Xie Qingcheng, yang dingin, tegas, dan lurus seperti panah, tak pernah membayangkan bahwa suatu hari seorang pemuda akan mengutuknya sebagai lelaki tua mesum dalam pikirannya.
Ia juga tak pernah membayangkan bahwa pemuda yang sama—yang malam sebelumnya bertindak seperti seorang mesum kecil—telah memanjat tubuhnya dan menciumnya secara paksa dengan begitu penuh gairah, seolah hendak mendorong lidahnya ke dalam mulutnya.
Tampaknya, beberapa pelajar masa kini menempuh jalan yang benar-benar tak masuk akal, menggunakan ketampanan, kecerdasan akademik, serta fakta bahwa berabad-abad lalu mereka masih akan dianggap di bawah umur, sebagai senjata untuk bertindak semaunya.
He Yu adalah salah satu xueba yang demikian—menggunakan akting dalam sebuah drama sebagai pelarian dari patah hati akibat cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, ia hanyalah pengganti mendadak untuk peran yang tak terlalu signifikan, dan serial itu pun berdurasi pendek. Akibatnya, proses syuting selesai dengan cepat, dan ia kembali ke kampus.
Sebelum berangkat, ia mengirim pesan kepada Xie Qingcheng, lalu meninggalkan hotel sambil menarik kopernya.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Pada hari ketika He Yu kembali ke kampus, Chen Man mengundang Xie Qingcheng untuk berkunjung ke pemakaman bersamanya di pagi hari.
Polisi muda itu baru saja menyelesaikan kasus pertamanya seorang diri dan merasa bahwa pencapaiannya ini layak untuk dirayakan, jadi ia ingin berbincang dengan kakaknya.
"Itu adalah kasus lintas provinsi," kata Chen Man, membawa keranjang buah dan uang kertas persembahan saat ia berjalan melewati pemakaman menuju batu nisan kakaknya. Langkahnya terburu-buru hingga hampir tersandung semak.
"Kasus pencurian sepeda lintas provinsi," timpal Xie Qingcheng.
Wajah Chen Man memerah. "S-sepeda juga kendaraan. Itu tetap aset masyarakat..."
Xie Qingcheng mengabaikannya. Ia mengambil keranjang buah, meletakkannya di depan makam sebagai persembahan, lalu menyalakan uang kertas dan membakarnya. Panas dari api menciptakan distorsi samar di udara. Xie Qingcheng menatap foto polisi muda yang tampak gagah di batu nisan serta barisan karakter bertinta emas di bawahnya.
Untuk mengenang Chen Lisheng.
Hidup Chen Lisheng terputus di usia awal dua puluhan. Gambaran dirinya di ingatan Xie Qingcheng sudah mulai samar—ia hanya mengingat bahwa, tidak seperti Chen Man, Chen Lisheng adalah pemuda yang serius dan tenang. Saat ia membawa Chen Man, yang masih kecil saat itu, ke rumah keluarga Xie, setiap beberapa kalimat yang diucapkannya pasti disertai dengan "terima kasih" atau "maaf merepotkan."
Bahkan pesan terakhir yang ia kirim kepada rekan-rekannya sebelum dibunuh berbunyi, "Ada sesuatu yang terjadi hari ini. Aku mungkin akan terlambat. Maaf merepotkan."
Xie Qingcheng menatap batu nisan hitam pekat itu dan berkata, "Adik kecilmu sekarang sudah menjadi polisi yang bisa menangani kasusnya sendiri."
Chen Man segera menambahkan, "Di masa depan aku akan menjadi lebih hebat lagi! Aku ingin dipindahkan ke Departemen Investigasi Kriminal."
Xie Qingcheng menggeleng. "IQ-mu terlalu rendah."
Chen Man tidak bisa menemukan kata-kata untuk membalasnya.
"Sayangnya bagimu, seluruh kecerdasan jatuh kepada kakakmu."
Chen Man tahu bahwa Xie Qingcheng tidak ingin dia naik pangkat terlalu tinggi. Semakin tinggi dia mendaki, semakin kuat angin yang menerpa—satu langkah salah, dan dia bisa jatuh terjerembab hingga mati dengan mengenaskan. Oleh karena itu, dalam caranya sendiri untuk menunjukkan kepeduliannya, Xie Qingcheng selalu menghalanginya dengan kata-kata seperti ini.
Chen Man tidak marah. Sebaliknya, dia bergumam beberapa kata lagi kepada kakaknya, menyalakan sebatang rokok, lalu meletakkannya di depan altar persembahan sang kakak.
Dia memejamkan mata dan berbicara dengan kedua telapak tangan disatukan. "Ge, suatu hari nanti aku akan menyelesaikan kasusmu yang belum tuntas."
Keheningan menyelimuti mereka. Xie Qingcheng tahu bahwa Chen Man sedang merujuk pada kasus pembunuhan orang tuanya.
