WebNovelWreckers66.67%

Guntur Hitam

Gandalf Ashbourne, atau yang lebih dikenal sebagai Si Guntur Hitam (The Black Bolt), adalah seorang pemimpin legendaris dari kelompok tentara bayaran yang disegani di seluruh Britania. Di usianya yang ke-63, pria itu masih berdiri tegak bagaikan batu karang di tengah badai. Bertubuh besar, berambut kuning yang memutih di beberapa sisi, dan mengenakan penutup mata di sebelah kanan, sebuah peninggalan dari pertempuran berdarah yang tidak lagi ia ingat jumlahnya.

Julukan Guntur Hitam bukan sekadar simbol. Ia benar-benar penguasa elemen petir kuno yang hampir punah: Dark Voltaris, kekuatan yang diturunkan dari zaman sebelum Roma mengenal dewa-dewanya. Kekuatan itu mengalir di tubuhnya seperti sungai api, liar, tak terjinakkan, dan berakar dalam pada jiwa yang telah lama dicabik-cabik perang dan kehilangan.

Gandalf berasal dari suku Barbarian Strathclyde, bangsa pegunungan yang dikenal brutal, keras kepala, dan tak mengenal kata menyerah. Suku ini hidup dalam benturan dengan alam dan sejarah, dan dari tanah liarnya lahir para pejuang yang dianggap mitos oleh bangsa lain. Di usia tujuh tahun, Gandalf kecil telah mampu mengendalikan kilatan petir dengan tangannya sendiri, membuat para tetua suku memandangnya sebagai titisan dewa badai.

Pasukan Danelaw, yang awalnya hanya berdiri di kejauhan sebagai pengamat dingin dari negeri seberang laut, turun dari perbukitan dengan senyap, seperti burung pemangsa yang akhirnya mencium bau daging luka. Mereka tidak membawa panji kerajaan, tidak pula menyanyikan nyanyian kemenangan, hanya derap langkah dan suara kapak yang ditarik dari tulang kering mangsa sebelumnya.

Wilayah Strathclyde, yang kala itu menjadi salah satu titik pertahanan terakhir suku Barbarian Keltik, terjun ke dalam malam yang tak pernah berakhir.

Ayah Gandalf, seorang pejuang suci dari kaum petir, Alric Mac Rauthen, berdiri di atas parit terakhir bersama kaum Pict dan para petarung tenggara. Di tangannya menyala kekuatan langit, kilat yang meledak dari tombak perak pusaka turun-temurun, sembari berseru kepada para dewa lama agar menjaga anak dan istrinya.

Tapi para dewa telah mati. Atau mungkin mereka hanya menutup telinga.

Ketika tombak sihir itu menghantam tubuh Alric, bukan dari tangan manusia, bukan pula dari sihir Keltik, tubuhnya hancur dan terbakar dari dalam, seakan langit sendiri mengkhianatinya.

Itu adalah sihir terlarang, kekuatan kotor dari dunia lain, dipinjam oleh pemimpin Danelaw dari makhluk yang tak bernama. Pertempuran itu berubah dari perang ke pembantaian. Rumah-rumah terbakar, anak-anak diburu di lorong-lorong gua, dan para ibu diperkosa hingga napas terakhir.

Ibu Gandalf, seorang wanita berdarah Norse yang menolak kehinaan leluhurnya, terbunuh saat melindungi Gandalf kecil, tubuhnya robek oleh tombak patah, namun matanya tetap menatap ke langit seolah menolak tunduk.

Dan Gandalf? Ia tak sempat menangis. Tubuh kecilnya dilempar ke tumpukan mayat, disangka sudah mati, terkubur di antara tubuh hangus dan serpihan darah. Ia tertidur dalam dingin, dalam bau kematian, dalam pelukan ibunya yang tak lagi bernyawa.

Tiga hari kemudian, ia ditemukan oleh seorang tua buta, salah satu penjaga suci lembah yang tersisa. Anak itu tidak menangis, tidak bicara. Matanya kosong, namun di dalamnya hidup dua hal: kehormatan dan kebencian.

Dari hari itulah, nama Gandalf mulai ditulis dalam darah, bukan oleh pena, tapi oleh pedang. Kematian sang ayah menjadi bara yang tak pernah padam dalam jiwa Gandalf.

Di usia 18 tahun, Gandalf memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya. Dengan tekad baja dan rasa haus yang tak tertahankan akan kekuatan, ia mengembara ke seluruh Britania, bahkan hingga melintasi daratan Eropa dan sebagian Timur Tengah, dalam pencarian teknik petir tertua yang pernah disebut dalam legenda. Ia mempelajari banyak: dari teknik dasar yang diajarkan oleh para elementalist suku tua, hingga jurus-jurus tingkat tinggi yang hanya diturunkan secara lisan dalam pertemuan tersembunyi para penyihir malam.

Ia menantang para guru, bertarung dengan petapa, berdialog dengan roh-roh gunung, dan membuka naskah-naskah terlarang di reruntuhan perpustakaan yang tersembunyi. Ia menyerap ilmu seperti tanah menyerap hujan badai, rakus dan tak pernah penuh.

