"Secara sains, tubuh kita itu berasal dari debu bintang."
"Kita yang berasal dari debu bintang, atau bisa dibilang 'awalnya bintang,' sebenarnya sekarang masih tetap bintang."
.
.
.
.
.
.
Start of First-Person PoV
༺–·—————————————————·–༻✧
Tek! Tek! Tek!
"..."
Masih tidak ada jawaban, aku berinisiatif mengatakan, "Coba lihat bulan."
"Kenapa harus bulan?" tanyanya. Kemudian dia berbicara lagi, "Apakah bulan yang indah itu bermaksud 'balasan'?"
"Tidak, aku hanya acak mengatakannya."
Tidak juga ...
Dia terdiam, tidak berniat menjawab karena tidak tahu harus apa.
"Secara sains, tubuh kita itu berasal dari debu bintang." jelasku singkat.
Dia tampak agak terkejut sejenak, tapi kemudian bertanya, "... Apa itu debu bintang? Apakah sama dengan bintang? Atau, debu yang terbuat dari bintang?"
Alisku mengerut ketika sensasi aneh menyertai perasaanku.
Oh? Apa yang terjadi dengan orang ini? Dia tidak tahu? Walau pikiranku begitu, wajahku malah menampilkan senyum tertarik.
Sepertinya dia bingung kenapa aku malah menyeringai saat dia bertanya.
Rangkaian aksara yang aku-lupa-asalnya terspawn di otak, "Menjelaskan sesuatu yang kau suka itu menyenangkan, tahu."
Tanpa basa-basi lagi, aku menerangkan, "Debu bintang dan bintang itu berbeda. Debu bintang itu partikel debu kosmik dari luar angkasa, entah yang berasal dari bintang mati, atau partikel di antara bintang-bintang."
Beberapa detik aku menatap wajah fokusnya.
Serius sekali ...
Aku mengambil napas sebelum melanjutkan, "Menarik bukan?"
"Aku baru tahu." dia menganggukkan kepalanya sembari merespons.
"Secara tidak langsung, kita adalah mantan bintang. Atau mungkin, bintang purba yang pernah bersinar paling terang di suatu waktu?" entah dari mana, kata-kata ini keluar begitu saja dari mulutku.
Dia menatap buku di depannya, "Memang, semesta ini penuh rahasia yang menunggu untuk diungkap."
"Benar," setujuku.
Tidak mungkin kita mengungkapnya ...
"Menurutmu, apa intinya?"
Tanpa alasan, dia menoleh untuk melihatku. Saat itu juga, dia langsung menyimpulkan, "Miliaran tahun yang lalu, kita adalah bintang?"
Eh?
Benar, tapi bukan yang 'ku maksud!
"Tidak juga."
Matanya melebar tak percaya, "Hah? Lalu apa jawabannya?"
"Apa ya?" pada huruf vokal terakhir aku memperlama nadaku. Sudah lelah berdiri, aku sedikit menarik kursi di dekatnya lalu duduk di situ.
Kaki kanan 'ku silangkan ke kiri. Sementara tatapanku menatap lurus menuju iris biru langit itu. Tak membiarkan atmosfer sepi bernaung, aku memecah keheningan, "Coba tebak."
Dia terdiam, masih tak menjawab.
Kepalanya dia arahkan kembali memandang buku. Aksara-aksara yang tertata rapi menjadi tak berguna sebab tidak dibaca. Dia memperlakukan buku itu seakan tidak ada.
Oh, kasihan sekali buku itu.
Raut berpikir keras terukir jelas di wajahnya, tampaknya dia memang serius.
Hampir satu menit kemudian, dia baru mendapat pencerahan, "Karena dulu kita adalah bintang mati, maka ke depannya kita harus berusaha menghidupkan kembali cahayanya?"
"Hmm," aku sengaja memperlambat waktu ketika mulai mengobservasi tempat ini.
Setelah memperhatikan bagian-bagian tempat yang dapat terlihat, mataku kini beralih pada satu akhiran. Dia, orang yang 'ku ajak bicara.
Bertatap-tatapan, aku segera membalas, "Benar, tapi kurang tepat."
"Lalu?" tanpa berpikir dia memberi pertanyaan.
"Kita yang berasal dari debu bintang, atau bisa dibilang 'awalnya bintang,' sebenarnya sekarang masih tetap bintang."
"Apa?" Lagi-lagi rautnya menampakkan rasa terkejut. Dia lanjut berucap, "Memangnya bisa seperti itu?"
"Pada dasarnya, wujud awal kita masih ada dalam wujud kita yang sekarang."
Tidak berniat menyela, dia hanya mengangguk sambil memberi 'o.'
"Sinar kita yang berdasarkan cahaya sekarang juga masih ada, namun dalam bentuk yang berbeda."
"Tentu saja, kita bukan bintang— yang benar-benar bintang."
"Kita semua adalah bintang (manusia) yang bersinar. Namun, setiap individu memiliki caranya sendiri."
"Sama seperti bintang, ada yang bersinar sangat terang jika dilihat dari dekat, tapi ternyata sangat redup jika di banding lainnya."
"Kenapa?" aku bertanya sendiri.
"Ya, seperti tadi, karena tidak semuanya menggunakan cara yang sama untuk bersinar."
Satu detik, dua detik, tiga detik, atmosfer keheningan mulai menginvasi suasana. Perlahan aku terlarut seluruhnya dalam kekosongan tak bermakna ini.
Kenapa juga tadi aku bilang begitu?
Aneh sekali ... tapi, pernahkah kamu merasa ingin membagikan hal — yang kamu baru tahu — kepada orang lain?
Seperti, bagaimana pendapat orang lain?
Kalau pandanganku seperti ini. Apakah milik orang lain sama?
Bagaimana hal yang sama jika dari sudut pandang berbeda?
Aku beranjak dari dudukku, pergi meninggalkannya yang termenung.
Dalam tempat yang sepi, aku menoleh ke atas untuk memandangi kumpulan bintang.
Mereka semua bersinar.
Mungkin beberapa ada yang terlihat kurang 'terang,' namun itu bukan berarti mereka tidak.
Mereka semua bersinar, tapi dengan caranya sendiri.
Ada yang bersinar sangat terang di tempatnya, tapi tampak sangat redup di banding lainnya. Bukankah itu berarti dia tidak bersinar?
Iya, tapi juga tidak.
Mereka memiliki caranya sendiri untuk bersinar.
Tidak sepertiku, aku lebih memilih bersinar secara individu dan hampir transparan ketika berkelompok.
༺–·—————————————————·–༻✧
End of First-Person PoV
To be continued
#–· Funfact, kita itu dulunya terbuat dari debu bintang dan secara sains, itu bisa dibilang benar.