Ibadah Puasa Ramadhan - 1446 Hijriah

Pukul tiga pagi, saat udara masih dingin dan sepi, **Liora** terjaga oleh sentuhan lembut di bahunya. Suara ibunya, **Nadira**, terdengar pelan namun penuh kehangatan.

"Sayang, bangun yuk. Waktunya sahur," bisik Nadira sambil menyalakan lampu kamar dengan redup, biar mata Liora nggak silau.

Liora membuka matanya perlahan, matanya masih berat oleh kantuk. "Hah? Udah jam tiga lagi ya, Bu?" gumamnya sambil menguap lebar.

Nadira tersenyum lembut. "Iya, Nak. Hari kesebelas puasa nih. Ayo, nanti keburu imsak lho."

Dengan malas, Liora bangkit dari tempat tidurnya. "Oke deh, Bu. Aku cuci muka dulu," ujarnya sambil berjalan pelan ke kamar mandi.

Air dingin yang membasuh wajahnya sedikit membantu mengusir kantuk. "Semangat, Lio. Kamu pasti bisa," bisiknya pada diri sendiri saat menatap cermin.

Setelah mengenakan hoodie oversized favoritnya dan celana panjang yang nyaman, Liora menuju ruang makan. Di meja, ibunya sudah menyiapkan hidangan sahur: nasi hangat, sup ayam kampung, tempe orek, dan segelas susu hangat. Aroma masakan membuat perutnya langsung keroncongan.

"Wah, Ibu masak enak banget hari ini," kata Liora sambil duduk.

"Kan biar kamu semangat puasanya. Yuk, sebelum makan, kita niat dulu," ajak Nadira sambil menengadahkan tangan.

Mereka bersama-sama membaca niat puasa:

**"Nawaitu shauma ghadin an ada'i fardhi syahri Ramadhâna hâdzihis-sanati lillâhi ta'âlâ."**

(*"Aku berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala."*)

Setelah itu, mereka mulai menyantap hidangan sahur dengan perlahan.

"Bu, Ayah masih tidur ya?" tanya Liora sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Iya, tadi malam Ayah lembur lagi. Kasihan, pasti capek banget," jawab Nadira dengan nada prihatin.

"Liora pengen deh punya energi kayak Ayah. Kuat banget," ujar Liora sambil tersenyum.

"Sama, Ibu juga. Tapi jangan lupa, kita harus jaga kesehatan juga."

Selesai makan, Liora minum segelas air putih lagi. "Biar nggak dehidrasi nanti siang," katanya sambil tertawa kecil.

Nadira menatap putrinya dengan lembut. "Jangan lupa doa setelah makan, Sayang."

Mereka menundukkan kepala dan membaca:

**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**

(*"Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim."*)

Waktu imsak semakin dekat. Liora dan Nadira segera mengambil wudhu. Sebelum shalat, Liora berdoa sendiri, memohon kekuatan untuk menjalani puasa hari ini.

"Ya Allah, berikan aku kekuatan dan kesabaran," bisiknya pelan.

Setelah menunaikan shalat Subuh berjamaah bersama ibunya, Liora merasa hatinya lebih tenang. Namun, kantuk masih menghampiri.

"Bu, aku tidur lagi ya sebentar," katanya sambil menguap.

"Iya, istirahat dulu. Nanti jam tujuh kamu harus ke masjid kan? Mau ngajar ngaji anak-anak," ingat Nadira.

"Oh iya! Liora hampir lupa. Oke, Bu. Nanti bangunin lagi ya."

"Iya, pasti."

---

Pukul tujuh pagi, Liora terbangun oleh ketukan pelan di pintu kamarnya.

"Liora, ayo bangun. Sudah jam tujuh," suara Nadira terdengar dari balik pintu.

"Ya, Bu! Liora bangun sekarang," jawabnya sambil meregangkan tubuh.

Setelah mandi dan berpakaian, ia memilih gamis sederhana berwarna pastel dan hijab yang matching. Rambutnya yang panjang diikat rapi di dalam hijabnya.

Turun ke bawah, ia melihat ayahnya, **Arya**, sedang duduk di ruang tamu sambil membaca koran.

"Pagi, Ayah!" sapa Liora dengan semangat.

"Pagi, Sayang. Semangat sekali hari ini," jawab Arya sambil tersenyum.

"Liora mau ke masjid, ngajarin anak-anak ngaji."

"Hebat sekali. Ayah bangga sama kamu."

"Terima kasih, Ayah."

Setelah sarapan ringan dengan segelas air putih (meski puasa, ia tetap duduk menemani ayahnya yang belum sempat sahur), Liora berpamitan.

"Bu, Ayah, Liora berangkat dulu ya."

"Hati-hati di jalan, Sayang. Jangan lupa pakai masker," pesan Nadira.

"Siap, Bu!"

---

Perjalanan menuju masjid cukup dekat, hanya beberapa menit jalan kaki dari rumah. Udara pagi yang sejuk membuat langkahnya ringan. Sampai di masjid, beberapa anak sudah menunggu di teras.

"Kak Liora!" seru mereka dengan ceria.

"Hai adik-adik! Semangat sekali ya pagi ini," sapa Liora sambil tersenyum lebar.

Mereka masuk ke dalam masjid dan duduk melingkar. Liora mulai mengajar mereka mengaji, mulai dari huruf hijaiyah hingga membaca surah-surah pendek.

Salah satu anak, **Aisyah**, mengangkat tangan. "Kak, aku masih susah bedain antara 'ta' dan 'sa'."

"Oh, gitu ya. Yuk, sini kakak bantu lebih detail," jawab Liora dengan sabar.

Mereka belajar dengan penuh semangat. Waktu berlalu tanpa terasa. Namun, menjelang siang, Liora mulai merasakan haus dan lapar.

"Astaga, perut mulai keroncongan," pikirnya sambil menahan diri.

Setelah sesi mengaji selesai, Liora mengajak anak-anak berbincang ringan.

