End of beginning

Langit di atas Arcadia berwarna merah darah. Angin malam yang seharusnya lembut berubah menjadi badai yang membawa bau besi dan kematian. Denting suara pertempuran bergema di seluruh penjuru lembah, terdengar jauh namun menusuk hati siapa pun yang mendengarnya. Hari ini, House of Arcadia, salah satu keluarga terkuat di Celestia realm, sedang menuju kehancuran.

(BANG!!!)

Teriakan bergema di dalam aula ritual, simbol simbol kuno melayang membentuk dinding energi yang tak terpecahkan. Di dalam penghalang ritual, siluet seorang pemuda berdiri tegar. Wajahnya memerah, napasnya berat, dan matanya yang dulu cerah kini memancarkan kemarahan bercampur kepedihan. Tangannya yang gemetar meninju dinding penghalang berulang kali, namun penghalang itu tetap tak tergoyahkan, tak memedulikan amarah ataupun kehancurannya.

"AKU TIDAK AKAN PERGI!", teriakan seraknya memecah keheningan yang suram di tengah ritual kuno yang sedang berjalan. Cahaya ritual berpendar di sekelilingnya, membentuk penghalang yang membuat setiap upaya melarikan diri menjadi sia-sia. Dia meronta dengan putus asa, melontarkan pukulan keras ke dinding tak terlihat yang membatasi gerakannya berulang kali. Kekuatan tak dikenal di balik ritual itu seperti merespon dengan tenang, menyerap setiap serangan yang dia lemparkan. Meski tubuhnya terhuyung-huyung, amukannya tidak runtuh.

"Tenanglah anakku…"

Matanya berkaca-kaca, dan dengan napas yang semakin berat, ia berteriak, "TIDAK!" Suaranya serak, penuh putus asa, namun tidak ada yang mendengarnya. Darah perlahan mengalir dari matanya, mencerminkan rasa sakit yang tak terlukiskan.

Patriark Arcadia, Arloin, berdiri di seberang lingkaran. Matanya terpaku pada putranya, pandangannya berat oleh kesedihan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun jubahnya penuh debu dan tubuhnya dipenuhi luka-luka dari pertempuran yang panjang, dia tetap tegak. Setetes darah menetes dari sudut mulutnya, namun dia tidak terganggu sama sekali.

Arloin menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya menatap putranya dengan kelembutan yang tak pernah Alaric lihat sebelumnya. "Alaric dengarkan aku,…maafkan kami,… tapi ini adalah satu-satunya jalan. Kami… kami hanya berharap kau bisa bertahan dan membalaskan kehormatan keluarga ini suatu hari nanti."

"Tidak!" Alaric meronta lebih keras, tangannya terulur, mencoba menjangkau ayahnya seolah-olah dia bisa menghentikan semua ini. "Aku tidak bisa pergi! Aku tidak bisa meninggalkan kalian untuk mati!"

Arloin tersenyum lemah, sebuah senyum yang lebih menyakitkan daripada kematian itu sendiri. "Tidak ada jalan lain, Alaric. Kita ada di posisi ini karena kita belum cukup kuat, tetaplah hidup dan jadilah yang terkuat."

Kata-kata itu menembus hati Alaric seperti ribuan pedang. Dia terus memberontak, meskipun tubuhnya mulai bergetar hebat karena lelah. Di antara gemuruh serangan yang semakin mendekat, suara tetua terdengar tegas, "Grand Elder tidak akan bisa menahan mereka lebih lama lagi! Waktu kita hampir habis!" Tetua itu berlari ke arah Patriark, wajahnya diliputi kepanikan. Di kejauhan, gemuruh pertempuran terdengar semakin mendekat. Tanah di sekita bergetar di bawah kekuatan yang mengguncang langit.

"Patriark, kita tidak punya waktu lagi!!"

