WebNovelWreckers50.00%

Bajak Laut

Pagi itu, embun belum sepenuhnya menguap dari padang rumput di utara. Angin bertiup pelan, membawa aroma basah tanah dan daun yang baru tersentuh cahaya pertama. Suara burung sesekali terdengar dari balik pepohonan jauh, namun di sini, hanya ada dua sosok yang duduk diam, satu tua, satu muda.

Harrys duduk bersila di atas rerumputan yang masih dingin, tangan mungilnya meremas helai rumput tanpa sadar. Di sampingnya, Gandalf berdiri memandangi langit yang cerah tanpa awan, seolah menanti sesuatu yang tak kunjung turun dari langit.

"Kakek, apakah kita akan selalu berlatih seperti ini?"

Pertanyaan itu meluncur pelan dari bibir Harrys, diselimuti napas yang masih lelah usai latihan subuh.

Gandalf tidak segera menjawab. Matanya tetap menatap ke langit timur yang perlahan berubah dari jingga ke biru pucat. Ada jeda dalam napasnya, seperti seseorang yang mendengar sesuatu jauh di luar suara Harrys.

"Tidak selamanya, Harrys," katanya akhirnya, suaranya dalam dan pelan.

"Akan tiba waktunya… ketika semua yang kau pelajari harus digunakan. Dan saat itu datang bukan dalam bentuk ujian, tapi pilihan. Dunia luar sini… jauh lebih keras dari semua latihan yang pernah kau jalani. Dan ia tidak menunggu orang yang belum siap."

Harrys menunduk. Tangannya berhenti meremas rumput. Kata-kata itu tak sepenuhnya ia pahami, tapi nada di dalamnya cukup untuk membuat dadanya terasa berat.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk kecil. Tak menjawab, tapi menerima.

Gandalf menoleh, menatap anak itu sebentar, dan di dalam tatapan itu, ada sesuatu yang tidak dikatakannya.

Satu tahun telah berlalu. Kini Harrys menginjak usia tiga belas tahun, dan tubuhnya telah jauh berbeda dari bocah kurus yang dahulu ditemukan di tengah puing-puing desa. Latihan brutal dari Gandalf, yang tak mengenal ampun siang maupun malam, telah membentuknya menjadi sosok yang sulit dipercaya masih berusia belasan.

Otot-otot di tubuhnya mengeras, terukir jelas di balik kulit yang penuh bekas luka dan kapalan. Dada bidang, punggung lebar, dan perut bersekat tajam memperlihatkan hasil tempaan fisik yang melewati batas manusia biasa. Urat-urat tangannya mencuat saat ia menarik sebuah batu raksasa sejauh 200 meter di medan berpasir, dengan keringat mengalir deras menyusuri tulangnya yang menegang.

Namun bukan hanya tubuhnya yang berubah. Keterampilan berpedangnya pun meningkat pesat. Setiap tebasan mengalir cepat, presisi, dan mematikan. Dan lebih dari itu, ia telah mulai menciptakan gaya bertarungnya sendiri, membentuk jurus-jurus berbasis elemen api yang muncul dari insting dan nalurinya, bukan dari buku ataupun ajaran sihir klasik.

Bocah itu kini bukan sekadar murid Gandalf. Ia adalah calon petarung sejati, dan bagi sebagian orang yang melihatnya berlatih, Harrys lebih menyerupai senjata hidup daripada anak usia tiga belas tahun.

"Hahah... lihatlah bocah itu," gumam Gandalf sembari duduk di atas batu besar di tepi arena latihan, kedua lengannya bersilang di dada, satu matanya menyipit menatap sosok Harrys dari kejauhan.

"Dia sudah berkembang pesat, lebih kuat dari siapa pun seusianya. Lihat cara dia menarik batu itu, seolah beban dunia bukan apa-apa baginya."

Gandalf tersenyum tipis, namun nada suaranya mengandung rasa kagum yang tulus, bercampur kekhawatiran tersembunyi.

"Aku tak pernah menyangka bocah lemah yang kutemukan di reruntuhan dulu bisa tumbuh secepat ini... Tapi kekuatannya bukan sekadar hasil latihan, ada sesuatu yang jauh lebih dalam pada dirinya. Api itu, bukan api biasa."

Beberapa anggota pasukan bayaran yang duduk di sekitar Gandalf ikut mengangguk, mengamati sosok Harrys yang masih terus menggerakkan tubuhnya tanpa henti, seolah rasa lelah tak pernah menjadi bagian dari kamus hidupnya.

"Ya, kau benar..." sahut Carl sambil tertawa kecil, kedua tangannya menyender santai di belakang kepala.

"Anak itu gila. Tahun lalu aku masih melihat dia menangis tiap malam, tubuhnya kurus seperti batang jagung."

Ia menunjuk ke arah Harrys yang sedang menarik batu besar dengan tubuh penuh keringat dan otot yang menegang seperti baja.

"Dan sekarang? Lihat dia. Sial, seperti monster. Aku yakin dia bisa membunuh tiga Orc sekaligus kalau diberi kesempatan. Mungkin lebih."

Carl menggeleng pelan, separuh kagum, separuh ngeri.

"Aku bahkan tidak yakin… apakah anak seusianya seharusnya bisa memiliki tubuh seperti itu," ujarnya dengan nada heran.

"Urat-urat di lengannya, bentuk punggung dan otot perutnya… Itu bukan tubuh anak berusia tiga belas tahun. Itu tubuh prajurit dewasa yang dibentuk oleh medan perang."

Ia menghela napas pelan, sorot matanya tetap tertuju pada Harrys yang terus berlatih tanpa sedikit pun menunjukkan rasa lelah.

"Entah itu bakat alami, atau… sesuatu yang lebih dari manusia biasa."

Gandalf melanjutkan, suaranya lebih pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Dia masih muda, dan dunia belum menunjukkan wajah aslinya. Tapi suatu hari nanti... mungkin, hanya dia satu-satunya harapan yang kita punya ketika neraka benar-benar turun ke dunia."

Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian latihannya, Harrys berjalan tertatih menuju tepi sungai. Cahaya matahari senja menari di kulitnya yang dibasahi keringat. Punggungnya berkilau, dadanya naik turun perlahan. Nafasnya belum sepenuhnya pulih, tapi langkahnya tetap stabil, seperti telah menjadi bagian dari tanah yang diinjaknya setiap hari.

Ia tiba di tepian, lalu berjongkok. Jemarinya menyentuh permukaan air yang dingin dan jernih. Ia menggenggamnya, lalu membasuh wajah berkali-kali. Sisa panas dari tubuhnya berpadu dengan suhu dingin dari sungai, menciptakan keseimbangan yang aneh namun menyegarkan.

Air itu tenang. Mengalir perlahan seperti dunia yang sedang berpikir.

Dari kejauhan, di atas bukit yang menghadap sungai, sosok Gandalf berdiri diam seperti patung batu tua yang menunggu dunia menghembuskan keputusan. Angin menerpa jubahnya dari samping, membuat siluet tubuhnya bergoyang ringan di tengah cahaya jingga.

Ia mengamati pemuda itu tanpa kata, seolah membaca lembaran-lembaran yang tak tertulis di punggung Harrys.

Setelah beberapa saat, ia mulai menuruni lereng bukit dengan langkah tenang. Tanah berumput menyerap suara sepatunya, namun ketegasan langkahnya tetap terasa.

Ia tidak memanggil, tidak menyapa. Ia hanya mendekat, hingga akhirnya berdiri di belakang Harrys yang masih membungkuk, membiarkan air menetes dari dagunya ke tanah.

"Bagaimana dengan latihanmu? Aku lihat kau sudah banyak berkembang," tanya Gandalf dengan suara dalam, hangat tapi tidak lembek.

Harrys tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan paru-parunya merasakan udara yang mulai berubah dingin. Lalu ia mengangkat wajahnya perlahan, tersenyum samar.

"Yah... seperti biasa, melelahkan. Tapi aku mulai terbiasa... bahkan mulai menikmati latihan gila yang kau berikan," ucapnya sambil mengelap wajah dengan tangan.

Gandalf duduk perlahan di tepi sungai, lututnya ditekuk. Ia meraih batu kecil lalu melemparkannya ke permukaan air. Riak pun memantul tiga kali sebelum tenggelam ke dasar.

"Menikmati latihan gila, ya?" gumamnya.

"Kau tahu, tidak banyak anak seusiamu yang bisa berkata seperti itu tanpa mengeluh."

Harrys tertawa kecil. Tawa yang pendek tapi jujur.

"Yah, aku rasa itu karena aku tidak punya pilihan lain. Kalau aku lemah, aku tidak akan bisa melindungi siapa pun... terutama adikku."

Mata Gandalf beralih ke air. Ia melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain di dalam riak itu. Mungkin masa lalu. Mungkin bayangan dari murid-murid yang dulu hilang sebelum waktunya.

"Kekuatan yang tumbuh dari rasa kehilangan... sering kali lebih tajam dari pedang mana pun," gumamnya.

"Tapi ingat, Nak. Kekuatan sejati bukan hanya soal otot atau sihir. Kadang, kekuatan itu adalah memilih untuk tetap berdiri… saat dunia memaksamu untuk jatuh."

Kalimat itu jatuh seperti batu ke dasar sungai, sunyi tapi menimbulkan gelombang.

Harrys menunduk. Wajahnya tak lagi menatap air, tapi bayangan dari dalam pikirannya sendiri.

"Aku masih sering memikirkannya, Kek... tentang hari itu. Kalau saja aku lebih kuat... mungkin aku bisa menyelamatkan Ayah, Ibu, dan... Aldric."

Gandalf menarik napas panjang. Udara senja masuk ke dalam dadanya, bercampur dengan luka lama yang belum sepenuhnya pulih.

"Penyesalan adalah bagian dari hidup," ujarnya pelan.

"Tapi jika kau tinggal di dalamnya terlalu lama, itu akan membusuk seperti luka yang tak pernah dibersihkan. Tumbuhlah dari luka itu. Jangan tenggelam di dalamnya."

Harrys memejamkan mata sesaat, lalu membuka kembali.

"Jadi..." bisiknya.

"Bagaimana caranya menjadi kuat? Maksudku... benar-benar kuat. Bukan cuma soal bertarung, tapi kuat seperti... tak tergoyahkan."

Gandalf memandangi cakrawala. Jingga senja mulai berubah menjadi ungu kelam.

"Pertanyaan itu sulit, bahkan untuk orang tua sepertiku. Tapi kalau boleh jujur... kekuatan yang tak tergoyahkan bukan soal menghancurkan lawan. Tapi tentang mengendalikan dirimu sendiri."

"Mengendalikan... diri?" tanya Harrys.

Nada suaranya ragu, seperti seseorang yang ingin percaya tapi belum menemukan caranya.

"Orang lemah bisa membunuh karena marah. Tapi hanya orang kuat yang bisa memaafkan, bahkan saat hatinya hancur," jawab Gandalf.

"Kau ingin kuat, Harrys? Maka kuasailah dirimu. Kendalikan amarahmu. Jangan padamkan, tapi arahkan."

Harrys mengangguk pelan. Ada sesuatu yang berubah di sorot matanya, sebuah nyala kecil, tenang tapi hidup.

"Aku akan mengingatnya."

Gandalf bangkit, menepuk celananya dari debu rumput.

"Dan satu hal lagi. Dunia ini bukan tempat yang adil. Tapi itu bukan alasan untuk menjadi kejam. Jadi kuat bukan berarti kehilangan nurani."

Ia menatap ke arah aliran sungai.

"Dunia ini seperti sungai. Ia terus mengalir, membawa apa saja yang jatuh ke dalamnya, luka, harapan, bahkan bangkai masa lalu. Tapi sungai tak pernah berhenti. Dan begitu juga kita."

Harrys tersenyum kecil, tipis dan lelah.

"Kau selalu pakai perumpamaan aneh, Pak Tua."

"Dan kau selalu mengerti maksudnya," jawab Gandalf.

