II - Lumen dan Lenyap

Dengan tangannya yang memegang tangan si surai putih, dia langsung bertanya, "Siapa namamu? Dan, bolehkah aku ... mengetahuinya?"

"Aster," katanya. Lalu dia menambahkan, "Astherion Elior."

.

.

.

.

.

.

Start of Third-Person PoV

✧༺–·—————————————————·–༻✧

Seorang laki-laki bersurai hitam legam itu masih termenung di salah satu meja perpustakaan. Kurang dari 1 menit kemudian, dia mulai tersadar. Dia melihat ke kanan dan ke kiri.

Sementara kesunyian menjawab, tanda tanya terukir di benaknya.

Di mana orang itu?

Mata violetnya tampak begitu kebingungan, seakan tidak menyadari satu hal penting.

Dia— dia benar-benar orang asing yang baru saja 'ku kenal. Aku bahkan tidak tahu namanya, tapi biasa saja saat mengobrol — seperti dengan teman.

Kakinya bergerak maju selangkah demi selangkah. Dia yang berada di lantai empat dari ruang perpustakaan lantas segera menuju tangga. Tampaknya, dia yakin jika orang berkacamata dengan rambut putih dan pupil midnight blue tadi telah meninggalkan lantai ini. Akan tetapi, apa yang membuatnya begitu yakin?

Tangga demi tangga telah dia lewati. Kini dia sampai di lantai tiga, saatnya berjalan mengelilingi tempat ini.

Tidak ada.

Iris violet itu menampilkan secuil kegelisahan yang tak dapat di pahami.

Tidak ada — tidak ada.

Tiga kali, jawaban yang sama. Dia bukan orang yang mudah menyerah. Dia juga bukan orang yang selalu bersemangat. Dia hanyalah orang yang sedang gelisah untuk pertama kalinya karena seseorang.

Tidak ada ...

Lagi-lagi tidak ada. Di mana sebenarnya orang tadi — orang yang berbicara dengannya? Namun, apa yang membuatnya mencari sampai sebegitunya? Bukankah itu normal mengobrol sedikit dengan orang asing untuk meminta pendapat?

Aku tahu itu, tapi kenapa ... ?

Satu langkah, dan sekarang dia telah berada di ruang terakhir.

Tidak ada.

Tidak ada, itulah satu-satunya jawaban yang dia dapatkan di lantai tiga.

Mungkinkah dia di lantai dua? Pikirnya sambil berjalan cepat menuju tangga.

Sekali lagi, dia menuruni tangga itu dengan tergesa-gesa.

Masih tidak ada ...

Dia segera menuruni tangga lagi, ke lantai satu — paling bawah.

"Huh- huh ... huh ..." Napas pendek bersama detak jantung yang tak karuan. Manik violetnya yang khawatir seketika berubah melembut. Dia terus melangkahkan kakinya perlahan.

Itu dia.

Orang yang selama ini dia cari.

Itu dia!

Di lantai satu yang lebih sepi dari lantai yang lain, tetapi lebih luas, pemuda dengan surai hitam itu menemukan orang yang di cari-carinya. Di suatu tempat yang agak tersembunyi, ada sebuah jendela besar yang menampilkan langit malam, dan dia sedang berdiri memandangi keindahannya. Kumpulan bintang-bintang yang bersinar terang dapat terlihat jelas pada langit dengan sedikit polusi.

Berjarak 10 meter, si pemilik netra violet sudah menstabilkan kembali napasnya.

Surai putih yang agak panjang, kulit putih sangat pucat, kardigan rajut lengan panjang abu-abu tanpa kancing dengan kemeja putih di dalamnya, dan yang paling menarik, mata midnight blue miliknya.

Tanpa sadar, dia menatapnya hampir 2 menit.

Dia berkedip, lalu membuka mulutnya sedikit. Namun, tak ada suara yang mau keluar.

Apa yang harus 'ku katakan?

Hei? Tidak, itu terdengar seperti kita sudah sangat akrab.

Haruskah aku memanggil namanya— oh, tapi aku bahkan tidak tahu ...

1 menit telah berlalu.

Seakan menyadari seseorang di belakang, pemuda dengan tatapan midnight blue itu melirik ke kiri sekilas. Dalam hati, dia bergumam; Oh, dia lagi. Kenapa dia di sini? Apakah dia akhirnya memiliki pertanyaan?

"Huh." Dia menghela napas sejenak sebelum memutarkan tubuhnya.

Dia tidak mengenakan kacamatanya!

Rautnya menampakkan rasa penasaran, "Kenapa?"

Dia kemudian menyeringai, "Apa kau memiliki pertanyaan, hm?"

Masih melihatnya, si pemilik rambut hitam tetap diam. Akan tetapi, kini mereka berhadapan. Meskipun dia — mata midnight blue — berada di tempat yang sedikit lebih tinggi.

Di malam yang sepi, kedua orang itu tak terkena cahaya bulan — belum. Walaupun mereka berada di dekat jendela yang menampilkan lingkungan luar, bulan belum mencapai tempat mereka bisa mendapat sinarnya.

Bibirnya terbuka, namun kemudian menutup lagi tanpa alasan. Setelah menatap orang di depannya, kata-kata yang sudah dia rangkai hilang tak bersisa.

Kesal karena pertanyaannya tidak dijawab, orang itu memastikan sekali lagi, "Apakah kamu memiliki pertanyaan?"

Kali ini berbeda, mata violetnya berkedip, lalu menganggukkan kepalanya cepat, "Iya!"

'Ku kira dia sudah tidak punya pertanyaan lagi. Batin sang pemilik netra midnight blue.

