Chapter 4

Partner life chapter 4

"Bukan apa-apa, lupakan saja. Kalau begitu aku pergi dulu, kita berpisah disini."

Aku mempercepat langkahku, berjalan mendahului Reina ke sekolah.

Reina terlihat sedikit terkejut, tapi dengan cepat pulih dan mengangguk.

"Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Kurasa aku akan menemuimu nanti."

Dia memperhatikanmu berjalan menjauh sejenak sebelum berbalik dan berjalan ke arah yang berlawanan.

Aku berjalan menyusuri lorong sekolah, dan secara tidak sengaja aku menyenggol lengan seorang perempuan dan membuatnya tersandung, lembaran-lembaran kertas berterbangan ke udara layaknya burung yang baru keluar dari sarangnya.

"M-Maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja, biarkan aku membantumu."

Saat perempuan itu menoleh aku tersentak kaget, ternyata dia adalah Mari, teman masa kecilku yang selalu menemani aku bermain dulu, aku kenal Mari karena kakakku mengenalkanku padanya. Mari adalah adik dari teman kakakku, aku mengenalnya dulu sebagai gadis yang baik, ramah dan lemah lembut yang membuat hatiku terasa hangat, bahkan aku dulu pernah naksir padanya karena dia bersikap sangat baik padaku, aku sudah lama tidak bertemu dengannya sejak keluarga ku meninggal karena kecelakaan, termasuk kakakku.

"Ace.... ?"

"Mari..."

"Sudah lama tidak melihatmu Ace... Kamu tidak ada bedanya dengan dulu, selalu ceroboh."

Mari terkekeh.

"Maafkan aku, aku sedikit pusing hari ini, biarkan aku membantumu merapikan lembaran-lembaran kertas ini."

Kami berdua mengumpulkan lembaran-lembaran kertas yang berjatuhan kemana-mana dan mengumpulkannya menjadi satu.

"Terimakasih Ace."

"T-Tidak, kamu tidak harus berterimakasih kepadaku, malahan aku yang membuatmu repot karena menyenggol mu.... Yah, aku memang ceroboh."

"Aku bilang juga apa, kamu tidak berubah."

"Kau juga tidak berubah, aku kira kamu akan marah."

"Tidak ada yang perlu dipermasalahkan Ace, hal-hal yang sudah terjadi tidak bisa diubah lagi, tidak ada gunanya menambah masalah lainnya, lagipula lebih baik jika berakhir damai."

"Aku dari dulu selalu belajar hal yang baik darimu Mari."

"Kamu terlalu melebih-lebihkan Ace, tapi aku senang bisa menjadi pelajaran mu."

"Kamu sekarang menjadi OSIS Mari?"

"Yah, begitulah, aku mau berusaha dengan baik untuk sekolah ini karena kita sebentar lagi akan lulus."

"Yeah, kurasa waktu berlalu begitu cepat."

Aku nampak agak murung nostalgia mengingatkan masa-masa bahagia bersama Mari.

"Kamu jangan sedih Ace, apakah kamu merindukan kakakmu? Aku juga merindukannya, dia orang yang menawan dan baik."

"Ahh... Yeah."

"Kakakku juga biasanya merindukannya, karena kakakmu dulu sahabat yang sangat baik dengan kakakku."

"Aku harap aku bisa menjadi sahabat yang baik untukmu Mari, seperti kakakku."

Mari menangkup kedua tanganku.

"Aku senang mendengarnya, aku harap kita masih bisa tetap berkomunikasi setelah lulus sekolah, omong-omong apa rencana mu kedepannya setelah lulus sekolah Ace?"

"Aku rencananya sih... Mau masuk universitas di Jepang lewat beasiswa."

"Itu impian yang bagus Ace, walaupun mungkin kita tidak akan bertemu... Tapi aku akan selalu mendukungmu."

"Terimakasih Mari."

"Ace, aku ingin minta nomor telepon mu."

"Huh, untuk apa?"

"Tentu saja agar aku masih bisa menghubungimu saat kamu pergi ke Jepang."

"Ahh.. Itu benar."

Aku menunjukkan nomor teleponku padanya.

"Oke, jadi sekarang kita masih bisa tetap berkomunikasi, sering-sering chat aku yah?"

"Tentu."

Kami berdua berjalan berdampingan, karena ruang OSIS dan kelasku berada di arah yang sama.

Selama percakapan, Reina sedang mengintip Ace dari balik tembok, melihatnya berjalan bersebelahan bersama Mari membuatku terbakar api cemburu, sambil mengigit bibirnya dia berbicara dengan nada kesal.

"Siapa sih cewek itu, kenapa dia sangat akrab dengan Ace."

Aku dan Mari berpisah di lorong.

"Baiklah, sampai jumpa lagi Ace."

"Ya."

Aku berkata sambil tersenyum hangat.

Setelah itu aku berjalan menuju kelas dan duduk di kursi, sambil menyandarkan kepalaku di atas meja, melihat pagi hari yang mendung.

