Gerimis meninggalkan
lereng Raung yang kesepian
kedinginan dan menunggu
waktu mempersembahkan masa lalu
dalam perjamuan
film hitam putih
tentang sekumpulan rasa letih
Haira mengusap kepala Sumi yang tubuhnya sedang menggigil kedinginan. Haira memejamkan mata. Memohon kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi agar memberikan perlindungan dan kesembuhan kepada Sumi. Agni menyaksikan apa yang dilakukan oleh Haira sambil mengurut-urut kaki Sumi. Sedangkan para guru dan Kepala Sekolah yang masih cukup shock, berdiri memperhatikan.
Perlahan-lahan gigil tubuh Sumi mereda. Tubuhnya kembali menghangat. Agni bernafas lega. Begitu pula dengan guru dan Kepala Sekolah yang berencana hendak membawa Sumi ke rumah sakit.
Sumi membuka matanya. Kuyup dan sayu. Tatapannya langsung bertemu dengan mata Haira yang bersinar-sinar penuh harapan.
"Terimakasih Haira, Agni. Kalian telah menyelamatkan aku. Tahukah kalian apa yang kulihat sejak aku bertemu pandang dengan wanita cantik tadi?"
Haira dan Agni serentak menggeleng. Sumi menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan. Bibirnya bergetar saat berkata.
"Wanita itu, di belakang wanita itu, ada sosok tinggi besar yang sangat menyeramkan! Matanya yang merah melotot ke arahku. Mengancam. Sosok itu sempat menyentuhkan tangan besarnya yang berbulu ke lenganku. Hiiihhh! Ya Allah!"
Sumi bergidik ketakutan. Masih terbayang jelas dalam ingatannya. Sosok tinggi besar yang dipenuhi rambut dan bulu di sekujur badan, muka dan lengan, menatapnya dengan raut muka beringas.
Haira kembali memegang lengan dan tangan Sumi. Sahabatnya itu masih sangat shock. Wajar saja. Siapa sih anak gadis yang tidak girap-girap melihat penampakan seperti itu?
Hawa hangat mengalir dari tangan Haira ke tubuh Sumi. Gadis mungil itu tenang sekarang. Bibirnya kembali tersenyum sambil balas menggenggam tangan Haira. Dia menduga Haira pasti punya "sesuatu" sehingga bisa menenangkannya secepat itu.
Agni mengusap setitik air mata yang melompat dari sudut matanya. Dia terharu dengan kesungguhan Haira menolong Sumi. Sekaligus juga merasa iba melihat Sumi begitu tersiksa.
Hampir setengah harian Agni dan Haira menunggui Sumi dengan setia di UKS. Saat waktu sholat Asar tiba, Haira dan Agni membimbing Sumi untuk melaksanakan sholat Asar berjama'ah di mesjid sekolah.
Seusai sholat, wajah Sumi kembali memerah. Tidak pucat pasi lagi. Tubuhnya juga tidak selemah tadi. Haira dan Agni memutuskan untuk mengantar Sumi pulang. Mereka bonceng bertiga menggunakan sepeda motor.
Setelah mengantarkan Sumi, Agni dan Haira pulang ke rumah. Agni kebagian mengendarai dan Haira bonceng di belakang. Jarak rumah Sumi ke rumah Agni lumayan jauh. Mereka juga harus melewati jalanan yang membelah sawah luas. Di Banyuwangi, jalanan seperti itu disebut sebagai Bulak.
Belum sampai setengah perjalanan melintasi Bulak, mendadak sebuah mobil sedan melintas cepat mendahului Agni. Lalu mengerem sampai berbunyi berdecit-decit menghadang Agni dan Haira.
Han dan Seng turun. Agni yang terpaksa berhenti karena jalannya terhalang, ikut turun dan segera bersiaga. Ini gelagat tidak baik dari orang-orang tidak baik. Haira berdiri bersisian dengan Agni sambil melihat ke kanan dan kiri. Berharap ada orang lewat. Dua lelaki di depan mereka ini berperawakan tinggi dan kekar. Mana mungkin bisa melawan jika mereka berniat jahat.
Tapi Agni sama sekali tidak takut. Gadis tinggi besar itu bersikap tenang.
"Kenapa kalian menghadang kami?! Apa maksud kalian?!"
Han maju ke depan, sementara Seng diam-diam menyiapkan kamera video.
"Kamu pasti Agni dan itu jelas Haira." Han merogoh sakunya dan menyerahkan amplop coklat tebal kepada Agni.
"Ini uang sejumlah 50 juta. Untuk pembayaran lukisan Raung Meraung. Kami disuruh oleh Prof. Raka Prawira untuk mengambil lukisan itu dan membawanya ke Bali."
