"Ahaha."
Gadis itu tertawa.
Dengan ekspresi yang bebas dari segala kekhawatiran atau kecemasan. Dia tertawa seolah-olah dia sangat bahagia.
(…Hei, Readermu itu kelihatannya emosinya tidak stabil?)
"Benarkah? Mungkin karena aku sudah lama tidak mengatakan apa-apa padanya. Apakah menurutmu dia tengah merasa jika dia ditelantarkan?"
Gadis suci itu memperhatikan Reader yang tampak sangat cemas.
'Hai Author? Apakah aku melakukan kesalahan?'
Melihat Arte yang ketakutan seperti itu, si gadis suci merasa bahwa ia begitu menggemaskan.
"Seperti anak kucing terlantar yang menangis!"
Meong meong.
Seekor anak kucing berteriak kepada seseorang agar menyelamatkannya. Seekor anak kucing yang berusaha mati-matian untuk bertahan karena ia akan mati jika tidak menerima pertolongan. Itu mengingatkannya pada seekor anak kucing yang lucu, gemetar, dan ketakutan.
Cara Arte bergantung pada sang Protagonis, mencoba mencari kehangatan dengan cara apa pun yang dia bisa.
"Dia imut sekali. Itulah mengapa aku menyukai Reader!"
(Mendesah…)
Sungguh mustahil dia akan membunuh Reader. Lucu sekali bagaimana melihat Reader yang takut dirinya akan digantikan.
(Tapi tetap saja, dia adalah jiwa yang kamu bawa ke dunia itu. Mengapa tidak memperlakukannya sedikit lebih baik?)
"Jangan mengajariku!"
Gadis suci itu menoleh tajam dengan wajah cemberut. Tidak peduli bagaimana dia memikirkannya, dia tidak dalam posisi untuk mendengarkan orang-orang itu. Karena apa yang dilakukan orang-orang itu bahkan lebih buruk.
"Selalu bermain-main dengan regresi dan semacamnya. Mengatakan kau ingin melihat perang besar, membangun menara, menempatkan seluruh ras di dalamnya, dan membuat mereka bertarung sampai mati. Menurutmu siapa di antara kita yang lebih buruk?"
(…Aku tak bisa berkata-kata lagi kalau begitu.)
"Dan seperti yang kau tahu, aku juga tidak ingin membunuh Reader!"
(Yah, kurasa memang tidak mungkin kau bisa membunuhnya. Karena kau sangat menyukai dunia itu.)
"Tentu saja. Aku tidak bisa meninggalkannya. Tidak, aku takkan meninggalkannya!"
"Tahukah kau betapa sulitnya mengontrol seluruh dunia dengan tanganmu sendiri? Tidak mungkin aku bisa meninggalkannya."
Bagaimana dia bisa meninggalkan Reader setelah mendapatkan kesempatan ini? Kecuali jika dia orang gila.
"Aku akan menikmatinya sebelum dia benar-benar hancur."
Menginvasi dunia lain adalah tugas yang cukup sulit. Karena tidak mungkin untuk masuk begitu saja karena sifat dunia yang menolak zat asing. Dia harus entah bagaimana harus membawa jiwa manusia dari luar dan mencampurnya dengan bagian tubuhnya untuk masuk ke dunia itu.
Hanya dengan cara itu dia dapat terhindar dari pengeluaran paksa. Setelah melalui kesulitan-kesulitan untuk masuk ke dunia ini, sungguh sia-sia jika membuang Reader yang menjadi matanya di dunia itu. Siapa tahu butuh berapa abad untuk menemukan jiwa yang lain? Kalau begitu, itu tidak akan ada artinya.
"Yah, aku tak perlu memberi tahu Reader bahwa dia tidak ditelantarkan."
Lucu juga bagaimana Reader secara keliru mengira bahwa dia mungkin telah ditinggalkan. Apakah karena dia aslinya laki-laki? Reader tampaknya tidak memiliki perasaan khusus terhadap Tokoh Utama.
'Tapi tada! Aku tidak berbicara dengannya sebentar, dan ya ampun! Seperti itulah yang terjadi.'
Lihatlah dia sangat bergantung pada sang Protagonis karena kecemasan yang dialaminya. Gadis suci itu sejenak merenungkan apa yang harus dikatakannya kepada Reader, tetapi tidak melakukannya.
Lucu sekali melihat Reader setengah panik, memeluk erat-erat tubuh sang Protagonis.
"Bagaimana? Hal yang romantis juga menyenangkan, kan?"
