Aku menggoes cepat sepeda ku, bercepat-cepat mencoba memasuki gerbang akademi Hàseal, sudah 5 menit aku telat. Mama tidak membangunkan aku kali ini, kalau kata Mama sih mampus saja jika aku telat. Entah harus sumpah serapah atau tidak, aku lebih mementingkan sekolah dahulu. Surai pirang ku terurai begitu saja, tidak ku ikat. Dan seragam yang belum ku pakaikan dasi, mengingat aku sudah telat. Ini adalah hari pertama ku sekolah kelas 10 SMA. Aku terus menggoes hingga berhenti di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup, fakta mengejutkan nya adalah, bukan hanya aku yang telat 'Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah', tetapi terdapat lima orang yang telat. Ada yang memohon kepada satpam, ada yang pasrah, dan ada yang sedang minum es kelapa.
Aku menaruh sepeda ku, memakirkannya di tempat parkir sepeda yang ada di luar gerbang sekolah. Aku melangkah maju ke rombongan lima orang tersebut. Entah apa yang ku lihat sekarang, aku seperti melihat orang gila berkumpulan. Lihatlah apa yang ku lihat. Satu lelaki yang memiliki netra berwarna biru laut dan rambutnya pirang—entah apakah dia adalah diri ku versi laki-laki—dan, ada lelaki lebih tinggi darinya, memakai seragam sangat rapi, rambut yang tertata dengan surai berwarna hitam. Jika dibanding dengan diri ku, aku seperti gembel saja—melihat seragam ku yang tidak tertata rapi karena terburu-buru dan rambut terurai. Begitu pula ada lelaki berambut coklat ketuaan yang duduk disamping si lelaki pirang. Rambutnya acak-acakkan, sepertinya aku tidak sendirian.
"Pak! Tolong lah pak!" kata seorang perempuan di kepang satu, dia terlihat rapi sedikit, perempuan tersebut seperti kembarannya lelaki berambut acak-acakkan tersebut. Mereka sama-sama memiliki netra coklat kemudaan. Dia terus memohon kepada satpam yang sibuk memakan gorengan.
Terakhir, seorang perempuan mengeluarkan puhh pelan, pasrah sekali. Dia duduk disebelah tong sampah gerbang. Rambut coklat ketuaanya berantakan, mata hijau ketuaan yang lelah, dan seragam yang masih rapi. Wow, aku benar-benar seperti lihat orang gila. Aku menggaruk pipi ku pelan, menatap bingung. Aku menghampirinya pelan, ikut duduk disamping, astaga aku sudah merasa pegal hanya berdiri melongo-longo seperti orang bodoh.
"Nama mu siapa?" ucap seorang gadis yang sebaya dengan ku. Si perempuan yang memiliki netra hijau ketuaan mengajak ku berkenalan. Wow.
"Elenaire. Kamu?" jawab ku sekaligus bertanya.
"Islette." katanya, memperkenalkan diri. Aku mengangguk, akan ku ingat namanya sebagai daftar list teman baru dikelas 10. Aku membuka ponsel, mengecek waktu,
jam terlihat sudah pukul 07.15, dan kami terjebak di gerbang. Satpam tidak memiliki belas kasihan, mengingat peraturan lebih penting, serta tidak ingin terkena imbas. Memang ya, peraturan selalu di utamakan, itu hal bagus. Tetapi dasarnya, aku tidak yakin jika warga sekarang mematuhi aturan yang berlaku. Demikian faktanya beberapa saja selalu melanggar peraturan, seperti kasus bullying. Aku menatap semua orang di gerbang, ini sampai kapan aku harus menunggu?
***
"Si bapak marah terus, kawan! aku kesal banget. Asli kaya dimarahin emak!" Oceh teman ku, Ether.
Apa kalian bisa menebak? Aku berteman dengan semperkumpulan orang yang ku anggap gila. Jika hidup ini novel, aku akan bertanya kepada sang penulis; 'kenapa kau membiarkan ku berteman dengan orang gila seperti mereka?' tetapi lupakan saja ey, setidaknya aku memiliki orang yang dapat diajak berteman, aku sedang mendengarkan si rambut pirang yang mirip dengan ku, Ether. Usai terjebak di gerbang selama 30 menit, kami dipanggil oleh panitia MPLS yang merupakan guru dikenal sangat amat tegas. Dan, satpam sendiri terkena tegur, mengingat ini MPLS bahkan seharusnya yang telat tetap di izinkan masuk. Terimakasihnya kami tidak telat informasi seraya kakak dan abang OSIS nya menjelaskan semua dengan ulang. Minusnya, aku, Islette, Ether, dan yang lain harus berdiri di lapangan sembari memberi alasan mengapa telat.
"Tapi Ther, bukankah ini tetap salah kita? Sudah datang terlambat.. Lantas tidak mau salah, itu hal tidak patut bukan?" jawab teman ku satu lagi, perempuan kembarannya si rambut berantakan. Marchelle.
"Aku setuju dengan pendapat Marchelle." teman ku yang paling rapi, ikut memberi suara kepada pendapat Marchelle. Dia Easton, lelaki yang tidak tahu kenapa bisa rapi sekali daripada kami.
"Heh! Eton juga? Astaga! ada kah yang mendukung aku sekali aja?" pelotot Ether.
"Tidak tuh, memangnya ada yang ingin mendukung mu?" tanya si lelaki berambut acak-acak, Marchel.
Aku mengangguk setuju. "Ngomong sama tembok saja, Ther." kata ku, mengunyah bakso yang kami pesan tadi.
"Astaga. Kalian tipikal tidak teman sejati ya. Awas saja, besok lagi tidak akan ku teraktir bakso ini" cibir Ether. Kami menggendikkan bahu, entahlah.
Aku lebih asik memakan bakso terenak di dunia ini. Tanpa ku sadari, aku akan merasakan yang namanya sahabat. Bahkan, mereka akan menjadi teman baik ku.