Chapter 142 - Beritahu Aku, Amelia!

Buat chapter 141 sebenernya sama aja kayak chapter 37,5 jadinya ngga kupost lagi.

Buat chapter 141 sebenernya sama aja kayak chapter 37,5 jadinya ngga kupost lagi.

POV Amelia

"...Jadi? Apa masalahnya?"

Aku menghela napas saat menatap Arte yang tampak lesu.

Sekarang semuanya sudah selesai, yang tersisa hanyalah menonton mereka berdua bermesraan… Setidaknya, itu yang kukira.

Mungkin karena mereka pacaran tanpa pengalaman sebelumnya, tapi kelihatannya mereka malah lebih kesulitan dari yang kupikir.

Padahal waktu itu mereka berciuman dengan penuh gairah… Aku terkejut bukan main, bukan cuma Arte, Siwoo juga sangat agresif.

Mungkin mereka lupa kalau kita sedang menonton saat itu. Berkat itu, Dorothy dan aku jadi dapat tontonan menarik!

"Pacarmu… suka mukulin kamu, ya?"

"T-Tidak, bukan seperti itu…!"

Arte terkejut dengan pertanyaanku dan melambaikan tangannya.

…Ya, sebenarnya aku tak pernah curiga hal seperti itu. Mana mungkin Siwoo menyakiti Arte.

Dia bahkan beberapa kali hampir mati demi menyelamatkan gadis yang dia suka. Ini cuma pertanyaan iseng pembuka pembicaraan saja.

Setelah berpikir sejenak, Arte pun bicara padaku seperti sudah memutuskan sesuatu.

"...Um, kau tahu… Apa aku… nggak menarik ya?"

"Apa sih omong kosong itu?"

Seketika kesal dengan cerita tak terduga itu, aku mencubit gumpalan daging di depan mataku.

"Aduh, sakit…! Hentikan, Amelia!"

"Rasakan. Siapa suruh ngomong omong kosong?"

Dia berusaha memutar badan, mencoba menutupi dengan tangannya, tapi sia-sia.

Gumpalan daging itu, yang nyaris bisa disebut payudara besar, nggak bisa disembunyikan begitu saja.

Lagipula, kemampuan aku kan percepatan. Aku takkan pernah kalah dalam urusan seperti ini.

Setelah sadar nggak bisa menghalangiku mencubit, Arte jadi merosot, dan aku berhenti mencubitnya.

"...Jadi? Kenapa kau mikir begitu?"

Arte belum pernah menunjukkan rasa kurang percaya diri seperti ini sebelumnya. Apa yang sebenarnya terjadi?

…Aku kira aku tahu. Mungkin gara-gara Siwoo lagi.

Mana mungkin Arte ingin terlihat baik untuk pria selain dia?

Benar saja, Arte menghela napas dalam-dalam dan berkata padaku.

"Aku nggak yakin Siwoo benar-benar suka aku…"

Apa-apaan itu?

Pikiranku kosong sejenak mendengar kata-kata yang tak pernah terpikirkan.

Mungkin dia mengira diamku adalah tanda untuk cerita lebih lanjut? Arte mulai curhat padaku.

"Kau tahu, kami… um, mulai pacaran, kan?"

"Iya. Kita jadi ribut banget waktu lihat kalian berciuman …"

"Apa?"

"Ah."

Ini hal yang sebenarnya nggak boleh aku bilang.

Aku berkeringat dingin saat dia menatapku dengan mata tajam, lalu Arte menghela napas.

"...Aku merasa ada yang aneh waktu itu."

"Haha…"

"Aku maafkan, tapi tolong kasih aku nasihat yang baik ya."

"T-Tentu! Percayalah padaku!"

Huh, aku selamat. Kupikir itu agak kasar.

Sepertinya Arte memutuskan untuk memaafkan dengan lapang dada.

"Ahem. Jadi? Apa selanjutnya?"

"Aku sudah cukup lama tinggal bersama Siwoo."

"Iya? Kalian tinggal bareng sebelum pacaran juga kan?"

"...Lalu kenapa nggak ada apa-apa?"

