Kejutan yang hadir
dan diharapkan
saat kita sedang lelah
adalah hujan gerimis
dan angin yang lembut
Kejutan yang datang tiba-tiba
saat kita berpikir bahwa
semuanya telah sempurna
ibarat petir
ketika hujan bahkan telah menjadi menhir
Haira dan Agni sampai di tempat yang telah diberitahu oleh Arya Jitendra. Sungai cukup besar yang menjadi tempat favorit orang-orang mancing. Banyak saung sederhana didirikan untuk para pemancing. Sebagian besar telah ditempati. Hanya tinggal beberapa yang kosong. Itupun yang berada di sudut-sudut.
Haira dan Agni menuju saung paling sudut. Sungai ini cukup besar. Bahkan nampak beberapa perahu kecil tertambat. Mungkin bagi para pemancing yang tidak menyukai memancing dari pinggir. Agni bergidik ngeri.
“Ih! Perahu itu sepertinya cuma muat untuk 1 orang. Ngeri! Aku gak mau naik perahu itu meski dibayar berapapun!”
Haira menyahut.
“Hati-hati dengan kata-katamu, Ag.”
Belum terlalu lama mereka berdua menikmati suasana tenang dan menyenangkan, langkah kaki tergesa-gesa Arya Jitendra mendatangi. Wajah dan tubuhnya penuh dengan keringat. Rupanya pemuda itu tidak sekedar berjalan. Tapi berlari kencang.
“Ayo Haira! Agni!” Arya Jitendra melambai dan turun ke pinggiran sungai di mana tertambat beberapa perahu kecil yang tadi dilihat oleh Haira dan Agni.
Wajah Agni langsung memucat saat Arya Jitendra melepaskan tali tambat dan menyuruh Haira naik terlebih dahulu di haluan. Arya menudingkan telunjuknya ke tengah perahu yang kosong. Bukan di tengah juga sebetulnya karena dengan 2 orang di atasnya saja, perahu itu sudah nyaris penuh! Raut muka Agni seperti kehabisan seluruh darah!
Agni hanya berdiri tak bergeming sama sekali. Haira menghela nafas. Agni sebenarnya bisa berenang. Dia sering adu kecepatan renang dengan Agni. Kenapa mesti takut sih pada sungai bagi seorang Agni?
Arya Jitendra hampir kehilangan kesabaran. Pemuda itu melambai Agni sekali lagi sambil berteriak.
“Agni! Mereka sedang menuju ke sini! Apakah kau mau sahabatmu ini tertangkap orang-orang yang menakutkan itu?!”
Belum selesai ucapan Arya, seketika saat itu juga, Agni melompat ke atas perahu. Melompat! Benar-benar melompat! Membuat perahu kehilangan keseimbangan dan terbalik. Ketiganya tercebur ke dalam sungai.
Para pemancing yang ada di situ menjadi kalang kabut. Bukan karena panik dan hendak menolong ketiganya, tapi ribut karena ikan-ikan sudah pasti berlarian semua dari tempat itu. Mereka menyumpah-nyumpah tak karuan kepada Arya, Haira, dan Agni yang sudah timbul di permukaan dan berusaha membalikkan perahu.
Arya nyengir minta maaf kepada semua orang. Pemuda itu melambaikan tangan dan berjalan menyeberang sungai lebar dan keruh itu setelah mengikat tali tambat. Haira ikut dari belakang. Disusul oleh Agni yang berjalan sambil tertawa geli bukan main.
Sungai dengan lebar 20 meter itu kedalamannya rata hingga ke seberang. Hanya sepinggang!
Sesampainya di seberang, dengan tubuh basah kuyup tak karuan, ketiga muda mudi itu tertawa terpingkal-pingkal. Mentertawakan Agni yang tadi ketakutan setengah mati.
“Aku tuh takut buaya, tau! Bukan karena gak bisa berenang!” Agni cemberut.
Arya Jitendra berjalan menerobos semak tinggi yang di bawahnya terdapat jalan setapak. Kedua sahabat itu mengikuti.
“Eh, lalu trukmu bagaimana Arya?” Haira bertanya penasaran.
Arya Jitendra berhenti berjalan. Mereka sudah sampai di pinggir jalan kampung.
“Aku sudah meminta tolong salah satu kawanku di Tabanan untuk menjemput trukku dan membawanya ke Pasar Badung.”
“Jadi benar mobilmu dipasang alat pelacak?” Agni bertanya menegaskan. Arya Jitendra mengangguk.
“Aku bisa pastikan iya. Cuma di bagian mana aku tidak tahu karena harus dilakukan pengecekan total. Dan itu butuh waktu. Kita tidak punya banyak waktu, bukan?”
