Sebuah Petunjuk

Malam itu terasa sangat panjang dan sepi. Rhea dan Lisya tengah terlelap dalam tidur yang damai setelah seharian bermain dan belajar bersama. Namun, sekitar tengah malam, Rhea tiba-tiba terbangun dengan jantung berdegup kencang. Mimpi yang sama kembali menghampirinya suara yang memanggilnya dengan nada penuh urgensi.

Keringat dingin membasahi dahinya saat ia duduk di tempat tidur, berusaha mengatur napasnya. Kali ini, mimpi itu terasa lebih kuat, lebih nyata. Pandangannya langsung tertuju pada laci meja di seberang kamar. Cahaya biru yang aneh memancar dari dalam laci, seolah-olah sesuatu sedang mencoba menarik perhatiannya.

Dengan hati-hati, Rhea turun dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Lisya yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Langkahnya pelan namun mantap menuju laci meja tersebut. Ketika dia membuka laci itu, cahaya biru semakin terang, memancar dari kalung yang sebelumnya disimpan di dalamnya.

Rhea menatap kalung itu dengan perasaan aneh, jantungnya berdetak semakin kencang. Perlahan, dia mengulurkan tangan kanannya untuk mengambil kalung tersebut. Saat jemarinya menyentuhnya, sensasi dingin yang tajam seperti es langsung menjalar dari tangannya, menembus hingga ke tulang. Namun, kali ini sensasi itu hanya terasa di tangan kanannya, seolah-olah ada sesuatu yang membatasi dingin itu dari menyebar ke seluruh tubuhnya.

Tiba-tiba, tanpa disadari, tangan kanannya yang memegang kalung itu mulai bergerak sendiri, teracung ke depan dengan perlahan. Detik berikutnya, sebuah suara yang halus tapi menusuk terdengar suara kaca yang pecah. Di depan matanya, udara di sekitar kalung itu mulai retak, seperti sebuah cermin yang pecah di udara, namun retakan ini melayang-layang tanpa menyentuh apa pun.

Dari dalam retakan itu, Rhea melihat sesuatu yang aneh. Seperti sebuah rekaman hologram, sebuah terowongan kereta terbengkalai yang sangat ia kenali terowongan yang terletak tidak jauh dari rumahnya terlihat jelas di dalam retakan tersebut. Cahaya biru menyelubungi gambar itu, membuatnya tampak seperti sebuah petunjuk. Lalu, sesaat sebelum retakan itu menghilang, sebuah gambaran singkat tentang sebuah kota besar yang asing muncul. Kota itu bersinar terang, tapi ada sesuatu yang tidak wajar tentangnya sesuatu yang gelap dan misterius.

Rhea terdiam sejenak, terpesona dan juga terkejut. Retakan itu menutup dengan suara lembut, dan ruangan kembali sunyi, hanya diselimuti kegelapan dan cahaya samar dari bulan di luar jendela. Kalung itu kini tampak normal kembali, namun Rhea tahu bahwa ada sesuatu yang besar sedang menantinya.

Dengan tangan bergetar, dia menyimpan kembali kalung itu ke dalam laci dan menutupnya rapat-rapat. "Apa ini...?" bisiknya pada dirinya sendiri. Namun, Rhea tahu ada sesuatu di balik terowongan terbengkalai itu sesuatu yang akan membawa mereka ke dalam petualangan besar yang belum pernah ia bayangkan.

Setelah mengalami kejadian aneh malam itu, pikiran Rhea masih dipenuhi kebingungan dan rasa ingin tahu. Ia berusaha mengabaikan kegelisahannya, mencoba memaksakan diri untuk kembali tidur. Setelah beberapa saat bergulat dengan pikirannya sendiri, akhirnya ia terlelap meski tidurnya tak sepenuhnya tenang.

Keesokan paginya, Rhea bangun dengan perasaan sedikit lebih tenang. Dia melihat ke arah Lisya yang masih tertidur nyenyak, tampak tak terganggu dengan mimpi atau perasaan aneh seperti yang Rhea alami semalam. Ketika akhirnya Lisya bangun, mereka berdua duduk di meja makan untuk sarapan bersama.

Di tengah suasana sarapan yang tenang, ibu Rhea datang membawa berita yang mengejutkan.

"Rhea, Lisya, ada pesan dari sekolah," kata ibunya sambil duduk. "Setelah ujian kenaikan nanti, sekolah akan melaksanakan belajar dari rumah karena akan ada renovasi besar-besaran."

Rhea dan Lisya saling berpandangan, tampak terkejut dengan kabar itu.