Patriark menghela napas panjang, wajahnya berkerut menahan kesedihan dan penderitaan yang begitu dalam. Dengan satu anggukan tegas, Arloin memerintahkan para tetua untuk merapalkan mantra terakhir. "Mari selesaikan ini!"

Suara mantra kuno kembali memenuhi ruangan. Energi yang tak terlukiskan berputar di udara, menciptakan pusaran kuat di tengah-tengah lingkaran ritual. Alaric, meski tubuhnya telah dipenuhi luka dan kelelahan, tetap memberontak, berteriak dengan amarah dan kesedihan yang membakar hatinya.

"Tidak! Jangan lakukan ini! AKU TIDAK AKAN LARI!" teriaknya. Suaranya hampir tenggelam dalam raungan energi yang semakin kuat. Cahaya menyilaukan dari celah ruang yang terbuka mulai menariknya ke dalam, menghisap tubuhnya dengan kekuatan yang tidak bisa dia lawan.

"Alaric, kami akan selalu bersamamu," bisik Patriark di antara suara gemuruh. Tapi kata-kata itu hampir tak terdengar di telinga Alaric yang terus berteriak, menolak kenyataan yang sedang terjadi di depannya.

"AYAHH….."

Energi ritual mencapai puncaknya. Dengan satu tarikan kuat, Alaric yang sudah terluka tersedot ke dalam celah dimensi, tubuhnya menghilang dalam kilatan cahaya yang menutup seketika.

Begitu Alaric hilang dalam kegelapan, ruangan itu terasa sepi. Energi dari ritual perlahan memudar. Para tetua yang tersisa mendekat kepada Patriark, wajah mereka dipenuhi kelelahan dan kesedihan. Tubuh mereka tiba-tiba menua, kulit yang tadinya tegang kini mengeriput, dan kekuatan yang pernah memancar dari mereka mulai memudar.

"Kami berhasil… setidaknya Alaric selamat…" suara salah satu tetua terdengar lemah. Patriark hanya diam, matanya memandang kosong ke arah celah ruang yang kini tertutup. Kesedihan yang mendalam tergurat di wajahnya, tapi tidak ada waktu untuk meratapi. Tiba-tiba, sebuah ledakan besar terdengar di luar.

Di luar, pertempuran semakin menggila, teriakan dan dentingan senjata memenuhi udara, sementara aroma darah dan asap memenuhi indra mereka. Grand Elder Arcadia, yang telah memimpin keluarga itu selama berabad-abad, bertarung sendirian di depan gerbang utama. Serangan-serangan dari sembilan liga besar menghujani tubuhnya tanpa ampun. Darah mengalir dari luka-luka yang memenuhi tubuhnya, namun dia terus berdiri, melawan sampai tetes darah terakhir. Dia tahu, ini adalah akhir.

"Grand elder, kami di sini!" suara tetua keluarga Arcadia yang tersisa, bersama Arloin, memecah ketegangan. Mereka berlari dengan napas tersengal, wajah mereka dipenuhi debu dan darah. Namun di balik kelelahan, mata Arloin bersinar dengan kegigihan yang tak terpadamkan.

Grand Elder berbalik, melihat wajah anaknya. Senyum kecil terukir di wajahnya, dengan sorot mata yang penuh rasa lega. "Alaric… sudah selamat?"

Arloin mengangguk. "Kami berhasil. Dia sudah aman." Mendengar itu tampaknya beban sudah terlepas dari pundaknya dan kakinya tiba-tiba bergetar, tubuhnya mulai goyah. "Ayah!" teriak Arloin, berlari untuk menopangnya, tetapi Grand Elder hanya bisa tersenyum lemah, senyum yang penuh rasa lega dan penyesalan.

Dalam pandangan terakhirnya, dia melihat wajah yang ia kenal, dan tempat yang dulunya penuh dengan kehidupan. "Maafkan… aku…," gumamnya, dan dengan itu, tubuhnya akhirnya memudar meninggalkan dunia ini dengan senyuman damai di wajahnya.

