“…Aduh, kepalaku.”
Begitu aku sadar, aku memegang kepalaku yang berdenyut.
Rasanya seperti kepalaku tertusuk benda tajam.
Bersamaan dengan sakit kepala itu, aku merasakan mulutku yang terasa pecah dan sesak.
…Air, aku butuh air.
“Aduh, air…”
Seolah sedang mengalami kekeringan, aku berusaha bangun dan mencari air untuk meredakan tenggorokan yang kering.
Sampai akhirnya sesuatu menghentikanku dan mencegahku untuk bangun.
“…Huh?”
Tuk, tuk.
Karena aku baru saja terbangun, aku masih belum sepenuhnya sadar.
…Sejujurnya, aku ingin tidur sedikit lagi.
Aku berencana hanya minum air dan tidur lagi, jadi aku mencoba bangun dengan mata tertutup.
Namun, tubuhku yang tak bisa bergerak seperti terikat sabuk pengaman membuatku bingung dan kesal.
Tak ada hal seperti ini di asrama.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Dengan pikiran itu, aku membuka mataku dengan kesal dan ingin melepaskan benda itu…
Kedua mataku terbuka lebar.
Aku baru menyadari apa yang dimaksud dengan kata-kata itu.
“Apa, apa, apa, apa…!”
Ini situasi apa?
Karena situasi yang tiba-tiba, aku terdiam beberapa saat, lupa dengan niatku yang tadi ingin bangun.
Alasan mengapa aku tak bisa bergerak…
Saat menurunkan pandanganku, aku melihat lengan Siwoo memelukku seolah itu hal yang biasa.
“Hei, hei!”
Apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakukan?
Bagaimana cara keluar dari sini? Bagaimana keluar tanpa Siwoo tahu?
Apa yang sebenarnya aku lakukan semalam?!
Aku menutup mata dan mencoba berpura-pura tenang sebisa mungkin untuk mengingat kejadian semalam, tapi itu sia-sia.
…Karena aku sama sekali tak bisa mengingat apa-apa.
“Argh, kami bertiga pasti minum…”
Dan aku tak punya ingatan apapun.
Kupikir aku kira sudah cukup tahu berapa banyak yang harus diminum saat terakhir kali kami makan bersama.
Mungkinkah aku tak bisa mengontrol diriku?… Atau kadar alkoholnya yang berbeda?
Tidak, itu bukan hal yang penting sekarang.
Begitu memori itu berhenti, aku terbangun dan mendapati diriku berada di ranjang bersama seorang pria.
Begitu sadar, keringat dingin mengalir di wajahku karena informasi itu menghujam masuk, dan wajahku berubah pucat.
…Apa kita berdua melakukah hal 'itu' kemarin?
Sungguh?
Well, itu tidak mungkin benar.
Bagaimanapun… Huh? Apa?
Aku berusaha mengangkat tubuhku untuk segera memeriksa, tapi lengan Siwoo masih tidak bergerak.
“Aduh, aduh…!”
Bukan berarti aku tidak bisa keluar.
Aku bisa menggunakan mana untuk memaksanya terpisah.
…Tapi kalau begitu, Siwoo akan bangun.
Apa yang akan dia katakan jika melihat situasi seperti ini?
Aku takut dia akan berkata sesuatu.
Itulah mengapa aku harus tetap dalam pelukannya untuk waktu yang lama, tak bisa memaksakan diri keluar.
…Ah, rasanya hangat.
“…”
Mungkin karena aku hanya memegang gelang ini sebentar.
Apakah karena aku merasa sedikit lega berpikir bahwa pelukan Siwoo berarti aku tidak ditinggalkan?
Atau mungkin karena aku berbaring di kehangatan selimut, terlindungi dari udara dingin di luar?
Merasa tenang dengan kehangatan yang melingkupi tubuhku, aku berhenti berjuang untuk melepaskan diri.
Hmm, ya.
Apakah benar-benar perlu keluar?
Tenggorokanku agak kering, tapi tidak sampai tak tertahankan.
Belakangan ini pagi hari agak dingin karena perubahan musim.
Jika aku keluar dalam kondisi seperti ini dan sepenuhnya sadar, itu juga akan disesali.
Aku sedikit lelah, jadi ya.
