Langkah kaki Kanzia menuju ruangannya dan di sambut hangat oleh sekretarisnya. Tampak ramah dan tampan, penampilan sempurna.
Namun, sayang sekali Kanzia tidak berminat melihat ke indahan di depan mata dan lebih menyukai buku di tangannya.
"Katakan apakah kita ada rapat hari ini, hm?" tanya Kanzia berjalan ke tempat duduknya.
"Tidak ada, hari ini tidak ada pertemuan apa pun, Nona!"jawabnya dengan sangat ramah.
Oh, tentu saja. Jika tidak, pria ini sudah dapat di pastikan Kanzia pecat secepat kilat. Namun sayang sekali, sekretarisnya ini cukup disiplin dan tidak alasan memecatnya.
"Menyebalkan, jika orang ini bukan suruhan papa. Jelas aku akan menendangnya, sayang sekali," gumam Kanzia segera meminta agar pria itu cepat keluar.
Setelah memastikan pria itu keluar, dia mulai membuka novelnya lagi dan membaca novel di sepanjang waktu. Melarang mereka untuk menganggunya kalau tidak ingin kehilangan pekerjaan, peringatan itu membuatnya tidak mendapatkan gangguan apa pun.
Pagi berganti siang, Kanzia masih tenggelam dalam membaca novel. Dia sangat menyukai karakter novel yang mempunyai nama sama dengan dirinya. Meskipun jahat, karakter itu sesungguhnya tidak murni jahat dari awal.
Mengingatkan pada dirinya sendiri!
Kanzia Volker, begitulah nama karakter novel ini. Menjadi karakter antagonis, wanita yang akan menentang adiknya sendiri. Adik Kanzia merupakan karakter utama yang menjadi inti dalam cerita novel ini.
Adik Kanzia merupakan wanita licik dan telah menjebak kakaknya sendiri ke dalam tragedi. Namun bersandiwara menjadi pihak tersakiti, membuat orang tua, keluarga serta pacarnya Kanzia sendiri membencinya.
Bahkan sahabat yang paling dia percayai kini dengan tega menghianatinya. Menyebarkan rumor mengerikan tentang Kanzia, membuat Kanzia yang semula di cintai banyak orang.
Kini di benci dan di jauhi oleh semua orang di kampus,tersisi dan menjadi bahan cemohan banyak anak kampus. Nasib buruk itu belum berakhir, Kanzia yang tidak mengetahui kalau adiknya musuh di dalam selimut.
Mempercayai setiap perkataan sang adik dan membuat karater Kanzia yang dahulu lembut serta periang menjadi anak bermasalah.
Kelahiran Kanzia yang tidak di inginkan oleh keluarga Volker di manfaatkan adiknya agar dapat mendepak kakaknya dari rumah. Rasa iri pada sang kakak membuatnya gelap mata dan menghalalkan segala cara untuk dapat menyingkirkan Kanzia.Rencana itu sukses besar, sang adik berhasil menjadikan kakaknya anak yang berantakan dan bermasalah. Orang-orang membecinya bahkan orang tuanya ikut-ikutan.
Saat Kanzia menyadari semua itu, semuanya sudah terlambat. Adiknya yang membuatnya kacau balau, Kanzia sangat marah dan ingin menuntut balas atas semua kejahat itu.
Begitulah awal mula novel ini, niatan Kanzia yang ingin menuntut balas pada adiknya itu menjadikan dia karakter antagonis dan akan membuatnya menjadi tokoh penentang yang paling berpengaruh di novel itu.
Banyak hal Kanzia lakukan untuk mencelakai sang adik, hingga membuat adiknya koma di saat itu. Kecelakaan itu membuat adiknya itu lumpuh total, namun berhasil sembuh berkat usaha orang tua dan orang-orang terdekat.
Keluarga, orang tua, adik kandungnya sendiri dan pacar serta sahabatnya sendiri akan ikut berperan melawan Kanzia. Pada saat terkahir novel ini, Kanzia gagal membalas dendamnya dan mati di tangan kekasihnya yang berhasil menipunya.Dan sang adik hidup bahagia bersama kedua orang tua dan keluarganya. Menikah dengan seseorang yang dia cintai dan novel itu tamat dengan akhir bahagia bagi pemeran utama.
"Cukup menyedihkan, tapi karakter ini cukup tangguh!" ucap Kanzia berkomentar. " Kenapa juga tante menulis cerita semacam ini, mana pakai namaku lagi! Ini novel menyedihkan."
Meskipun akhir dari novel ini membuat kesal Kanzia, namun dia cukup marah ketika tahu Kanzia dalam novel mati karena tertipu oleh pacarnya sendiri.
"Apa dia begitu mencintai kekasihnya, hingga tidak dapat membedakan antara yang benar dan salah, hah?" monolog Kanzia mendesah lelah.
Brakk!
Kanzia mengebrak meja seraya berkata, "Hal bodoh apa yang wanita itu lakukan. Matinya sungguh tidak berkelas, memalukan sekali!"
"Jika aku jadi dia, aku tidak akan melakukan hal sebodoh itu," sambungnya dengan penuh akan emosi negatif.
Meskipun menyukai karakter itu, Kanzia juga tidak suka dengan cara mati tokoh antagonis wanita itu. "Mati di tangan laki-laki yang jelas membencimu di depan mata," ujar Kanzia di saat menoleh kearah jendela.
"Sial! Ini sudah malam, harus minum obatku! Ughh, dimana aku menaruhnya?" gumamnya sibuk mencari letak obat sakit jantungnya.
Kanzia memiliki penyakit kelainan jantung, hal itu mengharuskan dia minum obat tepat waktu di setiap harinya. Namun, karena ke asikan membaca, Kanzia saat ini telah melupakan meminum obatnya.
"Sial, di mana aku menaruh obatnya!" Kanzia mencarinya dengan gelagapan, jantungnya kini terasa nyeri dan detaknya jauh lebih kencang dari biasanya saat penyakit jantung bawaannya ini kambuh.
"Siapa pun di luar sana, tolong masuk! Kalian, kenapa tidak mengingatkan ku untuk minum obat sialan." Panggil Kanzia kencang, namun tidak kunjung ada yang datang, wajah Kanzia telah memucat menahan rasa sakit.
Semakin mencari, semakin lemah tubuh dari Kanzia. Wajah pucat dengan keringat dingin, menyesal telah lupa waktu. Kanzia baru satu kali ini tidak disiplin, namun berakhir fatal.
Tahu begini, lebih baik tidak usah pergi kerja.
Suara Kanzia memanggil semakin lemah dan mengecil, hingga suara itu menghilang. Mata Kanzia kini buram, menggelap dan tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya selanjutnya.