(...Hmm. Aku benci mengakuinya, tapi ini cukup bagus.)
(Bagaimana kalau kita mencobanya juga?)
(Mari kita tonton ini lebih lama terlebih dahulu. Seharusnya tidak masalah untuk dicoba setelah dunia itu hancur.)
Melihat orang lain menaruh minat pada dunia ini, gadis suci merasa harga dirinya meningkat. Rasanya seperti dia menjadi seorang pencetus tren.
"Aku penasaran bagaimana Reader akan bertindak mulai sekarang. Aku sangat menantikannya."
Tampaknya jarak antara kedua petunjuk itu makin menyempit.
Tindakan apa yang akan dia lakukan untuk menghibur kita?
Gadis suci itu mulai memperhatikan Reader lagi, tidak bisa menyembunyikan jantungnya yang berdebar-debar.
***
"…Baiklah. Ini pasti bagus."
"Urgh…! Lepaskan, lepaskan! Orang seperti kau…!"
"Diamlah. Jika kau ingin keluar dengan anggota tubuhmu yang masih utuh."
"Hiii!"
Orang seperti kau, katanya. Tidak suka penjahat itu berbicara kepada Siwoo seperti itu, aku melontarkan kata yang mengintimidasi. Untungnya, dia tampak seperti orang baik untuk ukuran seorang penjahat, dan segera menyadari kesalahannya. Setelah itu, dia mulai berjalan menuju akademi bersama kami tanpa sepatah kata pun.
"Kita menangkap cukup banyak."
"Pastinya."
"Penjahat yang kami tangkap hari ini saja jumlahnya cukup banyak. Kita pada dasarnya telah mengamankan para penjahat berperingkat tinggi."
Alasanku begitu yakin itu sederhana. Peniru mulai bermunculan setelah Arachne menghentikan aktivitas mereka, bukan? Lalu, jika Arachne aktif, para penjahat kecil akan berhenti karena takut.
Terlebih lagi, setelah menggambar pola laba-laba di rumah-rumah peniru dan membuat kekacauan, mereka semua mulai bersembunyi. Sasaran Arachne selalu penjahat. Meskipun jumlah mereka mungkin banyak sekarang, jumlah penjahat akan berkurang saat Arachne memulai aktivitasnya lagi.
Cara untuk mendapatkan poin sendiri akan berkurang. Dengan kata lain, penjahat yang berkeliaran saat Arachne aktif adalah penjahat yang cukup kuat dan berperingkat tinggi.
"Kau bisa diandalkan, Arte."
"Tentu saja!"
Aku memandang Siwoo sembari melemparkan senyum hangat. Aku bertekad takkan berperilaku aneh lagi seperti sebelumnya. Aku sudah benar-benar tenang sekarang.
Apa yang terjadi kemarin dan hari ini hanyalah…
"…Kalau begitu, haruskah kita berpisah di sini untuk hari ini?"
"Apa?"
B-Berpisah?
Kenapa tiba-tiba?
"Kita sudah tidak perlu mengumpulkan poin lagi. Sepertinya kamu juga kurang tidur. Bukankah lebih baik pulang lebih awal dan beristirahat?"
"B-Benar juga, ya.... Ahahaha."
Berpisah, ya? Sudah tiba saatnya aku dan Siwoo berpisah. Saat aku menyadari fakta itu, nafasku mulai terasa berat.
Hahh, hhaaahhh…
Tidak, aku baik-baik saja. Kami hanya akan berpisah sementara. Ini bukan masalah. Ini hal yang sepele, dia menyuruhku untuk kembali dan beristirahat karena khawatir padaku. Tidak ada alasan bagiku untuk gemetar seperti ini.
Itu seharusnya.
Namun ketika membayangkan aku takkan bisa melihat Siwoo, pikiranku menjadi kosong. Otakku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa berpisah adalah hal yang wajar dan tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakannya.
Tapi tubuhku?
Napasku mulai terasa berat saat aku menyadari sudah waktunya aku berpisah dengan Siwoo. Tak peduli bagaimana aku memikirkannya, aku sendiri tahu bahwa keadaanku tidaklah normal.
Aku tidak dapat menunjukkan keadaan yang tidak stabil ini kepada Sang Protagonis. Entah bagaimana aku menahan nafasku, kemudian menunjukkan senyumku yang biasa.
"Ayo kita berpisah sekarang. Aku akan pergi kalau begitu…! Daah...!"
"Arte! Tunggu sebentar…"
Aku pergi tanpa mendengarkan apa yang Siwoo coba katakan. Jika aku tinggal lebih lama, aku akan memperlihatkan sisiku yang aneh pada Siwoo.
