It Wasn’t Like He Was a God

He Yu berdiri agak jauh dari keramaian, di sudut yang cukup terpencil, sehingga tidak ada yang benar-benar memperhatikannya.

Gang kecil ini sama sekali bukan tempat wisata atau lokasi viral yang menarik perhatian, tetapi kini telah dikepung oleh kerumunan yang sulit ditembus, dengan banyak orang dalam kerumunan mengangkat ponsel mereka tinggi-tinggi dan membuat keributan.

Sementara itu, Xie Qingcheng baru saja kembali ke Gang Moyu dengan taksi beberapa saat sebelumnya.

Karena kegilaan yang ia dan He Yu alami semalam berlangsung terlalu lama, ketika ia akhirnya terbangun, waktu sudah tidak bisa disebut pagi lagi. Ditambah dengan pertengkaran, pembayaran, dan perdebatan yang terjadi setelahnya, langit sudah mulai gelap ketika ia sampai di Gang Moyu.

Pada hari biasa, semua orang seharusnya sudah berada di rumah dan makan malam saat ini.

Namun, hari ini tidak demikian di Gang Moyu.

Saat Xie Qingcheng semakin mendekat, ia mendapati sekelompok polisi sipil berdiri di depan gerbang, berusaha mencegah kerumunan orang yang mengangkat ponsel dan merekam video agar tidak masuk lebih jauh ke dalam area tersebut.

Melihat bahwa jalan di depannya adalah jalur satu arah, sopir taksi berkata, "Aku harus berhenti di sini."

"Di sini tidak apa-apa, terima kasih," jawab Xie Qingcheng sambil membayar ongkosnya.

Begitu ia melangkahkan kakinya keluar dari taksi, kilatan cahaya putih yang menyilaukan memenuhi penglihatannya. Sesaat, ia mengira bahwa ia merasa terlalu buruk hingga penglihatannya mulai kabur—tetapi kemudian ia menyadari bahwa cahaya itu berasal dari kerumunan orang yang dengan panik mengambil foto dan merekam video dirinya, sementara para petugas polisi berusaha menahan mereka.

Dengan perhatian sebesar ini, orang yang tidak tahu apa-apa mungkin akan mengira bahwa seorang selebritas telah tiba.

"Itu dia!"

"Xie Qingcheng, bisakah Anda menjelaskan apa hubungan Anda dengan kasus pembunuhan menara siaran?"

"Mengapa organisasi kriminal menayangkan video Anda? Kenapa hanya Anda, bukan orang lain? Apakah Anda memiliki keterkaitan dengan Rumah Sakit Jiwa Cheng Kang?"

"Orang-orang di internet mengatakan bahwa Anda terlibat dalam rencana untuk mengurung dan melecehkan wanita dengan gangguan mental. Apakah Anda tidak akan membantah rumor tersebut?"

"Xie Qingcheng, mengapa Anda menghina Profesor Qin Ciyan? Dia adalah pahlawan nasional yang tiada duanya! Apakah Anda tidak memiliki hati nurani?! Bagaimana mungkin seseorang seperti Anda bisa menjadi dokter, seorang pengajar?! Lebih baik Anda menyerahkan diri saja!"

Xie Qingcheng sebenarnya sudah memiliki gambaran kasar tentang situasi ini sebelum tiba. Berkat kasus menara siaran Universitas Huzhou, rumahnya kini menjadi pusat kekacauan yang tidak diinginkan.

Seseorang telah membocorkan dan menyebarkan alamat rumah Xie Qingcheng secara daring, sehingga para "selebriti internet" dengan kamera mereka dan para penonton dengan pemikiran sederhana berdatangan seperti ikan piranha yang mencium bau darah, membanjiri Gang Moyu.

Bukan hanya rumahnya yang telah dicorat-coret dengan cat, tetapi tetangga di sebelah rumahnya juga terkena dampaknya.

Bibi Li bahkan bergegas keluar untuk berdebat dengan mereka, tetapi rekaman perdebatan itu kemudian diunggah dan disebarluaskan secara daring. Para warganet mengatakan bahwa dia adalah ibu Xie Qingcheng, seorang "wanita tua berisik yang mengamuk."

Sementara itu, Xie Xue justru difitnah dengan tuduhan yang lebih tidak masuk akal lagi.

