Bab 6-Kabut Obituari Lereng Raung

Kematian

tak pernah bisa dipesan

maupun dielakkan

seperti juga kelahiran

yang tak mungkin bisa direservasi

ataupun dihindari

Kun Fayakun

jadilah

atau matilah

Selama sejam lebih Haira menunggu. Tubuhnya gemetar hebat. Jantungnya berdentam-dentam tidak beraturan. Haira seolah sedang berada di depan sidang pengadilan. Menunggu vonis yang akan dijatuhkan. Dia tadi tak henti-hentinya telah mengajukan pledoi kepada Tuhan. Sekaligus juga menyiapkan diri jika pledoinya ternyata tidak diterima. Dia harus sekuat Panthera pardus Gunung Raung!

Selama 2 tahun terakhir ini kekuatan hatinya ditempa dengan sangat keras. Haira menggantikan secara penuh peran Ibunya yang telah wafat. Pekerjaan rumah tangga, merawat Lintang Purnama, dan menyiapkan keperluan Ayahnya kerja di ladang, semua dilakoni oleh Haira Ndadari. Tidak sempurna tapi paripurna. Perlahan-lahan kehidupan keluarga kecil itu kembali masuk fase normal sepeninggal Sang Ibu.

Haira bertekad. Kalaupun sedanau air mata harus tumpah hari ini. Tapi selautan semangat telah disiapkan agar air matanya tidak habis mengering. Dia punya tanggung jawab Lintang Purnama. Setelah lulus mungkin dia mesti memendam dalam-dalam cita-cita melanjutkan kuliah di ISI Yogyakarta seperti keinginan Ibunya.

Dia akan mencari kerja. Dia punya ketrampilan dan keahlian menari. Haira bangkit berdiri dengan tangan terkepal. Dia tidak takut pada hidup. Dia adalah Sang Penakluk!

Sang Penakluk yang akhinya menangis terguguk saat salah seorang dokter datang memberitahunya.

"Maaf ya, Nduk. Kami sudah berusaha sekuat yang kami bisa. Tapi Tuhan berencana lain." Dokter berlalu dengan tatap mata simpati. Seorang suster yang sudah berusia pertengahan menghampiri Haira. Memeluk Haira dengan lembut dan menuntunnya duduk. Suster baik hati itu mengelus kepala Haira.

"Duduklah di sini sampai kau agak tenang ya, Nduk. Menangislah. Tidak apa-apa. Kehilangan itu memang selalu disesali. Tapi jangan berpanjang-panjang. Karena akan mengakibatkan ratapan yang tidak perlu. Gusti Allah memberimu sesuatu namun selalu mengingatkanmu bahwa sesuatu itu hanyalah titipan dariNYA."

Haira mengangguk dengan tegas.

"Saya hanya ingin menumpahkan airmata terakhir yang saya punya untuk Ayah, Suster. Setelah ini saya tidak akan menangis lagi karena tak ada lagi airmata yang tersisa. Saya masih punya tanggung jawab besar untuk membuat seseorang selalu tertawa. Adik saya."

Suster itu mengangguk dan tersenyum. Anak gadis yang hebat! 

"Jenazah Ayahmu akan kami urus, Nduk. Adakah keluargamu yang dewasa bisa datang ke sini? Ibumu? Paman? Pakde?"

Haira mengusap titik terakhir airmata yang membasahi pipinya.

"Ibu saya sudah pergi terlebih dahulu, Suster. 2 tahun yang lalu. Saudara Ayah dan Ibu, saya tidak tahu berada di mana. Saya tidak mempunyai kontak mereka. Di Sempu, kami keluarga kecil yang tak punya sanak saudara."

Haira sengaja tidak mau menyebut nama Bude Darmi. Kasihan. Nanti orang tua itu kerepotan. Biarlah Bude Darmi menjaga Lintang. Dia akan mengurus semua yang diperlukan atau diselesaikan di rumah sakit.

Hari itu juga Joko Ludiro dimakamkan di halaman belakang rumah. Berdampingan dengan makam Sekar Arum. Beberapa tahun yang lalu, di masa hidupnya, Sekar Arum pernah berpesan kepada Haira yang saat itu menanggapinya dengan tertawa karena mengira Ibunya bercanda.

"Haira, putriku yang secakap Harimau Jawa. Segemulai kabut ngarai Raung. Tolong nanti kalau Ibu meninggal dunia, makamkan Ibu di halaman belakang rumah ya, Nduk. Ibu sudah mengukur dan mempersiapkan tanah yang cukup untuk 2 makam. Harus di sudut yang sudah Ibu tandai ya, Haira. Sudut itu adalah spot terbaik yang bisa dilihat oleh Gunung Raung. Secara utuh."

Saat itu Ayahnya langsung menyahut.

"Ayah juga ya, Haira."

Mereka kemudian tertawa bersama-sama. Haira menganggap itu semua hanya candaan mistis yang memang sering terjadi di keluarganya. Joko Ludiro dan Sekar Arum sering bercerita kepada Haira yang saat itu masih kelas 1 SMP, bahwa Gunung Raung adalah ayah sekaligus ibu bagi Joko Ludiro dan Sekar Arum, sehingga keduanya meminta kepada Haira dan kelak adik-adiknya jika ada, untuk selalu menghormati Gunung Raung sebagai kakek sekaligus nenek mereka.