Kasus itu begitu pelik. Siapa pun yang memiliki mata jeli bisa melihat bahwa kematian orang tua Xie Qingcheng bukanlah kecelakaan lalu lintas biasa. Semua orang di kepolisian juga memiliki kecurigaan. Namun, apa yang bisa dilakukan? Ayah dan ibu Xie Qingcheng tidak tewas dalam tugas penyelidikan, sehingga mereka tidak bisa dianugerahi penghargaan sebagai pahlawan yang gugur dalam tugas.
Selain itu, dalang di balik kecelakaan tersebut tidak meninggalkan sedikit pun jejak kejahatan. Keadaan semakin rumit karena ada terlalu banyak pihak yang mungkin memiliki dendam terhadap kedua orang tua Xie Qingcheng. Keduanya adalah mantan petinggi kepolisian yang pernah menangani berbagai kasus kriminal besar. Sindikat kejahatan dan jaringan perdagangan narkoba sama-sama bisa menjadi tersangka. Pada akhirnya, semua bukti mengarah pada kecelakaan akibat kendaraan besar yang kehilangan kendali, dan polisi hanya bisa menutup kasus dengan kesimpulan itu. Sama sekali tidak mungkin membuka kembali penyelidikan atas kasus dingin semacam ini.
Xie Qingcheng telah melakukan segala cara untuk mencari kebenaran tentang kematian orang tuanya, tetapi pada akhirnya dia menyerah. Bahkan bagi seseorang yang setenang dirinya, tetap sulit untuk menatap masa depan ketika air mata belum sepenuhnya kering dan hati sudah lebih dulu mati.
Setelah selesai mengatur hio, Xie Qingcheng melihat bahwa Chen Man masih membutuhkan waktu lebih lama. Maka, dia pun berjalan-jalan di sekitar pemakaman.
Makam orang tuanya tidak terletak di sini. Harga sebidang tanah di tempat ini sangat mahal; biaya sebuah makam dengan mausoleum di sini bahkan cukup untuk membeli rumah di kota lapis kedua, dengan sisa uang yang tidak sedikit. Biaya perawatan tahunan saja sudah mengejutkan. Hanya mereka yang kaya dan berpengaruh yang bisa dimakamkan di sini.
Saat berjalan-jalan di antara makam-makam, Xie Qingcheng menemukan dirinya berdiri di depan sebuah patung.
Patung makam adalah salah satu tradisi pemakaman yang diadopsi dari gaya Eropa, di mana sosok almarhum dipahat dalam ukuran asli dari marmer dan ditempatkan di atas batu nisan. Patung yang berdiri di pemakaman yang sunyi ini menggambarkan seorang dokter mengenakan jas putih. Dia berkacamata tebal dan duduk di kursi, menatap sebuah buku di tangannya.
Di bawah patung itu tertera sebuah inskripsi:
Qin Ciyan (1957–2017)
"Pada akhirnya, satu-satunya hal yang tidak bisa ia sembuhkan adalah sifat dasar manusia."
Xie Qingcheng mengenal Qin Ciyan.
Mereka pernah menjadi rekan kerja.
Qin Ciyan adalah alumnus ternama dari Sekolah Kedokteran Huzhou dan sosok yang disegani dalam dunia bedah saraf. Dia lulus beberapa dekade lalu, melanjutkan pelatihan ke Amerika Serikat, lalu kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studinya. Dia pernah menjadi profesor di almamaternya dan memimpin tim riset.
Separuh hidupnya dihabiskan dengan pencapaian luar biasa, melebihi kebanyakan orang dalam satu kehidupan penuh. Tidak diragukan lagi, dia telah meraih kesuksesan dan pengakuan. Seharusnya, dia bisa menikmati masa tuanya dengan tenang, duduk di bawah cahaya lampu dengan secangkir teh hangat di tangannya. Namun, Tuan Qin memilih untuk tetap berada di garis depan.
Seorang ahli bedah mustahil untuk melepaskan pisau bedah demi pena.
Maka, ketika Profesor Qin pensiun dari Yanzhou pada usia enam puluh tahun, dia kembali ke kampung halamannya dan bergabung kembali dengan dunia kerja di Rumah Sakit Rakyat Pertama Huzhou. Di sanalah dia dan Xie Qingcheng menjadi rekan kerja.
Namun, pada suatu malam empat tahun lalu, ketika Qin Ciyan yang berusia enam puluh tahun sedang berada di kantornya, bersiap-siap untuk pulang merayakan ulang tahun istrinya, tiba-tiba muncul seorang pemuda dengan janggut tipis di ambang pintu, membawa keranjang buah dan spanduk sutra. Pemuda itu mengaku sebagai keluarga pasien dan datang jauh-jauh ke rumah sakit hanya untuk berterima kasih secara pribadi kepada Direktur Qin atas kehidupan yang telah diselamatkannya bagi sang ibu.
