Keesokan harinya, Xie Qingcheng keluar dari rumah sakit dan kembali ke asrama.
Meskipun Chen Man menemaninya, ia tetap diam dan tampak agak gelisah.
Saat mereka berpisah, Chen Man berdiri di lantai satu asrama Xie Qingcheng dan dengan ragu memanggilnya. "Xie-ge…"
Xie Qingcheng: "..."
Namun, saat bertemu dengan tatapan tajam Xie Qingcheng, Chen Man tetap saja akhirnya bergumam. "Kau… kau harus beristirahat. Jika ada sesuatu, kau bisa datang kepadaku kapan saja."
Xie Qingcheng merasa bahwa suasana hati Chen Man sangat aneh, tetapi hal itu tidak membuatnya memikirkan kemungkinan mengerikan bahwa Chen Man diam-diam menyukainya. Ia merasa bahwa Chen Man mungkin hanya kesulitan menerima kenyataan bahwa ia telah melakukan hubungan semalam.
Meskipun alasan ini sebenarnya cukup buruk, Xie Qingcheng benar-benar tidak dapat memikirkan penjelasan lain yang lebih masuk akal untuk menenangkan Chen Man.
Ia adalah seorang pria dewasa; tentu saja ia tidak bisa mengakui bahwa ia telah ditiduri oleh seorang anak laki-laki tiga belas tahun lebih muda darinya.
Bagi Xie Qingcheng, situasinya seperti seorang bisu yang harus makan pare—dipaksa menanggung kepahitan dalam diam.
Xie Qingcheng terdiam sejenak. "Sebaiknya kau pergi. Terima kasih."
Ia berbalik untuk naik ke atas.
Berdiri linglung di bawah hujan dengan payungnya, Chen Man kembali memanggilnya. "Xie-ge."
"..."
"Ta—tidak jadi. Jaga dirimu dan beristirahatlah."
"…Sebenarnya, apa yang ingin kau katakan?"
Menggigit bibirnya, Chen Man berusaha sekuat tenaga menahan diri, tetapi pada akhirnya, pertanyaan itu tetap meluncur keluar dari mulutnya. "Apakah kau masih berhubungan dengan gadis itu?"
Xie Qingcheng terdiam sejenak. "Apakah kau akan tetap berhubungan dengan seseorang yang hanya sekadar hubungan semalam?"
"Aku… Aku tidak melakukan hal seperti itu…"
Namun, begitu kata-kata itu keluar, ia langsung menyadari bahwa ucapannya terdengar seolah-olah ia mengkritik Xie Qingcheng karena tidak menjunjung tinggi kehormatan seorang pria. Ia buru-buru melambaikan tangannya, "Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu."
"Kau benar, kau tidak seharusnya melakukan hal seperti itu." Xie Qingcheng menanggapi dengan datar, "Saat ini, aku juga menyesali impuls sesaat itu."
Chen Man menatapnya.
Xie Qingcheng berkata, "Itu tidak akan terjadi lagi. Aku merasa muak."
Dengan itu, ia berbalik dan naik ke atas. Baru setelah mendengar kata-kata terakhir Xie Qingcheng, wajah pucat Chen Man perlahan mendapatkan kembali warnanya.
Diperlukan waktu satu minggu penuh bagi Xie Qingcheng untuk benar-benar pulih dari sakitnya, tetapi bahkan saat itu, bekas ciuman di tubuhnya belum sepenuhnya menghilang. Ketika ia memberikan kuliah atau menulis di papan tulis di universitas, ia harus sangat berhati-hati agar lengan bajunya tetap terpasang dengan rapat, karena pergelangan tangannya masih samar-samar tertutupi bekas ikatan tali.
Bekas-bekas itu menjadi bukti bahwa ia pernah diikat dan dinodai tanpa ampun.
