Chapter 9

Partner life chapter 9

Hari ini adalah dua hari lagi sebelum aku lulus dari sekolah, aku berdiri di depan gerbang sekolah, menatap tempat yang penuh kenangan ini, aku berangkat ke sekolah lebih awal dari biasanya karena itu di depan gerbang sekolah masih sepi,

Menghela nafas. "Hahh... Tempat yang cukup indah."

Aku terkejut saat merasakan tangan seseorang di pundak ku mengagetkanku dengan menepuk pundak ku dengan keras.

"Hai, Ace." Reina menatapku dengan tersenyum.

Aku terheran-heran sambil menunduk memegang kepalaku. "Astaga Reina, kamu mengejutkanku, dan juga kenapa kamu bisa berangkat sekolah lebih awal, ini masih terlalu pagi, biasanya kamu jam segini belum berangkat sekolah."

Reina terkikik "Oho, memangnya tidak boleh? Lagipula kamu juga kenapa jam segini sudah sampai didepan sekolah, diam didepan gerbang pula."

"Ahh, tidak kenapa-kenapa, aku memang suka berangkat pagi karena udaranya sejuk."

"Kalian mengabaikan ku?" Sambil menahan amarahnya.

Reina melambaikannya tangannya dengan cepat. "Ehh tidak tidak.. Maaf Novi, kami tidak bermaksud begitu. Eh iya Ace, perkenalkan ini temanku namanya Novi, dan Novi ini temanku namanya Ace."

Setelah Reina mengenalkan Novi kepadaku, aku memberikan senyuman tipis dan menjabat tangannya.

"Halo, Novi," ucapku singkat.

Novi menatapku dengan penuh rasa ingin tahu. "Senang bertemu denganmu, Ace. Reina sering bercerita tentangmu, katanya kau cukup misterius."

Aku mengangkat alis. "Jangan katakan itu, aku tidak suka dibilang misterius."

Reina tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Sudahlah, kalian berdua pasti cocok. Novi, Ace ini lebih baik daripada yang terlihat, walaupun kadang dia suka menyendiri."

Aku hanya mengangguk kecil, merasa tak perlu membantah atau menambahkan apa pun. Hari ini pikiranku masih berkecamuk tentang Mari.

Kami bertiga berjalan memasuki sekolah. Aku melangkah dengan langkah berat, perasaan bersalah menggumpal di dadaku. Aku merasa gagal memahami beban Mari dan gagal mencegah apa yang terjadi. Novi, yang tampaknya lebih banyak mengamati daripada bicara, sesekali melirikku, seolah tahu aku memikirkan sesuatu yang berat.

Setelah bel pertama berbunyi, Reina dan Novi berpamitan dan menuju kelas mereka. Aku kembali ke kelasku dengan langkah pelan, mencoba mengalihkan pikiranku dengan rutinitas sekolah.

Aku mengikutinya pembelajaran di kelas, menghabiskan waktu berdiskusi dengan kelompok belajar di kelasku dan juga pergi ke perpustakaan untuk membaca buku-buku favoritku, tidak hanya membaca buku tentang pelajaran tetapi kadang-kadang aku juga membaca buku novel. Setelah menjalani itu semua akhirnya bel istirahat kedua berbunyi, sekarang jam satu sore hari, aku duduk di pinggir lapangan olahraga menikmati suasana sore ini sendiri sambil merenung.

"Akhh." Punggungku ditinju oleh seseorang dari belakang dan membuatku terpental dari turunan, aku menengok kebelakang dari balik bahu ku. "Eh, Novi?"

Novi menatapku dengan senyum usil di wajahnya. "Kau terlalu banyak merenung, Ace. Jadi kupikir aku harus sedikit 'membangunkanmu'," katanya sambil menyilangkan tangan di dadanya.

Aku mengusap punggungku yang masih terasa sakit. "Cara membangunkanku bisa lebih lembut, kau tahu."

"Ah, tapi tidak seefektif ini, kan?" Novi terkikik kecil, lalu duduk di sampingku, matanya memandang ke arah lapangan yang kosong.

Aku menghela napas, mencoba mengabaikan rasa kesal yang mulai mereda. "Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini? Bukannya jam istirahat seperti ini kau lebih suka di kantin bersama Reina?"

Novi mengangkat bahu. "Reina sibuk dengan tugas kelompok. Lagipula, aku ingin mengenalmu lebih baik. Reina bilang kau menarik, tapi penuh misteri. Dan aku suka teka-teki."

Aku memutar mata, mencoba menutupi rasa gugup yang muncul tiba-tiba. "Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan ide itu. Aku hanya orang biasa."

"Tapi kau berbeda," ujar Novi, nadanya lebih serius sekarang. "Aku bisa merasakannya. Ada sesuatu tentangmu... sesuatu yang kau sembunyikan."

Aku terdiam, tatapanku beralih ke arah lapangan, menghindari tatapan matanya. Bagaimana mungkin seseorang yang baru kukenal seperti Novi bisa begitu tajam membaca suasana hati orang lain? Dalam hening itu, Novi tetap duduk di sampingku, tanpa menekan atau memaksa. Dia hanya menunggu.

"Semua orang punya sesuatu yang ingin mereka simpan sendiri," kataku akhirnya. "Bukan berarti itu sesuatu yang menarik."