Orang-orang mengklaim bahwa dia adalah "selingkuhan" Xie Qingcheng, seorang "wanita simpanan."

Orang yang mengunggah video itu bahkan mendapatkan banyak sekali penonton karenanya.

Kemudian, Xie Xue menelepon polisi sambil menangis.

Chen Man termasuk di antara petugas yang tiba di lokasi, dan mereka segera mengusir semua orang dari gang tersebut. Orang-orang yang membuat keributan paling besar langsung dibawa ke kantor polisi untuk "minum teh."

Setelah kejadian itu, beberapa perusuh berhenti mencorat-coret cat dan mengganggu warga sekitar, tetapi masih ada sejumlah orang yang tetap berkumpul di depan gerbang.

Mereka tahu bahwa cepat atau lambat, Xie Qingcheng pasti akan pulang.

Dan lihatlah! Bukankah ia sudah tiba sekarang?

"Ambil gambarnya!"

"Xie Qingcheng, lihat ke sini! Lihat ke kamera!"

Lihat kepalamu sendiri.

Xie Qingcheng sepenuhnya mengabaikan mereka saat ia membanting pintu mobil, menyingkirkan garis polisi, dan berjalan masuk dengan aura yang seolah-olah ia adalah seorang VIP.

Akibatnya, taksi kecil lusuh khas Huzhou yang tadi ia naiki seketika terlihat memiliki kesan bak mobil mewah milik bos mafia.

"Ge! Ge!"

Gang itu terasa sangat sunyi.

Xie Xue duduk di bangku kecil di depan rumah mereka, tetapi begitu melihat Xie Qingcheng, ia langsung melompat berdiri dan menerjang ke arahnya.

Gabungan antara kecepatan dan berat badannya yang 45 kilogram hampir saja membuat punggung Xie Qingcheng—yang sudah terasa sakit sejak awal—semakin menderita.

Ia bahkan terhuyung mundur beberapa langkah.

Biasanya, kakaknya bisa menangkapnya dengan satu tangan dan bahkan memutarnya beberapa kali dengan mudah.

Namun, kali ini, Xie Qingcheng bahkan tidak sanggup menahan pelukannya.

Xie Xue terkejut. Ia menatap kakaknya dengan mata yang masih sembab akibat menangis.

"Ge, ada apa? Apakah kau merasa tidak enak badan?"

"Tidak apa-apa," Xie Qingcheng berdeham pelan. "Aku hanya kehilangan keseimbangan."

Chen Man juga berjalan mendekat.

"Xie-ge."

Semua tetangga mereka telah berkumpul di halaman.

Para paman dan bibi tengah mengipas diri dengan kipas daun palem, mengusir nyamuk dan lalat.

Ketika mereka melihat Xie Qingcheng kembali, semuanya menoleh ke arahnya—tetapi tidak ada satu pun yang berbicara.

Bibi Li, yang mengenakan daster bermotif bunga, duduk di bawah pohon kamper tua sambil menyeka air matanya.

Dalam kepanikannya tadi, ia bahkan salah memakai sepatu ketika terburu-buru keluar rumah.

Xie Qingcheng, yang masih memeluk Xie Xue, menepuk kepalanya dan punggungnya untuk menenangkannya.

Kemudian, ia menoleh ke sekeliling.

Karena banyaknya "selebriti internet" yang sebelumnya berdatangan, gang kecil yang kumuh tetapi memiliki kesan elegan itu kini telah berubah menjadi pemandangan yang mengenaskan.

Pot bunga milik Paman Liu hancur berantakan.

Pagar rumah milik Bibi Zhao roboh.

Bahkan rumah anjing husky milik putra Nyonya Wang hancur total, berubah menjadi tumpukan kayu akibat diinjak-injak oleh orang-orang yang datang.

Sang anjing masih berdiri terpaku di sampingnya, tampak kebingungan seakan belum pulih dari keterkejutannya. Dalam benaknya, ia mungkin bertanya-tanya, bukankah merusak properti seharusnya merupakan keahlian anjing? Bagaimana bisa manusia jauh lebih buas sampai-sampai mereka menghancurkan rumah anjingnya sendiri?

Yang lebih mengerikan lagi adalah cat merah darah yang tidak hanya disiramkan ke rumah keluarga Xie, tetapi juga mengenai dua rumah tetangga di sebelahnya.