Setelah itu, Xie Qingcheng tidak lagi menghubungi He Yu. He Yu telah memblokirnya, sementara ia sendiri langsung menghapus kontak He Yu. Fakultas Kedokteran dan Universitas Huzhou keduanya merupakan institusi berusia ratusan tahun dengan kampus yang begitu luas hingga membutuhkan waktu lama untuk mengelilinginya, bahkan dengan mobil. Jadi, jika seseorang benar-benar ingin menghindari pertemuan dengan orang lain, hal itu bukanlah tugas yang sulit.
Ia berpikir, anggap saja itu mimpi buruk.
Dan jangan pernah menoleh ke belakang lagi.
Di dunia ini, ada banyak hal menjijikkan yang tidak dapat diubah, yang sering kali tidak memiliki akhir yang memuaskan. Tidak peduli betapa kotornya sesuatu, terkadang melarikan diri tanpa terluka sudah merupakan hasil terbaik yang bisa didapatkan.
Xie Qingcheng telah melalui banyak hal, jadi bukan berarti ia tidak memahami prinsip ini.
Namun, ia masih sering terbangun dengan terkejut di tengah malam. Penyakitnya telah berlalu, demamnya telah reda, bahkan bagian tubuhnya yang terluka pun perlahan mulai sembuh, tetapi dirinya—yang selalu menolak cinta dan hasrat—justru menjadi semakin sakit.
Ia tidak bisa menahan diri untuk terus-menerus bermimpi tentang wajah He Yu yang penuh kebencian dan nafsu—tentang hal-hal yang telah mereka lakukan—dan kemudian tiba-tiba terbangun dengan napas tersengal. Di tempat yang tidak bisa dilihat siapa pun, Xie Qingcheng akhirnya menunjukkan kepanikan dan kelemahannya, terengah-engah dengan mulut terbuka sambil membenamkan wajahnya di telapak tangan, keringatnya merembes hingga membasahi pakaiannya.
Ia menyalakan rokok satu demi satu, bahkan mengonsumsi pil tidur agar bisa terlelap.
Suatu hari, saat mandi, ia menyadari bahwa bekas ciuman yang ditinggalkan He Yu di tubuhnya akhirnya telah benar-benar menghilang, tetapi hal itu sama sekali tidak membuatnya merasa lega—
Ia tahu bahwa ia telah dicap hingga ke tulangnya, dan ketakutan serta kejijikan yang ia rasakan terhadap seks semakin menjadi-jadi. Ingatannya terus menusuknya, mengingatkannya bahwa ia benar-benar telah kehilangan kendali di bawah He Yu, bahwa ia benar-benar, dengan cara seperti itu, telah melampiaskan hasrat yang selama ini selalu ia tekan—hasrat yang nyaris tidak ada.
Ia telah berteriak, gemetar, dan kehilangan dirinya sendiri—kenangan-kenangan itu bagaikan bekas cambuk yang terus-menerus menusuknya, mempermalukannya, menyiksanya.
Ia tidak punya pilihan selain membuka komputernya dan memutar video ubur-ubur, menyaksikan makhluk purba itu mengambang di dalam air, berusaha mengalihkan pikirannya.
Ia berpikir, ia tidak bisa terus tenggelam seperti ini.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Beberapa hari kemudian.
Di kediaman keluarga He.
"Kau pulang."
"… Mm."
Dalam kejadian yang jarang terjadi, seluruh lampu di rumah keluarga He menyala. Cahaya hangat itu membuat alis He Yu langsung berkerut begitu ia melangkah masuk ke pintu masuk, seolah-olah ia adalah seorang vampir yang sudah terbiasa dengan kesunyian, dengan kegelapan kastil kuno sebagai lingkungan yang paling akrab baginya.
Lü Zhishu dan He Jiwei ternyata ada di rumah.
Sejak ia dan Xie Qingcheng tidur bersama, He Yu hanya sekali kembali ke vila—pada hari ketika ia membuntuti Xie Qingcheng ke rumah sakit hanya untuk menemukan bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan.
Hari itu, hatinya terasa gelisah dan luar biasa kosong. Ia baru saja tenggelam dalam rangsangan yang berlebihan, sehingga saat tiba-tiba mendapati dirinya sendirian, ia tidak bisa menahan diri untuk merasa sedikit hampa. Maka, dengan emosi yang berantakan, ia kembali ke kediaman utama. Setidaknya, di sana ada pengurus rumah tangga dan para pelayan yang bisa menemaninya.