Novi tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih hangat daripada usil. "Kau tahu, Ace, kadang-kadang bicara dengan seseorang yang tidak terlalu dekat bisa membantu. Mungkin aku hanya teman baru, tapi aku di sini kalau kau butuh."

Aku menoleh, sedikit terkejut oleh ketulusan dalam kata-katanya. Namun, sebelum sempat menjawab, suara Reina memanggil kami dari kejauhan.

"Hei, kalian berdua! Sedang apa di sini? Aku mencarimu, Novi!" Reina berlari mendekat, napasnya terengah.

Novi melambaikan tangan. "Kami hanya bicara, tenang saja."

Reina menatapku curiga, lalu tersenyum lebar. "Ace, kalau Novi terlalu banyak mengganggu, beri tahu aku. Dia kadang bisa berlebihan."

"Aku dengar itu, Reina!" Novi pura-pura protes, tapi matanya penuh tawa.

Saat mereka berdua saling bercanda, aku hanya tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya sejak lama, kehadiran mereka membuat hari yang terasa berat menjadi sedikit lebih ringan. Mungkin, aku pikir, memiliki teman seperti mereka tidak terlalu buruk.

Hari-hari berikutnya, Novi semakin sering muncul di sekitarku. Awalnya hanya kebetulan—atau setidaknya itulah yang dia klaim. Dia muncul di perpustakaan saat aku membaca, menyapaku di kantin saat aku sedang makan sendirian, bahkan sesekali menungguku di gerbang sekolah ketika hari berakhir. Aku tidak pernah mengundangnya untuk melakukan itu semua, tetapi Novi selalu memiliki alasan.

"Hanya ingin memastikan kau tidak terlalu banyak menyendiri," katanya suatu sore sambil menyeringai. "Kau tahu, orang yang terlalu banyak berpikir sering membuat keputusan yang buruk."

Aku tidak menjawab saat itu, tetapi kata-katanya menggelitik pikiranku. Novi bukan gadis biasa. Di balik senyum hangat dan kata-kata ramahnya, ada sesuatu yang tajam dan penuh perhitungan.

Suatu hari, saat aku duduk di taman belakang sekolah, Novi menghampiriku dengan ekspresi riang seperti biasanya, membawa dua kotak jus di tangannya.

"Minumlah," katanya, melemparkan satu kotak ke pangkuanku.

Aku menatapnya curiga. "Apa ini?"

"Jus apel. Jangan khawatir, aku tidak meracuninya." Dia duduk di sebelahku tanpa menunggu undangan, kemudian menyeruput jusnya sambil mengamati langit. "Kau tahu, Ace, Reina benar. Kau terlalu misterius."

Aku memutar mata. "Kau sudah mengatakan itu beberapa kali. Aku hanya orang biasa."

"Tapi kau tidak," katanya cepat, menatapku tajam. "Orang biasa tidak punya cara bicara sepertimu. Mereka tidak membawa beban di bahu mereka seperti yang kau lakukan. Dan mereka pasti tidak seceria itu di luar, padahal di dalam kepala mereka ada ribuan hal yang menghantui."

Aku terdiam. Cara Novi mengatakannya, dengan suara lembut tapi menusuk, membuatku merasa telanjang. Seolah dia melihat lebih banyak tentang diriku daripada yang aku sendiri tahu.

"Aku hanya cerdik membaca orang," lanjutnya, seolah tahu pikiranku. "Dan kau adalah teka-teki yang menarik."

"Apa yang kau inginkan, Novi?" Aku akhirnya bertanya, merasa lelah dengan permainan ini. "Tidak mungkin kau hanya ingin berteman denganku. Kau terlalu... manipulatif untuk itu."

Dia tersenyum kecil, matanya berkilat. "Aku hanya ingin tahu ceritamu, Ace. Apa yang membuatmu seperti ini? Apa yang kau sembunyikan? Kau bisa menganggapku menyebalkan, tetapi aku hanya ingin membantu."

Aku tertawa pendek, nada sinis terdengar di ujung suaraku. "Membantu? Kau bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupku."

"Benar," dia mengakui tanpa ragu. "Tapi aku tahu satu hal: kau butuh seseorang untuk mendengarkanmu, bahkan jika kau tidak menyadarinya. Dan aku... cukup ahli menjadi pendengar, jika aku boleh menyombongkan diri."

Aku menatapnya lama, mencoba mencari kebohongan di balik senyumnya, tapi tidak menemukannya. Novi memang manipulatif, tetapi dia tidak berbohong. Itu yang membuatnya membingungkan sekaligus menarik. Dia tidak takut menunjukkan kekuatannya, tetapi dia juga menawarkan sesuatu yang tulus.

"Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan," kataku akhirnya. "Tapi kalau kau ingin mendengar ceritaku, aku tidak yakin kau akan menyukainya."

Novi tertawa pelan, nadanya penuh percaya diri. "Aku suka cerita apa pun, Ace. Dan aku berjanji, aku tidak akan pernah bosan mendengarkanmu."

Entah kenapa, saat itu aku memutuskan untuk memberinya kesempatan. Mungkin dia benar. Mungkin, aku butuh seseorang seperti Novi. Tetapi, di sudut pikiranku, aku tahu aku harus berhati-hati. Novi bukan hanya sekadar gadis cerdik. Dia adalah teka-teki lain yang harus kupecahkan.