"Adik-adik, jangan lupa nanti sore kita bagi-bagi takjil lagi ya," ujarnya.

"Yeay! Seru banget kak!" sambut mereka dengan antusias.

---

Pukul dua belas siang, Liora pulang ke rumah. Cuaca mulai panas, dan tenggorokannya terasa kering.

"Bu, Liora pulang," sapanya sambil masuk ke rumah.

"Eh, sudah pulang. Gimana ngajarnya?" tanya Nadira sambil meletakkan buku yang dibacanya.

"Alhamdulillah, lancar. Anak-anak semangat banget."

"Senang dengarnya. Kamu pasti capek. Istirahat dulu ya."

"Iya, Bu. Tapi Liora haus banget."

"Sabar ya, Sayang. Namanya juga puasa."

Liora menghela napas. "Iya, Bu. Liora mau tidur siang dulu deh."

"Baiklah."

---

Pukul tiga sore, Liora terbangun oleh suara ponselnya. Pesan dari **Mika** masuk.

"Heii, Lio! Gimana puasanya? Masih kuat kan?" tulis Mika.

Liora membalas, "Lumayan berat sih, Mik. Tadi ngajar ngaji, sekarang capek dan haus."

"Wah, keren kamu ngajar ngaji. Hebat!"

"Hehe, biasa aja. Kamu sendiri gimana?"

"Aku lagi bantu Mama masak buat buka puasa nanti."

"Seru dong. Semangat ya!"

Kembali ke ruang tamu, Liora melihat ibunya sedang menyiapkan bahan untuk takjil.

"Bu, hari ini kita bagi-bagi takjil lagi?"

"Iya, Sayang. Kamu mau bantu?"

"Pasti dong!"

Mereka mulai membuat kolak biji salak dan aneka gorengan. Aroma manis dan gurih memenuhi rumah, membuat perut Liora semakin berontak.

"Astaga, baunya enak banget. Jadi pengen nyicip," keluhnya sambil menelan ludah.

"Sabar ya, sebentar lagi juga buka," hibur Nadira sambil tersenyum.

---

Menjelang maghrib, Liora dan ibunya menata takjil di meja depan rumah. Bersama anak-anak dari masjid, mereka membagikan takjil kepada orang-orang yang lewat.

"Pak, Bu, silakan ambil takjilnya," sapa Liora dengan ramah.

"Terima kasih banyak, Nak. Semoga berkah ya," balas salah satu dari mereka.

"Amiiin. Sama-sama ya, Pak."

Melihat senyum dari orang-orang yang menerima takjil membuat hati Liora hangat.

Salah satu anak, Aisyah, mendekat. "Kak, senang banget bisa berbagi gini. Rasanya bahagia."

"Iya, Aisyah. Berbagi itu indah. Semoga kita bisa terus berbagi ya."

"Amiiin."

---

Pukul 17.45, adzan maghrib berkumandang. Liora, Arya, dan Nadira duduk di meja makan yang sudah penuh dengan hidangan lezat.

Sebelum berbuka, mereka menengadahkan tangan dan membaca doa bersama:

**"Allahumma laka shumtu, wa bika amantu, wa 'ala rizqika afthartu, birahmatika ya arhamarrahimin."**

(*"Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mu wahai Yang Maha Penyayang."*)

Setelah itu, mereka meneguk air putih dengan perlahan. Rasa segar langsung mengalir di tenggorokan, menghilangkan dahaga seharian.

"Alhamdulillah," ucap Liora dengan lega.

"Hari ini pasti capek ya, Sayang," ujar Arya sambil menatap putrinya.

"Iya, Yah. Tapi senang banget. Tadi ngajarin anak-anak ngaji, terus bagi-bagi takjil. Rasanya puas."

"Hebat kamu. Ayah dan Ibu bangga."

Mereka menikmati hidangan berbuka dengan penuh syukur. Kolak biji salak yang manis menjadi favorit Liora malam itu.

"Kolaknya enak banget, Bu. Makasih ya," pujinya.

"Senang kamu suka, Sayang."

---

Setelah berbuka, Liora menerima pesan dari Mika.

"Selamat berbuka, Lio! Kamu hebat deh hari ini."

"Selamat berbuka juga, Mik! Makasih ya. Kamu sendiri gimana?"

"Aku juga ikut bagi-bagi takjil tadi. Rasanya senang banget."

"Wah, keren! Kita samaan dong."

"Hehe, iya. Kapan-kapan kita kolaborasi buat kegiatan sosial yuk."

"Boleh banget!"

---

Malam harinya, setelah menunaikan salat Isya dan tarawih, Liora duduk di kamarnya. Ia menulis di jurnal pribadinya:

"Ubur Ubur Ikan Lele, Puasa Kali ini Nggak Lemes Leee - Aduhayy alay banget pantun tiktok zaman gen alpha."

Ia menutup jurnalnya dengan senyum puas.

Nadira mengetuk pintu kamar. "Liora, boleh Ibu masuk?"

"Silakan, Bu."

Nadira masuk dan duduk di samping putrinya. "Ibu senang melihatmu aktif dalam kegiatan positif."

"Makasih, Bu. Itu semua karena dukungan Ibu dan Ayah."

"Kami bangga padamu. Teruslah menjadi anak yang baik dan peduli."

"Insya Allah, Bu."

Setelah berbincang sebentar, Nadira pamit. "Sudah malam, istirahat ya. Besok pasti banyak kegiatan lagi."

"Iya, Bu. Selamat malam."

"Selamat malam, Sayang."

Liora merebahkan diri di tempat tidur.

"Terima kasih, Ya-ALLAH, atas hari yang indah ini," bisiknya sebelum memejamkan mata.

Dengan perasaan tenang dan bahagia, Liora tertidur.

Pukul tiga pagi, ketika langit masih gelap dan bintang-bintang berkelip samar, **Liora** terlelap di balik selimut hangatnya.

Mimpi-mimpi indah menemani tidurnya, membawa senyuman kecil di wajahnya. Namun, sentuhan lembut di bahunya perlahan membangunkannya.

