana kalo kapan-kapan kita makan siang?*.

Tangannya yang bebas bergerak naik untuk meremat sikunya, begitu juga dengan dagu yang dinaikkan hingga pantulan wajah pongahnya tertampil.

"saya jarang keluar kalo hanya untuk makan" jelas itu sebuah penolakan.

*well, saya dengan senang hati akan datang ke sana kalo kamu kebetulan masak banyak*.

Semakin lama rasa Ia ini menyita waktunya, kepalanya menengok lagi ke Saras yang mulai bergerak tidak nyaman di pembaringannya. "saya masih ada pekerjaan. Maaf tidak bisa mengobrol lama".

Namun belum sempat Ia menutup panggilan,

*dokter malena*.

Tegas Ghani cepat menahannya, memaksanya untuk mendekatkan kembali gagang telfon ke telinga. Dan seperti Ghani tahu itu akan terjadi, Dia baru bersuara setelahnya.

*kalo tujuan saya ke sana sebenarnya untuk konseling juga? Boleh masukkan saya ke jadwal pribadi anda?*.

Ada jeda diantara hening karena Ia tengah berpikir, juga bertepatan dengan sebuah klakson berbunyi dari luar terdengar samar. Pasien lain sudah datang dan Saras belum menerima pengobatannya dengan benar, dan Ia yakin Ghani pasti mendengar

itu meski begitu jauh dan samar.

"asisten perawat saya akan menghubungi kamu kalo saya ada waktu. Selamat siang" tegasnya pelan, lalu menaruh kembali gagang telepon sedikit kasar.

***

Malam kembali menyingsing, setelah seharian bekerja menghadapi 3 pasien yang menyita waktu hingga menjelang malam. Andira ijin pulang dengan dijemput oleh tunangannya, dan sempat sedikit menceritakan soal kegugupannya akibat telfon dari

Ghani sebelumnya kepada Malena. Itu benar, Andira langsung mengutarakan perasaannya yang tidak benar terhadap Ghani, apalagi ketika Malena memintanya untuk mengatur jadwal karena pria itu akan dimasukkan ke salah satunya.

Andira jelas sempat terkejut, mendadak sungkan dan tidak enak karena sudah

berprasangka buruk. Dia tak menyangka karena ternyata Ghani juga ingin menjadi pasien Malena, dan itu membuatnya berpikir bahwa telfon yang Ghani lakukan bertujuan untuk membincangkan soal hal tersebut, tetapi hanya malu atau ragu jika tidak

berbicara langsung dengan dokter yang bersangkutan. Dan Malena tidak menanggapi buruk soal prasangka tersebut, Ia paham karena sikap Ghani memang membuat orang lain akan berpikir mengenainya.

Satu hal yang dirinya perhatikan, sesuai perkataan Hanan terhadapnya. Ia duduk sendirian di kursi meja makan, menyantap hidangan sederhana yang dibuat oleh dirinya sendiri. Di sela mengunyah yang lama, kembali dirinya berlarut dalam lamunan. Memikirkan tentang hidupnya yang hampir selama bertahun-tahun selalu sendirian, sendirian dalam artian benar-benar selalu sendirian tanpa sanak keluarga satu pun,

atau pasangan, atau seorang sahabat. Mba Kanya bukan termasuk sahabat bagi dirinya, mba Kanya hanya sebatas teman dekat dan partner dalam pekerjaan. Itu memang terkesan dirinya terlalu memberi batasan, meski mba Kanya tahu cukup banyak mengenai kehidupannya, mba Kanya tidak pernah diijinkan untuk ikut campur

dan wanita itu hanya bisa menuruti pilihan tersebut.

Sejak kematian Ibu dan Ayahnya, Ia dimasukkan ke sekolah asrama khusus perempuan oleh bibinya atau kakak sepupu pertama dari pihak ibunya. Itu dilakukan karena dirinya tahu, tidak ada seorang pun yang mau mengasuhnya atau menjadi wali tetapnya.