"Itulah kenapa aku bicara padamu, bukan hanya mengajarmu."

Harrys menarik lutut ke dada, memeluknya, menatap jauh ke arah barat.

"Kadang aku merasa... seperti air sungai itu. Mengalir, tapi tak tahu ke mana. Aku terus berlatih, terus memaksakan diriku sampai hampir tumbang… tapi tetap saja aku merasa belum cukup."

Gandalf menoleh ke arahnya.

"Itu karena kau belum memaafkan dirimu sendiri."

Harrys terdiam. Dunia seperti menahan napas bersamanya.

"Kau pikir kekuatan datang dari otot yang keras, dari jurus api yang memukau, atau dari mengalahkan musuh dengan gemilang? Itu hanya permukaannya. Kekuatan sejati itu... diam. Dingin. Tenang. Seperti baja yang ditempa berkali-kali, bukan besi yang dibakar sekali lalu hancur."

Harrys mengepalkan tangannya.

"Aku ingin menjadi seperti itu. Ditempa, bukan dibakar. Aku ingin kuat bukan karena aku marah… tapi karena aku harus. Karena aku ingin menjemput adikku sendiri. Aku tidak akan membiarkan siapa pun lagi hilang... seperti Ayah dan Ibu."

Gandalf menepuk bahunya, lembut dan berat sekaligus.

"Itu jawaban paling jujur yang pernah kau ucapkan. Dan karena itu, kau akan menjadi kuat. Tapi ingat satu hal..."

"Apa?"

"Jangan biarkan kekuatan membuatmu melupakan kelembutan. Dunia akan mengeraskanmu. Akan memaksamu menjadi batu. Tapi yang menjadikanmu manusia... bukan seberapa keras kau bertarung. Tapi seberapa keras kau tetap peduli."

Harrys menunduk, memejamkan mata.

"Aku takut, Gandalf."

"Takut apa?" ujar Gandalf.

"Takut... kehilangan kendali. Takut jadi seperti mereka. Pembunuh. Monster. Api ini kadang terasa hidup. Seperti ada sesuatu yang mengintai dari dalam dadaku."

Gandalf menatapnya dalam-dalam.

"Itu karena kau menyimpan terlalu banyak rasa bersalah. Belajarlah berdamai dengan masa lalu. Bukan untuk melupakannya... tapi untuk menjadikannya bahan bakar."

"Membakar tanpa hancur..." bisik Harrys.

"Dan menyala tanpa membutakan diri sendiri."

Langit gelap mulai turun. Burung malam mulai bersuara. Kabut tipis mulai merayap dari sungai ke daratan.

"Kau tahu, Kek..." Harrys mengangkat kepalanya, menatap langit.

"Kadang aku merasa... bertemu denganmu bukan kebetulan."

Gandalf tersenyum, pelan.

"Tidak ada yang benar-benar kebetulan, Nak. Takdir memang kejam. Tapi kadang... ia juga tahu caranya bercanda."

Mereka tertawa kecil bersama. Sunyi kembali turun setelah itu, tapi bukan sunyi yang menakutkan. Sunyi yang... nyaman.

"Besok pagi, kita lanjutkan latihan," ujar Gandalf sambil berdiri dan membenahi ikat pinggangnya.

"Dan mungkin… sudah waktunya kau belajar sesuatu yang lebih dari sekadar mengayun pedang."

"Maksudmu apa?" tanya Harrys, menoleh.

"Besok kau akan tahu."

Ia melangkah menjauh, lalu berhenti sejenak.

"Sekarang, istirahatlah. Dunia tidak akan runtuh malam ini. Tapi kalau kau lengah... mungkin kaulah yang akan runtuh."

Harrys tersenyum, lalu ikut berdiri.

Ia menatap ke arah perkemahan. Cahaya unggun mulai tampak, dan bayangan tenda-tenda menari di bawah langit malam.

Namun di dalam dirinya, di dada yang sempat diguncang oleh masa lalu, sebuah api lain menyala.

Tenang. Dalam.

Dan kali ini, bukan untuk membakar dunia… tapi untuk menuntunnya.

Esok paginya, dengan cahaya lembut menyapu pucuk pepohonan dan menyusup di antara kabut tipis yang belum mau terangkat. Embun masih menggantung di ujung dedaunan, membiaskan kilau keperakan saat disentuh sinar pagi.

Lapangan latihan masih kosong. Sepi. Tapi keheningan itu bukan ketenangan, melainkan sunyi yang menyimpan dentingan waktu menuju sesuatu yang tak terhindarkan.

Harrys berdiri di tengah tanah yang biasa ia pijak untuk melatih tubuhnya, tapi pagi ini terasa berbeda. Angin bertiup lambat, namun membawa hawa tegang. Udara seolah menahan napas. Burung pun enggan bersuara.

Ia mengenakan pakaian latihannya seperti biasa, tapi tubuhnya sedikit lebih tegap, sedikit lebih padat dari beberapa bulan lalu. Tahun telah menempanya. Keringat, luka, dan malam-malam panjang telah mengubah sorot matanya, namun ada bagian di dalam dirinya yang masih belum teruji.

Dan ia tahu… hari ini akan berbeda.

Langkah berat terdengar dari arah belakang. Tidak tergesa, tapi mantap. Tanah di bawah kaki bergemuruh pelan seiring kedatangannya.

Gandalf muncul dari balik kabut yang mulai menipis, mengenakan jubah kelam dan membawa dua tongkat kayu panjang di tangannya, senjata latihan yang telah mereka pakai ratusan kali.

Tanpa satu kata pun, ia melemparkan salah satunya ke depan Harrys. Tongkat itu jatuh tegak, menancap ringan ke tanah seperti tombak yang tertancap di medan perang.

"Ambil."

Suara itu datar, tapi tidak kosong. Ada tekanan halus di dalamnya. Perintah, bukan ajakan.

Harrys menatap tongkat itu sejenak. Detik terasa melambat. Angin menyapu rambutnya. Ia meraih kayu itu perlahan, bukan dengan ragu, tapi dengan rasa hormat yang ia sendiri tidak sepenuhnya pahami.

