Words That Are Hard to Say

Xie Qingcheng tidak tahu bagaimana ia bisa tertidur.

Jika itu terjadi sebelumnya, dengan segala kekacauan di dalam hatinya dan semua hal yang telah terjadi, ia pasti tidak akan bisa tidur sama sekali.

Namun, kesehatannya semakin memburuk, dan ia baru saja menjalani perawatan RN-13 yang seribu kali lebih menyakitkan daripada kemoterapi, sehingga tubuhnya sangat lemah. Setelah menenangkan diri sejenak di sofa, ia merasakan kelelahan yang luar biasa.

Ia sebenarnya tidak ingin tidur. Ia merasa perlu menenangkan diri dan memikirkan penyebab dari getaran yang semakin nyata setiap kali ia berhadapan dengan He Yu.

Ia menatap pintu yang tadi ditutup oleh He Yu. Ia berada di luar pintu, sementara He Yu ada di dalam, dan pintu itu tidak terbuka lagi.

Semakin Xie Qingcheng memikirkannya, semakin ia tidak dapat memahami semuanya. Ia mengingat kembali kejadian yang baru saja terjadi, terutama suara sesenggukan He Yu di akhir, dan hatinya terasa semakin tidak nyaman.

Akhirnya, ia mengumpat pelan pada dirinya sendiri dan jatuh ke sofa dengan frustrasi. Pandangannya kosong menatap langit-langit, dan kesadarannya perlahan menghilang.

Lelah dan kesakitan, Xie Qingcheng akhirnya tertidur dan bermimpi.

♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛

Ia bermimpi bahwa dirinya terperangkap dalam kostum beruang teddy yang compang-camping, berdiri di depan bianglala di sebuah taman hiburan, seolah sedang menunggu seseorang.

Ia tidak tahu siapa yang sedang ia tunggu. Maka, ia hanya berdiri di sana, kusut dan canggung, sambil memegang segenggam balon helium dari taman hiburan.

Roda bianglala itu berputar perlahan, lampu neon berganti warna, dan para pengunjung yang telah selesai menikmati wahana turun dengan tawa dan obrolan riang, tanpa ada satu pun yang memperhatikan sosoknya di sudut itu.

Para pengunjung semuanya datang berkelompok.

Mereka tertawa dengan begitu bahagia dan puas, sehingga keberadaan beruang teddy yang lusuh beserta balonnya tampak tidak berarti bagi mereka. Mereka bahkan tidak menyadari keberadaannya.

Setelah beberapa saat, Xie Qingcheng menyadari bahwa ia tampaknya sedang menunggu seseorang yang membutuhkannya—seseorang yang ingin mengambil balon dari tangannya.

Namun, seolah-olah dia berada di bawah pengaruh sihir, dia tidak bisa berbicara atau menampakkan dirinya sebagaimana adanya. Dia hanya bisa berdiri di sana, menunggu... menunggu...

Di tengah alunan musik taman bermain dalam mimpi, sepasang suami istri turun. Xie Qingcheng tiba-tiba menyadari bahwa mereka adalah orang tuanya sendiri dan berusaha menggerakkan tubuhnya untuk mendekat.

Namun, ayahnya melambaikan tangan dan menaiki kereta kuda putih di taman. Zhou Muying pergi bersamanya, dan kedua sosok itu berjalan menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan di dalam kereta kuda putih.

Xie Qingcheng berhenti dalam kebingungan.

Dia tahu bahwa mereka telah pergi dan tidak akan pernah kembali.

Orang kedua yang turun dari bianglala adalah Qin Ciyan.

Lao Qin sendirian, mengenakan jas putih yang telah dipakainya sepanjang hidupnya, melihat ke kanan dan ke kiri dengan senyuman. Xie Qingcheng ingin menghentikannya, tetapi tiba-tiba seorang anak berlari dari kejauhan—seorang bocah berusia enam atau tujuh tahun, memegang es krim, mendongak dan berteriak kepada Lao Qin sesuatu yang tidak bisa didengar oleh Xie Qingcheng.

Namun, dia sudah tahu siapa anak itu.

Lao Qin mengulurkan tangan dan menggenggam tangan sang anak. Keduanya menghilang di antara gemerlap cahaya taman bermain. Mereka tampak sangat bahagia.