Namun, keesokan harinya ia pergi lagi dan tidak pernah kembali—sampai hari ini.
Meskipun He Yu tahu bahwa kedua orang tuanya baru saja melakukan perjalanan kembali ke Huzhou, awalnya ia mengira mereka tidak akan tinggal lama. Ia sedang dalam suasana hati yang gelisah dan tidak ingin melihat mereka, jadi ia memilih untuk pergi agar tidak perlu berhadapan dengan mereka.
Ia tidak pernah menyangka bahwa saat ia pulang ke rumah lagi, Lü Zhishu dan He Jiwei masih ada di sana. Ia sangat tidak terbiasa menerima sambutan semacam ini, sehingga saat melihat pemandangan di depannya, reaksi pertamanya adalah berpikir, mungkin ini juga palsu, hanya halusinasi.
Namun, kemudian ia menyadari bahwa ia tidak pernah bermimpi tentang orang tuanya pulang untuk makan malam bersamanya.
Ini adalah sesuatu yang tidak pernah muncul, bahkan dalam fantasinya sekalipun.
"Apakah di luar dingin? Ibu membuatkanmu sup empat herbal bergizi dengan jamur morel dan abalon…"
"Ibu." He Yu terdiam sejenak. Kata ini, salah satu ekspresi pertama yang dipelajari semua manusia, terasa sedikit canggung di lidahnya. "Aku alergi terhadap jenis makanan laut ini."
Keheningan langsung menyelimuti ruang makan.
Lü Zhishu merasa sedikit canggung dan melirik He Jiwei.
He Jiwei berdeham. "Tidak apa-apa, kau bisa makan yang lain. Aku sudah menyuruh mereka membuatkan sup kol rebus untukmu, kaldunya sudah dimasak selama berjam-jam, dulu itu adalah makanan favoritmu."
Meskipun He Jiwei tidak terlalu dekat dengan He Yu, setidaknya ia sedikit lebih dapat diandalkan dibandingkan Lü Zhishu, dan mengetahui makanan kesukaan He Yu.
He Yu tidak memiliki alasan untuk menolak, jadi mereka bertiga pun duduk bersama di meja makan.
Suasana menjadi semakin kaku.
He Yu tidak dapat mengingat kapan terakhir kali keluarga mereka bertiga duduk bersama seperti ini, sudah terlalu lama berlalu. Ia menatap wajah He Jiwei dan Lü Zhishu, bahkan merasa wajah mereka sedikit asing.
Bagi He Yu, kedua orang tuanya lebih seperti dua gambar profil di kontak WeChat-nya, dengan suara yang sedikit datar.
"Kapan kalian berencana kembali ke Yanzhou?" tanya He Yu.
"Tidak perlu terburu-buru," Lü Zhishu langsung menjawab, senyum manis yang tampak sakit-sakitan menghiasi wajahnya yang gemuk. Karena dipaksakan terlalu tinggi, senyum itu tampak seolah akan runtuh kapan saja. "Adikmu sekarang tinggal di asrama, jadi kami tidak perlu mengawasinya sepanjang waktu. Lagipula, He Yu, kau hampir membuatku mati ketakutan. Jangan lakukan hal berbahaya seperti itu lagi, bagaimana jika sesuatu terjadi padamu? Kami akan—"
Ia tidak melanjutkan kalimatnya, seakan sebuah isakan tersangkut di tenggorokannya.
He Yu menatapnya dengan dingin. Setelah insiden menara siaran, hatinya tidak lagi sama seperti sebelumnya, berubah menjadi sangat dingin dan keras.
Namun, ia tidak ingin membuang-buang kata dengan mereka, jadi pada akhirnya, ia hanya tersenyum tipis dan berkata, "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."
Percakapan berlangsung dengan santai sepanjang makan malam. Pemandangan itu tampak hangat dan mengundang, tetapi arus tersembunyi bergolak di bawah permukaannya.