"Apakah latihan mengayunkan pedang seperti biasa, Kek?" tanyanya akhirnya. Suaranya stabil, meski ia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.

Gandalf tidak menjawab.

Ia hanya melangkah ke posisi, kaki kirinya maju sedikit, tangan kanannya memegang tongkat. Satu tangan lainnya disembunyikan di balik punggung. Matanya menatap tajam, seolah menembus kulit luar Harrys dan langsung membaca isi dadanya.

"Hari ini aku tidak akan melatihmu," katanya pelan namun jelas.

"Hari ini aku akan melawanmu."

Harrys menelan ludah. Tidak sepenuhnya takut, tapi cukup sadar siapa yang berdiri di hadapannya.

"Kenapa!?"

"Karena hanya di ujung kelelahan dan rasa takut… seseorang bisa melihat siapa dirinya sebenarnya."

Angin mendadak berhenti.

Tidak ada suara lain. Hanya detak jantung, dan langkah waktu yang terasa lebih berat.

"Siapkan dirimu."

Harrys menarik napas panjang, menahan udara di dadanya, lalu perlahan melepasnya. Tangannya menggenggam tongkat dengan lebih erat. Ia tahu, tubuhnya belum tentu menang hari ini. Tapi kehendaknya tidak boleh mundur.

Tak ada aba-aba.

Tak ada isyarat. Tak ada kata peringatan. Tak ada suara untuk menandai permulaan.

Gandalf menyerang lebih dulu.

Begitu tiba-tiba, begitu meledak, seolah dunia lupa memberi Harrys waktu untuk bersiap. Serangan pertama datang bukan karena kecepatannya, tapi karena kekejamannya. Seperti mimpi buruk yang menyergap di tengah kesadaran.

Tongkat kayu menghantam sisi kepalanya.

Bukk!

Suara itu seperti kayu menghantam batu. Dunia berputar sejenak. Tapi belum sempat Harrys jatuh, sabetan itu memantul ke bahunya, lalu menyapu kakinya dalam gerakan menyilang yang sempurna, liar tapi presisi, indah tapi mematikan.

Tubuhnya limbung.

Lututnya nyaris menyentuh tanah.

Namun entah bagaimana, kakinya menahan. Lutut yang seharusnya roboh, terkunci paksa oleh naluri bertahan hidup. Ototnya gemetar, tangan kirinya refleks menyentuh tanah. Tapi ia berdiri.

Masih berdiri.

Napasnya tersendat. Tapi matanya tetap menatap ke depan.

"Ugh…"

Tubuhnya belum sempat menyesuaikan diri, saat serangan berikutnya datang seperti tsunami kedua.

Kali ini ke rusuk. Gandalf mendaratkan sebuah pukulan tepat di sisi kanan. Suara benturan itu membuat udara di paru-parunya hilang seketika. Ia membungkuk, menahan nyeri yang terasa seperti pisau yang diputar perlahan dari dalam.

Tongkat kayunya bergetar hebat. Hampir terlepas. Tapi genggamannya menguat. Ia tidak akan melepaskan senjatanya. Karena jika tongkat itu jatuh, maka seluruh latihannya selama ini menjadi sia-sia.

Ia maju.

Satu langkah. Lalu dua. Dengan otot-otot yang tegang karena nyeri, dengan dada yang belum bisa menarik napas penuh. Tapi ia tetap melangkah.

Gandalf terus menekan.

Tidak seperti guru.

Tapi seperti dewa perang yang sedang menguji ciptaannya sendiri.

Setiap gerakannya presisi. Tidak ada sabetan yang sia-sia. Tidak ada pukulan yang setengah hati. Semua seperti telah dirancang untuk menghukum dan membentuk.

Setiap langkahnya seperti keputusan.

Setiap gerakan seperti kalimat dalam kitab kuno.

Dan setiap sabetan… adalah ayat penderitaan.

Harrys melawan.

Ia tak tinggal diam. Meski tubuhnya menjerit, meski kepalanya pening, ia membalas. Seluruh teknik yang ia latih selama satu tahun dalam hujan, dalam malam, dalam ketakutan dan rasa gagal, ia keluarkan.

Sabetan ke kiri. Tusukan cepat ke tengah. Putaran ke kanan.

Namun Gandalf seperti pembaca yang telah khatam ratusan kali.

Ia membaca gerakan itu seperti membaca tulisan besar di langit sore. Bahkan sebelum Harrys menyelesaikan ayunan, Gandalf sudah tahu ke mana arah langkahnya, di mana titik lemahnya.

Dan saat satu hentakan keras menabrak dadanya...

"GUHH!"

Gegala tenaga terasa keluar dari tubuhnya. Ia terhempas. Terpental ke belakang. Tubuhnya berguling tiga kali di tanah, seperti karung gandum dilempar keluar dari kereta.

Debu naik tinggi. Tanah memeluknya dengan keras. Tapi ia... bangkit.

Terbatuk. Darah sedikit keluar dari mulutnya. Tapi ia bangkit.

Dengan satu lutut. Lalu berdiri perlahan.

Nafasnya compang-camping. Tapi matanya tetap menatap Gandalf dengan sejenis tekad yang aneh, bukan sombong, bukan keras kepala, melainkan nyala yang belum padam.

"Bagus."

Gandalf maju.

Dan kali ini... ia tidak menahan diri.

Bentrokan berikutnya bukan pertarungan.

Itu badai.

Kayu menghantam kayu. Suaranya menggema seperti palu menempa logam panas. Udara penuh suara letupan dan desis gesekan cepat. Suara keras, suara luka.

Tulang membentur tulang. Daging beradu dengan kekuatan.

Peluh menyatu dengan tanah.

Darah menetes ke lumpur.

Harrys bertahan sebisanya.

Menangkis, menunduk, menyerap pukulan. Sesekali menyerang, tapi ia lebih banyak menerima. Bahu, paha, lengan, rusuk, pinggang, semua sudah merah membiru.

Tapi ia belum jatuh.