Qin Ciyan memiliki banyak pasien seperti itu. Melihat bahwa pemuda itu berkeringat deras dan wajahnya pucat, Dokter Qin menyimpulkan bahwa dia pasti telah menempuh perjalanan yang panjang, lalu mengundangnya masuk ke kantor untuk menikmati secangkir teh.
Namun, siapa yang bisa menduga bahwa saat sang dokter tua menundukkan kepala untuk menuangkan air dan menyeduh teh, pemuda yang tampak penurut itu diam-diam bangkit dari tempat duduknya, lalu mengeluarkan pisau tajam dari dasar keranjang buah—bilah baja itu berkilat dingin di bawah cahaya lampu. Saat Qin Ciyan berbalik dengan senyum, teh yang sudah siap di tangannya, ekspresi pemuda itu telah berubah total. Matanya melotot dengan cara yang mengerikan, dan dengan teriakan nyaring, dia melancarkan serangan brutal.
Inilah kasus pembunuhan medis Yi Beihai yang mengguncang seluruh negeri empat tahun lalu.
Berdasarkan rekaman pengawasan yang dikumpulkan kepolisian, pelaku, Yi Beihai, menekan tubuh Dokter Qin Ciyan yang sudah renta ke dinding, lalu menikam dada dan perutnya sebanyak tiga belas kali. Darah segar menyembur ke seluruh ruangan kantor yang relatif kecil itu—dari berkas pasien yang ditulis tangan di atas meja hingga spanduk sutra yang dibawa oleh pembunuh sebagai penyamaran—semuanya berubah menjadi merah menyala yang mengerikan.
Ketika orang-orang yang mendengar keributan datang berlarian ke dalam kantor, Yi Beihai sudah berlumuran darah sedemikian rupa hingga sulit dibedakan apakah dia masih manusia atau sudah menjelma menjadi iblis. Di hadapan semua orang yang terpaku dalam keterkejutan mereka, dia mengangkat tubuh dokter tua yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk dunia medis, lalu melemparkannya keluar jendela.
Jatuh dari ketinggian seperti itu, jasadnya hancur berkeping-keping seketika saat menghantam tanah dengan suara yang menggelegar.
Setelah melihat hasil perbuatannya, Yi Beihai menarik kepalanya dari jendela, lalu berdiri di tengah genangan darah dengan pisau yang masih meneteskan cairan merah keji itu. Dia mendongak ke langit dengan senyum miring dan berteriak, "Balas dendam! Karena telah menipu orang demi uang! Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu!"
Namun, kebencian berdarah macam apa yang menyebabkan tragedi ini?
Apa yang sebenarnya mendorong seorang pemuda, yang merupakan keluarga pasien, untuk melakukan perbuatan sekeji ini terhadap seorang dokter tua yang rambutnya telah memutih?
Hasil investigasi kepolisian yang dipublikasikan setelahnya membangkitkan amarah di seluruh lapisan masyarakat, dan opini publik pun mendidih bak minyak panas.
Terungkap bahwa ibu Yi Beihai adalah seorang pasien kanker otak dengan glioma. Tumor tersebut bersifat ganas dan terletak di area otak yang sangat berisiko. Setelah mengunjungi berbagai rumah sakit, tidak ada satu pun dokter yang berani melakukan operasi terhadapnya.
Sebagai seorang ibu tunggal, wanita itu takut bahwa berobat hanya akan membuang-buang uang, sehingga dia memilih untuk tidak menjalani pengobatan dan lebih memilih menunggu ajal menjemput. Namun, anak laki-lakinya, yang sudah berusia di atas tiga puluh tahun, masih bergantung sepenuhnya pada ibunya, bermalas-malasan sepanjang hari tanpa bekerja. Karena takut tidak ada yang akan merawat anaknya yang tidak berguna setelah dirinya meninggal, dia tidak berani untuk mati begitu saja.
Seorang ahli bedah mustahil untuk melepaskan pisau bedah demi pena.
Maka, ketika Profesor Qin pensiun dari Yanzhou pada usia enam puluh tahun, dia kembali ke kampung halamannya dan bergabung kembali dengan dunia kerja di Rumah Sakit Rakyat Pertama Huzhou. Di sanalah dia dan Xie Qingcheng menjadi rekan kerja.
Namun, pada suatu malam empat tahun lalu, ketika Qin Ciyan yang berusia enam puluh tahun sedang berada di kantornya, bersiap-siap untuk pulang merayakan ulang tahun istrinya, tiba-tiba muncul seorang pemuda dengan janggut tipis di ambang pintu, membawa keranjang buah dan spanduk sutra. Pemuda itu mengaku sebagai keluarga pasien dan datang jauh-jauh ke rumah sakit hanya untuk berterima kasih secara pribadi kepada Direktur Qin atas kehidupan yang telah diselamatkannya bagi sang ibu.
Qin Ciyan memiliki banyak pasien seperti itu. Melihat bahwa pemuda itu berkeringat deras dan wajahnya pucat, Dokter Qin menyimpulkan bahwa dia pasti telah menempuh perjalanan yang panjang, lalu mengundangnya masuk ke kantor untuk menikmati secangkir teh.