Namun meski seluruh teknik petir telah dikuasainya, satu hal tetap luput dari genggamannya: Dark Voltaris... elemen petir tertua dan paling terlarang yang pernah tercatat dalam kitab-kitab kelam druid.

Teknik ini bukan hanya sulit ditemukan. Ia seperti bayangan di balik kabut, selalu terasa dekat, tapi tak pernah bisa disentuh. Dan semakin ia mencari, semakin dalam ia tersesat dalam labirin sejarah yang membingungkan. Peta tua tak lagi memberi petunjuk, dan nama-nama yang pernah ia dengar perlahan hilang dari mulut orang-orang yang masih hidup.

Tahun demi tahun berlalu.

Dan pada suatu malam, ketika hujan menyelimuti padang Manchester dan hanya angin yang bicara, Gandalf akhirnya menyerah.

Dengan langkah berat, ia memutuskan untuk pulang. Kembali ke Strathclyde. Bukan sebagai pemenang. Bukan sebagai pewaris kekuatan kuno. Tapi sebagai seorang anak suku yang kehilangan arah, yang datang untuk berdamai dengan bayangannya sendiri.

Namun ia belum tahu… bahwa takdirnya belum usai. Dan bahwa Dark Voltaris tidak ditemukan oleh pencarian. Ia hanya datang pada mereka yang cukup putus asa untuk menyerahkan segalanya.

Namun, dalam perjalanan pulang, tepat ketika senja mulai merayap di balik perbukitan, ia dihentikan oleh sekelompok perompak. Mereka bukan sekadar bandit biasa, dipimpin oleh makhluk mengerikan dari bangsa Orc. Sosok besar itu berdiri di depan rombongan, tubuhnya menjulang tinggi dengan kulit hijau kusam, taring bawah mencuat melewati bibir, dan telinga runcing yang bergerak-gerak waspada.

Dengan suara serak yang dalam, sang pemimpin Orc melangkah maju dan mengacungkan senjata besar bertatahkan besi kasar.

"Hoi, bodoh… cepat hentikan langkahmu! Serahkan barangmu itu kalau kau masih ingin bernapas!" geram sang Orc dengan suara berat dan senyum bengis menghiasi wajah buruk rupanya. Di belakangnya, para perompak bersorak, merasa yakin bahwa pria tua itu akan segera menjadi mangsa mudah.

Namun Gandalf tidak menunjukkan tanda gentar sedikit pun. Ia justru menoleh santai, mengangkat alis kanannya dan tersenyum tipis, senyum seseorang yang tahu siapa dirinya, dan betapa sedikitnya ancaman di hadapannya.

"Siapa yang kau panggil bodoh, makhluk rawa?" ujarnya dingin.

"Minggir dari jalanku. Aku tak punya waktu bermain-main dengan sampah jalanan sepertimu. Masih banyak urusan yang lebih penting menungguku."

Seketika, wajah Orc itu memerah karena tersinggung. Taringnya tampak jelas saat rahangnya mengatup rapat. Dengan geram, ia meraih senjata besar di punggungnya, sebuah thorny mace, penuh duri kasar dan besi berkarat, dan menghentakkan kakinya ke tanah.

"Kau minta mati, manusia!" geram sang Orc, mengangkat thorny mace-nya tinggi, lalu meluncur ke arah Gandalf dengan raungan penuh amarah. Tanah bergetar di bawah pijakannya, dan hentakan senjatanya menghancurkan tanah, menciptakan retakan dan menerbangkan debu ke udara.

Namun, saat kabut debu mereda… Gandalf sudah tidak ada di tempat semula.

"A-apa!?"

Jeritan nyaring terdengar seketika. Dalam sekejap, Gandalf telah muncul di belakang salah satu anak buah sang Orc. Sebilah pedang berkilau diselimuti kilatan petir merah gelap menusuk dada si perompak, seketika menjatuhkannya tanpa nyawa.

Orc itu meraung marah. Dengan amarah membuncah, ia berlari dan melompat ke arah Gandalf. Thorny mace terangkat tinggi, siap menghantam kepala sang pengembara.

Namun sebelum senjatanya sempat mendarat, kilatan tajam menebas udara.

Gandalf telah bergerak.

Dalam sekejap mata, ia telah berdiri di belakang sang Orc.

Orc itu membeku. Ia perlahan menoleh, tampak kebingungan.

Lalu, dengan suara berat, "Srakk!"...lengan kanannya jatuh ke tanah. Darah muncrat dari bahunya, membasahi tanah di sekitarnya. Ia memegangi pundaknya, terhuyung-huyung, wajahnya menegang menahan rasa sakit.

"Heh… Kau terlalu lambat," ucap Gandalf pelan, namun suaranya menggema seolah bergema di benak sang Orc.

"Kau benar-benar berpikir bisa menjatuhkanku dengan gerakan seburuk itu? Pergilah sebelum aku benar-benar memisahkan nyawamu dari tubuhmu."

