Aku memejamkan mata erat-erat.
Seperti anak kecil yang tahu akan dipukul, menanti rasa sakit yang segera datang.
Namun, rasa sakit akibat senjata tajam yang kulihat sebelum menutup mata tak juga kurasakan.
“?”
Dengan ragu, perlahan kubuka mataku yang gemetar, dan pemandangan di hadapanku saat itu membuatku terpaku tanpa kata.
Siwoo berdiri di depanku, darah mengalir dari tubuhnya.
Dia memeluk tubuhku, melindungiku yang tak mampu berbuat apa-apa dari serangan tadi.
Dia terluka karenaku.
“Mengapa, mengapa kau... Tidak, bagaimana kau...”
“Ugh… Wah, ternyata ini cukup sakit ya...”
Meski bahunya tertembus, dia masih bisa tersenyum padaku.
Itu pasti menyakitkan sekali.
Pasti jauh lebih sakit dibanding memar di pinggangku.
Namun, dia tetap mengkhawatirkanku, seakan rasa sakit itu tidak berarti apa pun baginya.
“Syukurlah aku tidak terlambat, Arte. Akan lebih baik kalau aku bisa tiba lebih cepat lagi. Sepertinya kau kesakitan sekali.”
“Ba-bagaimana kau bisa di sini...”
“Sudah kukatakan sebelumnya, Arte. Aku akan selalu berada di sisimu.”
Saat Siwoo tersenyum sambil mengucapkan kalimat itu, mataku menangkap gelang yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Kau tidak boleh pergi sendirian ke tempat berbahaya lagi, mengerti?”
“Kau siapa? Jangan ikut campur! Kalau kau ikut campur...!”
“A-awas...!”
Baru saja aku hendak memperingatkannya, gadis itu kembali mengubah tangannya, bersiap menyerang Siwoo lagi.
Namun sebuah suara benturan keras terdengar, dan gadis itu terlempar jauh ke belakang.
“Hei! Setidaknya bilang dulu ke mana kau mau pergi!”
Sejak kapan dia berada di sini?
Amelia, yang tadi tak terlihat sedikit pun, muncul tiba-tiba dan menghantam gadis itu dengan tombaknya.
Kemudian ia langsung memarahi Siwoo.
“Kau ini keluyuran ke mana tanpa bilang-bilang?!”
“Maaf, aku merasa harus ke sini.”
“Kau bilang merasa harus datang, memangnya ada apa—”
Suara Amelia melemah, tatapannya terarah kepadaku.
“Oh, sedang bersenang-senang rupanya? Selera anehmu memang luar biasa.”
“Bukan begitu, Amelia. Kau tahu persis itu.”
“Iya, iya, aku tahu. Kenapa kau begitu serius menanggapi candaan?”
“Karena ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda.”
Ah.
Aku baru sadar, aku sekarang telanjang.
Aku bahkan lupa sepenuhnya, mungkin karena rasa sakit yang jauh lebih besar dibanding rasa malu yang harusnya kurasakan.
“Nih, Arte. Pakai ini dulu. Maaf ya, agak kotor karena terkena darah.”
“T-terima kasih.”
Aneh sekali.
Jantungku berdegup kencang sejak tadi, seakan enggan berhenti.
Apakah ini karena euforia usai pertarungan?
Atau tubuhku yang sengaja melepaskan zat tertentu untuk meredakan rasa sakit?
Saat Siwoo melepas pakaiannya dan menyelimutiku, jantungku justru berdetak makin keras.
Degup. Degup.
Aku mendengar Author mengeluh pusing, tapi suara detak jantungku sendiri jauh lebih kencang.
Degup. Degup.
“Hei, Siwoo. Jangan bilang itu target yang selama ini kita cari-cari? Orang yang ingin kita bunuh?”
“Ya, mungkin.”
“Wah, parah sekali. Apa dia masih bisa disebut manusia? Padahal aku sudah menghajarnya dengan niat membunuh...”
Gadis yang tadi terpental mulai berjalan ke arah kami lagi.
Bukan hanya lengannya, tapi seluruh tubuhnya berdenyut tak beraturan, mengembang dan mengempis seperti makhluk asing.
Pemandangan itu menegaskan bahwa dia sudah bukan manusia lagi.
“Jadi? Ada cara mengalahkannya?”
“Tidak.”
“Apa?! Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Memangnya mau bagaimana lagi?”
Gadis itu kembali menundukkan tubuhnya seperti pelari yang hendak melesat.
Posisi start berjongkok, siap menerjang kapan saja.
Begitu dia mengangkat kakinya, Siwoo segera memelukku erat dan berbalik badan.
“Kita kabur.”
Kwaaang!
Kami buru-buru menghindar saat tubuh gadis itu menghantam tembok di belakang kami, karena gagal mengendalikan kecepatannya sendiri.