Itu adalah kebahagiaan yang tidak pernah ia miliki.

Hanya Xie Qingcheng yang tetap berdiri di tempat yang sama.

Langit sudah gelap.

Orang ketiga yang turun adalah Xie Xue, yang melompat dan berlari dari kejauhan. Saat ia mendekat, sosoknya berubah dari seorang gadis kecil berusia lima atau enam tahun menjadi dirinya yang sekarang.

Xie Xue terdiam sejenak saat melewatinya, menatap boneka kain itu seolah-olah ia merasa familiar dengannya. Setelah beberapa detik, ia mendekat, tersenyum, dan hendak berbicara... Namun, tiba-tiba seseorang memanggil namanya dari kejauhan.

Xie Qingcheng tidak bisa melihat wajah orang itu, tetapi ia tahu bahwa itu adalah seorang pria—seseorang yang ingin Xie Xue habiskan sepanjang hidupnya bersamanya.

Ketika Xie Xue mendengar suara pria itu, ia menoleh dan menyadari bahwa dirinya bukan lagi seorang gadis kecil. Boneka itu dan balon warna-warni itu bukan lagi miliknya.

Ia tersenyum padanya untuk terakhir kalinya, memberi salam pada boneka beruang kesayangannya di masa kecil, lalu berjalan cepat menuju masa depan yang cerah dengan sepatu hak putihnya.

Tuhan, langit telah sepenuhnya gelap.

Dari bianglala, banyak orang turun satu per satu…

Ada Chen Man, Bibi Li, Li Ruoqiu… tetapi masing-masing memiliki tempat yang harus mereka tuju. Dan tidak ada satu pun… tidak ada lagi yang membutuhkan pelukan boneka beruang yang telah rusak, tidak ada lagi yang menginginkan balon warna-warni yang dipegang erat oleh boneka beruang itu.

Taman itu akan segera ditutup, dan semua orang mulai pergi.

Ia ditinggalkan sendirian dalam keputusasaan, perlahan berkedip dari dalam boneka beruang, perlahan menutup matanya, dan perlahan melepaskan genggamannya, membiarkan balon-balon yang tak lagi bisa menghibur siapa pun melayang ke langit…

Namun kemudian—

"Dokter Xie." "Dokter Xie."

Ia mendengar seseorang memanggilnya.

Ia membuka matanya samar-samar, tetapi tidak melihat siapa pun.

"Lihatlah aku, aku di sini."

Ia menundukkan kepalanya dan melihat seorang anak laki-laki berusia tujuh atau delapan tahun, rapi dan tertata, menatapnya dengan mata jernih.

Itulah He Yu yang pertama kali ia temui.

"Dokter Xie, mengapa Anda tidak pulang?"

"…" Ia tidak bisa menjawab. Ia terperangkap dalam boneka itu, terikat oleh sihir.

Dan sekalipun bisa menjawab, apa yang seharusnya ia katakan? Ia tidak memiliki rumah.

"Oh iya, Dokter Xie…"

He Yu kecil mengulurkan tangannya dan mengangkat sebuah mianren berbentuk naga kecil.

"Ini yang kubuat di taman bermain hari ini… ini untuk Anda…"

Ia memasukkan mianren naga kecil itu ke dalam saku kostum beruang Xie Qingcheng.

Bocah itu tersenyum: "Bisakah kau memberiku pujian?"

"Bisakah kau memberiku pelukan?"

"..."

Bisakah Anda memberiku pelukan...

Itulah yang sepertinya telah didengarnya dari He Yu berkali-kali.

Sedih, impulsif, menggoda, gelisah, memohon, putus asa. Suara He Yu.

Ia berbicara kepadanya berulang kali.

Ia adalah seorang anak yang kesepian, dengan keras kepala meminta jawaban kecil darinya.

"Bisakah Kau memberiku pelukan? Xie Qingcheng?"

"Seperti saat aku memelukmu."

Anak itu terus menunggu dan menunggu...

Namun, Xie Qingcheng tidak bisa bergerak. Xie Qingcheng yang terjebak dalam boneka beruang itu tidak bisa berbicara atau membungkuk untuk memberikan respons apa pun.