Kilatan petir menyelimuti tubuh Gandalf, aura merah gelap berdesir dari tubuhnya seperti badai listrik. Matanya menatap tajam, membakar keberanian siapa pun yang berani menantangnya.

Anak buah sang Orc tak sanggup menahan teror. Mereka saling dorong dan lari tunggang langgang meninggalkan pemimpin mereka.

"Sialan… I-ini belum selesai, dasar bodoh!" Orc itu mundur dalam keadaan panik, lalu berbalik dan melarikan diri dengan bahu yang berlumuran darah, menggertakkan giginya penuh malu.

Gandalf hanya menghela nafas, lalu membawa gembolannya dan kembali melanjutkan perjalanannya pulang ke Strathclyde.

Pada suatu hari, ketika Gandalf sedang berjalan-jalan disekitar perbatasan wilayah Mercia dan Wessex, dia tidak sengaja mendengar suara pertarungan sihir dari kejauhan, terdengar ledakan-ledakan di arah kejauhan. Gandalf pun bergegas kesana karena penasaran. Dia tak sengaja melihat seorang penyihir tua berdiri terseok melawan sesosok makhluk bertanduk panjang, setinggi dua kali manusia dewasa. Kulitnya legam dan bersisik, auranya menguarkan energi gelap yang menusuk tulang. Makhluk itu mengayunkan sihir gelap ke segala arah, menghancurkan bebatuan dan membakar pohon-pohon.

Gandalf bersembunyi di balik pohon, menyaksikan si penyihir tua terhempas dan jatuh tersungkur ke tanah. Nafasnya berat, tubuhnya penuh luka. Makhluk itu berjalan mendekat, tangan kirinya bersinar merah darah, siap melontarkan sihir terakhir untuk menghabisi korban.

Tanpa banyak berpikir, Gandalf meraih batu sebesar kepalan tangan dan melemparkannya sekuat tenaga ke arah kepala iblis itu.

Plak!

Makhluk itu menoleh cepat, matanya menyala.

"Siapa berani...?"

Pandangan tajamnya menangkap siluet seorang pemuda berdiri di balik bayangan pepohonan.

"Oh, manusia rupanya. Kau tahu siapa aku?" suara makhluk itu berat dan mengejek.

"Sepertinya tidak... karena kau akan mati, jadi buat apa kau tahu?" Dengan cepat, makhluk itu menembakkan sihir laser yang sangat dahsyat, melesat dan membakar barisan pohon dalam satu garis lurus dan menghanguskan sekitar.

Tapi pemuda itu menghilang.

Makhluk itu menoleh ke arah si penyihir, tapi kini tubuhnya sudah tidak ada di sana.

Dari balik hutan, terdengar suara langkah cepat dan gesekan semak.

Gandalf berlari, membawa tubuh si penyihir tua di punggungnya. Napasnya teratur, gerakannya lincah. Meski masih muda dan belum berpengalaman, tubuhnya telah terlatih, dan nalurinya tajam.

Ia menemukan celah sunyi di bawah tebing, membaringkan si penyihir, lalu menyiramkan ramuan penyembuh dari kantung kulit ke bibir lelaki tua itu.

Beberapa saat berlalu.

Si penyihir akhirnya membuka matanya, mendapati wajah pemuda asing menatapnya dengan alis terangkat.

"Kau... siapa?"

Gandalf mengangkat bahu, masih duduk di tanah.

"Hanya seorang pengelana. Tapi kau boleh panggil aku Gandalf."

Si penyihir tertawa pelan, meski dengan napas tertahan.

"Gandalf... Nama yang bagus."

"Aku berasal dari bangsa Barbarian, dari pedalaman Strathclyde," ujar Gandalf seraya menuangkan cairan dari botol kecil ke mulut si penyihir. Nada bicaranya tenang, tanpa kesan sombong.

"Aku kebetulan sedang melintas di sekitar sini ketika mendengar ledakan dari kejauhan. Saat aku tiba, kulihat kau sedang bertarung dengan makhluk bertanduk aneh itu." Ia menunduk sedikit, memastikan posisi pria tua itu nyaman bersandar di batang pohon.

"Sialnya, aku bukan penyihir atau kesatria... Tapi setidaknya aku bisa mengalihkan perhatian makhluk sialan itu cukup lama untuk menyelamatkanmu."

"Dia... Dhōrum," ucap penyihir tua itu pelan, seraya menghela napas dan meneguk potion dari tangan Gandalf.

"Sesosok iblis pemangsa ternak yang selama ini dianggap tidak berbahaya... ternyata kekuatannya jauh melampaui dugaanku.

Gandalf mengernyit.

"Iblis? Maksudmu... makhluk dari cerita rakyat itu? Bukankah mereka hanya mitos?"

Penyihir itu menggeleng perlahan. Tatapannya kosong sejenak, seolah mengenang sesuatu yang telah lama terkubur.