"Renovasi besar-besaran? Akhirnya!" seru Lisya, tidak menyangka sekolah mereka yang sudah lama tidak direnovasi akan mengalami perubahan drastis.

"Iya, mereka bilang ini akan memakan waktu lama karena hampir seluruh bangunan akan diperbarui," lanjut ibu Rhea sambil menyeruput kopi.

Setelah selesai sarapan, Rhea dan Lisya segera bergegas bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Di sepanjang perjalanan, pikiran Rhea terus kembali ke kejadian aneh semalam, tapi dia memutuskan untuk tetap diam dan tidak membicarakannya dengan Lisya.

Hari di sekolah berjalan seperti biasa. Ada empat pelajaran yang harus mereka selesaikan hari ini: biologi, kimia, bahasa Jepang, dan teknologi informasi. Setiap pelajaran berjalan lancar, meskipun Rhea sesekali merasa pikirannya melayang-layang, kembali memikirkan mimpi yang aneh itu dan kalung misterius yang ia temukan di kamarnya.

Ketika akhirnya jam berlalu dengan cepat, mereka tiba di pelajaran terakhir. Sebelum guru masuk ke kelas, ada jeda beberapa menit yang memberi mereka kesempatan untuk berbicara. Rhea, yang merasa perlu mencurahkan sedikit beban pikirannya, memutuskan untuk menanyakan sesuatu kepada Lisya.

"Lisya," kata Rhea pelan, suaranya sedikit ragu. "Apa yang akan kamu lakukan kalau suatu hari ada sesuatu yang terjadi di depanmu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan? Seperti... sihir atau hal-hal aneh lainnya?"

Lisya mengerutkan alis, tampak berpikir. "Sihir? Maksudmu, seperti yang ada di buku-buku atau film? Yah, aku rasa kalau itu terjadi, aku pasti akan terkejut. Tapi aku akan mencoba mencari tahu, seperti yang selalu kulakukan."

Rhea tersenyum samar, agak lega mendengar jawaban sahabatnya. "Kenapa kamu tanya?" tanya Lisya dengan penasaran, tatapannya mencoba menembus pikiran Rhea.

Rhea terdiam sejenak, mencari alasan. "Ah, nggak kenapa-kenapa. Aku cuma penasaran saja," jawabnya singkat.

Namun, Lisya yang pintar menganalisa gerak-gerik orang, tampaknya menyadari ada sesuatu yang disembunyikan oleh Rhea. Meskipun begitu, dia memilih untuk tidak menekan lebih lanjut.

Guru mereka masuk ke kelas, dan obrolan itu pun terhenti. Namun, di dalam hati, Rhea tahu bahwa ada sesuatu yang besar dan tidak biasa yang sedang menantinya—dan pertanyaan tentang kalung serta mimpinya belum sepenuhnya terjawab.

Setelah mengalami kejadian aneh malam itu, pikiran Rhea masih dipenuhi kebingungan dan rasa ingin tahu. Ia berusaha mengabaikan kegelisahannya, mencoba memaksakan diri untuk kembali tidur. Setelah beberapa saat bergulat dengan pikirannya sendiri, akhirnya ia terlelap meski tidurnya tak sepenuhnya tenang.

Keesokan paginya, Rhea bangun dengan perasaan sedikit lebih tenang. Dia melihat ke arah Lisya yang masih tertidur nyenyak, tampak tak terganggu dengan mimpi atau perasaan aneh seperti yang Rhea alami semalam. Ketika akhirnya Lisya bangun, mereka berdua duduk di meja makan untuk sarapan bersama.

Di tengah suasana sarapan yang tenang, ibu Rhea datang membawa berita yang mengejutkan.

"Rhea, Lisya, ada pesan dari sekolah," kata ibunya sambil duduk. "Setelah ujian kenaikan nanti, sekolah akan melaksanakan belajar dari rumah karena akan ada renovasi besar-besaran."

Rhea dan Lisya saling berpandangan, tampak terkejut dengan kabar itu.

"Renovasi besar-besaran? Akhirnya!" seru Lisya, tidak menyangka sekolah mereka yang sudah lama tidak direnovasi akan mengalami perubahan drastis.

"Iya, mereka bilang ini akan memakan waktu lama karena hampir seluruh bangunan akan diperbarui," lanjut ibu Rhea sambil menyeruput kopi.

Setelah selesai sarapan, Rhea dan Lisya segera bergegas bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Di sepanjang perjalanan, pikiran Rhea terus kembali ke kejadian aneh semalam, tapi dia memutuskan untuk tetap diam dan tidak membicarakannya dengan Lisya.