He Yu menatap matanya, dan perlahan, ekspresinya berubah dari harapan menjadi kebingungan, dari kebingungan menjadi keterkejutan, dari keterkejutan menjadi kekecewaan...

Ia hanya menatap Xie Qingcheng dalam diam, tertegun.

Lalu perlahan-lahan… tubuhnya mulai menjadi transparan…

Ia juga akan…

Ia juga akan menghilang…

Xie Qingcheng tiba-tiba merasakan hatinya sangat sesak. Dalam mimpinya, ia berjuang untuk melepaskan diri dari belenggu sihir.

Ia ingin memberikannya balon warna-warni yang ada di tangannya, ingin bertanya padanya:

"Bisakah kau melihatku? Apakah kau tahu aku ada di sini?"

Ia ingin mengulurkan tangannya...

Tiba-tiba...

Sekelilingnya terasa memutih, lampu-lampu warna-warni, bianglala, jalanan batu tempat parade kendaraan hias melintas—semuanya menghilang, seperti gambar pensil warna yang perlahan memudar.

Mata Xie Qingcheng membelalak.

Seseorang memeluknya dari belakang.

Ia tidak berbalik, tetapi jantungnya yang semula tenang mulai berdetak cepat, mengejar reaksi tubuhnya. Dada Xie Qingcheng bergetar hebat, dan ia bisa merasakan kehangatan serta aroma yang begitu familiar...

He Yu kecil telah menghilang dari hadapannya, dan kini He Yu dewasa memeluknya erat dari belakang.

Xie Qingcheng dapat merasakan air mata hangat jatuh di pundaknya.

Boneka beruang yang telah usang itu dipeluk erat oleh pemuda tinggi dan tampan. Sambil meneteskan air mata, He Yu berkata dengan suara pelan:

"Aku tahu kau ada di sini. Jangan pergi."

"Aku masih membutuhkan boneka beruang ini."

"Aku masih menginginkan balon warna-warni yang kau pegang..."

"Xie Qingcheng, berikan semua balon yang kau pegang, boleh?"

"Kau... berbalik dan peluk aku, ya?"

Saat itu.

Pada saat itulah hati Xie Qingcheng terasa seakan menerima hantaman terkuat dan terberat—hantaman yang menghancurkan sihir yang mengikatnya, yang memutuskan belenggu yang mencegahnya bergerak sendiri.

Boneka beruang yang rusak itu berbalik dengan canggung, dan matanya, seperti mutiara cokelat, menatapnya dalam diam untuk waktu yang lama.

Kemudian, perlahan-lahan... ia mengulurkan lengannya yang compang-camping, lengan yang selama ini tak lagi dipercaya atau dibutuhkan oleh siapa pun. Sedikit demi sedikit... perlahan... ia mengangkat tangannya... dan akhirnya, ia merengkuh pemuda yang berdiri di hadapannya, menghapus air matanya...

"Jangan menangis."

Suara seraknya akhirnya bisa keluar dari boneka itu dengan susah payah, suara yang begitu lama terpendam akhirnya mengalir.

"Jangan menangis, He Yu..."

"Jangan menangis..."

♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛

Bibir yang kering bergetar pelan, kelopak matanya bergerak, dan Xie Qingcheng tiba-tiba terbangun dari tidurnya.

Matanya masih kosong, cahaya dari mimpi itu belum sepenuhnya memudar.

Ia mengangkat tangannya yang gemetar dan dengan lembut menyentuh kelopak matanya.

Ia…

Apa tadi itu mimpi?

Guncangan dalam hatinya terus berlanjut, menyebar ke seluruh tubuhnya, bahkan ujung jarinya pun tak bisa tenang.

Ia mengusap matanya dengan ragu—ada sesuatu yang hangat dan lembap di sana.

Ia benar-benar telah menangis.

"..."

Xie Qingcheng tetap berbaring di sofa, dadanya naik turun lebih cepat dari biasanya. Dalam matanya, neon warna-warni dari mimpi itu masih terlihat, dan di telinganya, seolah-olah alunan lagu samar dari taman bermain masih bergema.

Ia tidak ingin percaya pada apa yang baru saja ia mimpikan.

Ia tidak ingin percaya pada jawaban dan kerapuhan yang ditunjukkan oleh mimpinya.

