Dalam ruangan yang berbentuk persegi, ditemani segelas kopi yang mulai dingin serta harum lavender bercampur lemon yang membuat Kai mual, ia menatap bosan kepada seseorang dihadapannya yang kini tengah menatapnya tajam selama 2 jam penuh.
"Ehm, apa ada sesuatu yang mencurigakan profesor Duckheart?" Kai bertanya sopan. Mengabaikan rasa dongkol yang sejak tadi ia pendam.
Profesor Duckheart, kepala sekolah dari Egsai Akademi menaikkan sebelah alis. Ia mengelus jenggot putihnya seperti mengelus sebuah ekor kuda.
"Ya tentu," jawabnya. Ia menyandarkan tubuhnya yang gemuk kearah sandaran sofa hingga membuat bunyi keriyetan yang mengganggu telinga.
"Bagaimana bisa orang sepertimu direkomendasikan oleh seorang servant?"
Kai mengerenyitkan dahi ketika mendengar pertanyaan profesor Duckheart.
Sepertimu? Maksudnya sepertiku? Memangnya ada apa denganku?
Kai tidak tahu sampai mana profesor Duckheart meremehkannya, yang pasti saat ini ia tahu bahwa dirinya dinilai lebih rendah dari profesor Duckheart.
Meski begitu Kai tetap tersenyum, dengan tenang ia menjawab, "kebetulan kami adalah teman dekat, profesor."
Lenggang sejenak. Lalu suara tawa yang keras keluar dari mulut profesor Duckheart. Sampai-sampai bulir air mata keluar dari sudut matanya. Dengan keras ia menepuk-nepuk pahanya yang mengingatkanku dengan tuan penjagal daging dari pasar yang setiap memotong daging selalu menepuk-nepuk daging yang akan ia potong.
"Ada sesuatu yang lucu, profesor?"
Suara tawa berhenti. Ia mengusap air matanya. "Itu tadi adalah lelucon terbaik yang kudengar selama sebulan kebelakang."
"Ahh, tapi saya tidak berbohong, prof."
"Ya ya ya, aku tidak perduli," ia mengibaskan tangannya ke udara. "Untuk posisi yang kosong sekarang hanyalah sebagai guru sejarah, dan untuk posisi tersebut akademi hanya mampu membayar mu sebanyak tiga koin emas selama sebulan."
Tiga koin emas selama sebulan? Itu lebih rendah daripada pendapatan toko roti di ujung gang Lanberg.
Kai menghela nafas, dengan terpaksa ia menyetujui.
Setelah acara jabat tangan yang membosankan, ia dipersilahkan untuk pergi. Makadari itu ia juga dengan cepat meninggalkan ruangan profesor Duckheart.
Lagipula siapa yang tahan dengan aroma lavender dan lemon selama dua jam? Beruntung Kai tidak pingsan tadi. Ya walaupun pada akhirnya profesor Duckheart sendirilah yang tahan.
Setelah keluar, Kai menatap hampa ke arah lorong-lorong sekolah yang panjang. Lantai-lantai yang putih seputih kertas, dinding-dinding yang di cat putih sehingga terlihat kontras dengan beberapa bercak noda akibat jamur.
Apakah ini hal yang benar, Lihana?
Setelah menghembuskan nafas kasar, Kai berjalan menjauh dari pintu ruangan profesor Duckheart. Berjalan sendirian dengan pikiran yang penuh akan pertanyaan membuatnya tanpa sengaja menabrak seorang siswi yang muncul secara tiba-tiba dari belokan.
"Aduh!" Pekiknya setelah jatuh terduduk. Kai yang menyadari hal tersebut segera menyodorkan tangan menawarkan bantuan.
"Ahh maaf-maaf, aku tadi tidak melihatmu."
Bukannya menerima uluran tangan Kai, gadis tersebut malah menatapnya kesal.
"Dasar orang tua tidak punya mata!" Sengaknya. Ia berdiri sendiri membuat Kai terbengong melihat kelakuannya.
Dengan tampang acuh, ia pergi meninggalkan Kai setelah menatapnya seperti menatap seorang pecundang sampah.
Ehhh, sepertinya adab tidak berlaku di masa sekarang.