Namun, siapa yang bisa menduga bahwa saat sang dokter tua menundukkan kepala untuk menuangkan air dan menyeduh teh, pemuda yang tampak penurut itu diam-diam bangkit dari tempat duduknya, lalu mengeluarkan pisau tajam dari dasar keranjang buah—bilah baja itu berkilat dingin di bawah cahaya lampu. Saat Qin Ciyan berbalik dengan senyum, teh yang sudah siap di tangannya, ekspresi pemuda itu telah berubah total. Matanya melotot dengan cara yang mengerikan, dan dengan teriakan nyaring, dia melancarkan serangan brutal.
Inilah kasus pembunuhan medis Yi Beihai yang mengguncang seluruh negeri empat tahun lalu.
Berdasarkan rekaman pengawasan yang dikumpulkan kepolisian, pelaku, Yi Beihai, menekan tubuh Dokter Qin Ciyan yang sudah renta ke dinding, lalu menikam dada dan perutnya sebanyak tiga belas kali. Darah segar menyembur ke seluruh ruangan kantor yang relatif kecil itu—dari berkas pasien yang ditulis tangan di atas meja hingga spanduk sutra yang dibawa oleh pembunuh sebagai penyamaran—semuanya berubah menjadi merah menyala yang mengerikan.
Ketika orang-orang yang mendengar keributan datang berlarian ke dalam kantor, Yi Beihai sudah berlumuran darah sedemikian rupa hingga sulit dibedakan apakah dia masih manusia atau sudah menjelma menjadi iblis. Di hadapan semua orang yang terpaku dalam keterkejutan mereka, dia mengangkat tubuh dokter tua yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk dunia medis, lalu melemparkannya keluar jendela.
Jatuh dari ketinggian seperti itu, jasadnya hancur berkeping-keping seketika saat menghantam tanah dengan suara yang menggelegar.
Setelah melihat hasil perbuatannya, Yi Beihai menarik kepalanya dari jendela, lalu berdiri di tengah genangan darah dengan pisau yang masih meneteskan cairan merah keji itu. Dia mendongak ke langit dengan senyum miring dan berteriak, "Balas dendam! Karena telah menipu orang demi uang! Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu!"
Namun, kebencian berdarah macam apa yang menyebabkan tragedi ini?
Apa yang sebenarnya mendorong seorang pemuda, yang merupakan keluarga pasien, untuk melakukan perbuatan sekeji ini terhadap seorang dokter tua yang rambutnya telah memutih?
Hasil investigasi kepolisian yang dipublikasikan setelahnya membangkitkan amarah di seluruh lapisan masyarakat, dan opini publik pun mendidih bak minyak panas.
Terungkap bahwa ibu Yi Beihai adalah seorang pasien kanker otak dengan glioma. Tumor tersebut bersifat ganas dan terletak di area otak yang sangat berisiko. Setelah mengunjungi berbagai rumah sakit, tidak ada satu pun dokter yang berani melakukan operasi terhadapnya.
Sebagai seorang ibu tunggal, wanita itu takut bahwa berobat hanya akan membuang-buang uang, sehingga dia memilih untuk tidak menjalani pengobatan dan lebih memilih menunggu ajal menjemput. Namun, anak laki-lakinya, yang sudah berusia di atas tiga puluh tahun, masih bergantung sepenuhnya pada ibunya, bermalas-malasan sepanjang hari tanpa bekerja. Karena takut tidak ada yang akan merawat anaknya yang tidak berguna setelah dirinya meninggal, dia tidak berani untuk mati begitu saja.
Namun, kondisi wanita itu terus memburuk seiring dengan keraguannya dalam mengambil keputusan. Pada akhirnya, ia mendengar bahwa Departemen Neurologi di Rumah Sakit Pertama Huzhou sangat terkenal, dengan dokter-dokter yang memiliki etika medis tinggi. Selain keterampilan bedah terbaik, beberapa staf yang berhati mulia bahkan berusaha membantu pasien miskin mencari cara untuk mengumpulkan dana atau mengurangi biaya pengobatan atas dasar belas kasihan.
Dengan hati penuh harapan, wanita itu membawa karung goni berisi makanan laut khas dari kampung halamannya dan menaiki kereta hijau tua yang membawanya ke kota metropolitan yang asing ini.
Namun, sesampainya di sana, ia merasa sangat kebingungan dengan kota yang dipenuhi gedung bertingkat dan jalanan berundak. Wanita yang bahkan tidak tahu cara melakukan pembayaran elektronik ini membutuhkan waktu lama untuk menemukan rumah sakit. Setelah akhirnya sampai, ia tidak tahu bagaimana cara mendaftar untuk konsultasi. Karena sifatnya yang pemalu, ia hanya berdiri di lobi rumah sakit yang ramai sepanjang hari.