"Sayang, bangun yuk. Waktunya sahur," bisik **Nadira**, ibunya, sambil menyalakan lampu kamar dengan cahaya redup agar mata Liora tidak silau.

Liora membuka matanya perlahan, masih setengah sadar. "Hah? Udah jam tiga lagi ya, Bu?" gumamnya sambil menguap lebar.

Nadira tersenyum hangat. "Iya, Nak. Hari kedua belas puasa nih. Ayo, nanti keburu imsak lho."

Dengan mata berat, Liora bangkit dari tempat tidurnya. "Oke deh, Bu. Aku cuci muka dulu," ujarnya sambil berjalan pelan menuju kamar mandi.

Air dingin membasuh wajahnya, sedikit membantu mengusir kantuk yang masih menggantung. "Semangat, Lio. Kamu pasti bisa," bisiknya pada bayangannya di cermin. Setelah mengikat rambutnya yang panjang dengan cepol sederhana, ia mengenakan hoodie oversized favoritnya dan celana panjang yang nyaman.

Menuju ruang makan, aroma harum masakan ibunya langsung menggelitik hidungnya. Di meja, terhidang nasi hangat, omelet sayur, tempe goreng, dan semangkuk sup ayam hangat. Tak lupa, ada segelas susu hangat dan kurma di sampingnya.

"Wah, Ibu rajin banget masak sebanyak ini," kata Liora sambil duduk.

"Biar kamu semangat puasanya. Yuk, sebelum makan, kita niat dulu," ajak Nadira sambil menengadahkan tangan.

Mereka bersama-sama membaca niat puasa:

**"Nawaitu shauma ghodin an ada'i fardhi syahri Ramadhâna hâdzihis-sanati lillâhi ta'âlâ."**

*(Aku berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala.)*

Setelah itu, mereka mulai menyantap hidangan sahur dengan perlahan.

"Bu, Liora kok merasa puasanya makin berat ya akhir-akhir ini," ujar Liora sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.

Nadira menatap putrinya dengan lembut. "Wajar, Sayang. Semakin mendekati tengah bulan, godaannya memang semakin kuat. Tapi kamu kan anak kuat."

Liora tersenyum tipis. "Iya sih. Tapi kadang rasanya pengen nyerah aja."

"Jangan gitu dong. Ingat, banyak pahala yang menunggu. Lagipula, kita jalani bersama-sama kok."

Selesai makan, Liora minum segelas air putih lagi. "Biar nggak dehidrasi nanti siang," katanya sambil tertawa kecil.

Nadira tertawa pelan. "Benar banget. Oh iya, jangan lupa doa setelah makan ya."

Mereka menundukkan kepala dan membaca:

**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqona waja'alana minal muslimin."**

*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*

Waktu imsak semakin dekat. Liora dan Nadira segera mengambil wudhu. Sebelum salat, Liora berdoa dalam hati, memohon kekuatan untuk menjalani puasa hari ini.

"Ya Allah, berikan aku kekuatan dan kesabaran," bisiknya pelan.

Setelah menunaikan salat Subuh berjamaah bersama, Liora merasa hatinya lebih tenang. Namun, kantuk masih mengejar.

"Bu, aku tidur lagi ya sebentar," katanya sambil menguap.

"Iya, istirahat dulu. Nanti jam delapan Ibu bangunkan."

"Siap, Bu."

---

Pukul delapan pagi, Liora terbangun oleh suara musik dari ponselnya. Ia meregangkan tubuh, mencoba mengusir sisa-sisa kantuk.

"Oke, hari kedua belas puasa. Bismillah," gumamnya sambil bangkit dari tempat tidur.

Setelah mandi dan berpakaian, ia memilih kaus lengan panjang warna pastel dan celana jeans favoritnya. Rambutnya diikat kuncir kuda, memberi kesan segar.

Turun ke ruang tamu, ia melihat ayahnya, **Arya**, sedang duduk sambil membaca koran.

"Pagi, Ayah!" sapa Liora dengan senyum ceria.

"Pagi, Sayang. Sudah siap menjalani hari ini?" tanya Arya sambil menatap putrinya.

"Harus siap dong. Meskipun agak lemas, tapi semangat tetap ada."

"Baguslah. Ada rencana apa hari ini?"

"Liora mau editing video dan mungkin live streaming sebentar. Biar nggak terlalu bosan."

"Jangan lupa istirahat juga ya."

"Iya, Ayah."

---

Di kamarnya, Liora duduk di depan laptop. Ia membuka file video yang perlu diedit. Namun, baru beberapa menit bekerja, perutnya sudah mulai berontak.

"Aduh, lapar lagi," keluhnya sambil memegang perut.

Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan mendengarkan musik. Lagu-lagu favoritnya mengalun, membuat suasana hati sedikit lebih baik.

Namun, pikiran tentang makanan terus menghantuinya. "Duh, kenapa ya pikiranku terus ke makanan," gumamnya.

Ponselnya berbunyi, pesan dari **Mika** masuk.

"Heii, Lio! Gimana puasanya? Masih kuat kan?" tulis Mika.

Liora membalas, "Lumayan sih, Mik. Tapi jujur aja, lapar dan hausnya makin terasa."

"Sama dong. Aku juga lagi nahan godaan. Tadi lihat iklan es teh manis di TV, langsung pengen."

"Astaga, jangan bahas minuman dulu deh. Makin ngiler aja."

Mereka tertawa melalui pesan.

---

Menjelang siang, cuaca semakin panas. AC di kamarnya sepertinya kurang membantu. Liora memutuskan untuk turun ke ruang tamu, duduk di dekat kipas angin.

"Bu, panas banget ya hari ini," ujarnya sambil mengipas-ngipas wajah.

Nadira muncul dari dapur sambil membawa semangkuk es buah.

"Liora, eh maaf, Ibu lupa kamu puasa," kata Nadira saat menyadari putrinya menatap es buah dengan mata berbinar.

