"Jangan bilang ayah tidak berani menamparmu karena kamu sakit! Dasar anak tidak tahu cara balas budi, sudah di kasihani adikmu. Tapi lihat ini, kamu menuduh adikmu sendiri ," ucap Valo berjalan dengan langkah cepat mendekatinya, putri tidak tahu berterimakasih itu.
Verena yang mencoba menahan ayahnya tidak bisa berbuat banyak, dengan mengigit bibirnya dia memberanikan diri membuka suaranya.
"Kanzia tidak bohong ayah. Rena memang saat itu meminta kak Zia mengiris tangannya,"tutur Verena mengatakan itu semua dengan lantang, air mata tampak mengalir deras sebab merasa takut Valo akan marah besar.
Setelah berbicara Verena merasa takut dengan tatapan dari sang ayah, dengan keringat dingin di sekujur tubuh. Kini dia segera mencari jenis alasan yang tidak akan membuat Valo marah.
"Rena! Kamu tidak ada bedanya dengan kakak mu yang pembawa sial itu," ujar Valo kini tidak bisa menekan amarahnya, membentak dengan suara keras.
Tutur Verena mengatakan itu semua dengan lantang, air mata tampak mengalir deras sebab merasa takut Valo akan marah besar.
Setelah berbicara Verena merasa takut dengan tatapan dari sang ayah, dengan keringat dingin di sekujur tubuh. Kini dia segera mencari jenis alasan yang tidak akan membuat Valo marah.
"Rena! Kamu tidak ada bedanya dengan kakak mu yang pembawa sial itu," ujar Valo kini tidak bisa menekan amarahnya, membentak dengan suara keras.
"Ayah, aku meminta kakak mengiris tangannya karena merasa tidak tahan melihat kakak terus di hina. Tapi, Rena tidak tahu kalau kakak akan mengiris tangannya betulan," ucap Verena kini menjelaskan apa yang telah terjadi, walau ada sedikit tipu daya di dalam penjelasannya.
Plakk!
Valo menampar pipi Verena keras, seketika dia menangis tersedu-sedu. "Ayah, maafkan Rena!" ucapnya dengan kepala tertunduk dan air mata tidak hentinya mengalir.
"Maaf ayah, Rena salah," sambungnya lagi, dia tidak berhenti meminta maaf dari sang ayah.
"Rena!" Kanzia berteriak kencang, air mata kini mengalir di pipi pucatnya seraya berkata ,"Ayah jangan marahi Rena, semua salah Zia."
"Jangan tampar Rena." Kanzia menangis ketika melihat adik abal-abalnya di tampar, tentu dia bukan menangis karena sedih, melainkan saat ini Kanzia sangat senang.
Valo menoleh kearah Kanzia yang menangis di saat melihat Verena dia tampar. Butuh berapa kali ayah bilang padamu, Zia. Jangan pengaruhi adikmu, tapi lihat sekarang. Kamu memberikan pengaruh buruk untuk adikmu," tutur Valo kini memarahi Kanzia atas apa yang menimpa sang adik.
"Ayah, jangan marahi kakak. Yang salah di sini Rena," sela Verena merasa bahagia ketika tahu Kanzia membelanya, bahkan menangisinya.
Raut wajah senang Verena tidak dapat di tutupi dari Kanzia, semua itu tidak lepas dari matanya yang terus mengamati gerak-gerik Verena tiap detiknya.
"Sekarang kamu pulang, di masa depan jangan bermain dengan kakak mu lagi," ujar Valo tidak ingin berlama-lama di rumah sakit dan dengan kasar menarik tangan Verena untuk pulang.
Verena yang di tarik paksa, sebenarnya dapat melawan tarikan itu. Tapi, dia juga malas bila harus berada di rumah sakit dan bersandiwara terlalu lama di depan Kanzia.Menjadi adik yang baik sangat menjijikkan bagi Verena, dia merasa jengah setiap kali berpura-pura menjadi adik lugu untuk Kanzia.
"Kakak, Rena akan kesini lagi besok," ucapnya berteriak kala di tarik keluar oleh Valo saat dia berusaha memberitahu sang kakak.
"Iya, aku harap kamu tidak datang lagi kesini," gumam Kanzia memandangi kepergian kedua orang itu dari ruang perawatannya.
Kanzia tersenyum dan mengangguk, kemudian pintu tertutup. Kini Verena dan Valo telah tiada dari tempat ini,