Menjelang akhir jam kerja, seorang dokter akhirnya memperhatikan wanita yang mengeluarkan bau amis menyengat itu.
Dokter tersebut menanyakan tujuan kedatangannya, meminta informasi pribadinya, dan bahkan memberikan nomor teleponnya, berjanji akan membantu mencari solusi.
Setelah pertemuan itu, setumpuk tebal rekam medisnya diserahkan ke Departemen Bedah Saraf di Rumah Sakit Pertama Huzhou. Tidak ada yang tahu apa yang dibahas di balik pintu tertutup, tetapi pada akhirnya, wanita itu benar-benar mendapatkan diskon yang diharapkannya, dan operasi pun dijadwalkan. Dengan penuh rasa syukur, ia mulai menantikan awal kehidupan barunya.
Sementara itu, anak laki-lakinya yang kecanduan judi tetap tinggal di kampung halaman mereka yang jauh, tanpa sekalipun menemani ibunya.
Biaya operasi memang telah dikurangi, tetapi di tempat mewah seperti Huzhou, di mana tanahnya seolah berlapis mutiara dan emas tak lebih berharga dari besi, biaya hidup tetaplah sangat tinggi bagi wanita itu. Ia hidup dengan sangat hemat, menyewa kamar kecil di sebuah penginapan yang dipenuhi delapan tempat tidur dan berbau lembap serta jamur. Untuk makan, ia membagi satu roti kukus Gaozhuang menjadi tiga kali santapan dan hanya minum air panas dari pos amal.
Di akhir bulan, ponsel tuanya yang penuh goresan berdering. Peneleponnya adalah anak laki-lakinya, dan isi pembicaraan mereka sudah bisa ditebak—ia meminta uang.
"Aku sedang menjalani pengobatan di Huzhou dan harus mengeluarkan banyak uang. Bulan ini aku benar-benar tidak punya sisa apa pun..."
"Apa?!" Pemuda di ujung telepon langsung meledak marah, suaranya hampir menembus gendang telinga ibunya yang lemah. "Tidak ada uang?! Lalu bagaimana denganku bulan ini? Siapa yang akan mengurusku? Aku tidak peduli! Pokoknya, kau harus cari cara! Aku bahkan tidak punya makanan sialan untuk dimakan!"
Wanita itu membungkuk, menggenggam ponsel tuanya yang penuh goresan erat-erat. Ia tergagap seolah telah melakukan kesalahan. "Aku benar-benar tidak punya uang lagi. Waktu pertama kali datang ke sini, aku tidak tahu jalan dan harus naik bus beberapa kali. Tapi sekarang aku sudah hafal jalannya, jadi aku bisa berjalan kaki. Biaya pengobatanku juga sudah dikurangi... Aku akan berhemat lebih banyak lagi, jadi bulan depan aku pasti punya uang... Jangan khawatir..."
"Siapa yang menyuruh Ibu menjalani pengobatan di Huzhou?" lelaki itu terus berteriak dengan marah. "Sudah kubilang! Tempat itu hanya bagus untuk menipu orang-orang kaya bodoh yang memiliki terlalu banyak uang! Apa yang Ibu lakukan di sana? Bukankah sudah cukup bagi Ibu untuk berobat di kabupaten kita sendiri? Ibu makan dan minum dengan puas setiap hari. Penyakit serius apa yang sebenarnya Ibu derita?! Sungguh pemborosan uang!"
Saat mendengarkan, air mata besar mengalir dari sudut matanya yang penuh kerutan dan jatuh ke lantai beton hotel kecil yang berminyak.
Sementara itu, putranya terus mengamuk. "Mengapa Ibu begitu ingin membayar para dokter itu, hah? Tidakkah Ibu tahu bahwa mereka hanya mengincar uang Ibu? Setiap hari, mereka mengeruk keuntungan dari penderitaan orang lain, berharap orang-orang bodoh seperti Ibu jatuh sakit agar mereka bisa mengantre memberikan uang! Jika tidak begitu, bagaimana mereka bisa mempertahankan rumah sakit mereka? Dan sekarang, setelah Ibu membiarkan mereka menipu habis-habisan, Ibu bahkan tidak bisa mengurus anak sendiri!" katanya dengan nada menghina.
Setelah mencaci maki ibunya, Yi Beihai menutup telepon dengan kasar, enggan membuang lebih banyak kata untuknya. Dengan marah, ia mengenakan pakaiannya, mengambil lima puluh yuan terakhir yang ia simpan di bawah tempat tidurnya, lalu menuju ke rumah judi ilegal di pintu masuk desa.
Sesaat, dalam kesedihannya yang mendalam, wanita itu merasa tidak ingin menjalani pengobatan lagi. Namun, pada akhirnya, para dokter di rumah sakit yang menghiburnya dan menghubungi Yi Beihai.