Orang-orang yang membantu terselenggaranya pemakaman sudah berpamitan pulang. Lintang juga sudah dibawa oleh Bude Darmi ke rumahnya. Haira memandang dua makam yang berjajar itu dengan tatapan haru. Namun tidak ada lagi air mata yang menetes dari mata Haira. Gadis itu hanya berkata lirih.

"Ayah dan Ibu. Aku kira dulu penjenengan berdua bercanda. Tapi baru hari inilah Haira tahu. Bahwa makam penjenengan berdua ini memang spot terbaik untuk melihat Raung. Juga tempat terbaik yang bisa dilihat oleh Raung. Kakek dan nenek Haira."

Haira duduk terpekur beberapa lama. Berdo'a. Kali ini bukan pledoi terhadap Tuhan. Tapi sudah berupa percakapan terdalam.

"Gusti Ingkang Murbeng Dumadi. Matur nembah nuwun atas semua keputusanMU. Hari ini KAU telah mengambil kedua orang tuaku. Aku ikhlas karena memang kami semua milikMU. Aku tidak minta apa-apa, Gusti. Aku hanya ingin KAU ikut menjaga adikku Lintang Purnama. Aku akan menjaganya sepenuh hati dan jiwa. Tapi tentu kekuatanku tidaklah seberapa. Sedangkan KAU adalah Sang Maha Kuat dan Perkasa."

Haira Ndadari mengambil nafas sebentar lalu melanjutkan.

"Aku tidak ingin bertransaksi denganMU wahai Gusti Allahku. Aku akan memberikan kepatuhanku yang terbaik kepadaMU. Mudah-mudahan Penjenengan berkenan. Itu saja."

Haira membalikkan tubuh. Kembali ke rumah. Banyak orang yang sedang rewang di rumahnya dan di rumah Bude Darmi. Mempersiapkan tahlilan hingga 3 hari ke depan. Setelah itu hari ke-7. Lalu hari ke-40.

Mata Haira bertemu dengan pandangan mata berair Agni, Sumi dan Rahma. Ketiganya menubruk dan memeluk Haira sambil menangis tersedu-sedu. Merasa sangat ikut berduka. Mereka sering bertegur sapa dengan Ayah Haira. Orang yang ramah dan baik meski pendiam. Selalu mencoba memberikan yang terbaik saat ada teman-teman Haira berkunjung. Kelapa muda, ubi bakar, pisang rebus dan banyak lagi yang tersedia di halaman dan ladangnya.

Ketiga temannya menangis tersedu-sedu tapi Haira tidak. Gadis itu malah sibuk mendiamkan teman-temannya. Mengajak mereka ke halaman depan rumah yang sudah didirikan tenda untuk acara tahlilan.

Semua dipersiapkan oleh Pak RT dan Pak Modin di kampung Haira tinggal. Dibantu oleh para tetangga dengan sukarela dan senang hati.

Meskipun Joko Ludiro dan Sekar Arum adalah keluarga pendatang tapi karena sikap mereka berdua ramah dan suka bersosialisasi, terutama Sekar Arum semasa hidupnya, maka keluarga kecil itu sangat diterima di lingkungan kampung. Karena itulah saat kematian Sekar Arum dulu dan Joko Ludiro saat ini, para tetangga berduyun-duyun datang membantu.

Terlihat sebuah mobil mendekat dan berhenti di ujung jalan sebelum masuk gang rumah Haira. Beberapa orang berpakaian rapi turun dan berjalan menuju rumah Haira. Seorang di antaranya merupakan pria paruh baya dengan rambut sebagian memutih, bertanya kepada Pak RT yang menyambut tamu-tamu asing itu.

"Apakah benar ini rumah Pak Joko Ludiro? Saya mendengar kabar kematiannya tadi pagi di grup komunitas Seniman Lukis Nusantara. Kebetulan saya sedang ada meeting di Banyuwangi Kota. Jadi saya langsung pergi kemari."

Pak RT melambai ke arah Haira. Haira menghampiri diikuti oleh sahabat-sahabatnya.

"Ini Haira Ndadari. Putri dari Almarhum Pak Joko dan Almarhumah Bu Sekar. Bagaimana Pak? Apa yang bisa kami bantu?"

Pria itu menghela nafas seolah hendak menceritakan sebuah masalah berat. Dia menatap Haira dengan tatapan iba. Entah kenapa Haira tidak menyukai tatapan itu. Ada sesuatu yang tersembunyi di sana.

"Begini, Nak Haira. Om bernama Parama Duta. Om sudah lama memesan sebuah lukisan kepada Ayahmu. Lukisan dengan judul; Raung Meraung. Apakah lukisan itu sudah selesai, Nak? Om akan membayar kekurangannya sekarang juga. Ayahmu telah mengambil uang muka separuh dari total harga. Boleh Nak Haira carikan lukisannya kepada Om?"

Pak RT mengerutkan kening sejenak. Sedangkan Haira termenung. Mengingat-ingat. Kalau memang Ayahnya berhutang lukisan kepada orang ini, dia harus melunasi hutang Ayahnya. Secepatnya. 

Haira mengangguk. Gadis itu berjalan cepat masuk rumah. Semua lukisan Ayahnya disimpan di dalam gudang kecil di belakang.

******