"Aku sudah selesai, bolehkah aku naik ke atas?"
"Ah, baiklah. Pergilah, pergilah." Meskipun He Yu membuat Lü Zhishu sedikit tidak nyaman, sebagai seorang pebisnis sejati, ia mampu menyembunyikan pikirannya dengan rapat, bahkan terhadap putranya sendiri. "Istirahatlah, besok Ibu akan membuatkan sup ayam untukmu, bagaimana?"
"… Sesuai keinginan Ibu." He Yu menjawab dengan acuh tak acuh, lalu bangkit dari meja makan dan naik ke lantai atas tanpa berpamitan.
Lü Zhishu menatap punggungnya yang perlahan menghilang di lorong lantai atas dengan ekspresi rumit di wajahnya.
He Jiwei bertanya, "Kenapa tiba-tiba kau begitu baik padanya? Jangan kan dia, aku sendiri pun tidak terbiasa melihatnya."
Lü Zhishu menjawab, "Apa salahnya bersikap baik kepada anakku sendiri? Bukankah itu hukum alam? Aku ini ibunya, bagaimanapun juga…"
He Jiwei tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya terdiam sebelum bangkit dari kursinya. "Aku ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan, besok aku harus pergi ke Qingdao."
"Kapan kau akan kembali? Aku sudah memikirkannya, dan aku sadar bahwa aku benar-benar telah mengecewakannya selama ini. Aku harus menebusnya dengan baik. Kau juga, jangan terlalu lama pergi. Anak-anak kita jauh lebih penting daripada pekerjaan…"
He Jiwei menghela napas. "… Kata-katamu ini membuatku merasa bernostalgia."
"..."
"Ini seperti kata-kata yang kau ucapkan saat pertama kali mengandungnya." He Jiwei tersenyum, tatapannya dalam dan tak terduga mengandung kepedihan. "Sudah lama aku tidak mendengar kata-kata seperti itu."
Lü Zhishu berbisik, "Lao-He…"
Namun, He Jiwei sudah berbalik dan pergi.
He Yu berbaring di tempat tidurnya. Begitu ia tidak lagi perlu berpura-pura bersikap sopan di depan Lü Zhishu dan He Jiwei, sorot matanya menjadi gelap dan gelisah.
Sambil menatap langit-langit, ia melakukan apa yang selalu ia lakukan saat sendirian—larut dalam pikirannya, merenungkan masa lalu.
Bunyi lonceng berdentang.
Di luar dugaannya, jam kakek di rumah lama itu kembali berdentang.
Setiap dentangan yang berat dan menggema mengetuk relung hatinya, seperti yang terjadi setiap malam yang ia habiskan sendirian, seperti saat ia berdiri begitu lama pada ulang tahunnya yang ketiga belas, menunggu kehadiran seseorang, hanya untuk akhirnya mendapati bahwa tak seorang pun datang.
Ketika ia mengingat malam ulang tahun itu, pikirannya tanpa sadar juga melayang pada Xie Xue.
Bukan hanya karena orang tuanya tidak pernah menunjukkan kepedulian padanya, tetapi juga karena Xie Xue, pada akhirnya, hanyalah sosok yang sebagian ia ciptakan dalam benaknya di tengah kesepian dan sakit yang mendalam. Ia memang nyata, tetapi pada saat yang sama, ia juga tidak sepenuhnya nyata. Setelah mengetahui kebenaran itu, perasaan He Yu terhadap Xie Xue menjadi sangat rumit.
Sebenarnya, bukankah ia sudah lama menduga semua ini?
Dulu, ia selalu merasa bahwa ingatan Xie Xue buruk—ada hal-hal tertentu yang bisa ia ingat dengan sangat jelas, tetapi Xie Xue selalu berkata bahwa ia sama sekali tidak mengingatnya.
Saat itu, He Yu bahkan pernah berkata kepadanya, Aku benar-benar tidak percaya kau bisa masuk universitas dengan ingatan seperti ini.