Ia sering mengalami perundungan dari teman-teman kelasnya, karena seorang yatim piatu. Tapi Ia tak pernah mau menanggapinya, apalagi Ia termasuk siswi pintar seantero sekolah pada masa itu.

Lalu ketika lulus SMA, Ia memilih untuk melanjutkan kuliah ke Amsterdam dengan bantuan beasiswa dan bekerja paruh waktu di banyak tempat. Tipikal mahasiswa sibuk di keseharian sampai-sampai tidak punya waktu untuk sekedar keluar dan bersantai dengan teman, bahkan tidak pernah ingin berurusan dengan hal-hal berbau percintaan. Sebisa mungkin Ia menghindarinya.

Jika ditanya, apa Ia pernah jatuh cinta? Atau menyukai seseorang? Atau tertarik kepada seseorang? Tentu saja jawabannya, tentu saja. Dirinya pernah menyukai seseorang, mulai dari sebatas kagum hingga cemburu karena melihat orang yang disukainya berakhir memiliki pasangan. Tapi Ia datang ke sana untuk mengejar pendidikan, mengejar cita-citanya. Ia tak ada waktu untuk ber melankoli seperti gadis-gadis pada umumnya

yang akan teralihkan dari tujuan utama mereka. Ia memiliki pendirian yang kuat, dengan itu ambisi yang membawanya pada jenjang kesuksesan. Kasarnya, Ia mengorbankan masa mudanya untuk sebuah kesuksesan yang selalu di damba banyak orang.

Dalam pandangan orang-orang selalu menilainya, Ia punya otak yang cerdas, karir yang cemerlang dan gelar terhormat di usia yang masih tergolong sangat muda, paras cantik yang lembut nan anggun meski kerap dianggap terlalu kaku dan datar. Tetapi itu

tidak cukup membuat orang-orang berhenti merecoki pribadinya yang masih sendiri. Pun dirinya tidak ingin banyak bicara untuk membela dirinya, tetap sendiri hingga kini memang adalah pilihannya. Namun tidak ada satupun yang mengerti, membuatnya jengah dan hanya akan berlalu jika dirinya mulai digurui oleh mereka para dokter berkeluarga. Tidak termasuk mba Kanya. Bukan juga sekali-dua kali dirinya dijodohkan dengan sanak keluarga para kenalannya, teman dari teman, atau bahkan beberapa pasien laki-laki pernah mencoba untuk merayunya. Ia tak bisa lebih menolak dengan kalimat paling sopan menggunakan kata dan gestur yang tidak sama sekali menyinggung perasaan mereka, tetapi manusia sejenis Adnan juga banyak.

Makan malam selesai, Ia beranjak membawa piring bekas makan dan segera mencucinya. Bersama dengan pemikiran soal Adnan yang sampai sekarang masih mencoba untuk menjangkaunya. Ada alasan kenapa Ia pindah dua kali dari klinik sebelumnya dan memilih menetap di klinik Metama yang notabene adalah sebuah

klinik kecil dan biasa saja, bukan klinik elit seperti sebelumnya tempat dirinya bekerja.

Adnan dahulu, merupakan adik kelasnya semasa SMA. Anak pendiam yang tidak banyak memiliki teman di kelas setahunya, dan bisa dibilang cupu. Dirinya dulu sering mengikuti olimpiade matematika dan sains melawan banyak sekolah hingga ke tingkat

nasional, individu maupun tim, dan Adnan pernah menjadi salah satu anggota dalam tim lomba olimpiade bersamanya dan dua anggota dari kelas berbeda. Sebenarnya, Adnan dulu tidak terkesan memiliki tendensi menyukainya, interaksi mereka juga biasa saja dan normal seperti adik kelas yang hormat kepada kakak kelas, terutama karena mereka sering belajar bersama sebelum mengikuti lomba. Namun hanya sebatas itu saja

kedekatan mereka, hanya jika ada perlombaan akademis. Adnan juga tidak banyak bicara dan bersikap canggung, pun dirinya meski tanpa kecanggungan.