Hari di sekolah berjalan seperti biasa. Ada empat pelajaran yang harus mereka selesaikan hari ini: biologi, kimia, bahasa Jepang, dan teknologi informasi. Setiap pelajaran berjalan lancar, meskipun Rhea sesekali merasa pikirannya melayang-layang, kembali memikirkan mimpi yang aneh itu dan kalung misterius yang ia temukan di kamarnya.

Ketika akhirnya jam berlalu dengan cepat, mereka tiba di pelajaran terakhir. Sebelum guru masuk ke kelas, ada jeda beberapa menit yang memberi mereka kesempatan untuk berbicara. Rhea, yang merasa perlu mencurahkan sedikit beban pikirannya, memutuskan untuk menanyakan sesuatu kepada Lisya.

"Lisya," kata Rhea pelan, suaranya sedikit ragu. "Apa yang akan kamu lakukan kalau suatu hari ada sesuatu yang terjadi di depanmu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan? Seperti... sihir atau hal-hal aneh lainnya?"

Lisya mengerutkan alis, tampak berpikir. "Sihir? Maksudmu, seperti yang ada di buku-buku atau film? Yah, aku rasa kalau itu terjadi, aku pasti akan terkejut. Tapi aku akan mencoba mencari tahu, seperti yang selalu kulakukan."

Rhea tersenyum samar, agak lega mendengar jawaban sahabatnya. "Kenapa kamu tanya?" tanya Lisya dengan penasaran, tatapannya mencoba menembus pikiran Rhea.

Rhea terdiam sejenak, mencari alasan. "Ah, nggak kenapa-kenapa. Aku cuma penasaran saja," jawabnya singkat.

Namun, Lisya yang pintar menganalisa gerak-gerik orang, tampaknya menyadari ada sesuatu yang disembunyikan oleh Rhea. Meskipun begitu, dia memilih untuk tidak menekan lebih lanjut.

Guru mereka masuk ke kelas, dan obrolan itu pun terhenti. Namun, di dalam hati, Rhea tahu bahwa ada sesuatu yang besar dan tidak biasa yang sedang menantinya—dan pertanyaan tentang kalung serta mimpinya belum sepenuhnya terjawab.

Setelah bel berbunyi menandakan akhir dari pelajaran, Rhea dan Lisya segera mengemasi peralatan sekolah mereka. Suasana kelas mulai ramai dengan teman-teman mereka yang bersiap untuk pulang. Sambil berjalan keluar dari kelas dan melewati lorong panjang yang biasa mereka lalui, percakapan mereka kembali ke topik yang tadi sempat mereka bicarakan—renovasi sekolah.

"Bayangin, setelah sekian lama, akhirnya sekolah kita direnovasi juga," ujar Lisya dengan nada antusias.

"Ya, kupikir mereka nggak akan pernah melakukannya," sahut Rhea sambil mengikat tali sepatunya yang sedikit longgar. "Aku dengar dari kakaknya temanmu bahwa fasilitas sekolah kita parah banget."

Lisya mengangguk, wajahnya sedikit menyeringai saat mengingat cerita itu. "Iya, kakaknya bilang kamar mandi nggak pernah dirawat, wastafel nggak berfungsi, dan beberapa tempat atapnya bahkan sudah jebol sedikit."

"Kalau dipikir-pikir, aku nggak percaya kita masih bertahan di sini selama ini," tambah Rhea sambil tertawa kecil.

Mereka berdua membayangkan, dengan penuh semangat, seperti apa sekolah mereka setelah direnovasi. Gedung-gedung baru, fasilitas yang lebih baik, dan mungkin suasana yang lebih nyaman untuk belajar. Percakapan mereka terus berlanjut hingga mereka akhirnya sampai di gerbang sekolah. Keduanya tertawa bersama, merasa bahwa perubahan besar yang akan datang itu seperti awal dari sesuatu yang baru.

Setelah sampai di gerbang sekolah, Rhea dan Lisya melanjutkan perjalanan menuju rumah Rhea. Karena Lisya menginap di rumah Rhea semalam, dia harus kembali dulu untuk mengemasi barang-barangnya sebelum pulang ke rumahnya sendiri. Di sepanjang perjalanan, obrolan mereka masih hangat dan penuh tawa, membicarakan berbagai hal yang membuat waktu berlalu begitu cepat.

Salah satu topik yang tiba-tiba muncul dalam percakapan mereka adalah tentang murid pindahan yang akan datang ke sekolah mereka.

"Kamu dengar soal murid pindahan itu, nggak?" tanya Lisya sambil menendang kerikil kecil di jalan.