-----
Marko Dusan menggenggam gagang dingin pistol FN 46 di saku jaketnya. Satu orang anak buahnya mengiringi dari belakang. Seorang lagi berada di sisi lain. Semi truk itu masih menyala mesinnya. Marko bergerak cepat membuka pintu truk sambil menodongkan pistol.
Seorang lelaki tua dengan baju compang-camping terkejut dan ketakutan melihat kedatangan Marko yang tiba-tiba. Apalagi moncong pistol itu terarah kepadanya. Di samping lelaki tua itu, dengan wajah ketakutan yang sama, terdapat dua lelaki yang seumuran, berwajah lusuh dan baju kotor, sedang menikmati roti dan kopi.
Marko Dusan menyarungkan pistolnya kembali dan memberi isyarat kedua anak buahnya kembali ke mobil.
Di dalam mobil, Marko Dusan menyumpah habis-habisan.
“Brengsek! Sialan! Mereka mengelabuhi kita! Aku kira sopirnya itu orang bodoh biasa penjual sayuran. Ternyata dia cerdik dan pandai!”
Marko memberi isyarat dengan muka kesal agar mobil dijalankan. Dia kehilangan jejak Haira sekarang. Marko mengangkat hapenya.
“Halo, Prof. Aku kehilangan jejak. Mereka berhasil meloloskan diri dariku. Prof tunggu saja di GWK ya? Mereka pasti sedang menuju ke situ.”
Terdengar suara sahutan di seberang.
“Tidak seperti Ayahmu, kau sama sekali tidak bisa diandalkan, Marko! Kau menganggap enteng tugas ini! Tugas untuk memastikan Raung Meraung sampai ke sini adalah tugas paling mudah di dunia, Hah!”
Marko menatap layar hape dengan pikiran berkecamuk. Prof. Raka Prawira memang sangat galak. Seandainya bukan karena perintah Ayahnya, sebenarnya dia tidak sudi berurusan dengan orang seperti Prof. Raka Prawira.
“Iya Prof. Aku akan coba cegat mereka lagi di seputaran Pasar Badung. Aku yakin sopir sayur itu mengawal kedua gadis cilik itu ke sana.”
Sahutan berang kembali terdengar.
“Lakukan! Lakukan dengan benar kali ini! Kau harus tahu bahwa pihak-pihak yang mengincar Raung Meraung sudah berkeliaran di Denpasar. Kau ingat Seong Lam Ko? Kau ingat Durgani Praba? Bahkan muncul satu lagi yang aku tidak menduga sama sekali. Luigi Bertolini si Death Trader juga ada di sini! Mereka semua beserta gerombolannya sudah ada di sekitaran Denpasar. Apakah kau pikir Haira akan sampai dengan mulus di GWK?”
Marko Dusan bengong. Astaga! Luigi Death Trader ikut juga dalam urusan ini?!
Sebelum menutup sambungan, Prof. Raka sempat menambahkan informasi yang juga sangat mengejutkan bagi Marko Dusan.
“Istana Yogya dan Mangkunegaran mengirim seseorang ke Bali. Seseorang yang menakutkan bagi para penjahat sepertimu. Seseorang yang pasti pernah kau dengar namanya. Dia ditugaskan oleh Istana Yoyakarta Hadiningrat dan Mangkunegaran untuk melindungi cucu mereka yang terancam oleh banyak orang di sini.”
Marko batal menutup sambungan. Siapa yang dimaksud Prof. Raka? Suaranya terdengar kesal. Prof. Raka terlalu meremehkan dirinya.
“Siapa Prof? Hit Man? 3 orang di sebelahku semua Hit Man tingkat atas Prof. Jangan khawatirkan aku kalau hanya seorang Hit Man yang datang!”
Suara Prof. Raka makin meninggi.
“Brengsek kau Marko! Kalau bukan anak Viktor, aku biarkan saja kau tanpa informasi yang sangat berbahaya ini!”
Marko meralat ucapannya cepat-cepat. Kalau sampai Prof. Raka melapor kepada Ayahnya tentang sikapnya yang melawan seperti ini, bisa-bisa belasan kali pipinya ditempeleng oleh Viktor Dusan di hadapan semua orang. Ayahnya itu sangat kejam. Bahkan terhadap anaknya sendiri. Marko bergidik.
“Maaf Prof. Aku tidak bermaksud meremehkanmu sedikitpun. Siapa orang yang dikirimkan oleh Istana Yogya dan Mangkunegaran?”
Terdengar helaan nafas panjang dari seberang. Prof. Raka berkata pelan namun ibarat guntur di telinga Marko Dusan.
“Mereka mengirimkan WSY, Marko. WSY sudah ada di Bali sejak kemarin malam.”
Hah! Marko Dusan ternganga.
--*****