Pada akhirnya, dengan enggan Yi Beihai menyetujui bahwa selama mereka tidak mengambil uang darinya, ibunya bisa menjalani operasi jika menginginkannya. Ia juga tidak mau repot-repot pergi ke Huzhou, jadi ia hanya memverifikasi risiko operasional melalui telepon dan meninggalkan rekaman suara yang menyatakan bahwa, ketika saatnya tiba, ibunya bisa menandatangani formulir persetujuan medis sendiri.
Prosedur ini agak menyimpang dari standar, tetapi meskipun ada keberatan dari dalam rumah sakit, demi menghormati reputasi Qin Ciyan, seluruh prosedur tetap dilaksanakan sesuai rencana. Rawat inap, rehabilitasi, pengarahan praoperasi… Semuanya diatur dengan sistematis dan dijalankan dengan terstruktur.
Hari operasi akhirnya tiba. Para dokter kembali meninjau risiko prosedur pembedahan dengan wanita itu, menjelaskan bahwa lokasi tumor berada di area yang sangat berbahaya. Jika tidak menjalani operasi, ia kemungkinan hanya bisa bertahan hidup selama tiga bulan lagi, tetapi operasi ini juga membawa risiko besar—jika gagal, ia bisa meninggal di meja operasi.
"Kalau begitu… bolehkah saya menelepon sekali lagi?" wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit bertanya dengan suara ragu-ragu.
Telepon seluler diserahkan kepadanya. Dengan tangan gemetar, wanita itu menekan nomor, berharap bisa berbicara beberapa kata lagi dengan putranya sebelum melangkah ke gerbang antara hidup dan mati.
Namun, setelah menunggu nada sambung yang panjang di ujung telepon, satu-satunya jawaban yang ia terima adalah suara otomatis dingin dari mesin penjawab yang telah ia dengar sehari sebelumnya.
Yi Beihai adalah seorang pecandu judi. Ia kehilangan akal sehatnya begitu memasang taruhan pertama, sehingga tidak mungkin ia meluangkan waktu untuk menjawab telepon dari ibunya yang sudah lanjut usia.
Akhirnya, wanita itu perlahan meletakkan teleponnya, matanya basah. Sambil terisak, ia tersenyum. "Terima kasih, Dokter. Umm…"
"Ada apa?"
Wanita itu tampak ragu sejenak, jelas terlihat bahwa ia sedang berjuang dengan rasa malu untuk mengungkapkan sesuatu.
Dokter muda yang bertanggung jawab atas prosedur praoperasi itu berkata dengan lembut, "Bibi, silakan katakan apa pun yang ingin Bibi sampaikan. Tidak apa-apa."
Suara wanita itu bergetar sedikit saat ia bertanya, "Apakah akan terasa sakit?"
"Mm?"
"Operasinya… apakah akan sakit?" wanita itu bertanya lagi, merasakan wajahnya mulai menghangat karena rasa malu yang samar-samar muncul dari balik kulitnya yang pucat kekuningan.
"Oh." Dokter muda itu akhirnya memahami maksudnya dan menenangkannya dengan sebuah senyuman. "Tidak akan sakit, Bibi. Kami akan menggunakan anestesi—obat yang akan membuat Bibi tertidur sebentar. Tidak akan terasa sakit sama sekali. Saat Bibi bangun, semuanya sudah selesai."
Mendengar jaminan lembut dari dokter muda itu, sesuatu yang menyerupai harapan muncul di mata wanita itu.
Jadi, tidak akan sakit sama sekali…
Saat ia didorong menuju ruang operasi, ia menatap langit-langit rumah sakit yang putih bersih serta para dokter dan perawat di sekelilingnya, yang sudah bersiap untuk melakukan yang terbaik. Dalam benaknya, ia masih mengingat kata-kata terakhir yang ia dengar, dan bibirnya yang kering dan mengecil melengkung membentuk senyum samar, penuh kerendahan hati.
Dokter bedah yang memimpin operasi adalah Qin Ciyan. Qin Ciyan sudah berusia lanjut, dan hari itu ia telah melakukan tiga operasi besar, sehingga kondisinya tidak dalam keadaan terbaik. Namun, hanya dialah yang cukup berpengalaman untuk menangani operasi yang sesulit ini.
Menit demi menit berlalu, dan keringat mulai meresap melalui pakaian bedah hijau yang melindungi tubuh dokter tua itu.
"Pinset."
"Kasa."
"Berikan dua lembar kasa lagi."
Tenang dan stabil.
Otot-ototnya menegang, dan matanya tidak berkedip sedikit pun selama momen-momen paling krusial.
Orang pertama yang menyadari ada sesuatu yang tidak beres adalah asisten ahli bedah. Saat ia menerima nampan bedah dari Qin Ciyan, ia memperhatikan bahwa tubuh dokter itu tampak sedikit goyah.
Dokter tetaplah manusia, dan kadang-kadang, dokter pun bisa menjadi pasien.