Terlebih lagi, ia bahkan lebih enggan untuk mempercayai perasaan yang telah ia tunjukkan saat itu.

Ia benar-benar telah merespons He Yu.

Ia tetap terbaring di sofa, tak berdaya, dengan jakunnya bergerak naik turun di tenggorokan. Matanya terbuka lebar, memikirkan semuanya.

Ketika ia mengingat pelukan terakhir dalam mimpinya, hatinya masih bergetar.

Butuh waktu lama bagi Xie Qingcheng untuk menenangkan emosinya. Ia mengusap sisa kelembapan di sudut matanya, lalu mengangkat tangan dan melihat jamnya: sudah lewat pukul dua pagi.

Apakah He Yu sudah pergi?

Ia menoleh ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup.

Xie Qingcheng mencoba menenangkan diri lagi, perlahan berdiri, dan hendak mengetuk pintu ruang kerja ketika ia mendengar suara pintu dapur terbuka. Ternyata, He Yu berada di dapur.

"Kau sudah bangun?"

He Yu tampaknya masih merasa canggung dengan apa yang terjadi sebelumnya di antara mereka, sehingga ia tidak ingin langsung menatap Xie Qingcheng. Sebagai gantinya, ia mengepalkan tangan dan berdeham pelan, lalu berkata dengan suara rendah, "Aku sudah membuat camilan malam. Kau belum makan, bukan? Aku tadi berpikir untuk membangunkanmu nanti. Sebentar lagi akan siap... tunggu sekitar lima menit."

Meskipun He Yu sebenarnya tidak ingin Xie Qingcheng masuk ke dapur—ia ingin menyajikan makanan langsung—tetapi Xie Qingcheng tetap melangkah masuk.

Di atas kompor, ada panci yang tengah mendidih perlahan, mengeluarkan suara "gudu, gudu", disertai aroma yang tidak asing bagi orang-orang tua di Huzhou.

Ketika Xie Qingcheng mendekat, ia melihat ponsel He Yu tergeletak di depan dapur.

Tuan muda itu memang tidak terlalu pandai memasak. Apa yang sedang ia buat berasal dari resep yang ia pelajari secara daring. Judul resep itu terpampang jelas di layar—klise, tetapi juga sangat lugas:

"Buatkan sepanci sup untuk baobei-mu."

Xie Qingcheng mengalihkan pandangannya dari layar ponsel itu, seolah ingin menghindari sesuatu.

Ia mengambil sendok kayu yang basah, mengangkat tutup panci, dan uap panas yang mengepul dari dalamnya perlahan mengaburkan garis-garis kaku di wajahnya.

Ternyata, sup dalam panci itu adalah sup asinan rebung.

Xie Qingcheng sangat menyukai hidangan itu. Bibi Li tahu cara membuatnya, begitu juga dirinya, tetapi rasanya tidak pernah bisa menandingi buatan ibunya sebelum ia meninggal.

Itu adalah hidangan khas daerah selatan, yang membutuhkan rebung muda, ham, iga babi, serta simpul tahu seribu. Namun, memasak hidangan ini juga memerlukan satu bahan yang tak terlihat: kesabaran.

Kata "du" merujuk pada suara sup yang bergolak saat direbus perlahan.

Dalam proses perebusan yang panjang dan penuh kesabaran, kesegaran rebung, kelezatan ham, serta aroma iga babi melebur menjadi inti sari dalam panci, dimasak hingga meresap sempurna ke dalam simpul tahu seribu yang menyerap seluruh rasa.

Bahkan He Yu, yang biasanya tidak mudah goyah, akhirnya tidak tahan juga, sehingga ia mengusir Xie Qingcheng dari dapur. "Jangan berdiri di sini, aku tidak dapat memasak dengan benar jika kau berada di sini. Kau, keluarlah terlebih dahulu."

"..."

"Jangan berada di dapur, kau menggangguku. Keluarlah." Zhou Muying dahulu juga sering mengatakan hal yang sama kepada Xie Qingcheng.

Dalam hal ini, He Yu benar-benar mirip dengannya.

Xie Qingcheng ingin mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya ia tidak melakukannya dan memilih untuk keluar.