Menurut sebuah buku yang kubaca sebelum datang ke dunia ini, punggungmu akan sakit setelah melakukan 'itu'.
Aku tidak merasa sakit apa pun pada punggungku, dan ini Siwoo, kan? Seharusnya baik-baik saja.
Merasa sedikit tidak nyaman, aku menyesuaikan posisi tubuhku.
“Dia belum bangun juga?”
Melihat Siwoo dengan cermat, sepertinya dia belum terbangun, jadi aku kira dia masih tidur.
Lalu, kau tahu…
Berputar-putar sedikit saat tidur itu normal, kan?
Ya, tentu saja.
Apa itu disebut bantal pelukan?
Dengan perasaan memeluk bantal besar seperti itu, aku menyesuaikan posisi dan mencoba memeluknya.
Rasanya tidak lembut dan empuk seperti bantal.
Justru, aku harus bilang, rasanya keras karena otot-otot terlatihnya.
Seharusnya itu tidak nyaman.
Seharusnya tidak nyaman, tapi…
Kenapa rasanya begitu nyaman?
“…”
Aku tidak tahu.
Aku masih belum tahu dengan jelas.
Aku memutuskan untuk berpikir seperti itu.
Untuk merasakan kehangatan lebih baik, aku merapatkan tubuh dan memeluknya sekali lagi.
Rasanya benar-benar hangat.
Aku menyingkirkan pemikiran bahwa Siwoo mungkin akan terkejut saat dia bangun.
Jika dia terkejut… Benar.
Siwoo mengabaikanku untuk sementara.
Aku harus menganggap itu sebagai hukumannya.
Menutup mata, aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang.
Dan setelah beberapa saat…
Saat suara detak jantungku perlahan menurun dan napasku menjadi teratur…
Siwoo, yang sebelumnya tidak bergerak, membuka matanya.
“Phew, aku kira aku akan ketahuan.”
***
Sudut Pandang Amelia
“Benarkah itu?”
“Ya, benar. Puas?”
Aku penasaran mengapa Siwoo memanggilku dan Dorothy setelah sekian lama.
Dorothy dan aku sangat senang mendengar kata-katanya.
“Seperti yang kuharapkan! Dorothy, kau jenius!”
“Heh, aku cukup pintar. Apa kau akan menyebutku jenius dalam hal pacaran?”
“Tentu!”
“Kau belum pernah pacaran sebelumnya…”
“Diam!”
Pokoknya, orang itu benar-benar tidak tahu caranya.
Apakah Intuisi tidak bisa melatihnya?
“Seharusnya kau langsung melompat padanya, jadi mengecewakan kalau kau tidak melakukannya, tapi…”
“Itu kejahatan, tahu…”
“Apa yang kau bicarakan? Kalau ada persetujuan, itu bukan kejahatan.”
Yang menderita adalah Arte yang bergulat dengan berbagai hal sendirian dan menderita di dalam.
Meskipun dia sudah mengatakannya sendiri, apakah dia masih belum sadar?
Siwoo hanya menyangkal, tapi sebenarnya gadis itu sudah jatuh cinta pada Siwoo.
Seharusnya tidak masalah jika Siwoo langsung melompat padanya.
Pada awalnya, dia mungkin akan melawan, tapi jika Siwoo membisikkan sedikit cinta, dia pasti akan menyerah dengan mudah.
Amelia membayangkan adegan Siwoo melompat pada Arte dan berbisik cinta, lalu menggelengkan kepalanya.
Tidak mungkin pria perjaka ini bisa melakukan itu.
Bagi Amelia, itu adalah jalan tercepat, tapi orang ini jelas tidak akan pernah melakukan hal seperti itu, meskipun dia mati.
Agak membuat frustrasi, tapi ya sudah.
Itu adalah sesuatu yang bisa kita bantu sedikit dengan kekuatan.
“Seperti yang kau tahu, Arte sangat kesepian karena kau.”
“Ugh.”
“Itu sebabnya dia minum begitu banyak.”
“Apa yang ingin kau katakan?”
“Tidak banyak. Cuma habiskan waktu dengan Arte hari ini.”
Tidak mungkin membuat orang yang sangat menjaga Arte sampai frustrasi ini untuk langsung melompat padanya.