"Oh, iya, aku dengar ada dua murid pindahan dari sekolah lain," jawab Rhea, matanya menyipit karena sinar matahari sore yang menyorot wajahnya. "Tapi aku penasaran, mereka bakal masuk kelas mana ya? Kelas kita, atau kelas lain?"

Lisya mengangguk sambil berpikir. "Aku juga penasaran. Semoga salah satunya masuk ke kelas kita. Menarik kalau ada orang baru. Mungkin bisa bawa suasana baru juga."

Percakapan mereka terus berlanjut, membahas kemungkinan-kemungkinan tentang dua murid baru tersebut—apakah mereka akan menjadi teman yang menyenangkan, atau justru sebaliknya. Pembicaraan mereka begitu seru hingga tak terasa, mereka sudah tiba di depan rumah Rhea.

"Wow, kita udah sampai aja," kata Rhea sambil terkekeh, menyadari betapa cepatnya waktu berlalu ketika mereka mengobrol.

Mereka masuk ke rumah, dan Lisya segera menuju kamar Rhea untuk mengemasi barang-barangnya. Setelah selesai, Lisya turun ke ruang tamu dan berpamitan dengan ibu Rhea yang sedang duduk di ruang makan.

"Terima kasih, Tante, sudah mengizinkan aku menginap," ucap Lisya dengan senyum ramah.

"Sama-sama, Lisya. Jangan sungkan-sungkan datang lagi ya," jawab ibu Rhea dengan senyum hangat.

Setelah berpamitan dengan ibu Rhea dan Rhea sendiri, Lisya pun melangkah keluar dan mulai berjalan pulang ke rumahnya. Rhea melihat sahabatnya pergi, merasa sedikit lega namun tetap ada kegelisahan dalam pikirannya, terutama tentang kejadian aneh yang dialaminya tadi malam. Namun, untuk saat ini, ia memutuskan untuk tidak memikirkannya terlalu dalam.

Setelah Lisya pergi, Rhea memutuskan untuk beres-beres kamar dan mandi. Setelah membersihkan diri, ia duduk bersama ibunya di sofa ruang keluarga. Mereka bersantai sambil menonton TV, dan seperti biasa, ibunya sedang menikmati drama Korea yang sedang tayang.

Rhea, yang tak begitu mengerti daya tarik drama-drama semacam itu, menatap layar dengan dahi berkerut. "Ibu, kenapa sih suka banget nonton drama Korea? Aku nggak ngerti kenapa orang bisa suka banget."

Ibunya tertawa kecil sebelum menjawab. "Mungkin karena cerita-ceritanya penuh dengan emosi, Nak. Ada cinta, ada perjuangan. Ibu suka karena ceritanya bikin penasaran dan pastinya ada cowo ganteng dan keren." Jawab ibunya sambil terkekeh.

Rhea mengangkat bahu, masih tidak terlalu tertarik. "Padahal aku juga perempuan, tapi nggak terlalu suka hal-hal kayak gini."

Sambil terkekeh, ibunya menoleh padanya dan berkata, "Mungkin karena kamu perempuan yang tomboy. Jadi nggak terlalu nyambung dengan drama percintaan seperti ini."

Rhea, dengan nada sedikit kesal, merespons, "Apa hubungannya sama aku yang tomboy, sih?"

Percakapan mereka terus berlanjut dengan ringan, dan saat adegan di drama menunjukkan karakter utama yang pergi berpetualang jauh untuk menemukan kekasihnya, Rhea tiba-tiba merasa tergerak untuk bertanya.

"Ibu, pernah nggak sih berpetualang kayak gitu? Pergi jauh dengan tujuan yang jelas?"

Ibunya menatap layar sebentar sebelum menjawab, "Dulu waktu ibu masih muda, mungkin tidak seperti di drama, tapi ibu pernah melakukan perjalanan jauh, mencari jati diri, mencari tempat yang membuat ibu merasa nyaman."

Rhea mendengarkan dengan seksama, merasa sedikit terinspirasi. "Kalau suatu hari aku pergi berpetualang seperti itu, aku akan pergi dengan tujuan. Tapi mungkin bukan mencari seseorang, lebih kepada mencari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang penting untukku."

Ibunya menatap Rhea dengan senyum bangga, seolah melihat secercah kedewasaan pada putrinya. "Ibu yakin apapun tujuanmu, Rhea, kamu akan mencapainya dengan caramu sendiri."

Rhea mengangguk, meski tak sepenuhnya tahu apa yang ia cari, ada perasaan dalam dirinya bahwa petualangan besar memang menantinya di masa depan.