Kembali ke Masa lalu

Hari itu merupakan hari yang paling menyakitkan bagi Edgar, Amelia seperti tak memiliki hati, sedikitpun tak tersisa rasa kasihan di hati wanita itu ketika sibuk mengemasi barangnya dan juga barang Alexa sementara ada Edgar yang sujud di lantai menggenggam kuat ujung gaun mommynya. Memohon agar wanita itu tidak meninggalkannya,

"Mom, biarkan aku ikut. Aku berjanji tidak akan menyusahkan mommy." ucap Edgar memohon dengan nada pilu.

"Hentikan, Ed. Kau sudah besar, kau tidak bisa selamanya bersama mommy," ucap Amelia kala itu.

"Mom, kumohon bawa aku ikut bersama kalian." Edgar berulang kali memohon dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.

Tapi keputusan Amelia tidak bisa lagi di ganggu gugat.

Mobil sport milik Ben yang membawa Amelia beserta Alexa mulai menghilang di ujung gang.

Edgar meraung pilu dengan kesedihan yang begitu menyakitkan.

Malam itu juga Edgar jatuh sakit—tubuhnya terasa panas tapi baik neneknya maupun paman Fazio yang berada di rumah yang sama dengannya seperti tidak peduli akan hal itu.

Hanya beberapa hari berselang, neneknya mulai tidak peduli.

Sering ketika pulang sekolah Edgar tidak menemukan adanya makanan di rumah, pamannya mulai bersikap kasar dan memukuli.

Pernah juga neneknya melihat sendiri bagaimana paman Fazio menyiksanya hanya karena Edgar tidak bisa membuatkan secangkir kopi.

Neneknya sama sekali tidak membantu dan membiarkan paman Fazio menginjak-injak tubuh Edgar.

Fazio merupakan pecandu obat terlarang. Pria itu tidak bekerja, hari-harinya hanya makan, tidur, pergi keluar untuk minum, main judi lalu pulang ke rumah untuk meminta uang kepada Tracy.

Sementara Tracy sendiri tidak memiliki penghasilan selain mengandalkan uang  dari Amelia, beberapa harta peninggalan daddynya sudah habis terjual.

Sore itu, Edgar hanya seorang diri di rumah tengah mencuci pakaian kotor mereka ketika Fazio datang dan meminta anak lelaki itu membawakannya makanan namun tidak ada apapun di rumah yang bisa di makan.

Edgar sendiri hanya sarapan dengan sisa nasi kemarin malam dan hingga sore ini dia belum makan apapun.

"Uncle, di rumah tidak ada makanan." ucap Edgar menunduk takut.

Mendengar hal itu Fazio bak kesetanan menendang tubuh Edgar hingga terlempar ke udara lalu jatuh ke lantai.

Tidak puas akan tindakannya, Fazio menghajar wajah Edgar yang sudah meringkuk di lantai secara berulang kali tanpa peduli jeritan anak itu.

"Kau menghabiskan makanan? Anak sial, kau menyusahkan! Kau sengaja melakukannya?!!" teriak Fazio sambil meludahi Edgar.

"Aku tidak peduli, sediakan aku makanan sekarang, cepat! kau tuli?‼"

Fazio menjambak kepala Edgar kuat hingga terasa akar rambutnya tertarik lepas dari kulit kepalanya.

"Aku akan membunuhmu dan memanggangmu bangsat!" desis Fazio berang.

Pria dewasa itu menarik lepas pakaian lusuh yang di kenakan Edgar lalu menyodorkan pisau kepadanya,

"Cepat bunuh dirimu agar aku bisa memanggang bagian-bagian tubuhmu!"

"Ampun, uncle." Edgar menangis terisak dengan tubuh bergetar.

Namun tangisnya justru menambah sensasi senang bagi Fazio dan dia terus menyiksa anak itu.

Demi memuaskan kemarahannya, Fazio menyalakan rokok miliknya lalu menyundutkan api rokok tersebut ke punggung Edgar.

"Aghhh ...!" jerit Edgar kesakitan, Fazio terbahak puas.

"Rasakan itu!" dan tidak hanya satu atau dua namun sepertinya terdapat hampir atau lebih sepuluh bekas selundutan rokok di punggung Edgar.

Lebih kejamnya lagi Fazio seakan menganggap punggung anak itu sebuah mainan, dia membentuk bulatan seperti bulan purnama di punggung Edgar menggunakan puntung rokok yang masih menyala.

Edgar awalnya berteriak histeris namun setelah mengetahui Fazio seperti kesenangan, anak itu memilih diam menahan rasa sakit luar biasa di punggungnya.