Ia belum menyerah.

Hingga akhirnya...

CRACK!

Kedua tongkat patah bersamaan. Serempak. Tanpa aba-aba.

Potongannya terlempar ke udara.

Dan seperti telah mereka janjikan diam-diam: tak ada waktu untuk jeda. Tak ada isyarat bahwa sesi latihan telah usai.

Gandalf melempar potongan tongkatnya.

Harrys juga.

Kini mereka bukan lagi petarung bersenjata. Mereka adalah makhluk purba yang dipaksa bertarung dengan apa pun yang dimiliki: tubuh, naluri, tekad, dan amarah.

Harrys maju.

Tinju meledak bertubi-tubi. Tendangan cepat menyambar. Sikut menghantam sisi leher. Elbow smash diarahkan ke rahang. Ia bergerak seperti api liar yang tak terkendali.

Membakar. Menyambar. Menyiksa.

Tapi Gandalf...

Dia seperti gunung.

Ia tak tergoyahkan. Ia memutar, menahan, membalas dengan presisi mengerikan.

"TAM!" Tinju menghantam ulu hati.

"DUAK!" Sikut menyambar dada.

"BRAKK!" Tendangan menyapu kaki.

Harrys jatuh.

Tapi dengan darah di bibir dan kaki gemetar, ia kembali berdiri.

Tangannya mengepal.

Ia menggigit lidahnya.

Merasa asin. Panas.

Dan ia menerjang.

Tinju kanan menghantam rahang Gandalf...

Tendangan menyusul ke lambung...

Lalu...

Setetes darah jatuh dari dahi Gandalf.

Perlahan. Tanpa suara.

Menetes di antara napas yang berat.

Harrys berdiri mematung. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena kesadaran yang baru saja lahir, ia berhasil menyentuh sang pemimpin tentara bayaran. Untuk pertama kalinya.

Sementara Gandalf tetap diam.

Ia menyentuh pelipisnya, menatap ujung jarinya yang kini diwarnai merah tua.

Mata tuanya tidak marah.

Tapi tidak juga tersenyum.

Ia hanya… mengingat.

Seakan warna merah itu membawanya kembali pada sesuatu yang jauh. Sesuatu yang telah lama terkubur di balik keteguhan dan waktu. Entah itu pertempuran, atau kehilangan. Mungkin keduanya.

Udara sejenak menjadi berat.

Langit tidak berubah, tapi cahaya matahari terasa redup, seolah waktu ikut menahan napas bersama mereka.

Harrys mengatur napasnya. Peluh bercucuran dari dagunya. Tulang keringnya nyeri. Dadanya nyaris roboh. Tapi di balik semua itu, ada bara kecil yang belum padam. Ia sudah sampai sejauh ini. Setahun latihan. Ribuan hantaman. Dan hari ini, ia berhasil membuat Gandalf berdarah.

Namun...

Senyum tipis muncul di wajah Gandalf.

Bukan senyum bangga, bukan pula senyum hormat.

Hening.

Yang terdengar hanya napas mereka, panjang, berat, namun stabil. Mata mereka saling menatap. Dunia seolah membeku.

Gandalf mendongak. Matanya tak lagi dingin.

Namun senyum itu lenyap seketika.

"Bagus… dengan begitu, aku bisa membuka sedikit gerbang dari kekuatanku." katanya pelan. Suara yang rendah, tapi dalam.

Harrys mengerutkan dahi.

Mulutnya setengah terbuka.

Ia ingin bertanya, ingin tahu maksudnya. Tapi tubuhnya tahu lebih dulu daripada pikirannya.

Langit perlahan berubah menjadi gelap. Angin berhenti. Udara menjadi pekat, seperti disesaki kekuatan yang tak kasat mata.

ZzzrTTTTT!!

Suara listrik meledak dari tubuh Gandalf. Tapi bukan hanya suara, ada denting di baliknya. Seperti senjata diseret dalam batin.

Aura Gandalf berubah.

Petir melingkari tubuhnya perlahan.

Bukan meledak, bukan menyambar liar, tapi tumbuh, seolah bangkit dari dasar tulang belulangnya. Cahaya itu bukan sekadar energi, melainkan semacam kekuatan yang terbangun, merambat naik lewat nadi dan sendi.

Kilatan kecil mulai berdenyut di sekujur tubuhnya, seperti urat-urat bercahaya yang menyala dari dalam kulitnya sendiri.

Dari ujung jemari, menyusuri lengan, merambat ke bahu, lalu mengitari dada dan punggung, membentuk pola tak beraturan yang hidup. Seolah tubuh Gandalf bukan lagi sekadar daging dan darah, tapi sarang bagi sesuatu yang lebih tua, lebih liar.

Udara mengeluarkan suara mendesis.

Bukan desis biasa, tapi seperti bisikan dari logam panas yang dicelupkan ke dalam air es. Tajam, menusuk telinga. Getarannya terasa di tengkuk, menggores udara seperti bilah tipis tak terlihat.

Harrys membeku.

Lututnya ingin goyah.

Tapi tidak bisa. Karena otaknya belum mampu memproses apa yang dilihatnya.

"Apa ini...?" pikirnya.

Tubuh Gandalf kini diselubungi kilat putih-kuning yang tak membakar, tapi menyengat mata dan hati. Setiap geraknya menggetarkan udara, seolah tiap langkahnya menyayat dimensi.

Dan Harrys tahu...

Ia berdiri di hadapan sesuatu yang tidak bisa dikalahkan dengan tekad saja.

"Dia menyembunyikan ini... selama ini..."

"Aku tidak pernah tahu..."

"Jadi... ini kekuatan miliknya?"

Gandalf tidak langsung bicara.

Ia membiarkan Harrys tenggelam dalam kekaguman dan ketakutan.

Biarkan nyala ini menggores memorinya. Biarkan anak itu tahu… bahwa kekuatan sejati bukan untuk dipamerkan, tapi untuk ditakuti.

"Ka-Kau... seorang elementalist…?" gumamnya.

Gandalf tidak menjawab segera. Ia hanya menatapnya. Tatapan tajam, dalam, penuh beban.