Bahkan, seseorang nekat menyemprotkan tulisan "PERGI MATI" dengan cat semprot merah menyala, dengan huruf-huruf yang tampak miring dan tidak beraturan.

Xie Qingcheng memiliki jiwa yang kuat dan tangguh, sehingga ia tidak menjadi patah semangat menghadapi semua kehancuran ini. Bahkan, ia tampaknya tidak terlalu terpengaruh secara negatif—memang, setelah semua yang ia alami tadi malam, apa lagi yang bisa benar-benar mengguncangnya sekarang?

Namun, ia merasa sangat bersalah karena orang lain turut terseret dalam masalah ini. Setelah hening cukup lama, ia akhirnya menoleh ke arah para tetangga yang berkumpul di halaman dan berkata, "Aku minta maaf telah membuat kalian semua terlibat dalam kekacauan ini."

Angin malam berembus melalui halaman, menggoyangkan pohon loquat, sulur tanaman ivy, dan pakaian tidur para paman serta bibi yang ada di sana.

Setelah jeda yang panjang, Nenek Zhang akhirnya angkat bicara.

"Xiao-Xie..."

Xie Qingcheng tidak langsung merespons. Ia mengira Nenek Zhang sedang berbicara kepada Xie Xue.

Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ada tetangga yang memanggilnya "Xiao-Xie." Semua orang menganggapnya dingin dan sulit didekati, sehingga mereka selalu menyebutnya Profesor Xie atau Dokter Xie. Ia hanya pernah dipanggil Xiao-Xie ketika masih bersekolah dulu.

Barulah ketika Nenek Zhang berjalan mendekat dengan langkah tertatih, lalu meraih lengannya dengan tangan yang penuh keriput seperti kulit pohon tua, ia menyadari bahwa panggilan itu memang ditujukan padanya.

"Um, Xiao-Xie, jangan takut... Kami semua sudah meninggalkan ponsel kami di dalam rumah. Tidak ada yang membawa ponsel sekarang, jadi tidak ada yang akan mengambil gambarmu atau menyakitimu di sini..."

Xie Qingcheng tertegun. Baru sekarang ia menyadari ada air mata kekhawatiran yang menggenang di mata keruh Nenek Zhang.

"Tidak apa-apa, Nak, pergilah beristirahat. Polisi sudah ada di sini, jadi mereka tidak bisa masuk. Halaman ini nanti akan kami bersihkan... Jangan terlalu dipikirkan. Semuanya akan baik-baik saja."

"Benar, Xiao-Xie, semuanya akan baik-baik saja."

"Orang-orang itu tidak lebih dari monster berwujud manusia. Jangan pedulikan mereka."

"Betul. Lagi pula, pagar ini sudah berdiri selama sepuluh tahun. Ini kesempatan yang baik untuk menggantinya dengan yang baru."

"Xie-gege, aku juga bisa membeli rumah anjing yang lebih besar. Yang ini aku beli saat Awoo masih kecil. Sekarang saja ia sudah kesempitan setiap kali tidur."

Saat masih berada di luar gang tadi, Xie Qingcheng merasa mati rasa. Baginya, caci maki hanyalah debu di udara—sesuatu yang tidak perlu ia pedulikan. Ia bahkan tidak merasa perlu melirik para pencelanya. Selama tidak ada yang terluka, semuanya baik-baik saja.

Namun, pada saat ini, menatap para tetangga yang telah hidup bersamanya selama lebih dari dua puluh tahun, yang setiap hari ia temui, tiba-tiba ia merasakan sesuatu di hatinya retak. Sesuatu yang panas menggelegak, disertai nyeri yang tumpul.

"Aku benar-benar minta maaf. Aku telah merepotkan kalian semua."

Ia tidak tahu harus berkata apa, terutama saat melihat pohon magnolia putih di halaman Paman Liu yang juga telah diinjak-injak. Dahan-dahannya yang anggun kini tergeletak di antara tanah yang berserakan dan pecahan pot yang hancur.

Rasanya seolah-olah hatinya pun ikut tergores oleh pecahan-pecahan itu.

Melihat sosok Paman Liu yang membungkuk, Xie Qingcheng akhirnya berkata, "Ini adalah pohon yang ditanam oleh Bibi Sun."