Jadi hanya ada satu jawaban.
Buat Arte melompat pada Siwoo.
Tentu saja, itu agak sulit karena Arte belum tahu perasaannya dengan benar.
Tapi sebaliknya, jika kita bisa membuat gadis itu menyadari perasaannya, semuanya akan teratasi.
“Tinggal terus berdekatan saja dengannya. Dia benar-benar kesulitan.”
“Cuma itu?”
“Ya. Dia memelukmu erat di pagi hari, kan?”
“…Mengerti.”
Tidak ada jaminan Arte akan melompat pada Siwoo.
Dia bahkan tidak mempertimbangkan pemikiran itu.
Ya, tidak mungkin Arte, yang sangat cemburu dan posesif, tidak akan melompat pada Siwoo.
Alasan dia tidak bertindak sekarang adalah karena dia tidak tahu dia menyukai Siwoo.
Ekspresi yang dia tunjukkan baru-baru ini saat Siwoo berdekatan dengan Dorothy.
Dorothy bahkan menjelaskan dirinya dengan ketakutan oleh ekspresi itu.
Meskipun sepertinya itu bukan ekspresi yang penuh kepercayaan.
Dan cara dia menatap dengan menakutkan pada senior yang mencoba mendekati Siwoo sebelumnya.
Amelia yakin.
Jika Arte menyadari dia menyukai Siwoo, sesuatu yang luar biasa pasti akan terjadi.
Dia benar-benar ingin menyaksikan itu, tapi…
Arte, yang terobsesi dengan cemburu, jelas akan mencoba membunuhku, jadi aku harus menyerah.
Sayang sekali.
“Ngomong-ngomong, apakah Arte sedang istirahat hari ini?”
“Aku tidurkan dia. Dia terlihat sangat lelah.”
“Tentu saja. Setelah minum begitu banyak kemarin.”
“Benar.”
Dia sangat perhatian dalam hal ini.
Agak disayangkan Arte tidak bisa ikut, tapi…
Sepertinya Siwoo sudah kira-kira tahu lokasi target pencarian.
Seharusnya tidak masalah hanya melakukan pemantauan ringan di sekitar hari ini.
Pasukan utama juga berencana untuk berdiri di dekatnya.
“Pastikan tinggal bersama Arte. Paham?”
“Sudah ku bilang, paham.”
***
Sudut Pandang Author
“Aduh, kepalaku pusing.”
Kapan terakhir kali aku merasa pusing seperti ini?
Hari pertama Pembaca membuka matanya di sini.
Sepertinya itu pertama kalinya sejak saat itu.
Terakhir kali dia minum, dia tampaknya menahan diri sedikit, tapi hari ini dia minum tanpa berpikir.
Sedikit sulit karena detak jantungku yang berdegup kencang.
“Bagaimanapun, sudah tidak banyak lagi. Sedikit lagi.”
Melihat hati Protagonis berdebar seperti ini, aku hanya ingin mendorong sedikit lagi.
Sedikit lagi, dan semuanya akan pasti.
Gadis yang murni berpikir dengan senyum cerah.
“Aku rasa sudah waktunya untuk mengirimkannya!”
Gelang yang diberikan Protagonis pada Reader sebagai hadiah.
Melihat mana yang ada di dalamnya, sepertinya itu adalah barang dari monster.
Jika itu adalah makhluk mana yang mengeluarkan benang, tidak ada lagi selain laba-laba, kan?
Jadi aku berpikir…
Bagaimana kalau itu laba-laba yang meletakkan banyak telur sebelum mati?
“Pembalasan dari laba-laba dewasa!… Mungkin seperti itu.”
Gelang itu juga berfungsi sebagai penanda yang bagus.
Laba-laba yang secara naluriah menyadari itu adalah mana orang tua mereka, mencari balas dendam pada manusia.
Bukankah itu serangan yang cukup masuk akal dan baik?
Protagonis dengan nyaman pergi, membuat Pembaca tidur.
Menyadari dia telah pergi, Pembaca akan buru-buru menuju medan perang.
Jika aku mengatur waktunya dengan baik, adegan yang menarik mungkin akan terungkap.
Gadis itu tersenyum cerah.
Berpikir bahwa kali ini pasti akan berhasil dengan baik.