Haira tersentak kaget! Prof. Raka menyuruh dua orang bertampang mencurigakan ini mengambil lukisan Raung Meraung? Haira sama sekali tidak percaya! Lagipula Ayahnya tidak pernah berpesan bahwa lukisan tersebut dibeli. Pesan dari Ayahnya adalah bahwa dia hanya diminta untuk menyerahkan pesanan Raung Meraung kepada Prof. Raka Prawira.
Tapi Haira seorang gadis yang cerdik. Dia tidak bisa begitu saja mengatakan tidak. Bahaya bagi keselamatan mereka di tengah Bulak yang sepi ini.
"Tapi kami tidak membawa lukisan itu, Kak. Apa begini saja, kita janjian bertemu di Rumah Makan Bu Jamilah di Genteng? Aku akan membawakan lukisan itu kepada Kakak."
Han dan Seng saling berpandangan. Tentu saja lukisan itu tidak mungkin dibawa kemana-mana oleh Haira. Percuma mereka memaksa juga. Han maju hendak menangkap lengan Agni. Dipikirnya lebih baik jika Agni dijadikan sandera agar Haira tidak bisa mengelabuhi mereka.
Agni mengelak dengan lincah. Han menangkap udara kosong. Lelaki itu menggeram penasaran. Han kembali maju namun kali ini dengan gerakan yang lebih serius.
Agni lebih serius lagi. Dia malah yang berhasil menangkap lengan Han lalu melakukan gerakan bantingan. Heekkkk! Tubuh Han terbanting keras ke tanah. Agni menggunakan gerakan Pencak Sumping. Aliran silat khas Banyuwangi yang dipelajarinya sejak SD.
Kakek dari Sang Ibu yang merupakan pengasuh pondok pesantren di Kediri, mewajibkan semua anak cucunya untuk berlatih ilmu bela diri sejak kecil. Untuk kesehatan dan jaga diri. Begitu setiap kali Sang Kakek ditanya kenapa belajar bela diri wajib bagi semua keturunannya.
Haira hanya bisa bengong melihat Agni berhasil membanting lelaki yang seukuran dengan tubuhnya itu dengan mudah. Namun wajahnya kembali memucat saat Han sudah bangkit berdiri sambil meringis kesakitan dan melambai ke arah Seng yang juga terheran-heran melihat Han dipecundangi seorang gadis belia.
"Ayo Seng! Jangan cuma diam! Waktu kita tidak banyak. Ingat apa ucapan Koh Seong!"
Seng buru-buru maju ke depan. Kali ini mereka berdua serius dalam upayanya menundukkan Agni dan menculiknya. Han memasang kuda-kuda. Begitu pula Seng bersiap menyerbu Agni. Melihat dari gerakan dan posisi tubuh, Han dan Seng jelas sekali memiliki kemampuan bela diri Karate. Tadi Han dibanting dengan mudah oleh Agni karena terlalu memandang remeh.
Tapi Agni lagi-lagi tidak menunjukkan bahwa dia takut. Gadis itu juga memasang kuda-kuda dengan gerakan silat Pencak Sumping. Haira yang kebingungan. Dia tidak mungkin membantu Agni. Dia tidak memiliki kemampuan bela diri. Dia hanya bisa menari. Dalam paniknya Haira teringat pada bandul Nyai Gandari di lehernya. Dia tidak tahu apakah ini akan berhasil atau tidak, tapi setidaknya dia harus mencoba.
Haira maju ke depan. Berhadapan dengan Han dan Seng lalu menatap keduanya dengan pandang mata tajam. Dalam hati berdo'a sekuatnya agar Gusti Allah membantu menyelamatkan dia dan Agni. Sehebat-hebatnya Agni, tetap saja melawan dua lelaki dewasa yang memiliki kemampuan Karate, dia hanya punya kesempatan kecil.
Han dan Seng yang kaget melihat Haira yang maju, balas menatap Haira. Han merasakan kepalanya berputar. Pusing dan berkunang-kunang. Berbeda dengan apa yang dirasakan Seng. Lelaki itu seolah melihat "sesuatu" tumbuh di belakang gadis tinggi langsing itu.
"Sesuatu" yang terus membesar dan membentuk sebuah bayangan tinggi dan besar yang tertutupi cahaya samar berwarna putih. Bayangan yang makin jelas terbentuk dalam penglihatan Seng. Bayangan seekor harimau putih raksasa! Mulutnya menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang setajam pisau cukur!
Seng melangkah mundur. Ini tidak wajar!
--