Bibi Sun adalah istri Paman Liu. Ia telah meninggal dunia akibat kanker paru-paru beberapa tahun yang lalu, tetapi ketika masih hidup, ia sangat menyukai bunga magnolia putih. Ia menanam pohon ini dengan tangannya sendiri lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saat ia masih seorang bibi muda dengan suara lantang dan penuh energi, sementara Paman Liu masih seorang pria yang gagah dengan punggung tegak lurus seperti tiang baja.

Sebuah pohon berbunga yang tetap tegak menghadapi dua puluh tahun angin dan hujan kini patah di bagian tengah akibat injakan kaki-kaki yang berdesakan dalam satu malam penuh kekacauan.

Paman Liu menatap lingkaran-lingkaran pada batang pohon itu dengan tatapan kosong. Setiap lingkaran itu seperti bayangan dari masa-masa bahagia, gelombang yang terbentuk dari senyuman Bibi Sun.

Xie Qingcheng adalah seorang pria yang kuat dan tegar, tetapi kali ini, setelah hening cukup lama, ia tidak dapat sepenuhnya menyembunyikan serak dalam suaranya. "Aku minta maaf, Paman."

Akhirnya, Paman Liu kembali tersadar dari lamunannya. "Aiya, tidak apa-apa, Xiao-Xie," katanya. Ia berjalan mendekat, bertumpu pada tongkatnya, dan menepuk punggung Xie Qingcheng—sama seperti ketika ia masih lebih muda, ketika pria yang bekerja di pabrik baja itu menepuk punggung pemuda ini dengan tangan besarnya yang kokoh seperti menara besi.

"Tidak apa-apa, ini hanya sebuah pohon. Selama semua orang baik-baik saja, itu yang terpenting. Sebuah pohon… Sebuah pohon masih bisa… ditanam kembali…"

Namun, saat mengucapkan kata-kata itu, ia tidak bisa menahan diri untuk menundukkan kepala dan menyeka air mata yang menggenang di matanya.

Semua orang tahu bahwa meskipun mereka menanam pohon baru, itu tidak akan pernah menjadi pohon yang sama. Orang yang telah menanamnya sudah lama pergi. Kini, pohon itu pun mengikuti jejaknya, seperti tahun-tahun muda mereka yang perlahan memudar.

Paman Liu menarik kembali senyum tipis ke wajahnya yang berkerut. "Dulu, kau yang membelikan pohon ini untuk Wanyun dari pasar tanaman. Orang tuamu yang membantu menanamnya. Kau pikir aku sudah pikun di usia tua? Aku masih mengingat semuanya."

"Benar sekali," seseorang menimpali. "Xiao-Xie, kita sudah hidup bersama selama hampir dua puluh tahun, bagaimana mungkin kami tidak tahu seperti apa dirimu dan bagaimana orang tuamu dulu? Tidak peduli apa yang mereka katakan di luar sana, kau dan Xiao-Xue masih memiliki kami, para tetangga kalian. Jadi jangan khawatir, ya? Masuklah dan beristirahat. Bersihkan diri dulu, kau kelihatan sangat kelelahan."

"Iya, cepat bersihkan diri. Wajahmu terlihat begitu suram. Aih, kalau orang tuamu masih hidup dan melihatmu seperti ini, mereka pasti akan sangat sedih..."

Xie Xue mengangkat kepalanya dari pelukan Xie Qingcheng dan menatap semua orang dengan mata berlinang air mata. Lalu, tak mampu menahan emosinya lagi, ia kembali membenamkan wajahnya ke dada kakaknya dan mulai menangis terisak-isak.

Setelah berulang kali berterima kasih dan meminta maaf kepada para tetangga, Xie Qingcheng akhirnya membawa Xie Xue masuk ke dalam rumah. Chen Man dan Bibi Li ikut masuk bersama mereka.

Dari dalam rumah, cat merah yang tercoreng di jendela terlihat semakin menyerupai jejak darah yang tertinggal dari cakar-cakar makhluk jahat. Xie Qingcheng terdiam tanpa kata.

"Xie-ge, jangan terlalu khawatir," kata Chen Man. "Orang-orang itu seperti kawanan belalang; mereka akan pergi sebelum kau menyadarinya. Mereka hanya mencari keributan, dan aku sudah meminta rekan-rekanku untuk menangani mereka satu per satu. Polisi akan berjaga di Gang Moyu selama beberapa hari ke depan, jadi tidak akan ada masalah lagi…"

Xie Qingcheng batuk pelan. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan panas akibat demam, dan ia hanya bisa bertahan berkat kekuatan tekadnya semata. Penerangan yang redup di dalam ruangan menjadi satu-satunya alasan mengapa tidak ada yang menyadari betapa sakitnya ia saat itu.