"Apa?"

Nggak ada apa-apa?

Aku mikir maksudnya apa, dan Arte berkata dengan wajah memerah.

"Um, kau tahu… gimana ya… Hmm…"

Tidak seperti biasanya, dia terus ragu-ragu, aku ingin menyuruhnya cepat bicara, tapi aku tahan.

Melihat wajahnya makin merah, kelihatannya dia benar-benar malu.

Setelah menunggu beberapa menit dengan sabar, dia akhirnya memutuskan, menarik napas dalam, dan berteriak.

"K-Kapan…! Kita bisa lakukan hal kayak pasangan… Aku… aku sudah merayu dia…!"

"...Apa?"

Sesaat aku nggak percaya dengan apa yang kudengar, dan tanpa sadar bertanya lagi.

Merayu? Arte?

"...Serius?"

"Uuugh…"

Apa ini ucapan spontan dengan pikiran ‘jadilah apa adanya’?

Menutup wajah yang merah seperti buah ceri, Arte mengangguk.

"Aku mengerti…"

Sebenarnya, nggak heran kalau Arte yang merayu dia.

Siapa pun yang tahu hubungan Arte dan Siwoo pasti mengira Arte yang akan menyerang Siwoo.

Tapi fakta bahwa dia datang padaku untuk curhat setelah merayu seperti itu berarti…

"Gagal ya?"

"...Iya."

Tentu saja.

Kalau berhasil, mana perlu curhat seperti ini.

Dia merayu Siwoo, tapi gagal, jadi rasa percaya dirinya turun drastis.

…Tapi kenapa?

Nggak ada orang yang menyukai Arte sebanyak Siwoo.

Kalau Arte mendekatinya dengan wajah memerah, bukankah cowok itu harusnya langsung luluh?

"Gimana caranya kamu merayu dia?"

"Pakai baju ini. Aku pakai ini dan merayap ke tempat tidurnya…"

Sambil berkata begitu, dia menyerahkan sebuah foto padaku.

Pakaian seperti apa itu?

Aku melihat foto itu dan nggak bisa sembunyikan keterkejutanku.

"Apa-apaan ini?! Kenapa bajunya seksi banget?!"

"Seksi?!"

"Ah, maksudku… terbuka!"

Iya.

Bajunya memang nggak masalah.

Kaos tipis dan celana pendek model dolphin.

Kamu bisa pakai ini santai di rumah, wajar kalau agak terbuka.

Tapi masalahnya ada di tempat lain.

"K-Kamu jalan-jalan pake baju ini tanpa dalaman?! Di depan Siwoo?!"

"Iya."

"Kamu bahkan merayap ke tempat tidurnya?!"

"Aku peluk dia erat dari belakang."

"?!"

Ada warna merah muda samar yang terlihat lewat baju putih itu.

(TN: bjiiirrr apa tuuh?)

Dia merayap ke tempat tidur Siwoo pakai baju yang bahkan aku sebagai perempuan merasa malu memakainya, dan menggosokkan payudara besarnya ke Siwoo?

…Dan nggak terjadi apa-apa?

"Apa mungkin Yu Siwoo itu impoten…?"

"T-Tidak! Dia nggak impoten…!"

"?"

Kok dia bisa tahu?

Saat aku menatapnya seperti itu, dia seperti sadar salah ngomong.

Arte mulai terbata-bata dengan panik.

"I-Itu, um…"

"Terserah deh. Dia nggak impoten, kan?"

"...Iya."

Hmm.

Aku ingin bilang saja suruh dia serang terus.

Dari sikapnya yang masih agak malu, sepertinya Siwoo tertarik tapi masih ragu-ragu.

Pasangan mana sih yang nggak pernah lakukan hal-hal kayak gitu? Kalau kita pacaran, harusnya kita akan melakukannya juga suatu saat.

Mungkin itu yang dipikirkan Arte?

…Aku pusing.

Kenapa aku harus dapat pertanyaan begini padahal aku belum pernah pacaran sekali pun?