Liora menelan ludah. "Nggak apa-apa, Bu. Nanti aja simpan buat buka puasa ya."

"Iya, maaf ya Sayang. Ibu taruh di kulkas dulu."

Setelah ibunya kembali ke dapur, Liora menghela napas panjang. "Godaan makin berat aja," pikirnya.

---

Pukul dua siang, Liora merasa energi mulai menurun drastis. Kepalanya sedikit pusing, dan tenggorokannya kering.

"Mungkin tidur siang sebentar bisa membantu," ujarnya pada diri sendiri.

Ia merebahkan diri di sofa, mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan makanan dan minuman terus menghantuinya.

"Ya ampun, fokus Liora. Jangan mikirin makanan," bisiknya sambil menutup mata.

Perlahan, ia pun tertidur.

---

Pukul empat sore, Liora terbangun oleh suara ponselnya. Pesan dari Mika lagi.

"Bangun tidur nggak nih? Udah sore lho," tulisnya.

Liora membalas, "Iya nih, baru aja bangun. Masih lemas rasanya."

"Semangat ya! Sebentar lagi juga buka."

"Semoga aja. Waktu rasanya lambat banget."

"Ngomong-ngomong, malam ini ada acara ngabuburit virtual bareng teman-teman. Kamu mau ikut?"

"Boleh deh. Biar ada kegiatan."

"Siip, nanti aku kirim link-nya ya."

---

Menjelang maghrib, Liora membantu ibunya menyiapkan hidangan berbuka. Mereka menata es buah, gorengan, kolak pisang, dan tak lupa kurma.

"Aroma kolaknya enak banget, Bu," kata Liora sambil menelan ludah.

"Hehe, sabar ya. Sebentar lagi juga buka," jawab Nadira sambil tersenyum.

Mereka duduk di meja makan, menunggu waktu berbuka. Liora melihat jam, masih lima menit lagi.

"Kenapa waktu jalannya lambat banget sih," keluhnya.

Arya yang baru bergabung tertawa kecil. "Namanya juga lagi nunggu sesuatu yang ditunggu-tunggu."

"Iya, Ayah. Rasanya nggak sabar."

---

Pukul 17.45, adzan maghrib berkumandang. Liora, Arya, dan Nadira menutup mata, menengadahkan tangan, dan membaca doa berbuka puasa bersama:

**"Allahumma laka shumtu, wa bika amantu, wa 'ala rizqika afthartu, birahmatika ya arhamarrahimin."**

*(Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Penyayang.)*

Setelah itu, mereka meneguk air putih dengan perlahan. Rasa segar mengalir di tenggorokan, mengusir dahaga yang menumpuk seharian.

"Alhamdulillah," ucap Liora dengan lega.

"Bagaimana rasanya?" tanya Arya sambil menatap putrinya.

"Legaaa banget, Ayah. Semua rasa lemas hilang seketika."

Mereka menikmati hidangan berbuka dengan penuh syukur. Es buah yang manis dan segar menjadi favorit Liora malam itu.

"Ternyata es buahnya enak banget, Bu. Makasih ya," katanya sambil tersenyum lebar.

"Senang kamu suka, Sayang."

---

Setelah berbuka, Liora mengingat undangan dari Mika. Ia membuka laptop dan bergabung dalam acara ngabuburit virtual bersama teman-temannya.

"Heii, Lio! Selamat berbuka!" sapa Mika melalui layar.

"Selamat berbuka juga, Mik! Bagaimana puasanya hari ini?"

"Alhamdulillah lancar. Tadi sempat godaan juga sih."

Mereka berbincang-bincang, saling berbagi cerita dan pengalaman selama berpuasa.

"Aku merasa semakin mendekati akhir bulan, godaannya makin berat ya," ujar salah satu teman.

"Setuju banget. Tapi kita harus tetap semangat," timpal Liora.

Acara tersebut membuat suasana hati Liora menjadi lebih baik. Ia merasa didukung oleh teman-temannya.

---

Malam harinya, setelah menunaikan salat Isya, Liora duduk di kamarnya. Ia menulis di jurnal pribadinya:

"Hari kedua belas puasa, penuh tantangan. Rasa lapar dan haus semakin kuat, godaan muncul di mana-mana. Tapi dengan dukungan keluarga dan teman-teman, aku berhasil melewatinya. Terima kasih, Ya-Allah, atas kekuatan yang telah di berikan."

Ia menutup jurnalnya dengan senyum lega.

Nadira mengetuk pintu kamar. "Liora, bagaimana harimu?"

"Boleh masuk, Bu."

Nadira masuk dan duduk di samping putrinya. "Kelihatannya kamu lebih ceria sekarang."

"Iya, Bu. Tadi habis ngobrol bareng teman-teman. Jadi lebih semangat."

"Baguslah. Ibu senang melihatmu bahagia."

"Makasih ya, Bu, selalu ada buat Liora."

"Malam ini tidurnya jangan terlalu larut ya. Besok agar bangun sahurnya nggak kesiangan."

"Siap, Bu."

---

Sebelum tidur, Liora merebahkan diri di tempat tidur, menatap langit-langit kamar.

"Semoga besok aku bisa lebih kuat lagi," bisiknya.

Dengan perasaan tenang, Liora memejamkan mata.

Pukul tiga pagi, suasana masih sunyi senyap. **Liora** terlelap di balik selimut hangatnya, bermimpi tentang petualangan seru bersama teman-temannya. Tapi, sentuhan lembut di bahunya perlahan membawanya kembali ke dunia nyata.

"Sayang, bangun yuk. Waktunya sahur," bisik **Nadira**, ibunya, sambil menyalakan lampu kamar dengan cahaya redup agar mata Liora nggak silau.

Liora membuka mata perlahan, masih setengah sadar. "Hah? Udah jam tiga lagi ya, Bu?" gumamnya sambil menguap lebar.

Nadira tersenyum hangat. "Iya, Nak. Hari ketiga belas puasa nih. Ayo, nanti keburu imsak lho."