Ia tak pernah menyangka bahwa semua itu mungkin hanyalah sekadar bayangan di cermin atau pantulan bulan di permukaan air—ilusi yang diciptakan oleh pikirannya sendiri.
Sosok "Xie Xue" yang seperti itu sebenarnya tidak pernah ada—ia tidak sepenuhnya nyata.
Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia tahu bahwa semua itu adalah bentuk perlindungan diri, kebohongan yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri.
Pernah, dalam kelas penulisan skenario dan penyutradaraan, ia menulis sebuah cerita tentang seorang anak laki-laki yang rohnya kembali ke bumi pada hari ketujuh setelah kematiannya. Arwah anak itu mengetuk pintu gurunya, lalu duduk bersamanya, makan camilan, dan minum teh jahe… namun keesokan paginya, ketika sang guru terbangun, tidak ada satu pun kue di meja yang berkurang, dan teh jahe yang tadinya hangat telah membeku menjadi es.
Anak laki-laki itu sebenarnya tidak pernah datang—ia hanyalah ilusi, hantu tanpa wujud nyata.
Fakta bahwa otaknya mampu menciptakan cerita semacam ini, bukankah itu mencerminkan bagaimana ia sendiri membayangkan Xie Xue?
Dalam cerita itu, kue-kue tidak pernah disentuh. Dalam kenyataan, kue ulang tahun itu bahkan tidak pernah ada.
Dalam cerita itu, teh jahe yang hangat membeku menjadi es. Dalam kenyataan, hatinya begitu dingin hingga nyaris tidak bisa berdetak lagi.
Sebenarnya, di alam bawah sadarnya, ia sudah mengetahui kebenaran ini.
Jika ia menelusuri ingatannya dengan saksama, dengan kesadaran seseorang yang baru terbangun, ia bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang nyata.
Saat masih berada dalam mimpi, mustahil membedakan antara tidur dan terjaga. Tetapi begitu ia membuka mata, ia akhirnya bisa memahami mana yang nyata dan mana yang palsu.
Seperti yang pernah dikatakan Xie Qingcheng, Xie Xue memang baik padanya, tetapi kebaikan itu tidak pernah luar biasa ataupun tanpa syarat. Ia memperlakukannya seperti seorang sahabat dekat, tetapi ia juga memiliki banyak sahabat—dan He Yu hanyalah salah satunya.
Ia tidak pernah menjadi seseorang yang istimewa.
Kenyataan ini jauh lebih menyakitkan baginya daripada sekadar mengetahui bahwa Xie Xue menyukai orang lain—karena pilar emosinya selama ini ternyata tidak lebih dari sebuah ilusi.
Bahkan untuk sekadar menyukai seseorang—perasaan yang paling wajar bagi manusia biasa—baginya tetap terasa seperti sesuatu yang mustahil.
Pikirannya kacau, tetapi sudah lama sejak terakhir kali ia bisa tidur dengan nyenyak. Jika dalam seminggu terakhir Xie Qingcheng mengalami berbagai penderitaan, He Yu sendiri juga tidak merasa lebih baik. Tubuh manusia tidak dirancang untuk menahan rangsangan yang begitu intens dan tak henti-hentinya. Jadi, meskipun pikirannya masih berantakan, ia tetap menelan beberapa butir pil, perlahan menutup matanya, dan akhirnya tenggelam dalam tidur nyenyak pertamanya sejak malam itu di klub.
Malam itu, He Yu bermimpi.
Ia bermimpi tentang sepasang mata bunga persik yang berbahaya dan memesona. Karena mata itu telah membawanya ke dalam kenikmatan berkali-kali sebelumnya, awalnya, ia mengira sedang bermimpi tentang Xie Xue.
Ia mengira dirinya kembali terjebak dalam fantasi, bahwa harapan menyedihkan di hatinya sekali lagi mengambil wujud Xie Xue untuk menghiburnya.
Namun, seiring mimpi itu semakin jelas, ia tiba-tiba menyadari bahwa mata tersebut sama sekali tidak tampak lembut atau tersenyum.