Tiba-tiba diserang pertanyaan itu, aku menatap kosong ke udara beberapa saat.

Kenapa aku melakukan ini?

Begitu pikiran itu muncul, rasa lelah yang luar biasa langsung menyerbu.

…Ah, aku nggak tahu.

"Maaf, aku nggak tahu."

"Aku mengerti…"

"Kita bicarakan lagi besok, ya? Aku akan telepon Dorothy besok."

"Dorothy juga?"

"Semakin banyak orang, makin baik buat urusan seperti ini. Bukan berarti kita mau sebarkan gosip ke banyak orang."

"Oh begitu, ya? …Terima kasih."

"Sama-sama. Ah, bisa nggak kau duluan hari ini? Aku ada urusan waktu keluar."

"Oke. Sampai besok."

Begitu Arte menghilang dari pandanganku, aku terduduk lesu di kursi kafe dan mulai mengunyah sedotan.

Sebenarnya aku nggak ada urusan.

Aku nggak ingin melakukan apa-apa sekarang.

Kenapa aku jadi penasihat hubungan orang pacaran? Padahal aku sendiri masih jomblo.

Begitu pikiranku berputar, rasa lelah luar biasa menyerbu tanpa terkendali.

Saat aku melamun di kafe, seseorang tak terduga menghampiriku.

"Oh, hai Amelia."

"...Siwoo?"

Orang yang tadi aku bicarakan dengan Arte.

Siwoo, tiba-tiba mendekat.

"Bagaimana kau tahu aku di sini…"

"Aku merasa kau pasti ada di sini."

"Sialan…"

Itu intuisi dia lagi ya?

Orang ini bilang dia nggak mau kembangkan kemampuannya lagi dan berhenti latihan, tapi ternyata ada alasannya.

Mungkin dia nyaman bilang begitu karena kemampuannya sudah berkembang sangat cepat sampai nggak perlu latihan lagi.

"Jadi? Kenapa kau cari aku?"

"...Aku mau konsultasi sesuatu."

"Konsultasi?"

Arte sudah konsultasi, sekarang dia juga?

Aku mau bilang tunda dulu karena agak capek, tapi kupendam saja.

Arte dan Siwoo konsultasi di hari yang sama.

Aku merasa ini mungkin berhubungan sama curhatan Arte.

Ternyata tebakan aku benar, Siwoo ragu-ragu lalu bilang padaku.

"Akhir-akhir ini, susah untuk hidup sama Arte."

"...Susah gimana?"

"Iya. Agak aneh ngomong gini, tapi Arte kadang… di rumah itu."

"Dia pakai pakaian yang minim dan seksi, ya?"

"...Kau tahu dari mana?"

"Intuisi perempuan. Jadi?"

Siwoo menatapku curiga beberapa saat, tapi kayaknya sadar itu bukan hal penting dan mulai ceritakan isi konsultasinya.

"Akhir-akhir ini, makin susah tahan liat penampilan Arte…"

"Kenapa kau cerita ke aku?"

"Memangnya kenapa…?"

"Aku juga perempuan, tahu!"

"Hah? Iya, aku tahu itu."

"..."

Dia pikir aku apa sih?

Aku sampai mulai mikir aneh, jangan-jangan dia melihatku bukan sebagai perempuan, tapi sebagai makhluk bernama Amelia.

"Aku mau perlakukan Arte dengan baik, tapi dia makin cantik sampai susah tahan. Kalau seperti ini, aku harus gimana…"

"Ah, aku nggak tahu! Ya tinggal langsung gas aja, sih! Lagian, kau ini cowok tapi ga peka banget, deh!"

"?!"

"Kenapa kalian bikin aku susah?! Kalian kan bisa ciuman dan saling bercumbu! Lalu ucluk-ucluk di kamar! Gitu aja susah!!"

"T-Tunggu. Amelia. Kayaknya kau terlalu lebay, tenang…"

"Tenang?? Aku kelihatan bisa tenang sekarang?! Ya… mmph!"

Mungkin karena aku teriak kencang sambil mataku melotot ke atas.

Aku akhirnya diusir dari kafe.