Saat asisten bedah itu melirik Qin Ciyan dengan cemas, dokter tua itu juga menyadari bahwa ia tidak bisa melanjutkan lebih lama lagi. Ia perlahan dan hati-hati menyelesaikan prosedur yang sedang ia lakukan. Kemudian, dengan suara tenang agar tidak membuat orang lain panik, ia berkata, "Penglihatanku mulai kabur, dan aku merasa pusing."
Sambil berbicara, ia melangkah mundur beberapa langkah. Ia hendak mengatakan sesuatu lagi ketika dunia tiba-tiba menjadi gelap, dan ia pun jatuh pingsan…
Ini adalah pertama kalinya hal seperti itu terjadi pada Qin Ciyan. Ia memiliki kadar kolesterol tinggi dan menderita trombosis vena jugularis yang parah. Akibat kondisinya, ia sering mengalami mual dan sakit kepala, tetapi tidak pernah sampai menyebabkan pusing atau pingsan.
Meskipun kecelakaan semacam ini jarang terjadi di rumah sakit, bukan berarti mustahil. Saat menjalani pelatihan, para dokter diajarkan cara menyelesaikan operasi dengan tim yang tersisa jika terjadi keadaan darurat. Namun, lokasi tumor wanita itu terlalu berisiko. Meskipun para dokter lain telah berusaha sebaik mungkin, operasi tetap berakhir dengan kegagalan.
Sang ibu telah tiada.
Tiba-tiba, sang anak berubah menjadi sangat berbakti; bukan karena ketulusan, tetapi karena ia tidak memiliki pilihan lain. Ia selama ini sangat bergantung pada uang saku kecil yang diberikan ibunya setiap bulan. Lebih dari itu, dengan kepergian ibunya, ia kehilangan pengurus rumah, juru masak, sekaligus pelayan pribadinya. Yi Beihai merasa seakan jatuh ke dalam jurang neraka; ia tidak bisa menerimanya.
Setelah merenung beberapa saat, akhirnya Yi Beihai menyimpulkan bahwa semua ini adalah kesalahan para dokter.
Mereka pasti telah menipu ibunya agar menjalani operasi dan tetap dirawat di rumah sakit hanya demi menguras sisa uangnya.
Bantuan? Pengurangan biaya?
Bagaimana mungkin keberuntungan seperti itu datang begitu saja? Pasti mereka menganggap bahwa mereka belum cukup memeras hartanya dan melihat wanita tua itu sebagai kelinci percobaan gratis dalam eksperimen medis. Para penipu itu pasti telah membujuk ibunya yang malang—terasing dan kebingungan di tempat yang asing—hingga akhirnya kehilangan nyawanya di meja operasi secara sia-sia.
Semakin ia memikirkannya, semakin yakinlah Yi Beihai. Ia berbaring di ranjangnya di tengah malam yang kelam, sementara suara burung hantu yang aneh dari luar desa kecil mulai terdengar seperti tawa mengejek, bergema dalam kepalanya hingga berubah menjadi pusaran kebencian yang menyeretnya ke dalam kegelapan.
Keesokan harinya, Yi Beihai—pria miskin dari desa terpencil yang terbelakang secara ekonomi dan budaya, yang berhutang pada siapa pun yang ia kenal—mengorek sebuah pisau daging berkarat dari rumahnya. Ia mengasahnya di atas batu hingga berkilat tajam, lalu membungkusnya dengan handuk tebal yang kotor.
Kemudian, ia pergi ke toko kecil di pintu masuk desa, mengancam pemiliknya hingga menyerahkan seluruh uang tunai yang ada, lalu berangkat menuju Huzhou.
Beberapa hari kemudian, berita tentang insiden pembunuhan medis yang dilakukan Yi Beihai meledak seperti petir yang menggelegar di seluruh negeri, mengguncang hati masyarakat.
Media berita dan platform sosial dipenuhi dengan keterkejutan atas peristiwa tersebut, kebencian terhadap pelaku, dan duka mendalam atas kepergian Qin Ciyan. Namun, perlahan-lahan, di tengah kekacauan itu, muncullah ular-ular licik dan kalajengking berbisa dari sarang mereka.
"Apakah Qin Ciyan benar-benar sebaik dan sebermoral itu?"
"Memang benar, kematian ibu Yi Beihai cukup mencurigakan."
"Yi Beihai patut dikasihani. Ia dan ibunya hidup dalam kemiskinan, bahkan tidak tahu apakah mereka akan bisa makan esok hari. Jadi, wajar saja jika pikirannya menjadi begitu terdistorsi…"
Berkat beberapa akun resmi dan terverifikasi di WeChat serta Weibo, artikel-artikel sensasional dan perdebatan semacam ini mulai menyebar. Demi menarik perhatian, semakin banyak orang yang mulai meragukan Qin Ciyan—mulai dari penelitian akademisnya hingga integritas moralnya. Beberapa bahkan berpendapat bahwa ia seharusnya sudah pensiun jika usianya sudah terlalu tua—lagipula, tidak perlu egois mempertahankan jabatan dan kewenangan hanya untuk mencelakai diri sendiri maupun orang lain.
