Masa lalu adalah pena
yang menuliskan amnesia
di iris mata
Masa lalu adalah pisau
yang merajang kehilangan
menjadi kenangan
Masa lalu adalah buku
yang berdebu
di almari tak berlampu
Masa lalu adalah duri
yang menusuk rasa sunyi
ke dalam risalah hati
Namun prestasi dan penghargaan tersebut menimbulkan rasa iri luar biasa dari anggota tim yang lain. Terutama Parama Duta dan Durgani Praba. Sepasang kekasih yang merasa lebih punya pengalaman dibanding Joko Ludiro.
Mereka menyimpan dengki itu selama bertahun-tahun. Apalagi saat di ekspedisi berikutnya, Joko Ludiro bahkan menorehkan keberhasilan yang lebih cemerlang lagi. Dia berhasil memetakan jalur aneh batuan karst sebagai pelapis dari mineral berharga Painite yang langka di situs peninggalan kerajaan Burma. Pemerintah Myanmar tak tanggung-tanggung. Joko Ludiro dan Raka Prawira diangkat sebagai staf ahli Kementrian Sejarah dan Pariwisata negara tersebut.
Tim ekspedisi dan eskavasi Raka Prawira akhirnya pecah kongsi sebelum Ekspedisi Raung berakhir. Parama Duta dan Durgani Praba meninggalkan tim dalam keadaan marah. Kesabaran mereka habis karena Raka Prawira lebih membela Joko Ludiro. Parama Duta ingin Joko Ludiro berbagi informasi dan sampel batuan berharga yang telah ditemukannya di lereng Raung tapi lelaki itu menolak.
Raka Prawira saat itu memutuskan untuk membubarkan tim dan menghentikan ekspedisi. Parama Duta dan Durgani Praba berhasil menghasut nyaris seluruh anggota tim untuk mogok kerja.
Temuan mengejutkan itu membuat Joko Ludiro meninggalkan profesinya sebagai arkeolog dan geologist. Lelaki itu lebih memilih menekuni hobi melukisnya dan memutuskan menetap di lereng Gunung Raung. Bersama istrinya yang seorang penari terkenal Banyuwangi.
Meskipun ekspedisi masih separuh jalan, tapi Joko Ludiro telah mendapatkan sampel dan data yang cukup untuk memetakan sebuah temuan geologi dahsyat di lereng Raung. Temuan yang membawanya melukis Raung Meraung satu dekade kemudian.
Haira mengucek kedua matanya yang lelah. Membaca jurnal Ayahnya seperti membaca sebuah novel panjang mengenai teori konspirasi dan science fiction. Haira berniat untuk membaca satu halaman lagi sebelum tidur menyusul teman-temannya yang sedari tadi sudah meringkuk dibelai hawa dingin Gunung Raung.
Tapi halaman itu nyaris kosong! Hanya ada sebuah tulisan kecil di sudut kanan atas; Raung Meraung-79-17-0-20-13-6.
Ah! Angka ini lagi! Haira menutup jurnal. Memutuskan untuk tidur karena udara dingin lereng Raung semakin menggigit. Besok dia harus pergi ke Yogyakarta untuk pentas tari pada sebuah acara besar temu alumni di ISI Yogyakarta 2 hari lagi. Haira mendapatkan undangan khusus untuk tampil. Haira sendiri tidak tahu mengapa undangan untuk tampil menari tarian khas Banyuwangi itu tertuju kepadanya, siapa yang berinisiatif untuk mengundang, dan tahu darimana panitia bahwa dia adalah seorang penari tarian asli Banyuwangi.
Pertanyaan yang menggantung dalam mimpi Haira malam ini. Ibunya datang sambil tersenyum manis sembari memeluknya hangat. Wajah Ibunya nampak berseri-seri. Tidak ada satu katapun yang terucap. Haira pun lupa bertanya karena sangat menikmati kehangatan pelukan Sang Ibu setelah beberapa tahun tak bisa didapatkannya lagi.
Keesokan harinya, ketiga sahabatnya dan juga Lintang, mengantarkan Haira ke Stasiun Kali Setail. Haira akan berangkat ke Yogyakarta menggunakan Kereta Api Wijaya Kesuma.
Awalnya Haira berniat untuk tidak menghadiri undangan tersebut. Dia tidak memiliki cukup uang untuk pergi. Meskipun dalam undangan panitia menyebutkan akan mengganti penuh semua ongkos perjalanan dan telah menyediakan penginapan di Yogya, tapi Haira sadar bahwa dia membutuhkan lebih dari sekedar tiket kereta pulang pergi.