Di antara cerita-cerita lama yang sering dianggap mitos oleh penduduk, terdapat legenda mengenai makhluk kuno yang dianggap sebagai simbol kejahatan bernama bangsa Iblis. Bangsa ini konon memiliki penampilan dan kemampuan yang diluar nalar. Mereka dikatakan berasal dari dimensi dunia bawah yang tersembunyi. Bangsa Iblis konon memiliki kulit berwarna abu-abu gelap hingga ungu kehitaman dan merah darah. Mata mereka digambarkan seperti makhluk buas. Bentuk fisik mereka sangat beragam, beberapa memiliki sayap yang menyerupai sayap kelelawar, sementara yang lain memiliki tanduk atau cakar yang menonjol. Masing-masing bangsa ini memiliki ciri khasnya sendiri, seperti ekor panjang atau fitur yang mencerminkan kekuatan magis gelap mereka.

"Begitulah yang dipercayai banyak orang. Mereka bilang iblis hanya dongeng untuk menakut-nakuti anak kecil. Tapi tidak. Mereka nyata. Dan kau sudah melihatnya sendiri."

Dalam hening yang menegang, angin malam meniupkan daun-daun kering di sekitar mereka.

"Bangsa Iblis bukan makhluk biasa," lanjut sang penyihir.

"Mereka berasal dari dunia lain... dimensi yang tersembunyi di balik lapisan realita ini. Kulit mereka hitam kebiruan, atau semerah darah. Tanduk, cakar, sayap... bentuk mereka selalu mengerikan, namun juga... bervariasi. Setiap individu memiliki kekuatan dan bentuk yang berbeda, seakan mencerminkan kegelapan yang mereka bawa."

Gandalf terdiam. Keningnya berkerut, bukan karena takut, melainkan karena penasaran.

"Dan Dhōrum... hanyalah satu dari sekian banyak iblis yang berkeliaran di dunia ini. Mereka perlahan bangkit, dan ini... mungkin baru permulaan."

Gandalf terdiam sesaat, menatap bekas ledakan di kejauhan, jejak pertempuran yang belum lama usai. Cahaya matahari sore menyapu pucuk pepohonan, namun udara di sekitarnya masih terasa berat.

"Aku pikir... dunia ini cukup gila dengan perang antar kerajaan dan perompak bersenjata," gumamnya pelan, namun nadanya mulai berubah tegas.

"Tapi kalau makhluk seperti itu benar-benar ada… dan berkeliaran sesuka hati…"

Ia mengepalkan tangan.

"Berarti kita semua sudah terlalu lama hidup dalam kebohongan." Tatapannya mengeras, lalu ia menoleh pada sang penyihir.

"Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, tapi kalau kau bisa melawan makhluk macam itu, pasti kau bukan orang sembarangan."

Ia kemudian berdiri, menepuk debu dari pakaiannya.

"Kalau yang kau katakan benar, dan iblis-iblis itu mulai bangkit... maka dunia membutuhkan lebih dari sekadar pasukan biasa."

Matanya menatap ke langit yang perlahan meredup, lalu berkata dengan nada pelan namun mantap.

"Aku ingin belajar. Bukan hanya bertarung… tapi memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik tirai dunia ini."

"Ngomong-ngomong, siapa namamu? Aku merasakan lonjakan energi sihir yang besar darimu." tanya Gandalf, masih menatap kakek tua di depannya dengan rasa ingin tahu yang besar. Ia belum menyadari bahwa orang yang ia bantu barusan bukanlah penyihir sembarangan.

Penyihir itu terkekeh pelan.

"Hahah... Jadi kau memang belum tahu siapa aku?." ucapnya dengan senyum tipis, nada suaranya terdengar tenang namun mengandung kesan misterius. Gandalf mengernyit, memasang wajah bingung.

"Yah... Mungkin wajar saja. Aku sudah terlalu lama menghilang. Banyak yang telah melupakanku, termasuk sahabat-sahabat lamaku," ujar sang penyihir, perlahan menyandarkan punggungnya ke batang pohon di belakang, napasnya masih berat.

"Aku tidak mengerti apa maksudmu, Kakek," gumam Gandalf, suaranya datar namun penuh rasa penasaran. Matanya menatap penyihir tua itu dalam-dalam, mencoba menebak siapa dia sebenarnya.

"Kau mungkin mengenal namaku, tapi tidak mengenal diriku," ucap penyihir itu, suaranya dalam namun tenang. Ia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan.

"Namaku Merlin Ambrosius. Aku adalah penyihir sekaligus penasihat pribadi dari sahabat lamaku, Raja Britania Arthur Pendragon. Ia menghilang lima puluh tahun lalu."

Gandalf tertegun. Kedua matanya membelalak, dan tubuhnya sedikit membeku di tempat. Ia menatap sosok tua di hadapannya dengan raut wajah penuh keterkejutan.

"A-apa...? Tidak mungkin..." bisiknya pelan.

Ia menunduk, memandangi tangannya sendiri sejenak seolah ingin meyakinkan diri bahwa ini bukan sekadar mimpi. Dalam pikirannya, nama Merlin hanya ada dalam legenda, tokoh besar yang kisahnya sering didongengkan oleh para tetua.