Keheningan menyelimuti tempat itu, hanya suara napas berat Arloin dan tetua lainnya yang mengisi ruang. Grand Elder, pelindung terakhir keluarga Arcadia, telah gugur. Arloin jatuh berlutut, darah segar mengalir dari mulutnya saat menyaksikan kematian ayah yang dia kagumi di depan matanya sendiri. Api kemarahan berkobar di dalam dirinya.

"Aaaaaah!" raungnya dengan kemarahan yang menghancurkan. "Aku akan membuat kalian membayar untuk ini".

Dari balik asap pertempuran 6 siluet muncul dengan kemarahan, suara dingin dari Morgath menggema di udara, "Arloin, ini sudah berakhir. Ardlyn sudah mati tidak ada yang bisa melindungi kalian lagi, serahkan artefak itu dan kami akan memberikan kalian kematian yang cepat".

"Jika kamu bekerja sama dari awal kita mungkin tidak perlu ke tahap ini" mata Arlong seperti seekor naga yang siap membantai mangsanya "Hanya tersisa kamu Arloin".

"Serahkan Astra dominion dan mungkin aku akan membiarkan beberapa keturunanmu untuk tetap hidup" ejek kaelith, suranya berdesir bagai angin yang mengiris daging.

Arloin terhuyung huyung bangkit, matanya dingin tapi semua orang tau jauh di dalam tersimpan kemarahan yang tak terlukis dengan kata-kata kosong. "Ayah, aku tidak akan membuat pengorbanmu sia-sia. Bahkan jika kami semua menjadi debu kehormatan Arcadia akan bertahan sampai akhir". Dia mengangkat tangannya dan pedang merah muncul dalam genggamanya "ini belum berakhir".

"Blade of the Abyss"

Kata itu langsung muncul di pikiran mereka ketika Arloin memegang pedang merah hitam di tangannya, Kaelith dan Valius saling bertukar pandang, keraguan muncul di mata mereka. Meskipun Patriark Arcadia sudah lemah, senjata di tangannya adalah legenda. Blade of the Abyss, artefak kuno legendaris yang hanya digunakan dalam situasi paling putus asa.

"Kau gila! apa kau tau konsekuensi menggunakan pedang itu" teriak valius dengan mata yang ketakutan.

Saat Patriark Arcadia mengangkat Blade of the Abyss, udara di sekelilingnya terasa seolah tersedot oleh kekuatan yang menakutkan dari pedang legendaris itu. Cahaya hitam pekat menyelimuti pedang tersebut, dan bahkan musuh-musuh yang tersisa hanya bisa memandang dengan ketakutan. Pedang ini bukan hanya senjata ia adalah lambang kehancuran, dan mereka semua tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dengan satu tarikan napas, ia menyadari bahwa ini adalah akhir, bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk seluruh House of Arcadia. Namun, jika ini adalah akhirnya, ia akan membawa sebanyak mungkin musuh bersamanya.

"Kalian… telah membuat kesalahan besar…" suaranya serak namun penuh kekuatan, bergema di tengah-tengah medan perang yang sunyi. Tidak ada yang berani melangkah maju. Patriark mengangkat Blade of the Abyss tinggi-tinggi, sementara energi hitam dari pedang itu mulai mengalir ke tubuhnya, menguras sisa-sisa kehidupannya.

"Demi Arcadia, demi keluargaku yang telah jatuh!" gumanya, air mata bercampur darah mengalir di matanya saat tekanan perlahan muncul di udara. "Aku akan menunjukkan kalian harga yang harus kalian bayar".

"Kita tidak bisa membiarkan ini, ayo semua serang bersama-sama" seru Arlong

Tiba-tiba, Kaelith, Valius, dan Morgath serta beberapa pemimpin musuh yang tersisa menggabungkan serangan terakhir mereka. "Bersama! Kita akhiri ini sekarang!" seru Kaelith. Mereka semua melancarkan teknik pamungkas mereka, menyerang Patriark dari segala penjuru.

