Bab. 5 - Pemicu [2]

Kami bergotong-royong membereskan kekacauan yang dia tinggalkan. Banyak murid yang tergeletak pingsan karena ulahnya, namun suasana dipenuhi dengan semangat saling membantu.

Siswa-siswa bekerja sama dengan tekun, mengesampingkan permusuhan demi memulihkan keadaan.

Aku melihat Bu Celsi di depan, cahaya dalam dirinya sudah redup. Dia menunduk, dan wajahnya jelas memperlihatkan penyesalan yang mendalam.

Rasa bersalah terpancar dari setiap gerakannya, seolah-olah menanggung beban yang berat di dalam hatinya.

Hayden berdiri dan mendekati ku.

"Kau terlihat baik-baik saja," ejek Hayden dengan senyum tipis yang penuh sindiran.

"Kau pikir aku selemah itu untuk kalah?" sautku dengan nada yang sedikit emosional.

Setelah berkata seperti itu, para murid di sekitar menatapku dengan tatapan aneh. Dalam hati mereka terbersit pikiran, 'Kalau orang lain yang kena, pasti sudah meninggal.'

Hayden berjalan keluar kelas dengan santai, lalu menoleh ke arahku. "Ayolah, jangan marah. Lebih baik kita ke kantin," ajaknya dengan senyum.

Aku menerima ajakannya dengan enggan, meskipun ada perasaan tidak enak terhadap yang lain. Tapi aku memutuskan untuk mengikuti saja..

Kami berjalan keluar, melewati para murid yang tergeletak pingsan. Ini tidak seberapa seperti saat kami melawan mereka.

Tapi anehnya, mata mereka tetap terbuka. Mereka seperti terkejut. Apakah orang itu benar-benar secepat itu sampai bisa membuat mereka seperti ini?

Kami memesan cukup banyak makanan. "Aku lupa sarapan, untung kau mau mentraktirku," ucapku sambil mengusap perut yang kenyang.

Hayden terpaku, sendok di tangannya terjatuh, dan mulutnya terbuka lebar. "Apa, mentraktirmu?" Tanyanya dengan ekspresi terkejut.

Aku tertawa puas, sementara dia menggoyangkan tubuhku ke depan dan belakang. Ekspresinya terlihat sedikit kesal.

Pada saat itu, ibu kantin datang lagi dengan membawa makanan tambahan.

"Tunggu, aku tidak memesan lagi!!" Hayden benar-benar menggila.

Ibu kantin tersenyum ramah. "Tenang saja, untuk kalian makan di sini akan gratis."

"Benarkah?" Hayden menjadi lega.

Melihatnya lega, aku merasa kesal. Mengapa semuanya harus gratis padahal aku ingin mengerjainya.

Hayden mengalihkan pembicaraan, "Orang tadi itu siapa?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.

Aku menghentikan perasaan kesal. "Aku juga tidak tahu."

"Padahal tadi sedikit lagi, kau mulai serius. Tapi dia malah berhenti," gumam Hayden.

Mendengar itu, aku kembali merasa kesal. Jadi, sejak awal dia ingin mengujiku, sial.

[ DI TEMPAT LAIN ]

Terlihat seperti berada di dalam ruangan yang luas, dengan seorang yang sedang tertidur di singgasana.

Lalu terdengar suara dering telepon. "Nada deringnya, 'Dia datang dengan senyuman Membawa cahaya ke dalam pandangan Setiap langkahnya, penuh pesona Oh Lucky, kau sungguh memikat jiwa.'

Seseorang membawa telepon tersebut kepada orang yang sedang tertidur di singgasana.

"N-yonya.... Ada telepon dari Tuan Hachiko."

Nyonya tersebut sedikit membuka mata. "Apa kau sudah menemukannya, Hachi?"

"Sudah, Nyonya.. Dia terlihat tidak biasa, akan kuceritakan saat aku sampai di sana, Nyonya," ujar seseorang di telepon tersebut. suara yang jelas.

Mendengar tidak ada jawaban dari Nyonya itu, orang tersebut mengakhiri teleponnya. "Saya akan segera ke sana, Nyonya," katanya sambil menutup telepon.

Kembali ke sini.

bel sekolah sudah berbunyi. Mendengar itu, kami menjadi yang pertama pulang.

Tidak kukira, rumah Hayden dan aku searah. Kami memutuskan untuk pulang bersama.

Saat di jalan, kami melihat sekumpulan remaja berkerumun di tepi jalan.

"Ada apa dengan keramaian itu?" tanya Hayden dengan penasaran.

Aku mencoba menyipitkan mataku untuk melihat dengan lebih jelas. Kemudian aku melihat dari sela-sela kerumunan bahwa mereka sedang menghajar seorang orang tua.

Aku memberitahu Hayden,"Mereka sedang menghajar orang tua."

"Apa!!" Teriaknya

Kami berlari ke arah kerumunan itu, dan melompat ke tengah-tengah mereka.

Aku melakukan split kick: melompat ke udara, memutar tubuh, lalu merentangkan kaki ke arah berlawanan kanan dan kiri dengan cepat, mengarah ke pala.

Itu membuat 2 di antara meru terpental. Setelah mendarat, aku melancarkan serangan sweep kick: aku memutar tubuh 180 derajat dan fokus pada pergelangan kaki lawan. Dalam gerakan yang cepat dan mulus, kaki belakangku menyapu rendah ke tanah, mengenai titik tepat di pergelangan kakinya.

Kekuatan sapuanku mereka kehilangan keseimbangan, dan ia terjatuh dengan keras ke tanah.

Untungnya, Hayden sudah membawa orang tua itu ke rumah sakit. Aku melihatnya saat serangan tadi. Dia cepat bertindak.

Setelah mereka terjatuh, aku menghajar mereka semua hingga pingsan. Mereka berjumlah 12 orang.

[ Beberapa saat kemudian ]

Mereka mulai terbangun dengan rasa sakit di kepala. "Ughh... Kepalaku terasa sakit," ujar salah satu dari mereka.

"Aku juga," saut yang lain.

"Siapa sebenarnya orang itu, dan kenapa dia menghajar kita?" yang lain melanjutkan.

Aku mendengar itu dan merasa kesal dengan pertanyaan mereka tadi. "Oi.."

Mereka mengangkat kepala dan melihatku, kemudian mencoba untuk lari. Namun, kaki mereka tidak bisa bergerak karena tendangan sweep-ku telah melumpuhkan mereka.

Terlihat wajah ketakutan di antara mereka. "A-apa yang kau mau?" tanya salah satu dari mereka dengan suara gemetar, wajahnya pucat.

"Kalian berasal dari sekolah mana?"

[ BERSAMBUNG ]