Aku tidak punya pilihan.
"Hahh, hhahh, hhaahhh…"
Nafasku tersengal-sengal. Tak pernah kubayangkan, mentalku akan sekacau ini dihadapi kenyataan harus berpisah dengan Siwoo. Aku merasa benci pada diriku sendiri. Aku bukan anak anjing atau anak kucing.
Mengapa aku seperti ini?
"Fiuh… Haaah…"
Setelah entah bagaimana menenangkan nafasku, aku diam sejenak, kemudian mulai mengikuti Siwoo. Terlepas dari rasa benci pada diri sendiri karena sekacau ini, aku harus mengawasinya.
Karena aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Author. Aku harus mengawasi sang Protagonis dengan cara tertentu.
Sambil mengatur napas yang mulai stabil, aku mulai mengikuti Siwoo.
***
"Enak sekali. Enak sekali. Mir, enak sekali, kan?"
"Ya, Annie. Enak sekali."
Di kota yang telah menjadi reruntuhan dengan mayat-mayat berserakan… Seorang gadis bertudung compang-camping menggumamkan sesuatu sambil terus menerus memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.
"Manusia adalah manusia, tetapi binatang ajaib sangatlah istimewa. Lezat, lezat…"
"Kau seharusnya tidak mendiskriminasi monster, Annie. Semua orang harus diperlakukan sama."
"Baiklah. Aku mengerti, Mir."
Gadis itu terus berbicara sambil tak henti-hentinya memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Karena mulut gadis itu tidak hanya satu.
"…Ah. Sesuatu yang lain tumbuh lagi."
"Itu bukti bahwa kau sudah setara, Annie. Jangan khawatir…"
"Baiklah, Mir. Kata-katamu selalu benar."
Kalau orang melihat dia bicara sendirian, mereka akan menganggapnya aneh.
…Tidak, saat orang lain melihat kemunculannya, mereka pasti akan melarikan diri atau mencoba membunuhnya tanpa ragu-ragu. Karena sulit untuk melihat wujud gadis bertudung itu sebagai manusia.
"…Aku pikir gigiku sudah tumbuh lebih banyak."
"Itu hanya binatang ajaib tingkat 3, Annie… Dia sangat lemah. Benar kan?"
"Ya, benar. Aku mengerti…"
"Untuk membuat dunia setara, kita butuh kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang luar biasa."
Gadis itu terus bergumam pada dirinya sendiri. Kita butuh kekuatan besar. Kekuatan yang luar biasa. Kenangan hari itu ketika mereka gagal tepat sebelum rencananya berhasil muncul dalam pikiran.
Dia dihalangi oleh seorang anak laki-laki yang muncul dengan sembarang, dan dia tewas seketika akibat serangan kejutan dari sesuatu yang kuat kuat.
Jika semuanya dikumpulkan, hal itu tidak akan terjadi. Spira, Minos, Marmo, Annie, Mir, Lan, Rabi, Havi, Ovis, Chris, Equus, dan Lupo. Ceritanya akan berbeda jika mereka berdua belas berkumpul. Kalau bukan karena laba-laba terkutuk itu, Mir juga tidak akan mati.
"Kita kekurangan tenaga, Mir. Kita lemah."
"… Benar sekali, Annie. Kita lemah."
"Jika bukan karena laba-laba itu…! Jika bukan karena bajingan itu…!"
Dia mengunyah tulang-tulang binatang ajaib itu sambil dipenuhi rasa kesal. Mereka lemah. Lebih lemah dari musuh-musuh mereka. Itulah sebabnya mereka mati.
"Orang-orang itu mungkin mengira kita telah dikalahkan. Kita telah dihancurkan oleh kekuatan yang sangat besar."
Namun mereka salah. Ubermensch belum hancur. Karena masih ada yang tersisa meski sebagian sebagian kecil saja.
"Haha. Mereka akan menyesal karena tidak membunuh kita… Benar kan, Marmo?"
Gadis bertudung itu membuka bungkusan itu dan memandangi mayat yang diperolehnya dengan susah payah. Mayat itu seharusnya sulit dikenali karena bentuknya yang hancur, namun gadis itu dapat mengenalinya.
Bentuk tengkorak yang khas. Gigi depan yang runcing. Karena mayat ini adalah seseorang yang telah sering ditemuinya.
"Tunggu, teman-teman. Ayo kita raih tujuan kita bersama. Aku akan segera ke sana."
Monster gila yang haus kekuatan mulai bergerak.