Gadis itu menembus tembok itu hingga debu beterbangan.
“Bagus! Kabur itu memang spesialisasiku! Tapi sampai kapan kita terus-terusan kabur seperti ini?! Semua orang sibuk melawan laba-laba itu! Dorothy juga sibuk menolong orang lain! Sekarang siapa lagi yang bisa membantu kita?!”
“Siapa bilang?”
“Hah?”
“Siapa bilang tidak ada yang bisa membantu kita? Mana mungkin tidak ada.”
Kwaaang!
Saat Siwoo dan Amelia berbicara, gadis itu terus mencoba menyerang, tetapi kami selalu berhasil berpindah tempat tepat waktu, membuatnya gagal.
Usaha gadis itu selalu berakhir dengan tembok yang kembali hancur.
Ada seseorang yang akan membantu kita.
Siapa gerangan yang dimaksud Siwoo?
“Sepertinya ini waktunya mereka datang...”
“Aaaaaaaaaah!”
“?!”
“Nah, mereka datang.”
Mungkin karena frustrasi akibat terus gagal.
Atau karena akhirnya sadar bahwa semua ini tak berhasil.
Seekor serigala raksasa tiba-tiba muncul dan menggigit leher gadis itu—yang kembali hendak menyerang kami dengan tubuh yang berubah semakin menyeramkan.
Namun, semua itu sia-sia.
Gadis itu hanya mengibaskan tangan, seolah merasa terganggu, dan si serigala buru-buru mundur, berlari ke arah kami sebelum berubah menjadi manusia.
“Ptuih, kenapa dia keras sekali? Aduh, gigiku sakit.”
“A-a-apa. Kau... Bukannya kau sudah mati? Dan apa-apaan penampilanmu itu?!”
“Memang begini adanya, nona muda. Penampilan ini... anggap saja bagian dari kemampuanku.”
“A-aku nggak ngerti! Nanti kau harus jelaskan semuanya dari awal sampai akhir! Kepala ku berdenyut sekarang?!”
“Iya, iya. Aku akan ceritakan semuanya nanti.”
Kenapa Lyla bisa ada di sini?
Mungkin karena menyadari aku menatapnya kosong, dia tersenyum ke arahku—senyum seolah mengejek.
Tapi berdasarkan pengalamanku tinggal bersamanya, aku tahu itu bukan niatnya.
Lyla memang buruk dalam hal tersenyum.
“Kau kelihatan menyedihkan.”
“Mengapa kau di sini?”
“Jelas untuk menyelamatkanmu.”
“Mengapa harus begitu?”
“Hah?”
Aku tidak mengerti.
Lyla tidak punya alasan untuk membantuku.
Lupakan bahwa dia pernah memaksaku jadi bawahannya—aku bahkan pernah mencoba membunuhnya.
Lupakan bahwa aku pernah mencoba membunuhnya—aku juga menghancurkan hidupnya.
Aku membuatnya—yang tadinya menjalani kehidupan biasa—jatuh dalam kompleks inferioritas, lalu bergabung dengan organisasi penjahat.
Tak mungkin dia datang ke sini hanya untuk menyelamatkanku.
Mungkin karena situasi yang terus berubah dengan cepat,
Tanpa sadar aku mengucapkan sesuatu yang kutahu tak akan dipahami Lyla.
“Kalau bukan karena aku... kau tidak akan bergabung dengan organisasi itu…”
“Hah?”
“Kalau bukan karena aku… kalau bukan karena Author... kau pasti akan menjalani hidup biasa, sebagai pahlawan yang bahagia seumur hidupnya.”
Ya, benar.
Kalau bukan karena aku.
Kalau bukan karena Author.
Jika dia sempat dijuluki kandidat heroine, bukankah itu berarti dia punya potensi?
Bukankah dia bisa jadi pahlawan biasa dan menjalani hidup bahagia bersama orang-orang lain?
Tapi akulah yang memelintir semua itu.
Aku yang menyarankannya pada Author.
Bagaimana kalau kita gunakan Lyla secara berbeda?
Bagaimana kalau kita jadikan dia sebagai penjahat?
“Aku nggak ngerti kamu ngomong apa.”
“Apa maksudmu nggak ngerti…? Hidupmu berubah! Hidup yang seharusnya bisa kau jalani secara normal, jadi seperti ini…!”
“Lalu kenapa?”
Kata-kataku langsung tersangkut di tenggorokan.
Karena Lyla menolak seluruh pernyataanku dari akarnya.
“A-apa maksudmu kenapa? Ya karena semuanya—”
“Semuanya? Kenapa? Aku tahu kok, hidupku memang begini.”
“Tapi, tapi... Kau bisa menjalani hidup biasa…”
“Kalau begitu, itu bukan aku.”