Sebaliknya, mata itu sedingin es, tajam, penuh permusuhan, dan tegas.
Namun, di saat yang sama, juga tampak gelisah dan tak berdaya.
Ia mendadak sadar bahwa itu adalah mata Xie Qingcheng, saat dirinya dibius dengan Plum Fragrance 59.
Karena mimpi ini berasal dari alam bawah sadarnya, begitu ia menyadari hal itu, seluruh adegan pun mulai mengambil bentuk nyata.
Sekali lagi, ia melihat tubuh Xie Qingcheng terbaring di atas sofa kulit hitam yang mengilap, kulitnya begitu pucat bak permata berharga yang tersimpan dalam kotak beludru hitam—begitu putih hingga hampir tembus cahaya.
Kemeja putih bersih yang dikenakan Xie Qingcheng telah basah kuyup oleh anggur merah. Kainnya menempel erat pada kulitnya, memperlihatkan lekuk dada yang kokoh dan naik-turun dalam ritme napasnya.
Ia telah menyiksa Xie Qingcheng hingga berada dalam keadaan menyedihkan—seluruh tubuhnya dibasahi keringat, tampak seolah baru saja diangkat dari lautan. Tubuhnya bagai api—tegang, sepenuhnya maskulin, dan begitu kuat… berjuang sementara dirinya terus-menerus disiram air.
Obat itu mengalir tanpa henti dalam tubuhnya, hingga akhirnya Xie Qingcheng tidak bisa menahannya lagi. Ia melengkungkan lehernya tanpa daya, mencengkeram sofa dengan jemarinya, menatap ke atas seolah-olah berusaha meraih sesuatu, memperlihatkan pergelangan tangannya—dan barisan tulisan halus di pergelangan tangan kirinya yang berbunyi— Here lies one whose name was written in water.
He Yu menatap baris tulisan itu hingga kata-kata yang awalnya begitu jelas perlahan menjadi kabur, hingga akhirnya ia tidak lagi mampu membacanya—ia hanya merasa bahwa kata-kata itu seperti kutukan iblis yang menyedot jiwanya keluar dari tubuhnya, membuatnya melangkah maju seperti orang yang dirasuki…
Dengan bunyi tamparan yang nyaring, ia mencengkeram Xie Qingcheng.
Mata bunga persik itu tampak mengeluarkan miasma yang memesona.
Sekali lagi, seruan serak yang dipenuhi gairah—sesuatu yang belum pernah He Yu dengar sebelumnya—bergema dalam mimpinya.
Lalu, bibirnya terbuka saat ia terengah-engah, matanya berkabut, urat-urat di lehernya bergetar seolah sedang menghipnotisnya—seperti iblis ular yang telah melepaskan kulitnya yang lama, memperlihatkan hasrat vulgar di baliknya, menggoda seorang pria untuk menggigit dan mencabik-cabiknya dengan kejam, menelannya hingga hasrat itu melebur ke dalam tulang mereka.
Menariknya ke dalam mimpi buruk yang bahkan tidak menyisakan daging dan darahnya.
Saat He Yu terbangun, ia masih terengah-engah.
Jam di pergelangan tangannya tertidur dalam keheningan, menjadi beban yang menenangkan di lengannya yang basah oleh keringat. He Yu terbaring di atas ranjang besar dari kayu kenari di vila itu, aroma manis vegetal dari tikar bambu di bawahnya menyeruak ke dalam hidungnya setiap kali ia menarik napas.
Di luar jendela, tepian biru keabu-abuan, sewarna cangkang kepiting, mulai menyembul dari balik cakrawala. Itu bahkan belum bisa disebut sebagai cahaya fajar pertama—masih terlalu dini, pukul empat pagi, dan semua pelayan di vila masih tertidur di kamar masing-masing. Hanya ia seorang yang terbangun dari mimpi, basah kuyup oleh keringat dingin dan merasa dingin hingga ke tulang.