"Jadi... kau benar-benar... penyihir legendaris itu?" ucap Gandalf dengan suara nyaris tak terdengar, napasnya sedikit tertahan.

"Yang mengumpulkan para Kesatria Meja Bundar? Yang mengangkat kerajaan Camelot hingga kejayaannya? Yang katanya... menghilang begitu saja tanpa jejak?"

Knights of the Round Table adalah sekumpulan Kesatria Legendaris yang melayani Raja Arthur di istana Camelot. Mereka terkenal karena keberanian, kesetiaan, dan komitmen mereka terhadap kode kehormatan kesatria. Meja Bundar (Round Table) itu sendiri adalah simbol kesetaraan di antara para kesatria, karena tidak ada satu pun posisi yang lebih tinggi daripada yang lain di meja tersebut.

Beberapa kesatria yang terkenal dari Knights of the Round Table termasuk Sir Lancelot, Sir Gawain, Sir Percival, Sir Galahad, dan Sir Bors. Mereka sering kali terlibat dalam berbagai petualangan dan pencarian, yang paling terkenal adalah pencarian Holy Grail, cawan suci yang konon memiliki kekuatan luar biasa.

"Kurasa kau butuh sesuatu yang lebih dari sekadar nama dan sihir ringan..."

Ia perlahan mengangkat tangan kirinya dan membuka genggaman rapatnya. Di telapak tangannya, tergenggam sebuah cincin tua, terukir lambang kepala naga dan ukiran huruf-huruf kuno Ogham yang sudah hampir punah.

Cincin itu memancarkan cahaya biru samar. Gandalf terpaku.

"Itu…," gumam Gandalf, matanya membelalak.

"Benar," sela Merlin dengan suara pelan namun mantap.

"Ini adalah Draconis Regalia, cincin simbol pengesahan Raja Arthur yang dulu hanya diberikan kepada tangan kanan sang raja… dan hanya aku yang memilikinya."

Gandalf perlahan berlutut, bukan karena takut, tapi karena kagum.

"Itu benda peninggalan kerajaan Camelot... yang katanya telah hilang bersamaan dengan kehancurannya."

Merlin menggenggam cincin itu kembali.

"Aku menyimpannya… menunggu waktu yang tepat untuk kembali. Dan hari ini, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, aku memperlihatkannya."

Gandalf menatap lurus padanya. Untuk pertama kalinya, keyakinannya bulat.

"Jika kau benar-benar Merlin… maka beritahukan satu hal padaku," ucap Gandalf, matanya menatap tajam ke arah penyihir tua itu.

"Selama lima tahun aku mengembara dari negeri ke negeri, mempelajari berbagai bentuk sihir petir. Kini tinggal satu teknik yang belum bisa kudapatkan… teknik elemen petir kuno yang disebut Dark Voltaris."

Gandalf bertanya kepada Merlin tentang elemen kuno petir Dark Voltaris. Merlin yang merupakan penyihir agung berusia lebih dari 100 tahun punya pengetahuan tentang sihir kuno, sangat tidak menyarankan untuk menguasai Dark Voltaris karena sangat sulit dan beresiko.

Merlin yang sedang bersandar, menutup matanya sejenak. Napasnya tertahan, seolah nama itu membangkitkan sesuatu yang sudah lama ia kubur dalam ingatannya.

Ia membuka matanya perlahan, lalu memandang Gandalf dengan sorot serius.

"Jadi... kau ingin menguasai Dark Voltaris?"

Gandalf mengangguk, mantap.

"Itulah satu-satunya bentuk tertinggi dari elemen petir yang belum mampu kupahami. Aku harus mengetahuinya."

Merlin menarik napas dalam. Suaranya kini lebih berat dan dingin, berbeda dari sebelumnya.

"Aku tahu tentang teknik itu... dan aku juga memahami betapa berbahayanya."

Merlin menatap lurus ke depan, suaranya perlahan namun mantap.

"Itu adalah salah satu bentuk teknik tertua, teknik kuno yang memungkinkan penggunanya untuk mengendalikan elemen mutlak dari petir… petir hitam."

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada berat.

"Bukan sekadar teknik ofensif biasa. Petir hitam adalah kekuatan murni yang lahir dari dimensi gelap, tidak hanya membakar tubuh lawan, tetapi juga penggunanya, dari dalam."

"Dark Voltaris bukanlah sekadar sihir, melainkan sebuah kontrak. Ia akan menguras tubuh dan jiwamu hingga ke dasar. Tak hanya menguji kekuatanmu… tapi juga kemanusiaanmu." Ucap Merlin.

"Seberapa pun bahayanya, aku tetap menginginkannya! Aku ingin membalas semua penjajah… untuk menggantikan Ayahku yang gugur melawan bangsa Romawi yang ikut campur dalam perang kami!" seru Gandalf penuh emosi, lalu maju dan menarik kerah jubah Merlin.

"Tolong… katakan padaku, bagaimana cara mendapatkan Dark Voltaris itu?!"

