Aku menahan napasku ketika Mr. Right menghampiriku. Tidak dapat aku sangkal, malam ini udara seakan menusuk kulitku. Aku pikir ini karena pakaian yang aku kenakan terlalu terbuka.
"Kau cocok mengenakan itu," komentarnya tetapi entah mengapa aku merasa dihina, aku seperti wanita penghibur di depannya.
Aku tidak membalas apa-apa, aku hanya berharap agar waktu cepat berlalu sehingga aku bisa keluar dari tempat ini.
"Lagi-lagi kau mendadak bisu, apa bibirmu perlu di ajar berbicara, hm?" Tanyanya sambil mengelus dengan kasar bibir bawahku.
Sial! Aku merasa direndahkan. Tetapi aku tidak boleh gegabah, aku perlu memikirkan ucapan Lilian tadi. Walaupun aku tidak tahu pasti apa maksudnya.
"Lepas," satu kata itu berhasil keluar setelah aku mencoba menahan diriku.
Dia menyeringai. "Bagaimana jika aku tidak ingin? Hm?"
Aku sungguh ingin memukul wajahnya.
1
2
3
Kumohon bersabarlah sedikit Erisia.
"Sebenarnya apa mau mu?"
Dia mendengus masam. "Apa tidak terlihat jelas?"
"Apa?"
Tanpa aba-aba dia menarik pinggang ku. Tangannya terasa pas di pinggang ku. Ugh! Aku tidak boleh berpikir seperti itu.
Mataku mengerjap-ngerjap. Sebenarnya apa yang akan dilakukan pria gila ini.
"I can give you anything you want, but you know what's the deal? Hm?"
Suara itu begitu serak dan menggoda. Jika saja aku wanita penggoda, maka aku pasti sudah terjerat dalam pesonanya.
"Saya bukan wanita penghibur, jadi tolong lepaskan saya,"
"Tidak semudah itu, Sayang. Aku sudah membayar mu dengan harga yang mahal. Setidaknya, biarkan aku mencicipimu sebelum melepas mu,"
Damn you! Dia benar-benar merendahkan ku.
"Berhenti menatapku dengan tatapan seperti itu, Sayang." Ujarnya lagi semakin mendekatkan dirinya dengan diriku.
Jarak antara kami terasa tipis. Aku bahkan bisa merasakan dada bidangnya pada dadaku. Akh! Sial, ini membuat jantungku berdebar karena gugup.
Tangannya yang kasar mengelus pipiku lalu tiba-tiba mencengkramnya.
"Aku membenci wanitaku memiliki bekas luka,"
Aku kebingungan mendengar itu. Wanita siapa? Wanitanya itu siapa?
"Jadi jangan sampai kau terluka sedikit pun, kau asetku sekarang,"
Aku terkejut. "Kau pikir aku barang?"
Dia tertawa renyah mendengar pertanyaan ku seolah-olah menganggap jika aku sedang bercanda.
"Tentu tidak, Sayang. Tapi kau adalah asetku, sesuatu yang bernilai,"
Bukannya merasa terpuji, aku justru merasa di hina.
"Berhenti menggigit bibirmu," komentarnya kemudian mengelapnya.
"Apa urusannya denganmu!"
Matanya mendadak menggelap. "Selain aku tidak suka aset ku rusak, aku juga tidak suka di bantah,"
Dengan gerakan cepat dia menyentuh bibirku menggunakan bibir panasnya. Aku yang awalnya menutup rapat bibirku mendadak membukakan akses karena dia dengan sengaja mengigitnya. Napas kami saling menyatu, udara dingin berubah menjadi panas.
Tangannya yang berada di pinggang ku perlahan berpindah pada bokongku. Sial, rasanya sangat intens. Ciuman ini begitu dalam dan menggoda, aku tidak dapat menolaknya.
Dengan mudah dia mengangkat tubuh ku, membawaku pindah di atas meja rias. Posisiku sekarang sedang duduk di atas meja rias. Aku sudah tidak peduli dengan barang-barang yang berjatuhan. Dia begitu lihai membuatku merasa nagih dengan ciumannya.
Ciumannya berpindah pada leherku, membuatku mengerang akibat tanda yang dibuatnya. Sial! Ini begitu penuh semangat.
Tok! Tok! Tok! Suara ketukan membuat kami berhenti. Bersamaan dengan itu, suara Lilian kembali terdengar.
"Makan malam telah siap, Tuan,"
Mr. Right menyisir rambutnya menggunakan tangan kasar yang telah mengelap bibir dan pipiku. Dia menatap ku sambil membasahi bibir bawahnya kemudian berpaling menuju pintu.