Pinggangnya diselimuti oleh selimut tipis musim gugur. Saat ia menatap langit-langit, ubin berlapis kuningan di atasnya tampak seperti serangkaian cermin yang memantulkan siluet dirinya yang terbaring di ranjang.
Tenggorokan He Yu bergerak naik turun saat ia berkedip, seperti cangkang kosong yang baru saja dimuntahkan dari mimpi buruk.
Namun, cangkang kosong tidak akan terpengaruh oleh gejolak hasrat. Pemuda itu tahu bahwa selimut tipis yang menutupinya sedang menyembunyikan bukti panas dari dosa yang masih belum terlepas—sisa-sisa yang terlambat menyusulnya dari alam mimpi yang begitu nyata, mengikuti dirinya hingga ke dunia nyata.
Memohon untuk dilepaskan melalui kelembutan dan kehangatan.
Ujung jarinya bergerak gelisah di atas ranjang, dan ia berpikir bahwa dirinya benar-benar sudah kehilangan akal.
Bagaimana bisa ia justru memimpikan Xie Qingcheng dari malam itu?
Saat ia meniduri Xie Qingcheng, ia berpikir bahwa itu bukan karena dorongan hasrat. Yang ia tahu, itu adalah cara paling pasti untuk menghinakan Xie Qingcheng. Terlebih lagi, saat itu, ia juga telah kehilangan kendali diri. Tanpa rasionalitas yang tersisa, ia lebih memilih terjerumus ke dalam lumpur bersama Xie Qingcheng, selama ia bisa menyeretnya ke bawah dan menyaksikan ekspresi menyedihkan di wajahnya.
Awalnya, ia berniat menggunakan kegilaan yang lahir dari anggur sebagai cara untuk mengakhiri hubungan mereka.
Setelah malam penuh siksaan itu, ia bahkan bertindak seperti seorang lelaki yang hanya mencari pelampiasan, memblokir Xie Qingcheng di WeChat tanpa niat sedikit pun untuk menghubunginya lagi.
Lalu mengapa ia justru kembali memimpikan Xie Qingcheng? Memimpikan seruan seraknya yang bahkan membuat lekukan punggungnya bergetar oleh kenikmatan?
Ia bukan homoseksual, bagaimana mungkin ia bisa terjerat seperti ini?
He Yu menutup matanya, membawa satu tangan ke pelipisnya. Semakin ia berusaha menghindari kenangan itu, semakin kenangan itu menyeruak ke permukaan, membangkitkan keinginan yang tersembunyi di bawah selimut tipis itu, seolah memberitahunya apa arti sebenarnya dari naluri primitif.
Ia menahannya.
Namun, keringatnya terus bermunculan, dan napasnya mulai memburu. Ia berusaha menghindari gelombang emosi yang mengganggunya, tetapi perasaan itu tetap menghantuinya.
Sejak awal, ia memang memiliki sisi liar yang sulit dikendalikan, tetapi malam itu, ia menemukan dirinya terjerat dalam sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sebelumnya, ia belum pernah benar-benar dekat dengan siapa pun, apalagi merasakan kehangatan dan keterikatan yang begitu intens dengan seseorang.
Seorang pemuda yang baru pertama kali mengalami sesuatu yang begitu mendalam akan menghadapi pergolakan batin yang luar biasa. Pada usianya yang masih muda, ia berada dalam fase pencarian, di mana rasa ingin tahu dan emosi sering kali bercampur menjadi satu. Semua orang yang pernah melalui masa itu pasti memahami betapa sulitnya mengabaikan kenangan yang begitu kuat melekat dalam ingatan.
Setelah mengalami sesuatu yang begitu mengguncang, seseorang akan—
Tak terhindarkan untuk mengingatnya.
Tak terhindarkan untuk merasakan kerinduannya.
Pada akhirnya, ia tak mampu lagi mengabaikan perasaan yang bergejolak dalam dirinya. Dengan gerakan cepat, ia menyingkap selimutnya dan meraih ponselnya.
Bunyi bip lembut terdengar saat ia membukanya.
Namun, di telinganya, suara itu terasa begitu nyaring, seolah membangunkannya dari kebimbangan yang terus menghantui.