Namun sebelum ucapannya sempat berlanjut, tongkat sihir Merlin dengan cepat bergerak. Sekilat cahaya menyala, lalu semburan energi sihir menghantam dada Gandalf hingga tubuhnya terpental keras dan menghantam tanah.

Merlin perlahan berdiri, tubuhnya tegap meski usianya terlihat renta. Ia mencengkeram tongkat sihirnya dengan kuat, lalu melangkah perlahan menghampiri Gandalf yang terbaring sambil meringis kesakitan, menggenggam dadanya yang nyeri akibat serangan tadi. Mata Merlin memancarkan ketegasan yang tak bisa dibantah.

"Jika kau sangat ingin menguasai Dark Voltaris itu. Aku bisa memberimu cara untuk mendapatkannya. Seperti yang aku katakan, itu sangat beresiko. Tapi kau sangat keras kepala, jadi aku akan memberikan cara untuk mendapatkan Dark Voltaris." Merlin dengan tatapan tajam, menyembuhkan Gandalf dengan sihirnya, lalu memberikan informasi cara untuk mendapatkan Dark Voltaris.

"Ku katakan sekali lagi... Dark Voltaris bukan sekadar teknik biasa," ujar Merlin dengan suara dalam, tajam.

"Ia adalah sebuah kontrak… ikatan kuno antara kekuatan dan pengorbanan. Bukan hanya tubuhmu yang akan terkuras, tetapi juga jiwamu, perlahan-lahan, hingga ke akar terdalamnya."

Ia menatap Gandalf yang masih tergeletak, lalu menambahkan.

"Teknik ini tidak hanya menguji seberapa kuat kau secara fisik… tetapi juga seberapa dalam kau mampu bertahan sebagai manusia."

"Untuk menguasainya..."

1. "Pertama, kau harus mengorbankan segelas darah dan jantung dari bangsawan yang baru saja meninggal kepada roh Sidhe. Letakan darahnya di tengah-tengah lingkaran batu, atas Bukit Annwyn tempat di mana dunia kita bersinggungan dengan alam kematian, tunggu para roh Shide datang mengambil darah dan jantungnya."

2. "Kedua, setelah pengorbanan selesai, kau harus bertapa telanjang dada di Rhos Goch rawa merah yang dipercaya sebagai tempat bersemayam Morrígan. Tiga malam, tanpa bicara, tanpa makan. Jika dia mendatangimu dalam wujud gagak, dan tak mematuk matamu, maka kau diterima."

3. "Ketiga, kau harus mengorbankan salah satu matamu, menyayat lidahmu sendiri dan menuliskan mantra dalam Ogham kuno dengan darahmu, di batu Menhir yang tertutup lumut. Salah satu dari dua hal akan terjadi: tanah akan membuka gerbang, atau tubuhmu akan meledak dalam nyala hitam."

4. "Lalu hadapi dirimu sendiri di Hutan Broceliande, tempat mimpi menjadi nyata dan nyata menjadi dusta. Jika kau menipu dirimu, kau tak akan kembali."

5. "Terakhir, panggil Caladbolg, pedang legendaris yang dimiliki oleh seorang pahlawan kuno bernama Fergus mac Róich. Bukan untuk digunakan... tapi untuk menghantam tubuhmu sendiri dengan petir kuno. Hanya dengan mati dan dilahirkan kembali oleh kilat Sidhe, kau bisa menjadi tuan atas kekuatan itu."

"Saat kau berhasil mendapatkan Dark Voltaris, kau takkan menjadi Gandalf lagi. Kau akan menjadi bayangan dari dirimu sendiri. Dan setiap langkahmu akan meninggalkan abu di bumi."

Merlin berbalik dan meninggalkan Gandalf, bayangannya perlahan memudar dari pandangan. Gandalf menatapnya dengan senyum tipis, pupil matanya yang merah mengecil.

Satu Tahun kini telah berlalu. Gandalf yang yang kebetulan sedang makan di bar sebuah desa di Northumbria, melihat situasi genting. Segerombolan pasukan kerajaan dan tentara bayaran menuju ke timur laut. Para penduduk di desa itu dan pemilik bar, bergegas membawa semua perbekalan, dan barang berharga lainnya untuk pergi menuju kamp pengungsian.

"Hei, ada apa ini!? Mengapa kalian terlihat panik dan ingin segera pergi dari sini?." Seru Gandalf, sembari mengunyah makanannya. Dia berdiri dan menatap heran, menyaksikan penduduk bergegas meninggalkan desa dengan ekspresi cemas di wajah mereka.

"Kau juga harus segera pergi, Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan panjang lebar. Prajurit kerajaan dan tentara bayaran sedang bertempur keras di benteng timur laut melawan pasukan Danelaw yang dipimpin oleh Jarl Sigvarr, pemimpin legendaris tak terkalahkan menyerang benteng itu. Kami harus segera menjauh dari sini untuk menghindari kekacauan yang mungkin menyebar ke desa ini." Pemilik bar itu berbicara dengan panik, terburu-buru membawa persediaan makanan dan barang-barangnya.