Saat duduk menunggu di ruang tamu, pikirannya terus kembali kepada mimpinya dan segala sesuatu yang telah terjadi sebelumnya.

Ia mengetahui bahwa He Yu telah menyerahkan seluruh hatinya dan ingin memberikannya kepadanya.

Ia belum pernah melihat cinta yang begitu menggebu-gebu. Pada awalnya, ia mengira hal itu hanya sekadar obsesi remaja, tetapi ternyata bukan demikian.

Ia seperti seorang raja yang tidak dapat mengenali HeShiBi, sedangkan He Yu adalah pemilik batu giok itu yang telah disalahpahami olehnya. He Yu telah berulang kali membuktikan bahwa hatinya tulus.

He Yu pernah berkata kepadanya:

"Kau tidak tergantikan. Jika kau menganggap bahwa mencintaimu adalah sebuah kesalahan, maka aku akan menjalani seluruh hidupku dalam kesalahan ini, dan pada hari aku meninggal, aku akan membuktikan bahwa aku benar."

Ia juga pernah berkata:

"Setiap hari aku hidup, aku akan bersamamu. Setiap jam, setiap menit, setiap detik. Aku akan mencintaimu, melindungimu, dan tidak akan meninggalkanmu."

Xie Qingcheng bukanlah seseorang yang berhati keras, dan akan menjadi suatu kebohongan jika ia mengatakan bahwa ia tidak tergerak.

Namun, hal yang paling membuatnya tidak dapat melepaskan diri adalah kebutuhan He Yu terhadap dirinya.

Xie Qingcheng adalah seorang pria yang terbiasa menjadi pelindung—merawat orang lain adalah hal yang paling sering ia lakukan, dan mungkin itulah makna keberadaannya.

Xie Qingcheng berpikir dengan saksama: "Jika suatu hari dia tidak ada lagi, bagaimana orang-orang di sekitarnya akan menjalani hidup mereka?"

Dia tahu bahwa Bibi Li, Chen Man, dan Xie Xue... mereka pasti akan sangat sedih, tetapi dia juga percaya bahwa mereka bisa saling mendukung dan perlahan keluar dari kesedihan itu. Ada banyak jembatan yang menghubungkan mereka dengan masyarakat, dan kehilangan anggota keluarga tentu menyakitkan, tetapi itu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk mereka atasi.

Lalu, dia memikirkan He Yu.

Jika aku pergi, apakah He Yu masih akan patuh di dapur, dengan tekun memasak sup? Akankah ia masih memasak dengan serius, mengikuti resep dengan api kecil?

Jika aku pergi, apakah dia masih akan mencari seseorang untuk diajak bicara, berusaha keras menemui dokter, menahan diri sebisa mungkin agar tidak dikuasai oleh iblis dalam dirinya? Akankah ia mengikuti orang lain, berbicara tentang kejadian-kejadian sepele dalam sehari, lalu meminta sebuah pelukan?

Xie Qingcheng tahu, hal itu akan sangat sulit.

He Yu terlalu keras kepala.

Dia bisa saja melukai dirinya sendiri hingga berdarah, membakar batu dan giok, jatuh ke dalam kegilaan, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara untuk berbalik arah.

Bahkan jika dia sadar bahwa jalan yang dilaluinya gelap dan buntu, selama dia telah melangkah, dia akan terus berjalan.

Xie Qingcheng menutup matanya.

Dia tidak menyangka bahwa pada akhirnya, orang yang masa depannya tak bisa dia prediksi, orang yang tidak akan membiarkannya pergi dengan tenang—adalah He Yu.

"Sudah siap, ayo coba!"

He Yu keluar dari dapur dengan membawa semangkuk besar makanan panas dan meletakkannya di depan Xie Qingcheng.

"Aku sangat pintar, jadi seharusnya ini enak."

Saat Xie Qingcheng melihatnya, dia terkejut karena ternyata itu bukan acar segar.

Yang ada di depannya adalah semangkuk mie dengan kuah putih kental, mie yang lembut dan halus dengan warna hijau khas Shanghai yang telah direbus perlahan, dengan telur rebus setengah matang berwarna keemasan di atasnya. Di atas mie, terdapat lapisan daging dan jamur yang kaya rasa, lalu ditaburi dengan biji wijen putih yang harum.