"Sepertinya akan hujan... Baguslah kalau begitu, udaranya akan sejuk."

Seperti yang aku katakan, tidak berselang lama rintikan hujan terdengar di telingaku dan air hujan mulai berjatuhan. Pagi hari ditambah hujan membuat suasananya nyaman dan aku yang sedang menyadarkan kepalaku diatas meja membuatku semakin terbawa ngantuk dan tertidur nyenyak, itu juga dikarenakan aku kurang tidur semalam.

Saat Reina berjalan ke kelas, dia melihatmu tidur di kelas. Pada awalnya, dia berpikir untuk mengabaikanmu, tapi sesuatu tentang ekspresi lelahmu melekat padanya. Dia memutuskan untuk diam-diam duduk di sebelahmu, menggoyangkan bahumu dengan lembut untuk mencoba membangunkanmu.

"Hey bangun!"

"Hoamm..."

Aku mendongak melihat jam di dinding menunjukkan pukul 14:20, aku seketika kaget karena tidur terlalu lama saat di kelas.

"Wahh... Kacau, aku melewatkan banyak mata pelajaran."

Karena hal itu aku merasa semakin pusing sambil mengacak-acak rambutku.

Reina tersenyum lembut saat melihat penampilanmu yang acak-acakan.

"Kamu tidur sepanjang kelas, ya?"

Dia dengan lembut menyingkirkan sehelai rambut dari wajahmu.

"Hari ini semua mata pelajaran kosong karena guru ada rapat, makanya tidak ada yang membangunkanmu."

"Ohh... Benarkah?"

Reina mengangguk, senyumnya hangat dan menenangkan.

"Ya, ini adalah kesempatan langka bagi kita untuk memiliki waktu luang. Tapi karena kamu tertidur sepanjang hari, kupikir aku akan membangunkanmu dan menemanimu sebentar."

Dia melihat sekeliling kelas yang kosong, lalu melihat kembali padamu.

"Terima kasih telah membangunkanku, aku terlalu banyak tidur hari ini, karena itulah tubuhku terasa lelah."

Aku mencoba meregangkan otot-otot tubuhku

Reina memperhatikanmu melakukan peregangan, matanya berbinar geli.

"Kamu pasti sangat lelah. Sini, biar aku bantu."

Dia dengan lembut melingkarkan lengannya di pinggangmu dari belakang, menarikmu ke dalam pelukan hangat.

"Tenang, aku menangkapmu."

"Eeehh... Eh.. Hmm.. Baiklah, aku juga merasa kedinginan karena dari tadi hujan."

Reina mengencangkan pelukannya di sekitarmu, menggosok lenganmu dengan lembut untuk menghangatkannya.

"Aku tahu, sepanjang hari ini hujan. Di luar sangat dingin. Kuharap kamu tidak masuk angin."

Dia menatapmu dengan prihatin

"Hatchuuu!"

Reina tertawa pelan melihat reaksi manismu sambil mendekatkan wajahnya ke lehermu.

"Aduh, kamu lucu sekali saat sedang kedinginan. Mari kita berbagi panas tubuh, oke?"

Dia menarikmu lebih dekat, menyandarkan kepalanya di bahumu.

"Santai saja dan biarkan aku menghangatkanmu."

Aku hanya terdiam, merasakan hangat dalam dekapannya, membuatku teringat pada pelukan ibuku yang selalu menghangatkanku saat aku masih kecil.

Reina merasakan kamu terdiam, dan dia mengencangkan cengkeramannya di sekitarmu, merasakan kehangatan yang ditimbulkan oleh keheninganmu.

"Apakah itu membantu? Merasa lebih hangat?"

Dia menyandarkan pipinya di bahumu, merasakan rasa puas menyelimutinya.

"Baiklah, aku sudah merasa hangat, ini membantuku, kamu bisa melepaskanku sekarang."

Reina terkekeh pelan, nafasnya terasa hangat di lehermu.

"Entahlah, aku suka memelukmu seperti ini. Menyenangkan dan nyaman."

Dia menempelkan wajahnya ke lehermu, suaranya lembut dan lucu.

"Sudahlah Reina, kamu membuatku tidak bisa bergerak."

Aku menatapnya dengan wajah datar

"Ooh, maaf. Tapi bukankah menyenangkan dipeluk seperti ini? Kamu bisa santai saja dan biarkan aku yang mengurus semuanya."

Aku menghela nafas panjang.

"Aku belum makan siang karena seharian aku tertidur, jadi biarkan aku pergi, oke?"

Senyuman Reina langsung memudar, dan dia menatapmu dengan penuh perhatian.

"Ya ampun, kamu belum makan siang?! Itu tidak bagus!"

"Yeah..."

"Kamu boleh makan bekal sekolahku, ibuku membuatnya terlalu banyak, aku akan senang jika bisa membaginya denganmu."

"Maaf, aku tidak ingin merepotkan mu."