Ia mengetukkan sebungkus rokok dan hendak menyalakannya ketika melihat Bibi Li. Ia pun meletakkan kembali pemantik api tanpa mengatakan apa pun.

"Ge, apa yang harus kita lakukan sekarang…"

"Xiao-Xie, apakah ada kesalahpahaman mengenai masalah dengan Profesor Qin saat itu? Kau… kau pernah menyebutnya beberapa kali sebelumnya dan selalu berbicara baik tentangnya. Saat kau mengatakan hal-hal itu, pasti ada… Pasti ada alasan." Bibi Li menyeka air matanya. "Bisakah kau memikirkan cara untuk menjelaskan ini kepada semua orang? Hmm? Dengan begitu, mereka akan berhenti mengejarmu dan menyulitkanmu…"

Xie Qingcheng tetap diam.

Setelah beberapa saat, Bibi Li mendesaknya lagi, "Xiao-Xie, katakan sesuatu."

Di luar, kegelapan malam terasa begitu menyesakkan.

Di dalam, orang-orang terdekatnya berada tepat di sisinya.

Jari-jari Xie Qingcheng yang gemetar tanpa sadar memainkan pemantik apinya—menyalakannya, lalu mematikannya, menyalakannya kembali, lalu mematikannya lagi… Hingga akhirnya, ia kembali meletakkan pemantik itu ke samping dan memejamkan mata. Meskipun suaranya serak karena kelelahan, nada bicaranya tetap teguh dan tak tergoyahkan. "Tidak ada alasan apa pun."

Kini giliran Bibi Li yang tertegun.

"Tidak ada yang memfitnahku. Aku mengatakannya, dan aku bersungguh-sungguh. Aku benar-benar tidak bisa menerima hal-hal konyol yang dilakukan Qin Ciyan. Sikapku terhadapnya telah berubah saat itu, dan hubunganku dengannya juga tidak lagi baik. Aku mengucapkan kata-kata itu karena dorongan sesaat ketika pikiranku sedang tidak jernih."

"Tapi, Ge—" Xie Xue menyela.

"Aku bukan orang yang sempurna, Xie Xue. Kakakmu hanyalah manusia biasa—ada saat-saat ketika aku merasa takut dan cemas. Saat itu, kau masih sangat kecil, dan aku melihatnya dibunuh tepat di depan mataku. Tidak mungkin aku bisa terus bekerja di sistem kesehatan… Aku ketakutan, jadi aku berhenti. Begitulah yang terjadi."

Keheningan panjang pun menyusul.

Saat Xie Xue akhirnya berbicara lagi, suaranya terdengar seperti rintihan kucing kecil yang tak berdaya. "Ge, tidak bisakah kau jujur, setidaknya pada kami?"

Xie Qingcheng terdiam lama, seolah bayangan-bayangan dari masa lalu melintas di hadapannya. Hingga akhirnya, ia menutup mata, menundukkan kepala, dan merapatkan kedua tangannya, menekannya ke antara alisnya. Dengan suara pelan, ia berkata, "Apa yang kukatakan adalah kebenaran. Maaf… Aku telah mengecewakan kalian semua."

Dan dengan demikian, percakapan itu berakhir dalam keheningan yang panjang. Semua orang di ruangan itu tahu betul bahwa Xie Qingcheng adalah orang yang keras kepala sampai ke titik yang tak dapat digoyahkan.

"Ada tiga puluh ribu yuan di kartu ini," kata Xie Qingcheng akhirnya. "Bibi Li, tolong ambil ini. Kita tetap harus mengganti kerugian para tetangga atas properti mereka yang rusak, meskipun mereka mengatakan tidak perlu. Jika bukan karena aku, mereka tidak akan terseret dalam kekacauan ini. Aku akan mencari cara untuk menyelesaikan sisanya. Tolong tetaplah di rumah dan jangan mengkhawatirkannya."

"Xiao-Xie…"

Xie Qingcheng memiliki sepasang mata persik yang persis sama dengan ibunya, Zhou Muying—dan di dalamnya juga terdapat keteguhan yang identik.