"Sigvarr!..." Mendengar nama itu, Gandalf dengan muka penuh dendam, kemarahan, dan kebencian, meremukan meja yang ada dihadapannya, teringat dengan Ayahnya yang dibunuh oleh orang Danish yang bernama Jarl Sigvarr.

"Aku akan pergi melihat ke sana. Aku ingin bertemu dengan seseorang," katanya dengan ekspresi dingin penuh dendam. Ia kemudian merangkul jubahnya, menyandang pedang di punggungnya, dan bergegas keluar dari bar, menuju benteng timur laut.

"Terserah kau saja!" Pemilik bar berkata dengan nada kesal, wajahnya merah padam karena marah. Tanpa menunggu jawaban, ia segera berbalik dan bergegas pergi, meninggalkan Gandalf yang menuju ke benteng. Dengan langkah cepat, pemilik bar itu meninggalkan desa, berniat menuju kamp.

Gandalf berjalan menuju benteng sembari menutupi wajahnya. Jubahnya diterjang angin sehingga membuatnya berkibar. Setelah berapa saat, dia akhirnya sampai di puncak bukit, kanan atas dari benteng tersebut.Terdengar suara dentingan pedang, dan ledakan. Tampak pasukan Mercia dan tentara bayaran terlihat kewalahan, karena Danelaw memiliki prajurit yang 2 kali lipat lebih banyak dari mereka.

Gandalf, yang melihat Sigvarr tertawa arogan melihat pasukannya mengungguli pertarungan. Dari atas bukit, dengan amarahnya semakin membara, Gandalf memasang tatapan tajam dan wajah yang tegang, emosinya meluap tak terkendali, membakar dengan kebencian yang sangat intens. Tanpa ragu, ia dengan cepat membuka jubahnya, lalu mengeluarkan pedang dari punggungnya.

Dia menghentakkan kakinya dengan kuat, menciptakan gelombang listrik besar yang menyebar di sekelilingnya. Dengan lompatan kilat, dia mengayunkan pedangnya yang memancarkan petir merah, menghantam kerumunan pasukan Danelaw.

Guntur merah gelap terlihat menyambar, menciptakan hembusan angin dan gelombang pasir besar yang mengelilingi medan perang.

"Apa itu!?." Dengan serentak para prajurit dan tentara bayaran terkejut melihat guntur yang tiba-tiba menyambar padahal saat itu langit sangatlah cerah, hanya saja berangin. Di tengah medan perang yang dipenuhi dengan debu dan asap, para tentara bayaran melihat kilat merah dari dalam asap itu, di iringi teriakan tentara Danelaw.

Perlahan asap mulai menghilang. Terlihat Gandalf yang berdiri dengan menjambak kepala dari salah seorang kapten prajurit Danelaw yang telah terpenggal. Dia kemudian menghancurkan kepala itu dengan petirnya, darahnya muncrat, otak dan matanya berhamburan.

"Hah!? S-Siapa dia!?" Seorang tentara bayaran yang sedang menutup wajahnya dari debu, berteriak kepada pengintai yang ada di atas benteng pertahanan mereka.

"Aku tidak tahu!? Orang itu berambut kuning, dan ehhh....mengenakan penutup mata dikanannya!" Teriak seorang pengintai yang melihat kejadian itu dengan teropong.

Tanpa basa basi, melihat kesempatan emas untuk menang. Kapten dari tentara bayaran itu berteriak untuk segera melakukan menyerang balik pasukan Danelaw yang tersisa.

"Ini kesempatan kita!....cepat siapkan balistik!....para pemanah...tembak!....pasukan penyerang maju!..." Dengan serentak beberapa batu besar yang di luncurkan balistik dan juga panah api yang menghujani langit peperangan. Para pasukan penyerang dengan teriakan bersemangat mengangkat pedang, kapak, tombak, dan gada berlari menuju medan pertempuran. Batu besar, panah menghantam dan berhasil membunuh sebagian terdepan pasukan Danelaw. Para penyerang juga tidak kalah, mereka juga berhasil membunuh sebagian besar dari pasukan Danelaw yang tersisa.

"Sial! Bagaimana ini Jarl!?" Para pasukan Danelaw panik karena seluruh tentaranya telah berhasil di kalahkan. Hanya pasukan yang dipimpin oleh Jarl Sigvarr yang tersisa.

"Kita kalah telak! Sebaiknya kita mundur." Jarl Sigvarr kemudian pergi menaiki kudanya untuk menuju ke kapal mereka yang terletak di pesisir timur. Melihat Jarl Sigvarr pergi, dengan serentak pasukannya pun ikut mengikutinya, karena tidak ingin mati sia-sia.

Disaat perjalanan melarikan diri dari benteng. Tiba-tiba langit menjadi gelap, suara petir sangat keras menggema di langit. Lalu guntur merah muncul menyambar tepat dihadapan Jarl Sigvarr dan pasukannya. Di dalam kepulan asap tempat guntur itu menyambar, terlihat seseorang yang berjalan mendekati Jarl Sigvarr.