Apa dia akan pergi? Sial! Apa dia sungguh menganggap ku seperti barang yang bisa dia pakai sesukanya? Aku tidak semurah itu bajingan!
"Ganti pakaian mu," perintahnya sebelum benar-benar keluar dari kamar meninggalkan ku sendiri yang masih duduk di atas meja rias dengan keadaan acak-acakan.
Aku menoleh dan melihat pantulan diriku di kaca. Sungguh kacau, layaknya wanita penghibur.
Setelah berganti pakaian dengan pakaian tidur yang lebih nyaman, aku di tuntun Lilian untuk ke meja makan. Di sana sudah ada Mr. Right yang sedang duduk di ujung meja. Dia menatapku sebentar sebelum kembali menikmati makan malamnya.
Mengapa dia bersikap seolah tidak ada yang terjadi?
"Silakan duduk, Mrs. Benedetta," ujar Lilian.
Aku duduk di kursi yang jaraknya jauh dari Mr. Right.
Kami duduk dengan posisi saling berhadapan tetapi dibatasi jarak yang jauh. Meja makan ini sangat panjang, aku pikir bisa ditempati 12 orang.
Piringku disajikan beberapa makanan. Sebenarnya ada begitu banyak makanan yang ada di atas meja, tetapi Lilian lah yang mengambilnya.
"Makanlah, kau perlu mengisi tenagamu lagi," sahut Mr. Right yang terdengar menekan kata terakhirnya.
Aku mulai menyantap makan malam pertama di tempat ini. Rasanya enak. Aku mulai menyantap makanan lainnya, cukup banyak aku makan, hingga aku merasa ada yang aneh. Aku merasakan ada rasa yang aku hindari selama aku hidup.
Sial?! Apa ini ada udangnya??!
Refleks aku terbatuk-batuk dan membuang makanan yang ku kunyah di serbet. Dengan cepat aku meminum air putih.
"Apa ada yang salah dengan makanan Anda Mrs. Benedetta?" Tanya Lilian kebingungan.
Sial! Tentu ada! Aku alergi udang sialan! Aku benar-benar ingin mengumpat sekarang.
Mr. Right menatap ku. "Apa kau tidak suka makanannya?"
Aku menggeleng. "Bukan begitu, aku memiliki alergi pada udang,"
Aku dapat melihat sedikit kilat kaget di matanya.
"Kenapa kau tidak mengatakannya?!"
Sial? Apa dia pernah bertanya?
Dengan langkah cepat dia menghampiriku. Lalu, dengan mudahnya lagi dia menggendong ku ala bridal style kemudian membawaku kembali ke dalam kamar tidur. Aku mulai merasa gatal-gatal di leherku. Alergi ku memang cepat bereaksi. Aku harap ini tidak akan parah.
Tidak lama kemudian, seorang pria tua berpakaian layaknya dokter menghampiriku. Dia mulai memeriksa kondisiku. Aku sungguh ingin menggaruk leherku yang gatal tetapi pria sialan ini melarangku. Dia berkata itu akan meninggalkan bekas luka.
"Alerginya cukup parah, silakan minum obat ini 3x1, dan jangan lupa mengoles salap di area yang terasa gatal," jelas dokter itu.
Aku mengangguk karena sudah tahu akan hal itu.
Setelah dokter itu pergi, tersisa aku dan Mr. Right di dalam kamar. Sambil melipat tangannya di depan dadanya, dia menatapku dengan tatapan marahnya.
"Seharusnya kau jujur kalau memiliki alergi! Kau hampir saja mati di sini! Apa kau gila?"
Sial? Apa aku sedang di marahi sekarang? Hei bajiangan! Apa kau pernah bertanya semenjak aku datang? Atau, ketika kau meminta pelayan mu menyiapkan makan malam? Tidak bukan? Kau justru asik mencium ku sialan!
Aku sungguh ingin mengucapkan semua kalimat-kalimat itu di depannya tetapi aku sudah tidak memiliki energi lagi. Makan malam ku bahkan gagal. Aku sungguh lapar.
1
2
3
Mari tetap sabar, bajingan ini memang gila. Karena aku masih waras, mari mengalah lagi.
"Baiklah itu salahku,"
Dia hanya menatapku sebentar lalu pergi keluar. Tetapi ada yang aneh. Aku mendengar suara pintu yang dikunci. Dengan spontan aku turun dari ranjang lalu lari menuju pintu.
Sial! Dugaan ku benar. Dia mengunciku.
"YAK!! KAU TIDAK SEDANG BERNIAT MENGUNCIKU KAN???" Teriakku sambil menggedor-gedor pintu.
Aku tidak mendengar balasan.