Dengan mata berat, Liora bangkit dari tempat tidurnya. "Oke deh, Bu. Aku cuci muka dulu," ujarnya sambil berjalan menuju kamar mandi.

Air dingin yang membasuh wajahnya membantu mengusir kantuk. "Semangat, Lio. Kamu pasti bisa," bisiknya pada diri sendiri di depan cermin. Setelah mengikat rambutnya yang panjang dengan karet sederhana, ia mengenakan hoodie oversized kesayangannya dan celana pendek yang nyaman.

Menuju ruang makan, aroma harum masakan ibunya langsung menggoda perutnya yang masih setengah tidur. Di meja, terhidang nasi goreng spesial dengan irisan sosis, telur mata sapi setengah matang, dan kerupuk udang. Tak lupa, ada segelas susu hangat dan kurma di sampingnya.

"Wah, Ibu rajin banget masak enak begini," kata Liora sambil duduk.

Nadira tertawa pelan. "Biar kamu semangat puasanya. Yuk, sebelum makan, kita niat dulu."

Mereka menengadahkan tangan bersama, membaca niat puasa:

**"Nawaitu shauma ghodin an ada'i fardhi syahri Ramadhana hadzihis-sanati lillahi ta'ala."**

*(Aku berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala.)*

Setelah itu, mereka mulai menyantap hidangan sahur dengan perlahan.

"Bu, Liora ngerasa puasanya makin berat deh akhir-akhir ini," ujar Liora sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

Nadira menatap putrinya dengan lembut. "Wajar, Sayang. Semakin mendekati akhir Ramadan, godaannya memang makin besar. Tapi kamu kan anak kuat."

Liora tersenyum tipis. "Iya sih. Tapi kadang pengen cepet-cepet lebaran aja."

Nadira tertawa. "Sabar ya. Nikmati prosesnya. Oh iya, jangan lupa minum air putih yang banyak biar nggak dehidrasi nanti."

Selesai makan, Liora minum segelas air putih lagi dan menyantap beberapa butir kurma.

"Bu, kita baca doa setelah makan yuk," ajaknya.

Mereka menundukkan kepala dan membaca:

**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**

*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*

Waktu imsak hampir tiba. Liora dan Nadira segera mengambil wudhu. Setelah itu, mereka menunaikan salat Subuh berjamaah dengan khusyuk.

Selesai salat, Liora menguap lebar. "Bu, Liora tidur lagi ya. Masih ngantuk banget."

Nadira mengangguk. "Iya, istirahat dulu. Nanti bangun jam delapan ya, biar nggak kesiangan."

"Oke, Bu. Selamat istirahat juga."

---

Pukul delapan pagi, suara alarm di ponsel Liora berbunyi dengan nada lagu favoritnya. Ia membuka mata perlahan, mencoba mengusir sisa-sisa kantuk. "Oke, hari ketiga belas puasa. Semangat!" katanya pada diri sendiri sambil meregangkan tubuh.

Setelah mandi dan berpakaian, ia memilih kaus lengan panjang bergambar karakter anime favoritnya dan celana jeans yang nyaman. Rambutnya diikat kuncir kuda tinggi, memberi kesan segar dan enerjik.

Turun ke ruang tamu, ia melihat ayahnya, **Arya**, sedang sibuk dengan laptopnya. "Pagi, Ayah!" sapa Liora dengan senyum ceria.

"Pagi, Liora. Tidurmu nyenyak?" tanya Arya sambil menoleh.

"Nyenyak sih. Tapi entah kenapa masih berasa ngantuk," jawabnya sambil duduk di sofa.

"Biasalah, efek puasa. Kamu ada rencana apa hari ini?"

"Liora mau editing video dan mungkin live streaming sebentar. Biar nggak bosan."

Arya tersenyum. "Baguslah. Tapi jangan lupa istirahat ya. Jangan forsir diri."

"Iya, Ayah. Pasti."

---

Di kamarnya, Liora duduk di depan laptop. Ia membuka file video yang perlu diedit. Namun, baru beberapa menit bekerja, perutnya sudah mulai protes.

"Aduh, kenapa lapar lagi sih," keluhnya sambil memegang perut.

Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan memutar playlist musik favoritnya. Lagu-lagu upbeat memberikan semangat, meski perutnya masih berbunyi.

"Puasanya masih panjang. Sabar ya perut," katanya sambil tersenyum tipis.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari **Mika** masuk.

"Heii, Lio! Gimana puasanya hari ini?" tulis Mika.

"Lumayan berat nih. Lapar dan hausnya nendang banget," balas Liora cepat.

"Aku juga sama. Tadi hampir aja ngelamun sambil ngelihat kulkas, haha."

Liora tertawa kecil. "Untung nggak tergoda ya."

"Eh, nanti sore mau ngabuburit virtual lagi nggak?"

"Boleh deh. Seru juga kemarin."

"Oke, nanti aku kabarin jamnya."

"Siap!"

---

Menjelang siang, cuaca mulai panas terik. Liora merasa tenggorokannya kering. "Aduh, haus banget. Padahal masih lama buka puasanya," gumamnya sambil mengipas-ngipas wajah dengan buku catatannya.

Ia memutuskan untuk turun ke ruang tamu, mencari udara segar. Nadira sedang sibuk merajut di kursi dekat jendela.

"Bu, panas banget ya hari ini," kata Liora sambil merebahkan diri di sofa.

"Iya nih. Kamu mau kipas angin dinyalain?" tawar Nadira.

"Boleh deh, Bu."

Nadira menyalakan kipas angin, angin sejuk langsung menerpa wajah Liora. "Lebih mendingan?"

"Banget, Bu. Makasih ya."

"Kalau bosan, coba baca buku atau nonton film aja. Biar nggak kepikiran rasa hausnya."

"Ide bagus tuh."

Liora kemudian mengambil novel favoritnya, mencoba tenggelam dalam cerita. Namun, setelah beberapa halaman, pikirannya kembali ke es teh manis dingin.

"Astaga, fokus Liora. Jangan mikirin minuman dulu," tegurnya pada diri sendiri.