"Apa kabar, apakah kau mulai kelelahan?." Gandalf berbicara dengan bahasa Norse, berdiri di depan Jarl Sigvarr, dengan ekspresi yang dingin disertai mata sayu menatap tajam kearahnya.

"Tch, kau kira aku akan mundur? Tidak!! Kau anggap apa aku sebagai seorang Jarl Danelaw?" Ucap Sigvarr, yang mencoba untuk tetap kuat di depan para pasukan nya.

Gandalf, yang sudah dikontrol oleh rasa balas dendam nya, langsung mengeluarkan pedang nya dan mengarahkan ke arah Sigvarr.

"Aku, Gandalf yang akan memenggal mu, dan.... menancapkan kepala mu di dataran tertinggi disini, untuk menyuarakan suara balas dendam, dan rasa kebencian di dalam diri orang yang kau bunuh." Ucap Gandalf yang sudah dipenuhi emosi dan amarah yang menggebu-gebu.

Sigvarr yang mulai ketakutan pun langsung menyuruh pasukan nya untuk menyerang Gandalf.

"Ka-kalian, ap-apa yang kalian tunggu!?, serang dia!!." Sigvarr yang mulai ketakutan pun langsung menyuruh pasukan nya untuk menyerang Gandalf.

Gandalf yang melihat para pasukan mereka mulai maju ke arah nya, dia langsung melompat dan melapisi pedang nya dengan kekuatan petir merah.

Gandalf pun menyerang mereka dengan kecepatan kilat, dan mulai mengobrak-abrik barisan musuh.

Sigvarr yang melihat itu langsung menggunakan kesempatan untuk kabur, namun dia terhempas karna sambaran kilat yang melewati nya.

"Argh..... Si-sialan kau!!." Sigvarr pun menggunakan kekuatan sihirnya untuk menciptakan sebuah pelindung, namun... Gandalf berhasil menggagalkan nya.

Gandalf menghantam Sigvarr dengan bahunya hingga terhempas ke arah pepohonan, Sigvarr yang terhempas pun mulai memuntahkan darah.

"Sesungguhnya, kekuatan seseorang berada pada dalam dirinya. Namun kau menyia-nyiakan itu, dan malah memilih jalan kebusukan." Gandalf menatap Sigvarr dengan tatapan dingin. Tubuhnya dipenuhi aliran petir yang begitu kuat. Petir merahnya perlahan berubah menjadi hitam pekat. Dan yah... tampaknya Gandalf berhasil menguasai Dark Voltaris yang ia dapatkan dengan cara yang ekstrim. Yaitu dengan melakukan ritual yang diberitahu Merlin 1 tahun lalu.

Asap hitam masih melayang dari luka di dada Sigvarr, bekas hantaman Dark Voltaris yang membakar dari dalam. Ia bersandar lemas di batang pohon ek tua, napasnya berat, tubuhnya tak lagi mengenali rasa sakit.

Dari matanya yang setengah buta, ia menatap sosok Gandalf yang perlahan mendekat, sunyi, tanpa kemarahan, tanpa belas kasihan. Hanya ketetapan seorang algojo.

"Ka-kau, tidak akan mengerti!! Aku adalah sang dominator, sang penghancur dan sang Jar keji!!!" Sigvarr berteriak dan tertawa dengan nada yang begitu keras.

Gandalf melangkah tanpa suara, tapi tanah retak di bawah kakinya.

Pedangnya, diselimuti sisa-sisa aura kelam Voltaris, meneteskan darah kental seperti lumpur rawa penuh belatung.

"Begitulah akhirnya seekor serigala yang terlalu sering menggigit leher anak-anak."

Tanpa peringatan, Gandalf mengayunkan pedangnya dari samping, brutal, kejam, tanpa ampun.

Kepala Sigvarr terlempar, bukan sekadar jatuh. Ia terpental tiga langkah, menghantam akar pohon dengan suara keras "KRUGG" sebelum pecah sebagian di sisi tengkoraknya.

Darah muncrat dari batang leher seperti semburan uap dari perut naga, menyiram tanah, pohon, dan sebagian wajah Gandalf.

Tubuh Sigvarr masih bergerak.

Tangannya bergetar beberapa detik, seolah ingin mengambil kepala yang sudah tak ada.

Kemudian ambruk. Lidahnya menjulur seperti daging busuk keluar dari rahang terbuka.

Suasana menjadi hening.

"Inilah akhir mu, kau akan melihat neraka yang menyala-nyala, dengan cacing yang menggerogoti tubuh mu, kau akan mendengar teriakkan orang tak bersalah dan kau, akan mati walaupun kau merasa tubuh mu hidup." Gandalf dengan nada dingin berbicara sambil memegang kepala Sigvarr yang sudah terpenggal.

Langit mulai memerah. Di bawahnya, medan perang menjadi lautan bayangan... tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak bersama senjata patah dan tanah yang hangus oleh petir. Tak ada lagi suara pertempuran. Hanya gemerisik angin dan gelegar petir yang lambat-lambat menghilang, seolah dunia ikut menahan napas setelah amarah alam selesai mengamuk.