"Soul Divider!" Kaelith menghantam dengan energi gelap yang membelah ruang, sementara Valius meluncurkan "Crimson Flame Barrage!", semburan api merah yang menghancurkan apa pun di jalurnya. Morgath melepaskan "Venomous Toxin Cascade!" yang menyemburkan racun mematikan ke udara, siap menghancurkan setiap celah pertahanan yang tersisa.

"KRRAAAKK!" Udara di sekitar mereka seakan terbelah dengan suara ledakan yang memekakkan telinga. Langit di atas mereka bergetar, dan tanah di bawah kaki Arloin retak akibat tekanan serangan gabungan itu.

Namun, pada saat itu, Arloin mengayunkan Blade of the Abyss dengan gila. "Teknik terlarang: Heaven's Final Requiem!".

Suara BANG yang memekakkan telinga bergema saat pedang itu memotong ruang dan waktu, menciptakan gelombang kehancuran yang langsung menghantam para musuh. Tebasan yang mengiris udara, menabrak serangan gabungan itu. Para musuh terlempar mundur, tubuh mereka terhempas keras ke tanah. Kaelith terbatuk darah, terlempar beberapa juta kilometer dari tempatnya berdiri. Valius terluka parah dengan irisan besar di dadanya, sementara Morgath kehilangan lengan kanannya saat mencoba melindungi diri. Hanya Arlong yang sempat mengeluarkan jimat perlindungan namun meskipun begitu itu masih membuatnya terbang beberapa ribu kilo meter dengan luka internal karena dampak hantaman. Di sisi lain beberapa patriark dan grand elder yang terlambat bereaksi langsung menjadi debu karena tebasan itu.

Grand Elder dan Patriark dari sekte musuh yang tersisa hanya bisa melindungi diri mereka sebisanya, namun dampak dari kekuatan Blade of the Abyss terlalu besar. Dua Grand Elder dan empat Patriark, yang sebelumnya telah terluka berat akibat pertempuran dengan Grand Elder Arcadia, tak bisa bertahan. Tubuh mereka terbelah, hancur menjadi debu di tengah teriakan kesakitan yang terakhir.

Akan tetapi setiap kali Arloin mengayunkan pedang itu, setiap detik pula ia kehilangan dirinya sendiri. Jiwanya terikat pada Blade of the Abyss, dan dengan setiap serangan yang dilancarkan, ia tahu bahwa kehidupannya semakin terkuras. Pada ayunan terakhir, ketika gelombang kegelapan menghantam dan memusnahkan sisa musuh, tubuhnya mulai memudar.

Matanya masih menatap dengan kebanggaan yang tersisa. Satu per satu, bagian tubuhnya mulai hilang, seolah diserap oleh kekuatan pedang yang melahapnya dari dalam. "Alaric… Maafkan ayahmu…" bisiknya di antara sisa-sisa ketiadaan.

Dan dalam satu detik terakhir, sebelum semuanya menjadi gelap, Patriark Arcadia lenyap. Tidak ada jejak tubuh, tidak ada jejak jiwa. Dia telah sepenuhnya musnah oleh kekuatan Blade of the Abyss, pengorbanan akhir yang dia lakukan untuk melindungi kehormatan keluarganya.

House of Arcadia yang telah berdiri selama ribuan tahun kini tinggal legenda dalam semalam, mereka hancur tetapi harapan kebangkitan masih menyala dalam setiap darah yang telah tumpah.

Ketika debu pertempuran mereda, hanya tersisa beberapa musuh yang masih berdiri, terengah-engah dan terluka parah. Setelah pertempuran ini hirarki di Celestia Realm kini telah berubah, dan dunia tidak akan pernah sama. Mereka tahu, meski menang, harga yang mereka bayar terlalu besar. Namun, satu pertanyaan menggantung di benak semua orang yang tersisa, siapa yang akan menggantikan yang hilang?