Dan ketika lulus Ia pergi ke Amsterdam, satu tahun berikutnya, Adnan juga datang ke sana. Di universitas yang sama dengannya namun mengambil jurusan ekonomi bisnis. Mulai saat itu Adnan selalu mencoba untuk selalu dekat dengannya, dalam ranah

pertemanan karena berhubung sebelumnya mereka satu sekolah di SMA dan saling kenal. Tetapi semakin lama, tendensi Adnan dalam mendekatinya mulai melangkah semakin jauh. Adnan sendiri telah banyak berubah, hanya dalam kurun waktu sangat singkat. Mulai dari sifatnya yang lebih terbuka dan mudah bergaul sehingga Dia jadi memiliki banyak teman relasi, juga perubahan pada fisiknya yang jadi lebih bersih, rapi dan bergaya cukup modis.

Ia merasa kurang nyaman dengan semua perlakuan Adnan terhadapnya, terlebih lagi perhatian Adnan yang notabene dilakukan karena sejelas itu ingin mendapatkannya. Adnan adalah yang paling sering mendapat penolakannya, tapi pria itu tidak pernah menyerah, belum. Hingga suatu hari Adnan mulai terlalu jauh dalam berucap.

*aku ngga masalah kalo emang kamu belum mau nerima aku. Tapi asal kamu tahu malena, meskipun nanti kalo aku sudah menikah, harus kamu ingat kalo perempuan yang aku cinta satu-satunya itu cuma kamu*.

Pernyataan yang tidak terlalu mengejutkan bagi dirinya, Adnan tidak lebih daripada seorang dengan obsesi terhadapnya. Meskipun Adnan tidak sampai pada batasan tidak normal, karena dirinya pun tidak pernah ingin menerima perhatian atau perilaku yang terlalu jauh ketika mengenal seseorang, itu dilakukan untuk membuatnya tetap aman.

Hal terakhir yang Adnan katakan padanya, adalah yang paling memicu emosinya. Ketika Ia berpamit kepada Ghani di pertemuan tidak sengaja mereka untuk menemui seseorang, Ia memiliki janji makan malam bersama pria itu yang lagi-lagi berbicara soal

ingin bersamanya. Namun Ia tetap menolak, tetap pada pendiriannya bahwa Adnan tidak pantas untuknya. Adnan mungkin terkesan seperti pria jantan yang baik, royal, dan perhatian, tetapi Ia cukup mengenal reputasi Adnan selama berada di Amsterdam.

Pria itu sangat kacau, dan mba Kanya juga mengetahuinya, itu sebabnya mba Kanya sendiri sangat anti terhadap Adnan dan sering ikut membela maupun melindunginya.

*kamu dan ego kamu suatu saat nanti akan membuat kamu mengalami kesulitan sendiri. Kamu akan tahu bagaimana rasa penyesalan saat kamu mati dalam kesendirian. Ngga heran kenapa sanak keluarga kamu ngga mau berurusan lagi dengan orang sombong seperti kamu, dan sengaja ngebuang kamu sejak remaja. Termasuk ayah kamu*.

Dia tahu terlalu banyak, dan Ia membencinya. Bukankah kebencian sesuatu hal yang wajar? Bahkan dokter yang menyembuhkan mental seseorang pun dapat memakai perasaannya untuk membenci pekerjaannya, dan Ia menggunakan miliknya untuk

membenci orang-orang seperti Adnan. Ia dibenci oleh mereka yang dirinya tolak atau tidak mampu menyainginya, dan Ia balas dengan membenci mereka yang menyinggung kemanusiaannya, meski tidak pernah ditunjukkan kepada siapapun.

Ia kembali teringat, bahwa terlahir menjadi seorang wanita itu adalah benar-benar sebuah kesialan.