"Sudah waktunya kau tahu," suaranya bergema.

"Aku juga seorang elementalist, sama sepertimu Harrys. Dan sekarang... kau pun harus memilih."

Harrys mengerutkan kening, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

"Pilih… apa…?"

"Pilih untuk hidup… atau mati." jawaban singkat Gandalf.

"Memilih untuk membiarkan apimu terkubur, atau membakarnya, bahkan jika itu melukai dirimu sendiri."

ZRAAAAKK!

Petir menyambar ke belakang Gandalf. Sebongkah batu besar hancur jadi abu. Ledakan kecil menggetarkan tanah. Burung-burung beterbangan panik.

Harrys menoleh.

Matanya membelalak.

Jantungnya seolah berhenti.

"Dia bisa membunuhku... saat ini juga."

Gandalf berdiri diam.

Tak ada ekspresi keras.

Hanya... keheningan.

Lalu satu langkah maju.

Langkah terakhir.

"Gunakan apimu, Harrys," suaranya rendah, tegas, dan tak bisa ditolak.

"Atau kau akan dihancurkan oleh dunia... yang bahkan belum kau kenali."

Langit kelabu membungkus lapangan kosong dengan kesunyian yang berat. Kabut tipis belum terangkat sepenuhnya dari rerumputan basah, dan sisa embun di dedaunan memantulkan kilau samar cahaya pagi. Namun tak ada kedamaian pagi itu.

Gandalf Ashbourne. Harrys Scholtenberg.

Dan dunia menahan napas.

Tubuh Harrys berdiri goyah. Keringat mengalir dari pelipisnya, darah mengering di sudut bibir. Kedua tangan remaja itu terangkat, masih mengepal. Nafasnya berat, tapi matanya belum menyerah.

Gandalf hanya diam. Petir masih berdesis di sekitar tubuhnya, kilat putih menyala dari ujung jarinya, merambat ke bahu, lalu mengitari punggung. Aura yang membalutnya tampak hidup... bernapas, bergemuruh. Angin tak berani lewat di dekatnya.

Tadi adalah pertarungan tanpa elemen. Sekarang, segalanya berubah.

"Sudah waktunya kau kenali dirimu sendiri, Harrys," ucap Gandalf pelan, tapi suaranya menggema seperti guntur dalam dada.

Tanah di sekitarnya mulai retak halus, reremputan menghitam, dan udara mulai mengeluarkan bau logam. Gandalf mengangkat tangan.

ZzzRRRRTTTT!!

Petir menyambar dari tanah, bukan dari langit. Tubuh Gandalf diselubungi cahaya kilat. Aura putih mengelilinginya, dan tanah di bawah kakinya mulai memutih, seolah energi itu membakar dimensi realitas.

Harrys mundur selangkah, lalu berhenti.

Dadanya sesak. Bukan karena takut, tapi karena... tubuhnya merespons.

Sesuatu di dalamnya bergerak.

Perlahan, ia menunduk. Tangannya terangkat. Nyala kecil muncul dari telapak kanannya. Api, oranye kemerahan, tapi berubah menjadi kuning keemasan saat menyala lebih terang.

Harrys menjerit.

"RRRRAAGGHH!!"

Api itu meledak di lengannya.

Cahayanya menyala terang, menyusup lewat celah kulit. Bajunya hangus sebagian, rambutnya melayang, tersapu tekanan panas yang mendadak pecah dari tubuhnya.

Langkah pertama…

Harrys menjejak tanah, menciptakan ledakan kecil. Tubuhnya melesat ke depan, tinjunya menyala. Api menggelegar dari sikunya. Gandalf menyambut dengan satu ayunan tangan, petir dan api bertabrakan.

BOOOOMM!!!

Suara ledakan membelah kabut. Ledakan energi melemparkan mereka ke arah berlawanan. Tanah hangus terbakar. Batu pecah. Rerumputan musnah.

Harrys menggertakkan gigi, lalu menyerbu lagi. Tinju kanan, tendangan berputar, bola api kecil dari telapak kirinya. Gandalf menghindar, melompat mundur, lalu membalas dengan lemparan petir dari udara. Kilat menyambar pundak Harrys, membuat tubuhnya terguncang.

Tapi bocah itu tetap berdiri.

Matanya menyala seperti bara. Nafasnya berat, tapi langkahnya tak goyah. Ia menjejak tanah dan mengangkat kedua tangannya.

Tiga bola api muncul, satu demi satu, lalu mengorbit di sekitarnya.

Gandalf mendecak pelan.

"Kau bahkan belum tahu bagaimana cara berbicara pada apimu, tapi kau sudah meminta ia mengaum."

Harrys tak menjawab. Ia melemparkan satu bola api ke depan. Gandalf menepisnya. Dua sisanya meluncur dari sisi kiri dan kanan. Gandalf menunduk, lalu melompat tinggi. Tubuhnya berputar di udara.

Petir muncul dari telapak tangannya.

Ia menghantam tanah seperti meteor.

ZRRRAAAKKK!!!

Gelombang kejut menghancurkan permukaan lapangan. Tanah pecah, bebatuan beterbangan. Tubuh Harrys terpental. Tapi saat ia melayang di udara, semburan api keluar dari kakinya, menstabilkan posisinya. Ia berputar, lalu melemparkan tinju api ke arah Gandalf.

Gandalf menahan dengan dua tangan. Energi mereka bertabrakan lagi. Getaran dari benturan itu menyebar ke seluruh area.

Tubuh mereka terdorong mundur, namun keduanya bertahan.

Nafas Gandalf mulai berat. Tubuhnya dipenuhi luka bakar kecil. Tapi matanya tetap fokus. Ia melangkah maju.

Harrys pun sama. Kakinya gemetar, tapi ia menjejak tanah, dan apinya menyala lebih terang.

Kemudian...

Mereka berlari.

Tubuh menyala api dan tubuh diselubungi petir bertabrakan di tengah medan.