Lagi-lagi Agni turun tangan. Juga Rahma dan Sumi. Ketiganya membuka celengan Semar yang mereka miliki. Patungan mengumpulkan uang untuk bekal Haira pergi. Haira tentu saja menolak keras. Tapi ucapan Agni membuat Haira sadar bahwa penolakannya sama sekali tidak beralasan.
"Kau harus pergi, Hai! Ini kesempatanmu untuk mulai menunjukkan kepada ISI Yogyakarta bahwa kau memang punya potensi sebagai penari hebat! Ini adalah pintu masuk bagimu untuk menjadi populer. Ingat! Kau membutuhkan kepopuleran untuk mencari uang. Uang kebutuhan kuliahmu nanti dan juga keperluan Lintang."
Haira memeluk erat Lintang. Dia sedih harus meninggalkan Adiknya meski hanya untuk beberapa hari. Tapi hatinya tenang karena Rahma dengan tegas mengatakan akan menjaga dan mengasuh Lintang selama ditinggalkan oleh Haira. Lintang akan dibawa pulang ke rumah orang tua Rahma di Pesanggaran. Di Genteng, Rahma tinggal di rumah kos yang sengaja dibeli oleh Ayah Rahma untuk menampung anak-anak Pesanggaran yang bersekolah di Kota Genteng.
Rahma adalah anak juragan kapal besar di Pesanggaran. Orang tuanya sukses dan kaya raya berkat menjadi pengusaha penangkapan ikan di laut selatan.
Lintang tidak menolak diajak Rahma. Dia sangat dekat dengan gadis manis berlesung pipit itu. Apalagi Rahma mengiming-imingi akan mengajak Lintang main ke pantai cantik di Pulo Merah. Sebuah destinasi wisata populer Banyuwangi yang terletak di bibir Samudera Hindia. Rahma juga berjanji akan membawa Lintang mengunjungi Pantai Mustika dan Pantai Wedi Ireng. Lintang yang belum pernah melihat pantai dan laut tentu saja semakin bersemangat. Anak lelaki itu tidak menangis saat Haira menaiki gerbong kereta yang akan membawanya ke Yogyakarta. Dia melambaikan tangan sambil menggenggam erat ujung baju Rahma.
Di dalam rangkaian Wijaya Kesuma, Haira membuka kembali jurnal Sang Ayah. Mengamati sebentar cover depan jurnal yang merupakan sketsa lukisan tangan Ayahnya. Haira tidak jadi membuka halaman dalam setelah menemukan sesuatu yang selama ini menjadi ganjalan rasa panasaran di hatinya.
Ini sketsa Pegunungan Ijen! Haira mencoba mencari-cari di internet melalui handphonenya. Benar! Cover jurnal Ayahnya menampilkan jajaran Pegunungan Ijen yang memanjang mulai dari Gunung Marapi yang berada di timur Kawah Ijen, Gunung Raung, Gunung Suket, dan Gunung Rante.
Sangat samar. Tapi jelas sekali sketsa itu menunjukkan rangkaian pegunungan Ijen. Tapi apakah ada maksud tertentu dari sketsa cover itu ya? Haira mengerahkan semua ingatannya. Barangkali ada sebuah momen dengan Ayah atau Ibunya yang berkaitan dengan hal tersebut. Haira menggelengkan kepala dengan kepala panas. Tidak mungkin Ayahnya hanya sekedar mempercantik cover jurnal dengan melukisnya secara khusus. Ini karya privat. Bukan publik. Tidak mungkin Ayahnya bersusah payah membuat sketsa rumit itu hanya untuk dirinya sendiri.
Haira mencoba mengabaikan untuk sementara. Dia lanjut pada halaman terakhir yang telah dibacanya. Berjumpa kembali dengan halaman kosong dengan tulisan kecil; Raung Meraung-79-17-0-20-13-6.
Haira membalik halaman karena putus asa mengartikan deretan angka aneh itu. Hatinya berdebar senang. Mulai halaman ini, Ayahnya bercerita tentang Ibunya. Halaman yang dibuka dengan kalimat romantis.
Titik balik dari kehidupanku yang penuh dengan debu dan batu, adalah saat menjumpai untuk pertama kali seorang gadis penari Banyuwangi yang gemulainya laksana pucuk nyiur di pantai Grajagan, kecantikannya semisterius Gua Istana di Alas Purwo, dan tariannya selembut ombak Plengkung di Bulan Juni.
Haira tersenyum dalam tidurnya seusai membaca kalimat romantis Joko Ludiro kepada Sekar Arum. Jurnal itu tergeletak manis di pangkuannya.
*********