Kamu tahu? Aku selalu memiliki banyak pertanyaan, dan sekarang aku sudah menemukan jawabannya. Monolog yang lain dalam benak.

"Apakah pertanyaannya ada banyak? Hanya beberapa, kan?" tanyanya.

Orang yang ditanya langsung menjawab, "Sebenarnya banyak, tapi aku akan menanyakannya secara bertahap."

"Oh." balasnya singkat.

Heh. Memangnya aku bilang, kalau aku akan selalu di sini?

"Naiklah," suruh seseorang bersurai putih.

Tanpa basa-basi, dia melangkahkan kakinya. Satu, dua, tiga langkah, dan akhirnya mereka berdiri di permukaan yang sama. Ternyata, si pemilik tatapan violet lebih tinggi.

Melihatnya mengangguk pelan, dia segera bertanya, "Lubang hitam itu apa? Dan, apakah itu bisa disebut sebagai kebalikan bintang?"

"Pertanyaan yang bagus!" entah sebab apa, dia menjadi bersemangat mendengar pertanyaan yang diajukan. Dia menjelaskan, "Lubang hitam adalah wilayah tertentu di ruang angkasa di mana gravitasi sangat kuat. Bahkan cahaya pun tak bisa lolos.

Terdengar keren, kan? Sayangnya, lubang hitam tak bisa dilihat oleh mata manusia."

Menengok reaksinya sekilas, dia memastikan, "Apakah kurang jelas?"

"Tidak juga, aku sudah mengerti sekarang. Aku tidak mau merepotkanmu," jawabnya.

Secara reflek, si surai putih tersenyum dan menolehkan wajahnya ke kanan.

"Dan benar, pertanyaanmu bisa dijawab 'ya.' Karena lubang hitam itu menyerap suatu materi atau energi, sedangkan bintang melepaskan energi."

Mata violet dalamnya terfokus pada pupil milik orang lain, dia bertanya dalam nada yang stabil, "Mereka sangat berkebalikan? Sudah seperti manusia saja, haha."

"Kan? Bahkan benda langit juga tak jauh berbeda dari makhluk bumi."

"Itu benar." setujunya.

"Ah ya, siapa namamu?" tanya si iris biru tengah-malam.

"Zero," jawabnya singkat.

Sontak dia bertanya lagi, "Zero?"

Nol? Kekosongan?

"Yes, Zereth Obscior."

"Holeus Tenebris?" gumam seseorang di hadapan Zero, sangat pelan, bahkan hampir tak dapat didengarnya.

"Nama yang bagus." pujinya. Setelahnya dia bertanya, "Kalau boleh tahu, apakah kamu saat ini sedang tertarik mempelajari 'semesta'?"

"Iya!" Zero mengangguk cepat dua kali. "Kamu ingat saat aku menghampirimu pertama kali?"

"Yang mana?" tanya yang lain.

"Tiga bulan yang lalu, lantai dua." jelas Zero, "Oh, dan saat itu kamu sedang membaca buku "Nebula," serta tiga buku lain yang kamu taruh di meja."

"Aha, sekarang aku ingat. Kenapa memangnya?"

"Itulah saat pertama kali aku terlempar ke sini."

"Terlempar- apa?" alis si pemilik mata midnight blue mengerut bingung.

Sebuah pernyataan yang sangat aneh ... Batinnya.

"Benar, terlempar ke bumi."

Aneh ...

"Berapa umurmu?"

"70 tahun."

Apa-apaan ...

Percikan sensasi tak percaya memenuhi matanya, "Kamu ... bukan manusia?"

"Aku tidak pernah bilang aku manusia." Zero tersenyum tanpa alasan.

Mulut si manik midnight blue tampak terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian tertutup tanpa alasan.

Lantai satu perpustakaan yang sangat sepi ini, hanya ada mereka berdua. Sebelum suasana hening berlanjut, Zero berucap, "Ayo kita berteman?"

"Tidak bisa ..." jawabnya.

Aku tidak tahu...

"Baiklah, baiklah, tidak apa. Kalau begitu, aku punya beberapa pertanyaan, apakah kamu bersedia menjawabnya?"

"Tentu!" Si surai putih langsung menjadi bersemangat. Dia berjalan melewati Zero, tapi langsung terhenti.

Dengan memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya. Dia (Zero) langsung bertanya, "Siapa namamu? Dan, bolehkah aku ... mengetahuinya?"

"Aster," katanya. Lalu dia menambahkan, "Astherion Elior."

Aster yang ditarik tangannya sontak mendongak ke samping atas untuk melihat Zero. Mata indah biru tengah-malam-nya mencerminkan rupa si rambut hitam.

Cahaya bulan menyinari mereka di bawah gelapnya malam. Nuansa keheningan yang serasi mendukung kehadiran mereka.

Masih dengan tangan yang ditarik Zero, Aster berjalan menuju sebuah kursi — dari meja dua kursi, dan satu-satunya yang ada — yang berhadapan dengan jendela. Mereka pun akhirnya duduk sembari memulai sesi tanya-jawab.

Mulai dari pertanyaan mendasar hingga beberapa yang sedikit rumit, Zero terus bertanya. Bahkan setelah mendapat jawaban, dia memberikan pertanyaan lagi.

Apakah dia memiliki begitu banyak pertanyaan yang berbeda atau dia hanya tidak ingin aku pergi meninggalkannya?

Serius, apa yang di harapkan makhluk ini padaku?

✧༺–·—————————————————·–༻✧

End of Third-Person PoV

To be continued

#—· Lubang hitam itu menyerap materi dan energi, bahkan cahaya pun tak bisa lolos.