Setelah terdiam beberapa saat, dengan gerakan kaku, He Yu menggerakkan jarinya dan, di tengah konflik batin yang mendalam, membuka album foto.
Di dalamnya, tersimpan gambar yang pernah ia ambil—momen di mana Xie Qingcheng terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Saat menatap layar, ingatan tentang malam itu kembali mengalir, bercampur dengan bayangan yang memenuhi pikirannya.
Detail dalam foto itu begitu jelas—bahkan setiap jejak yang tersisa dari peristiwa itu tetap terlihat nyata. Seketika, He Yu kembali teringat akan kehangatan yang pernah ia rasakan, seolah-olah perasaan itu masih melekat di dirinya. Bayangan suara dan sentuhan samar yang dulu begitu nyata kini kembali bergema di benaknya.
Sejak meninggalkan tempat itu hari itu, He Yu belum pernah membuka kembali foto-foto ini.
Setelah hubungan mereka berakhir, He Yu tidak ingin lagi menyimpan perasaan apa pun terhadap Xie Qingcheng, sehingga ia tidak pernah melihat foto-foto itu lagi.
Namun kini, tanpa benar-benar memahami apa yang sedang dipikirkannya, ia membuka folder yang telah dikunci dengan keamanan tinggi. Di atas ranjang luas dalam kamar yang gelap tertutup tirai di vila, He Yu mengangkat ponselnya. Rasanya seperti ada sesuatu yang tiba-tiba menghantamnya dengan berat, menekan dadanya hingga sulit bernapas. Gambaran yang tersimpan dalam foto itu seakan membelenggunya, membangkitkan dorongan naluriah yang selama ini berusaha ia abaikan.
Dalam foto tersebut, tubuh Xie Qingcheng terbuka sepenuhnya. Rambutnya berantakan, jatuh ke dahinya, dan di sudut bibirnya masih terlihat bekas luka samar akibat gigitan He Yu saat mereka berciuman…
Sekejap saja He Yu melihatnya, ia langsung memejamkan mata dan mematikan ponselnya.
Dalam sekejap, tubuhnya dibanjiri keringat panas…
Apakah ia sudah kehilangan akal sehatnya?
...
Jantungnya terus berdebar.
Semakin lama, semakin cepat, semakin tidak masuk akal—hingga akhirnya ia merasa jijik terhadap dirinya sendiri.
Ia benar-benar sudah gila… Bagaimana mungkin? Bukankah ia bukan orang seperti itu?!
Ya, pasti karena kelelahan dan penyakitnya. Itu pasti yang membuat pikirannya kacau.
Dengan wajah pucat, He Yu melemparkan ponselnya ke samping dan turun dari tempat tidur. Ia berjalan tanpa alas kaki menuju kamar mandi, masih terjebak dalam kabut pikirannya.
Suara air dingin mengalir terus-menerus selama lebih dari setengah jam sebelum akhirnya ia keluar.
Setelah itu, ia keluar dari aplikasi foto dan berbaring kembali di tempat tidur dengan rambut yang masih basah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggulir media sosial, berusaha keras mengusir pikirannya secepat mungkin.
Internet tidak pernah benar-benar sepi di malam hari; mereka yang terjaga justru tampak begitu hidup di dunia maya.
He Yu terus menggulir layar ponselnya hingga tiba-tiba menyadari bahwa, entah sejak kapan, ia telah mengetikkan nama "Xie Qingcheng" di kolom pencarian.
"..."
Terkadang, ketika seseorang benar-benar berada dalam keadaan santai, mereka akan melakukan hal seperti ini—tanpa sadar mencoret-coret nama yang terus terngiang di kepala mereka di atas kertas, atau mengetikkannya di papan ketik.
Namun bagi He Yu, tanpa sadar mengetikkan nama Xie Qingcheng tetaplah sesuatu yang sulit diterima. Ia benar-benar merasa hal itu terlalu konyol.
Saat kembali sadar, He Yu berniat menutup aplikasi tersebut. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah unggahan.