Esensi dari hidangan itu terletak pada kuah dan simpul-simpul mie, karena kesegaran rebung, ham, dan daging telah sepenuhnya terserap ke dalamnya.

Xie Qingcheng menatap semangkuk mie dengan kuah acar yang kental, seolah-olah He Yu telah mencurahkan seluruh semangat, cinta, dan kebaikannya ke dalamnya, lalu dengan penuh harap menyodorkannya kepadanya. Dia tahu bahwa sesuatu dalam hatinya sedang runtuh.

"He Yu."

Remaja itu mengangkat matanya yang berbentuk seperti almond. "Hm?"

Xie Qingcheng menyadari bahwa dia ingin meminta maaf atas kekejaman yang pernah dia lakukan padanya.

Dia telah marah pada He Yu tanpa alasan, dan hanya beberapa jam kemudian, He Yu telah menyiapkan sepanci sup panas untuknya... Xie Qingcheng merasa sangat tidak nyaman. Dia benar-benar ingin mendekat dan memeluk naga kesepian itu, seperti dalam mimpinya—di mana He Yu memeluknya saat dia terperangkap dalam boneka beruang reyot.

Namun, pada akhirnya, dia menahan getaran halus di jarinya dan tidak melakukannya.

Jika jembatan itu pada akhirnya akan dihancurkan, maka tidak seharusnya dibiarkan menjadi jalan yang terlalu nyaman untuk dilalui oleh remaja itu.

Xie Qingcheng tetap rasional hingga akhir, dan dengan menahan diri, dia mengalihkan pandangannya.

"Kau juga harus makan sedikit."

"Aku hanya akan makan dagingnya, aku suka dagingnya."

"..." Siapa yang tidak tahu bahwa daging dalam acar itu sudah kehilangan rasanya, karena telah direbus begitu lama hingga seluruh esensinya berpindah ke dalam kuah?

Namun, He Yu, yang lebih pemilih dalam makanan dibanding siapa pun, benar-benar mengambil beberapa potong tulang dari daging itu dan duduk di depan Xie Qingcheng, mengunyahnya pelan.

Dia tampak seperti seekor anjing.

Xie Qingcheng merenung lama sebelum akhirnya mengambil keputusan. Ia berkata dengan suara pelan, "…He Yu, jemput aku di akhir pekan. Aku akan memasakkan apa pun yang kau inginkan, lalu…"

Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, He Yu langsung bereaksi, perasaan gembira dan kecewa bercampur dalam suaranya. "Akhir pekan?... Aku ada pertandingan olahraga akhir pekan ini, universitas mendaftarkanku."

Xie Qingcheng terdiam sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, bertandinglah dengan baik. Kita bicarakan lain kali."

"Jadi… kau akan datang menontonku bertanding?"

"…"

"Bisa, kan?"

"Aku harus mengajar di pagi hari saat akhir pekan. Aku akan berusaha sebisa mungkin," jawab Xie Qingcheng. Tatapan He Yu begitu intens hingga ia memilih menundukkan pandangan dan melanjutkan makan mienya.

Namun, He Yu sudah kembali ceria.

Di saat yang sama, Xie Qingcheng merasakan nyeri yang begitu tajam di hatinya.

Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya benar-benar peduli pada He Yu. Tapi apa yang bisa ia lakukan?

Hidupnya tidak akan panjang. Jika ia terus tenggelam dalam kehangatan yang diberikan He Yu, jika hubungan mereka terus berlanjut seperti ini, maka pada akhirnya ia akan pergi. Dan meski ia sempat merasakan cinta tulus dari pemuda itu, yang akan tersisa bagi He Yu hanyalah kesedihan panjang yang mungkin tak berujung. Itu terlalu egois, terlalu kejam. Rasa sakit yang bertahan lama jauh lebih menyiksa daripada luka yang cepat disayat.

Setelah sekian lama menunda, akhirnya ia mengerti—bukan karena ia ragu, tapi karena ia tidak sanggup melepaskan.

Namun sekarang, waktunya telah tiba. Ia harus menghancurkan hatinya sendiri, harus melepaskan bocah yang begitu ingin menggenggam boneka beruang itu.