---

Pukul dua siang, perut Liora kembali berontak. "Duh, lapar banget," keluhnya sambil memegang perut.

Nadira yang melihat putrinya tampak lemas, mendekat. "Kamu nggak apa-apa, Sayang?"

"Agak pusing, Bu. Mungkin karena lapar dan haus."

"Kalau gitu, istirahat dulu aja. Tidur siang mungkin bisa membantu."

"Ya deh, Liora coba tidur."

Ia kembali ke kamarnya, merebahkan diri di tempat tidur. Namun, bayangan makanan dan minuman terus menghantui.

"Pengen banget makan es krim," pikirnya sambil menutup mata.

Dengan susah payah, akhirnya Liora tertidur.

---

Pukul empat sore, Liora terbangun. Ia merasa sedikit lebih segar, meski rasa lapar masih ada.

"Sedikit lagi sabar, Lio," katanya pada diri sendiri.

Ponselnya berbunyi, pesan dari Mika.

"Hei, udah bangun? Nanti jam lima kita mulai ya."

"Oke, siap."

Liora turun ke dapur, melihat ibunya sedang menyiapkan bahan-bahan untuk berbuka.

"Bu, ada yang bisa dibantu?"

"Oh, tolong iris-iris buah untuk es buah ya."

"Siap!"

Sambil memotong buah-buahan segar, aroma manisnya menggoda indra penciuman Liora.

"Astaga, pengen banget nyicip," pikirnya sambil menelan ludah.

Namun, ia berusaha menahan diri. "Sabar, sebentar lagi juga buka."

---

Pukul lima sore, Liora kembali ke kamarnya untuk bergabung dalam ngabuburit virtual dengan teman-temannya.

"Heii semua!" sapanya melalui layar.

"Hei Lio! Gimana harimu?" tanya Mika.

"Seperti biasa, penuh godaan, haha."

Mereka berbincang-bincang, memainkan game ringan, dan saling berbagi tips untuk menahan godaan saat puasa.

"Yang penting sih kita saling menyemangati," ujar salah satu teman.

"Setuju banget," timpal Liora.

Waktu terasa berjalan lebih cepat saat mereka asyik bercanda dan tertawa bersama.

---

Menjelang maghrib, Liora pamit dari obrolan virtual.

"Guys, aku siap-siap buka puasa dulu ya. See you!"

"See you, Lio! Selamat berbuka!"

Liora menuju ruang makan, meja sudah tertata rapi dengan hidangan lezat: es buah, kolak pisang, gorengan, dan kurma.

Arya dan Nadira sudah menunggu.

"Pas banget waktunya," kata Arya sambil tersenyum.

Liora duduk di kursinya, melihat jam dinding. Beberapa detik lagi adzan maghrib akan berkumandang.

---

Pukul 17.45, suara adzan maghrib terdengar merdu. Mereka menutup mata, menengadahkan tangan, dan membaca doa berbuka puasa bersama:

**"Allahumma laka shumtu, wa bika amantu, wa 'ala rizqika afthartu, birahmatika ya arhamarrahimin."**

*(Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Penyayang.)*

Setelah itu, Liora meneguk segelas air putih dengan perlahan. Rasa segar langsung menghilangkan dahaga yang menumpuk seharian.

"Alhamdulillah," ucapnya dengan lega.

"Bagaimana rasanya?" tanya Nadira sambil menatap putrinya.

"Legaaa banget, Bu. Rasanya capek dan lapar hilang seketika."

Mereka menikmati hidangan berbuka dengan penuh syukur. Es buah yang manis dan segar menjadi penawar rasa haus yang sempurna.

"Gorengannya enak banget, Bu. Liora suka," pujinya sambil mengambil satu lagi.

"Senang kamu suka, Sayang."

---

Setelah berbuka dan menunaikan salat Maghrib, Liora merasa energinya kembali penuh.

Ponselnya berbunyi, pesan dari Mika.

"Selamat berbuka, Lio! Tadi seru banget ya."

"Selamat berbuka juga, Mik! Iya, lumayan mengalihkan rasa lapar, haha."

"Besok kita ngabuburit lagi yuk?"

"Boleh banget!"

---

Malam harinya, setelah menunaikan salat Isya, Liora duduk di kamarnya, menulis di jurnal pribadinya:

"Aduhh Guyss..., maaf autor lagi stuck ide nih di awal paragraft novel jadi author terpaksa mengulangi kalimat sebelumnya"

Ia menutup jurnalnya dengan senyum puas.

Sebelum tidur, Liora menatap langit malam melalui jendela kamarnya.

"Semoga besok aku bisa lebih kuat lagi," bisiknya sebelum memejamkan mata.

Dengan perasaan tenang dan bahagia, Liora tertidur.

Pukul tiga pagi, saat bintang-bintang masih berkelip di langit gelap, **Liora** terlelap di balik selimut hangatnya. Mimpi-mimpi indah menemani tidurnya, membawa senyum tipis di wajahnya.

Namun, sentuhan lembut di bahunya perlahan membangunkannya.

"Sayang, bangun yuk. Waktunya sahur," bisik **Nadira**, ibunya, sambil menyalakan lampu kamar dengan cahaya redup biar mata Liora nggak silau.

Liora membuka mata perlahan, masih setengah sadar. "Hah? Udah jam tiga lagi ya, Bu?" gumamnya sambil menguap lebar.

Nadira tersenyum hangat. "Iya, Nak. Hari keempat belas puasa nih. Ayo, nanti keburu imsak lho."

Dengan mata yang masih berat, Liora bangkit dari tempat tidurnya. "Oke deh, Bu. Aku cuci muka dulu," ujarnya sambil berjalan pelan menuju kamar mandi.

Air dingin membasuh wajahnya, membantu mengusir kantuk yang masih menggantung. "Semangat, Lio. Kamu pasti bisa," bisiknya pada bayangannya di cermin. Setelah mengikat rambut panjangnya dengan karet sederhana, ia mengenakan hoodie oversized favoritnya dan celana panjang yang nyaman.