Lebih dari itu, mereka mulai menggali informasi tentang kehidupan pribadi Qin Ciyan dan keluarganya. Mereka mempertanyakan mengapa putrinya menikah dengan orang asing dan pindah ke luar negeri—karena apa hebatnya orang asing? Bukankah itu sama saja dengan membiayai pengkhianat dengan uang negara?
Mereka bertanya mengapa istri Qin Ciyan menikah dengannya padahal usianya lebih dari sepuluh tahun lebih muda, lalu menyimpulkan bahwa pasti karena mengincar hartanya. Bahkan, mereka mulai berspekulasi apakah wanita itu benar-benar istri sahnya.
"Ayo, gali lebih dalam! Mungkin kita akan menemukan bahwa dia sebenarnya hanya seorang selingkuhan yang merebut tempat istri pertama!"
Kehidupan pribadi sang korban berubah menjadi candu bagi para penonton ini, membutakan mereka dari bau darah yang masih belum kering di rumah sakit. Dengan penuh kegembiraan, mereka menghancurkan batas-batas privasi dan membuang nurani mereka begitu saja.
Ada juga seorang pengguna Weibo terverifikasi lainnya yang berhasil menggali sebuah film dokumenter dari sudut terdalam internet. Film tersebut dibuat lebih dari satu dekade lalu dan menampilkan perjalanan Qin Ciyan ke garis depan dalam sebuah misi bantuan bencana untuk merawat para korban luka.
Akun itu tahu betul bagaimana menciptakan kehebohan tanpa harus menanggung akibatnya. Dengan keahlian yang luar biasa, mereka mengambil potongan video yang terlepas dari konteks—sebuah adegan yang menunjukkan Qin Ciyan dan rekan-rekannya duduk di dalam ambulans—lalu menyebarkannya tanpa memberikan penjelasan apa pun.
Dalam video itu, seorang dokter muda yang iba melihat mentornya kelelahan dan kehausan akhirnya menyerahkan sebotol larutan dekstrosa kepada Qin Ciyan.
Beberapa komentar pun bermunculan:
"Saya tidak bermaksud meragukan niat baik Qin-laoshi, tapi saya hanya ingin bertanya—bukankah persediaan sangat terbatas di daerah bencana? Jelas tidak cukup untuk semua pasien, tapi dia meneguk cairan itu begitu banyak… Apa dia tidak memikirkan para pasien yang sekarat di ranjang rumah sakit?"
"Apakah dia membayar larutan dekstrosa itu…?"
"Para profesional medis memang punya banyak kekuasaan. Lihat saja, dia bisa membebaskan biaya operasi begitu saja. Jadi, tidak mungkin dia membayar dekstrosa itu. Saya kenal seseorang yang bekerja di Rumah Sakit Pertama Huzhou—mereka bilang para dokter semua korup. Biaya operasi tidak pernah kurang dari lima digit, jadi kalau kalian melihat ada potongan harga, itu hanya berarti mereka sedang menjadikan pasien sebagai objek eksperimen berisiko. Kalau tidak, bagaimana lagi mereka bisa mengasah keterampilan mereka?"
Namun, hal yang paling mengejutkan dan mengecewakan dari semua ini adalah pembenaran terhadap tindakan Yi Beihai.
Ketika hasil investigasi diumumkan ke publik, terungkap bahwa Yi Beihai didiagnosis dengan gangguan psikotik sementara (transient psychotic disorder).
Menurut Pasal 18 Undang-Undang Pidana, "Jika seorang pasien gangguan mental menimbulkan akibat yang merugikan saat ia tidak dapat mengenali atau mengendalikan perbuatannya, maka setelah diverifikasi dan dikonfirmasi melalui prosedur hukum, ia tidak akan menanggung tanggung jawab pidana..."
Namun, bukti yang dikumpulkan dalam investigasi pada akhirnya menunjukkan bahwa Yi Beihai berada dalam kondisi mental yang sepenuhnya sadar ketika ia membunuh Qin Ciyan. Ia tidak kehilangan kendali atas dirinya sama sekali.
Akibatnya, Yi Beihai tetap dijatuhi hukuman mati.
Namun, banyak dokter dan perawat yang merasa sangat terluka dan penuh kebencian atas sengketa yang begitu panjang ini, serta atas berbagai opini publik yang absurd pada saat itu.
Bahkan hingga kini, masih ada orang-orang yang terus mengungkit peristiwa tersebut dan mengomentarinya…
Dengan segala kenangan masa lalu yang berputar di benaknya, Xie Qingcheng menatap batu nisan di hadapannya dengan ekspresi kosong selama beberapa saat sebelum akhirnya melangkah mendekatinya.
"Xie Qingcheng?"
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat diiringi suara seorang wanita yang terdengar terkejut dari belakangnya. "Kenapa… kau ada di sini?"