Tiba-tiba Fazio menerima panggilan dari seseorang lalu meninggalkan Edgar begitu saja.

Tanpa ada yang menyadari jika Agatha bersembunyi di balik pintu dengan tubuh bergetar, awalnya gadis kecil itu ingin bermain dengan Edgar namun ia justru melihat sesuatu yang begitu sadis dari awal Edgar di siksa hingga selesai.

Anak itu hanya diam menangis ketakutan, dia tidak melakukan apapun saat tubuh Edgar terkapar di lantai, dia takut jika Edgar mati.

Perlahan anak gadis itu merangkak mendekat membuat Edgar berusaha membuka matanya yang sudah lebam dan bengkak.

Agatha tidak mengatakan apapun selain menangis sesenggukan.

Edgar sempat kaget melihat kehadiran Agatha yang tidak tahu sejak kapan.

"Pergilah, uncle Fazio akan segera kembali. Agatha—Aku tidak apa-apa, sekarang pergi jangan sampai ketahuan oleh uncle Fazio." ringis Edgar yang tidak ingin Agatha ikut terseret dalam penyiksaan itu.

Agatha berlari meninggalkan Edgar yang kesakitan sembari menangis sepanjang jalan.

Sonya Carter dan Jascha Carter terlihat kaget melihat Agatha yang pulang menangis ketakutan.

"Hei baby, are you okay?" tanya Sonya.

Namun tidak ada jawaban dari Agatha.

"Nak, ada yang menyakitimu? Katakan pada daddy," gantian Jascha yang berusaha membujuk putrinya.

Agatha hanya menggeleng tanpa mengatakan apapun.

Sejak hari itu, Agatha mengurung diri di kamar dengan rasa takut.

Kedua orang tuanya tentu saja merasa khawatir akan hal itu, apa lagi gadis kecil itu terkadang menangis dengan tiba-tiba.

Di hari ke empat Jascha sudah tak bisa membiarkan Agatha seperti itu, mereka berencana untuk membawa putri mereka konsultasi.

Tanpa di sangka akhirnya Agatha menceritakan semua yang telah ia lihat. Agatha memang paling tidak menyukai jika harus pergi ke rumah sakit atau bertemu dengan dokter.

Sontak Sonya meraih tubuh kecil itu dan memeluknya, mencoba menenangkan Agatha.

"Edgar akan baik-baik saja, sayang." Sonya mengelus punggung kecil Agatha yang terisak.

Salah seorang psikolog sahabat Jascha yang akhirnya datang ke rumah setelah mendengar cerita dari Jascha.

"Dia mengalami trauma. Untuk saat ini kalian harus memberi perhatian lebih, anak-anak seusianya sangat rentan dengan hal seperti ini … ingatan mereka sangat sensitif ..."

Sonya dan Jascha telah mendengar penjelasan dari Bernadeth.

...

Sudah seminggu berlalu, Edgar duduk bersembunyi di rumah tua tak berpenghuni tak jauh dari gedung sekolahnya.

Lagi-lagi dia membolos dan sudah hampir seminggu bekas luka bakar di punggungnya masih terus mengeluarkan cairan.

Sering di malam hari terasa gatal dan tanpa sadar Edgar menggaruknya, terlebih luka itu tidak mendapat penanganan sehingga proses penyembuhan semakin sulit.

Dia tidak tahu apakah luka itu hanya sekedar mengeluarkan cairan atau nanah yang jelas rasa sakitnya luar biasa perih.

Pagi itu Tracy yang baru saja ingin pergi bertemu teman-temannya ketika mendapati surat dari pihak sekolah Edgar.

Laporan jika Edgar sering membolos dan tertangkap merokok di lingkungan sekolah oleh salah seorang guru.

Alhasil wanita berumur itu menunda kepergiannya dan menunggu kepulangan Edgar dengan muka siap mengeksekusi.

Tracy melihat kedatangan Edgar dari jauh, dia sudah mempersiapkan balok di genggamannya untuk menghajar Edgar.

Dan benar saja tanpa ampun Tracy langsung mencambuk Edgar di beberapa tempat.

"Anak kurang ajar, kau mau jadi apa huh?!"

"Berhenti memasang wajah pucat, kau pikir aku akan mengasihani anak sepertimu?"

"Kau tidak tahu diri, pantas saja Amelia membuangmu!"

Sembari mengeluarkan semua kata-kata menyakitkan, Tracy tidak berhenti mencambuk seluruh tubuh Edgar—Edgar hanya meringkuk pasrah. Tanpa jeritan tanpa tangis.

Malam itu juga Tracy mengusirnya dari rumah.