Hati Bibi Li kembali terasa nyeri.

Sebagai seorang yatim piatu yang ditinggalkan di kuil, Li Miaoqing pernah bekerja sebagai pendamping di sebuah klub malam di Huzhou pada masa mudanya. Saat ia melayani para pelanggan dan memenuhi kebutuhan mereka, semua orang memanggilnya pelacur yang bau di antara kedua kakinya. Suatu kali, ketika Zhou Muying sedang bertugas dalam operasi pemberantasan perdagangan seks, ia membawa Li Miaoqing untuk diinterogasi.

Saat itu, Li Miaoqing tidak mau mendengarkan siapa pun. Ia duduk di ruang interogasi dengan sebatang rokok yang ia peroleh dari seorang polisi lain di antara bibirnya, enggan menjawab satu pertanyaan pun.

Namun, ia berkata kepada Zhou Muying, "Mereka bilang aku hanya seorang pelacur yang bau di antara kedua kakinya. Lalu apa? Kau mungkin menangkapku, tapi aku akan tetap kembali menjual diriku—seolah-olah kau bisa menghentikanku!"

Zhou Muying menjawab, "Li Miaoqing, usiamu baru tujuh belas tahun. Aku tidak ingin mengurungmu. Jika kau masuk ke tempat itu, reputasimu akan ternoda seumur hidup. Aku tahu kau tidak punya orang tua atau keluarga. Ini kartu namaku—ini nomor telepon kantorku, dan ini nomor pribadiku. Hubungi aku jika kau membutuhkan sesuatu. Aku bukan hanya seorang polisi—aku juga seorang perempuan dan seorang ibu. Aku tidak ingin melihat seorang gadis yang bahkan belum cukup umur berjalan di jalan ini. Kau tidak perlu memanggilku Petugas Zhou, cukup panggil aku Muying. Aku bisa membantumu. Kau tidak perlu takut."

Saat itu, ketika sepasang mata persik yang sama menatapnya dari seberang ruang interogasi, Li Miaoqing merasa seolah-olah ada gempa bumi yang mengguncang tubuhnya, dengan pusatnya berada di dalam hati yang penuh luka dan bekas luka.

Kemudian, ia menjadi bagian dari lingkaran pertemanan unik Zhou Muying. Pada waktu itu, hubungan mereka sangat erat. Zhou Muying selalu menjaga gadis muda yang telah kehilangan arah ini, bahkan mengundangnya untuk merayakan Tahun Baru bersama. Ia tidak pernah sekalipun memandang rendah dirinya.

Ketika Zhou Muying dan Xie Ping mengalami kesulitan dan tidak dapat menemukan tempat tinggal yang layak, Li Miaoqing bertanya-tanya di sekitar Gang Moyu, tempat ia tinggal, hingga menemukan penawaran rumah bekas yang cocok. Begitulah mereka menjadi tetangga. Selama dua puluh tahun penuh lika-liku, Li Miaoqing tidak pernah lagi mencari nafkah melalui cara-cara kelam. Ia menjadi seorang penjahit dan membuat qipao, menjahit tak terhitung banyaknya gaun indah untuk Zhou Muying.

Kini, Li Miaoqing telah beruban, sementara Zhou Muying tak lebih dari tulang belulang di bawah Sungai Kuning. Qipao terakhir yang dijahitnya untuk Zhou-jiejie adalah pakaian pemakamannya, dibuat dari brokat yang indah. Ia sengaja menjahitnya dalam model lengan panjang, untuk menutupi lengan Zhou Muying yang telah terputus.

Karena Li Miaoqing tahu bahwa Zhou Muying bukan sekadar seorang polisi. Ia juga seorang perempuan, seorang ibu, seorang istri. Ia senang menjadi cantik. Dan ia adalah yang tercantik… dengan mata yang begitu cerah dan penuh keteguhan.

Saat ini, seolah-olah sepasang mata itu telah menembus waktu, menatap wajah Li Miaoqing yang penuh kerutan dan lipatan melalui tahun-tahun yang telah berlalu.

"Setelah semua yang sudah terjadi, hal ini bukan apa-apa bagiku," Xie Qingcheng bersikeras.

Pada akhirnya, Li Miaoqing hanya menghela napas dan tidak berkata apa-apa lagi.

Xie Qingcheng membantu perempuan tua dan gadis muda itu menuju kamar masing-masing untuk beristirahat.