Tinju ke wajah. Tendangan ke lambung. Sikut ke rahang. Bola api dan kilat saling menyambar. Asap membumbung. Api menyembur dari tanah. Petir membelah langit.

Setiap pukulan terdengar seperti ledakan. Setiap gerakan menciptakan dentuman. Tanah retak, udara panas, dunia seperti berubah jadi tempat penyucian.

Harrys meraung.

Dengan amarah yang tak lagi tertahan, ia mengangkat kedua tangannya, menciptakan lima bola api sekaligus, dan melemparkannya secara beruntun.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Bola api itu menghantam Gandalf dari berbagai arah. Setiap ledakan membuat tubuh Gandalf terpental, ke kanan, ke kiri, lalu ke belakang. Api membakar lapangan, menyebar cepat seperti gelombang kebakaran.

Rerumputan berubah jadi lautan bara. Asap membubung seperti awan hitam dari neraka.

Gandalf jatuh berlutut. Tapi belum sempat berdiri, Harrys sudah datang lagi.

Tinju api menghantam dadanya. Tendangan menyusul ke rusuk. Tinju kiri ke bahu. Tendangan berputar ke rahang.

Pukulan dan tendangan api datang bertubi-tubi, cepat, panas, membabi buta.

Gandalf menangkis sebagian, menerima sisanya. Tubuhnya terbakar. Pakaiannya sobek, kulitnya terpanggang. Tapi ia masih berdiri.

Harrys melompat ke belakang, mengangkat dagunya.

FWWWWWOOOOOOOSH!!

Nafas api raksasa menyembur dari mulutnya. Luas, dahsyat, seperti lidah neraka yang menjilat seluruh medan.

Gandalf buru-buru berlindung di balik batu besar. Api itu menghantam batu dengan kekuatan mengerikan. Ledakannya menghancurkan sebagian sisi batu. Namun Gandalf tetap bertahan di baliknya. Nafasnya kasar. Pakaiannya hangus, rambutnya terbakar sebagian, dan kulitnya mengelupas di beberapa titik.

Tapi matanya masih bersinar. Masih hidup.

Dan pertarungan… belum selesai.

Harrys mengeluarkan raungan, memukul Gandalf dengan seluruh tenaga, tinju yang terbakar menyala oranye. Tapi Gandalf menyambutnya dengan satu hentakan siku, lalu meletakkan telapak tangan ke ulu hati Harrys.

"Maafkan aku, Nak."

ZZZRAAAAAAKK!!!

Petir meledak dari dalam.

Tubuh Harrys terpental ke belakang, menghantam tanah dan tidak bangkit lagi.

Asap mengepul dari dadanya. Api padam perlahan.

Gandalf berdiri dalam diam. Nafasnya satu-satu. Matanya menatap tubuh bocah itu.

Ia berjalan perlahan, berlutut di sisi Harrys yang masih bernapas pelan.

"Apimu sudah menyala," bisiknya.

"Tapi belum tahu tujuan. Kau sudah melangkah… kini kau harus belajar untuk tidak terbakar oleh apimu sendiri."

Ia menatap langit yang mulai membuka. Cahaya matahari pagi jatuh di wajah Harrys.

"Api sejati... tak pernah mati. Bahkan ketika tubuhnya jatuh."

Dengan langit yang mulai membuka, dan bau asap masih menggantung di udara, lapangan itu tak lagi tampak seperti tempat latihan, tapi medan pembakaran.

Bara menyala di tanah. Api kecil menari di antara sisa rerumputan. Batu-batu hangus menjadi saksi.

Sementara disi lain, diperlihatkan sebuah markas tengah diliputi keheningan, dari kejauhan tampak seorang prajurit dengan tubuh berlumuran darah datang menunggangi kudanya dengan susah payah. Anak panah menancap di punggung dan kedua kakinya, sementara lengan kirinya tak lagi utuh, hanya menyisakan pangkal yang terbungkus kain lusuh dan berlumuran darah. Napasnya berat, pandangannya buram, namun entah bagaimana ia berhasil sampai di depan gerbang markas kerajaan.

Dua penjaga gerbang yang berjaga sontak berlari ke arahnya begitu mengenali sosok itu.

"Apa yang terjadi denganmu!?" seru salah satu dari mereka sambil membantu si prajurit turun dari kudanya. Tubuhnya limbung, hampir tak mampu berdiri.

Tanpa pikir panjang, mereka membopong tubuh sang prajurit dan membawanya ke ruang medis. Tubuhnya nyaris kehilangan semua kekuatan. Suaranya tak keluar, hanya rintihan lirih yang menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya.

"Apa yang terjadi!? Kenapa dia terluka seperti ini?" tanya seorang prajurit lain yang ada di dalam markas, terkejut melihat keadaan korban.

"Aku tidak tahu! Tapi singkir dari jalan, dia sekarat!" sahut salah satu penjaga dengan nada panik.

Sesampainya di ruang medis, para tabib segera sigap tanpa banyak bertanya. Seorang petugas medis memeriksa tubuhnya dengan cepat, wajahnya mengernyit saat melihat luka-luka menganga di tubuh sang prajurit.

"Tangan kirinya putus... lubang panah di punggung dan kakinya dalam... mengherankan dia masih bisa bertahan sejauh ini," gumamnya.

Tanpa buang waktu, sang tabib menuangkan Heal Potion ke luka yang menganga, lalu membalut tubuh prajurit itu dengan perban dan salep khusus. Sementara itu, dua prajurit yang membawanya, Anton dan Adres, menunggu cemas di luar ruangan.

Tak lama kemudian, sang tabib keluar.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Anton cepat-cepat.

"Kondisinya sangat kritis. Tapi aku telah memberinya heal potion. Jika tidak terjadi komplikasi, kemungkinan sebelum matahari tenggelam dia akan sadar dan bisa kalian ajak bicara."

"Syukurlah... Kalau begitu kami kembali berjaga," ucap Anton, mengangguk pada Adres. Mereka lalu berjalan kembali ke gerbang.