Menuju ruang makan, aroma harum masakan ibunya langsung menggoda perutnya. Di meja, terhidang nasi uduk hangat dengan lauk ayam goreng kremes, tempe orek, dan sambal terasi. Ada juga segelas susu hangat dan beberapa butir kurma.

"Wah, Ibu masak enak banget pagi ini," kata Liora sambil duduk.

"Biar kamu semangat puasanya. Yuk, sebelum makan, kita niat dulu," ajak Nadira sambil menengadahkan tangan.

Mereka bersama-sama membaca niat puasa:

**"Nawaitu shauma ghodin an ada'i fardhi syahri Ramadhana hadzihis-sanati lillahi ta'ala."**

*(Aku berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala.)*

Setelah itu, mereka mulai menyantap hidangan sahur dengan perlahan.

"Bu, Liora merasa aneh deh akhir-akhir ini," ujar Liora sambil mengambil sepotong ayam.

"Aneh kenapa, Sayang?" tanya Nadira sambil menatap putrinya dengan lembut.

"Liora belum haid, padahal biasanya tiap bulan nggak pernah telat. Ini udah masuk minggu kedua," jawab Liora dengan nada cemas.

Nadira tersenyum samar. "Oh, itu ya. Mungkin karena perubahan aktivitas atau pola makan selama puasa. Tubuhmu butuh penyesuaian."

"Liora takut ada apa-apa, Bu. Normal nggak sih?"

"Normal kok, Nak. Banyak perempuan yang siklusnya berubah saat puasa atau sedang stres. Tapi kalau kamu khawatir, nanti kita bisa konsultasi ke dokter ya."

"Oh, gitu ya. Makasih, Bu. Liora jadi agak tenang."

"Sama-sama, Sayang. Yang penting jangan terlalu dipikirkan. Nikmati saja ibadah puasamu."

Selesai makan, Liora minum segelas air putih lagi. "Biar nggak dehidrasi nanti siang," katanya sambil tersenyum.

Nadira menatap putrinya dengan lembut. "Jangan lupa doa setelah makan, ya."

Mereka menundukkan kepala dan membaca:

**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**

*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*

Waktu imsak hampir tiba. Liora dan Nadira segera mengambil wudhu. Setelah itu, mereka menunaikan salat Subuh berjamaah dengan khusyuk.

---

Setelah salat, Liora duduk di teras rumah, menikmati udara pagi yang sejuk. Pikirannya masih terlintas tentang kekhawatiran tadi.

"Semoga memang nggak apa-apa," gumamnya pelan.

**Arya**, ayahnya, muncul dari dalam rumah sambil membawa secangkir kopi. "Pagi-pagi udah merenung aja, Sayang?"

Liora menoleh dan tersenyum tipis. "Enggak kok, Yah. Cuma menikmati udara pagi."

Arya duduk di sampingnya. "Kalau ada yang mengganjal, cerita aja sama Ayah dan Ibu ya."

"Iya, Ayah. Makasih."

---

Pukul tujuh pagi, Liora bersiap untuk beraktivitas. Hari ini, seperti biasa, ia akan mengajar anak-anak mengaji di masjid. Setelah mandi dan berpakaian, ia memilih gamis sederhana berwarna pastel dan hijab yang matching. Rambutnya disanggul rapi di dalam hijabnya.

"Bu, Liora berangkat dulu ya," pamitnya sambil mencium tangan Nadira.

"Hati-hati di jalan, Sayang. Jangan lupa bawa air minum kalau tiba-tiba lemas."

"Iya, Bu. Siap!"

Perjalanan menuju masjid cukup dekat. Udara pagi yang segar membuat langkahnya ringan. Sesampainya di masjid, anak-anak sudah menunggu dengan wajah ceria.

"Kak Liora!" seru mereka serempak.

"Hai adik-adik! Siap belajar hari ini?" sapa Liora dengan senyum lebar.

"Siap, Kak!"

Mereka duduk melingkar di dalam masjid. Liora mulai mengajar mereka membaca Al-Quran, memperbaiki tajwid, dan menghafal surah-surah pendek.

Salah satu anak, **Rina**, mengangkat tangan. "Kak, aku masih sulit baca huruf 'ain'. Susah banget."

Liora mendekat. "Yuk, coba kita latihan pelan-pelan. Kakak bantu ya."

Mereka belajar dengan penuh semangat. Namun, menjelang siang, Liora mulai merasa haus dan sedikit lelah.

"Panas juga ya hari ini," pikirnya sambil mengusap keringat di dahi.

---

Setelah selesai mengajar, Liora mengajak anak-anak untuk berbagi takjil nanti sore.

"Adik-adik, nanti sore kita bakal bagi-bagi takjil lagi. Siapa yang mau ikut?" tanyanya.

"Aku, Kak!"

"Aku juga!"

"Wah, semangat semua ya. Nanti kumpul di masjid jam lima sore ya."

"Iya, Kak!"

---

Pukul dua belas siang, Liora pulang ke rumah. Matahari terik membuatnya merasa tenggorokannya kering.

"Bu, Liora pulang," sapanya sambil masuk ke rumah.

"Eh, sudah pulang. Gimana tadi ngajarnya?" tanya Nadira sambil menyiapkan teh manis untuk dirinya sendiri.

"Alhamdulillah, lancar. Anak-anaknya semangat banget."

"Kamu sendiri gimana? Kelihatan lelah."

"Iya nih, haus banget. Tapi nanti juga buka puasa."

Nadira menatap putrinya dengan lembut. "Kalau merasa nggak kuat, istirahat aja dulu. Jangan dipaksakan."

"Liora mau tidur siang aja deh, Bu. Biar energi balik lagi."

"Oke, Sayang. Istirahat yang cukup ya."

---

Pukul tiga sore, Liora terbangun oleh suara notifikasi di ponselnya. Pesan dari **Mika** masuk.