Di luar, hujan mulai turun.

Malam semakin larut.

Xie Qingcheng mengenakan jaket musim gugur dan mengambil dua payung, menyerahkan salah satunya kepada Chen Man.

"Pulanglah, sudah larut malam."

"Ge, kau tidak akan menginap di sini malam ini?" Chen Man sedikit terkejut. Mengingat kepribadian Xie Qingcheng, ia mengira pria itu akan tinggal bersama Xie Xue hari ini.

Namun, Xie Qingcheng benar-benar sudah tidak bisa bertahan lagi.

Ia merasa seolah-olah dahinya terbakar dan tubuhnya hanya terbuat dari kapas, belum lagi rasa sakit yang menjalar dari bagian tubuhnya yang tak terkatakan. Jika Chen Man lebih jeli, ia pasti akan menyadari bahwa Xie Qingcheng hampir tidak duduk sama sekali sepanjang malam.

"Aku tidak akan menginap. Ada beberapa hal yang perlu aku urus di kampus, jadi aku akan kembali ke asrama."

"Kenapa tidak aku antar saja—"

Xie Qingcheng mendorong pintu terbuka, dan angin dingin dari hujan musim gugur menerpa ke dalam ruangan.

"Tidak perlu." Dengan gagang payung serat karbon hitam di tangannya, berbalut jaket angin musim gugur, Xie Qingcheng melangkah ke dalam kegelapan malam.

Ia sudah tidak bisa berpura-pura lebih lama lagi. Ia bisa merasakan punggungnya basah oleh keringat dingin sementara gelombang panas menghantam tubuhnya. Wajahnya terasa terbakar, dan dunia di sekelilingnya berputar seolah-olah separuh kesadarannya telah direnggut secara kasar dari tubuhnya.

Chen Man berkata, "Kalau begitu kau…"

"Aku pergi dulu. Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini. Pulanglah segera."

Saat Xie Qingcheng berjalan keluar gang, waktu sudah melewati pukul dua dini hari, tetapi masih ada orang-orang yang nekat menunggu di tengah hujan. Xie Qingcheng harus mengakui ketekunan mereka. Ia memesan taksi dari dalam garis pembatas polisi. Saat mobil tiba, ia melipat payungnya dan masuk ke dalam, memutus kilatan kamera dan kebisingan di luar pintu.

Begitu masuk ke dalam mobil, ia benar-benar tak tahan lagi. Bersandar ke belakang dengan kelelahan, ia mengangkat tangan untuk menutupi matanya.

Sopir taksi bertanya, "Da-ge, mau ke mana?"

Xie Qingcheng tidak menjawab.

"Da-ge?" Sopir itu memanggil beberapa kali sebelum Xie Qingcheng perlahan keluar dari kebingungannya yang disebabkan oleh demam.

Ia tahu bahwa seharusnya ia pergi ke rumah sakit. Tetapi ia sama sekali tidak ingin.

Apa yang seharusnya ia katakan kepada dokter ketika sampai di sana? Ia lebih memilih menahan semuanya dalam diam dan membawa rahasia itu hingga ke liang kubur daripada mengungkapkan apa yang terjadi di dalam ruangan kecil di klub itu kepada siapa pun.

Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan penyebab demamnya kepada dokter?

Ia sendiri adalah seorang dokter. Lebih baik ia langsung pulang, minum obat antiinflamasi, dan membiarkannya begitu saja.

Jadi, Xie Qingcheng menghapus kata "rumah sakit" yang sempat berada di ujung lidahnya, lalu menggantinya dengan, "Asrama dosen Sekolah Kedokteran Huzhou, terima kasih."

Sopir taksi segera melaju.

Xie Qingcheng tidak melihat Chen Man yang masih berdiri di antara kerumunan yang berisik. Setelah berdiri di sana cukup lama, dahi pemuda itu berkerut karena cemas. Akhirnya, ia berbalik dan kembali masuk ke Gang Moyu, hanya untuk keluar lagi beberapa saat kemudian.

Xie Qingcheng juga tidak melihat He Yu yang sedang duduk di balik jendela kaca sebuah toko serba ada 24 jam di seberang jalan, menyesap secangkir kopi. Atau bagaimana, setelah membuang kopinya, He Yu menarik ke bawah tepi topinya dan berjalan keluar dari toko.