"Sang Permaisuriku Ayana, hatiku terasa pedih melihatmu dalam kondisi seperti ini. Sudah lebih dari sepuluh hari sejak pemakaman saudara laki-lakiku, dan kau belum makan dengan layak. Aku mohon padamu, kasihku, berikanlah asupan pada dirimu, meskipun hanya sedikit."
Dengan kelembutan, Luther mendekati kursi goyang Ayana yang berada di samping jendela besar dan luas, yang membiarkan sinar matahari lembut menyinari dan mengelus ruangan tersebut. Di atas nampan kayu kecil yang terletak di pangkuan sang istri, ia meletakkan semangkuk sup hangat penghibur hati. Ia mengambil tempat di kursi yang berhadapan dengannya, dengan senyum lembut yang menggugah, seakan mendesak dalam diam agar ia memulai makannya.