Hari-hari menjelang upacara pasangan itu bagi Anne adalah serangkaian kegiatan yang padat. Tamu-tamu mulai datang. Setiap pagi, ia bangun sebelum fajar, pikirannya berpacu dengan pikiran tentang detail-detail terakhir yang perlu diperhatikan. Dekorasi harus sempurna, tata letak tempat duduk harus tanpa cacat, dan setiap tamu disambut dengan hangat.
Ketika matahari tenggelam di bawah cakrawala, menciptakan cahaya lembut di seluruh aula, Anne merasakan beban tanggung jawab yang berat di pundaknya. Ia berlari dari satu ujung aula ke ujung yang lain, memberikan perintah kepada anggota kawanan yang membantunya bersiap. Meja kayu panjang itu dihias dengan dekorasi pusat meja yang rumit, dan aroma pastri yang baru dipanggang melayang di udara, bercampur dengan aroma tanah dari hutan di luar.
Namun, di tengah kekacauan, satu suara bergema di pikirannya—suara yang sangat ia rindukan. Tapi setiap kali, ia terlalu sibuk untuk membalas panggilan atau pesannya, membuatnya merasa bersalah.