Sore pun menjelang. Langit memerah, perlahan menggelap, dan angin mulai berembus kencang dari utara. Anton dan Adres, bersama beberapa prajurit lain, memutuskan kembali ke ruang medis untuk melihat perkembangan prajurit yang terluka parah tadi pagi.

Sesampainya di sana, mereka membuka pintu perlahan.

"Permisi…" ucap Adres pelan, melangkah masuk bersama yang lain. Mereka melihat sang prajurit kini telah duduk bersandar, tubuhnya masih dibalut perban.

"Jadi... Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Tenang saja, ceritakan perlahan," ujar Adres dengan lembut namun tegas.

Prajurit itu mengangguk lemah. Suaranya serak, namun cukup jelas untuk didengar.

"Tadi pagi... aku sedang bertugas berpatroli di benteng Rheged. Segalanya tampak tenang. Kami bahkan sempat bercanda, mengobrol santai... Lalu tanpa peringatan, bola meriam datang dari arah barat. Kamp kami langsung hancur berantakan..."

Dia terdiam sejenak, menelan ludah dengan susah payah.

"Kira-kira ada seratus lebih rekan yang gugur dalam sekejap... sisanya terluka. Kami belum sempat bereaksi, tiba-tiba terdengar sorakan keras... teriakan liar dan lengkingan senjata. Mereka... bajak laut. Dipimpin oleh Kapten Varogh. Mereka menyerang demi menjarah desa di belakang kamp."

Suasana di ruangan itu berubah hening. Para prajurit mendengarkan dengan mata membelalak.

"Kami mencoba bertahan... Tapi aku terkena anak panah di kaki dan jatuh. Saat berusaha bangkit, seorang bajak laut mengayunkan pedangnya ke arahku. Aku menghindar, berlari terseok-seok... Tapi di jalan lain aku kembali dihadang... Terpaksa aku melawan, meski kakiku terluka. Dia terlalu kuat... dan saat itulah..."

Dia menatap tangan kirinya yang tak lagi ada. Ekspresi pilu menyelimuti wajahnya.

"Tanganku ditebas. Aku hampir mati... Tapi salah satu prajurit datang menyelamatkan. Dia memberiku kudanya, memaksaku pergi. Saat aku mulai kabur, anak panah lain menembus tubuhnya... Dia tetap tersenyum, menyuruhku terus berlari... Aku terkena panah juga, tapi aku berhasil tiba di sini."

Dia menatap mereka satu per satu.

"Kapten Varogh... Akan tiba besok pagi... Jumlah mereka... jauh lebih banyak dari kita... Jika tidak segera mengambil tindakan, markas ini akan bernasib sama seperti kamp kami."

Para prajurit saling berpandangan. Emosi mereka bercampur: marah, takut, dan tak percaya. Serangan itu bukan sekadar perampokan, tapi penghinaan terhadap martabat kerajaan.

"Kita tidak boleh panik!" terdengar suara lantang. Kapten Bill melangkah maju. "Benar, mereka lebih banyak... Tapi kita bukan tanpa harapan."

Semua mata tertuju padanya.

"Kita akan meminta bantuan dari tentara bayaran. Jika kita bisa mengumpulkan pasukan tambahan sebelum fajar, kita bisa bertahan!"

"Siapa yang akan kau minta bantuannya, Kapten?" tanya Adres.

Bill menatap Anton dengan serius. "Anton, kau akan pergi ke Bebbanburg. Di sana, carilah kamp milik Gandalf... Gandalf si Guntur Hitam. Dia satu-satunya orang yang bisa mengimbangi kekuatan Varogh."

"G-Gandalf? Orang gila yang membantai 700 prajurit gagak dari faksi Danelaw sendirian!? Apa kau serius, Kapten!?" Anton terperanjat.

"Serius. Gandalf bukan hanya tentara bayaran. Dia legenda hidup. Dengan kekuatan Petir Hitam dan Pedang Berbilah Gandanya, dia juga membantu Northumbria dan Wessex mengusir pasukan Viking lima belas tahun lalu. Tanpa bantuannya, kita semua akan binasa."

"...Baik, Kapten!" Anton memberi hormat lalu bergegas keluar, menunggang kudanya menembus gelap madari

Langit malam terbentang. Cahaya bulan menyinari perjalanannya. Anton menembus hutan dan bukit, hingga akhirnya tiba di kamp para tentara bayaran di utara Bebbanburg. Kamp itu besar dan dikelilingi obor serta tenda-tenda lapis baja. Para prajurit yang menjaga terlihat gagah dan tangguh.

Anton turun dari kudanya, berjalan melewati barisan prajurit bayaran yang memandangnya penuh curiga.

Sampai akhirnya ia tiba di hadapan seorang lelaki bertubuh besar, duduk bersandar di dekat nyala api unggun. Rambutnya yang panjang dan pirang terikat ke belakang, sementara sorot matanya tajam seperti elang mengawasi mangsanya. Di sisinya tergeletak sebilah pedang bermata ganda, berkilau samar di balik bayang api yang menari-nari.

"Selamat malam... Tuan Gandalf. Namaku Antonison... aku datang dari benteng Durham..." ucapnya gugup.

"Aku tahu. Langsung saja ke intinya," balas Gandalf tanpa menoleh.

"Bajak laut... Kapten Varogh. Mereka menyerang kamp di benteng Rheged. Lebih dari seratus prajurit tewas... dan mereka akan tiba di Durham besok pagi. Kapten Bill memintamu membantu kami. Northumbria bersedia membayar lebih... jika kau dan pasukanmu membantu."

Hening sesaat. Gandalf menatap api unggun, lalu tersenyum tipis.

"Baik."

Anton mengangkat kepala, terkejut.

"Beristirahatlah malam ini. Esok pagi... kita akan menuju medan perang."

Gandalf lalu berdiri dan berteriak ke arah pasukannya.

"WOY! ANAK-ANAK! KITA DAPAT KERJAAN BARU!!"

Sorakan membahana dari seluruh kamp. Dentang senjata, tawa, dan teriakan semangat menyelimuti udara malam. Para tentara bayaran bersiap. Perang sudah di depan mata. Dan badai sesungguhnya baru akan dimulai...