Dia menyatakannya padaku.
Dengan ketegasan yang membuatku sadar dia benar-benar tidak paham kenapa aku berkata demikian.
“Aku benar-benar nggak tahu kamu ngomong apa, tapi yang dulu merasa iri padamu dan akhirnya kerja sama dengan penjahat... itu aku.”
“T-tapi itu karena Author... Kalau kami tidak menyentuh pengaturannya, kau pasti bisa hidup normal…”
“Aku memang tidak pernah ingin hidup normal sejak awal.”
“…”
“Itulah kenapa aku jadi seperti ini.”
Ia tersenyum pahit sambil mengelus telinga serigalanya yang mencuat di atas kepala.
“Kau pernah lihat aku sebelum masuk akademi? Dari mana kau yakin aku akan hidup normal?”
“Itu...!”
“Kau dapat wahyu atau apa?”
“Yah…”
Aku tak bisa berkata apa-apa.
Karena memang benar, bahkan kalau itu disebut wahyu sekalipun.
Dia memang ditakdirkan untuk menjadi heroine.
“Apa, kau benar-benar dapat wahyu?”
“...Mirip begitu.”
“Huh. Jadi ada kemungkinan aku nggak bakal jadi penjahat?”
Sebuah suara tajam terdengar di belakang Lyla yang sedang menggaruk kepalanya seperti orang yang kehabisan akal.
Itu suara Amelia.
“Hei, kalian mau ngobrol sampai kapan?! Bukannya kalian datang buat bantu?!”
“Aku udah kirim ular ke sana! Tunggu bentar!”
“Wanita ini nggak ada gunanya! Kau jauh lebih baik!”
“Itu kejam?!”
“Bunuh dia duluan, dia duluan! Aaaaaaah!”
“Eeeeek! A-a-aku hampir mati! Kalian ngapain sih?!”
“Kau masih hidup kan, jadi nggak apa-apa!”
“Kau sampah! Masih berani nyebut diri pahlawan?!”
Lyla kembali menggaruk kepalanya, berpikir sejenak, lalu menatapku dan bertanya:
“Jadi, aku seharusnya ditakdirkan jadi pahlawan?”
“Ya.”
“Dan kau memelintir itu jadi penjahat? Begitu?”
“Benar.”
“Masalahnya di mana?”
“T-tapi…”
“Enggak. Aku memang nggak pernah benar-benar pengin jadi pahlawan.”
Lyla masih tampak tidak puas setelah mengatakan itu, dan dia menanyaiku lagi.
“Satu hal lagi. Aku mau tanya satu hal lagi. Kapan kau memelintir ramalan atau apalah itu? Waktu aku SD? SMP?”
“Sepertinya seminggu setelah masuk akademi. Tepatnya…”
“Kau kenal aku sebelum aku masuk akademi?”
“Tidak…”
“Jadi kita pertama kali bertemu setelah aku masuk akademi dan mulai belajar ilmu pedang?”
“…Ya.”
“Dan saat pertama kita bertemu, kau sudah tahu soal ‘ramalan’ itu?”
“Tepat sekali.”
“Gadis ini mikir yang aneh-aneh banget…”
“?!”
Aku tidak menyangka reaksinya akan seperti itu.
Aku hanya bisa terpaku, hanyut dalam alur yang dibawanya.
Kupikir dia tidak akan punya alasan untuk berkata apa-apa meskipun aku menyeretnya ke hadapan monster itu dan menuntut hidupnya sebagai pengganti.
“Orang yang baru pertama kali ketemu langsung menghakimi masa laluku dan masa depanku... Sungguh…”
Lyla mengetuk kepalaku dengan telunjuknya dan berkata:
“Jangan pernah menilai seseorang hanya dari kesan pertama. Mengerti?”
“Apa hubungannya itu dengan situasi sekarang…”
“Ya jelas ada. Kau berpikir aku pasti jadi pahlawan hanya karena melihatku sekali. Padahal aku sudah merasa iri sejak kecil.”
“T-tapi itu karena pengaturan Author yang berubah…”
“Nih, lihat?”
Lyla menyodok pinggangku seperti kesal.
“Aduh…!”
“Ada cara untuk buktikan itu benar?”
“Tidak ada…”
“Dengar baik-baik, pemimpin bodoh. Aku sudah hidup seperti ini sepanjang hidupku, dan ini hidupku. Satu hal terakhir.”
Mungkin karena merasa aku benar-benar sudah tampak tak sanggup.
Lyla, yang sejak tadi sesekali menengok ke belakang, berkata padaku satu kalimat terakhir.
“Aku jadi seperti ini karena pilihanku sendiri. Bukan karena ramalan konyolmu atau apa pun. Kalau kau ingin memahami seseorang dengan benar, kau tak bisa hanya melihatnya sekali.”