"Heii, Lio! Gimana puasanya? Masih semangat kan?" tulis Mika.

Liora membalas, "Lumayan sih, Mik. Tadi sempat lemas, tapi sekarang mendingan."

"Baguslah. Eh, nanti mau ngabuburit virtual lagi nggak?"

"Boleh deh. Tapi nanti abis bagi-bagi takjil ya."

"Siap! Aku tunggu."

---

Menjelang sore, Liora bersiap untuk kembali ke masjid. Ia membawa beberapa bungkus takjil yang sudah disiapkan ibunya.

"Bu, Liora berangkat dulu ya."

"Hati-hati, Sayang. Semoga lancar ya."

Sesampainya di masjid, anak-anak sudah berkumpul. Mereka bersama-sama membagikan takjil kepada orang-orang yang lewat.

"Pak, Bu, silakan ambil takjilnya," sapa Liora dengan ramah.

"Terima kasih banyak, Nak. Semoga berkah ya," jawab salah satu dari mereka.

"Amiiin. Sama-sama ya, Pak."

Melihat senyum dari orang-orang yang menerima takjil membuat hati Liora hangat. Rasa lelah dan haus seakan terlupakan.

---

Pukul lima sore, setelah selesai berbagi takjil, Liora kembali ke rumah. Ia merasa puas meski tubuhnya mulai terasa lemas.

"Bu, Liora pulang," sapanya sambil menaruh tas di kursi.

"Bagaimana bagi-bagi takjilnya?" tanya Nadira sambil menyiapkan hidangan berbuka.

"Seru, Bu. Banyak yang senang."

"Alhamdulillah. Sekarang kamu istirahat dulu ya. Bentar lagi buka puasa."

Liora mengangguk. "Iya, Bu."

---

Pukul 17.45, adzan maghrib berkumandang. Liora, Arya, dan Nadira duduk di meja makan yang sudah penuh dengan hidangan lezat: es kelapa muda, kolak pisang, gorengan, dan kurma.

Sebelum berbuka, mereka menengadahkan tangan bersama-sama dan membaca doa:

**"Allahumma laka shumtu, wa bika amantu, wa 'ala rizqika afthartu, birahmatika ya arhamarrahimin."**

*(Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Penyayang.)*

Setelah itu, mereka meneguk air putih dengan perlahan. Rasa segar langsung menghilangkan dahaga yang menumpuk seharian.

"Alhamdulillah," ucap Liora dengan lega.

"Bagaimana rasanya?" tanya Arya sambil tersenyum.

"Legaaa banget, Ayah. Semua lelah hilang seketika."

Mereka menikmati hidangan berbuka dengan penuh syukur. Es kelapa muda yang manis dan segar menjadi penawar haus yang sempurna.

"Gorengannya enak banget, Bu. Liora suka," pujinya sambil mengambil satu lagi.

"Senang kamu suka, Sayang."

---

Setelah berbuka dan menunaikan salat Maghrib, Liora kembali menerima pesan dari Mika.

"Selamat berbuka, Lio! Gimana hari ini?"

"Selamat berbuka juga, Mik! Hari ini lumayan capek, tapi senang."

"Good job! Istirahat yang cukup ya."

"Siap!"

---

Malam harinya, setelah menunaikan salat Isya dan tarawih, Liora duduk di kamarnya, menulis di jurnal pribadinya:

"Hari keempat belas puasa, penuh dengan aktivitas dan sedikit kekhawatiran. Meski tubuh terasa lelah, hati ini terasa tenang. Terima kasih, Ya-Allah, atas kekuatan dan kesempatan untuk berbagi dengan orang lain. Semoga kekhawatiran tentang siklus haidku tidak berarti apa-apa."

Ia menutup jurnalnya dengan senyum tipis.

Nadira mengetuk pintu kamar. "Liora, boleh Ibu masuk?"

"Silakan, Bu."

Nadira masuk dan duduk di samping putrinya. "Gimana perasaanmu sekarang, Sayang?"

"Lumayan lebih tenang, Bu. Makasih udah selalu ada buat Liora."

"Itulah tugas Ibu. Kalau ada yang mengganjal, jangan sungkan cerita ya."

"Iya, Bu."

"Sudah malam, istirahat yang cukup ya. Besok kita lanjutkan kegiatan kita."

"Siap, Bu. Selamat malam."

"Selamat malam, Sayang."

Setelah ibunya keluar, Liora merebahkan diri di tempat tidur.

"Semoga besok semuanya lebih baik," bisiknya sebelum memejamkan mata.

Dengan perasaan tenang dan harapan baru, Liora tertidur.

Pukul tiga pagi, suasana rumah masih hening.

**Liora** tertidur lelap di balik selimut hangatnya. Namun, sentuhan lembut di bahunya perlahan membangunkannya.

"Sayang, bangun yuk. Waktunya sahur," bisik **Nadira**, ibunya, sambil menyalakan lampu kamar dengan redup agar mata Liora nggak silau.

Liora membuka matanya perlahan, masih setengah sadar. "Hah? Udah jam tiga aja ya, Bu?" gumamnya sambil menguap lebar.

Nadira tersenyum hangat. "Iya, Nak. Hari kelima belas puasa nih. Ayo, nanti keburu imsak lho."

Dengan mata yang masih berat, Liora bangkit dari tempat tidurnya. "Oke deh, Bu. Aku cuci muka dulu," ujarnya sambil berjalan pelan menuju kamar mandi.

Air dingin membasuh wajahnya, membantu mengusir kantuk yang masih menggantung. "Semangat, Lio. Kamu pasti bisa," bisiknya pada bayangan di cermin. Setelah mengikat rambut panjangnya dengan karet sederhana, dia mengenakan hoodie oversized favoritnya dan celana panjang yang nyaman.

Menuju ruang makan, aroma harum masakan ibunya langsung menggoda perutnya. Di meja, terhidang nasi hangat, sup ayam kampung, tempe orek, dan sambal terasi. Ada juga segelas teh hangat dan beberapa butir kurma.

"Wah, Ibu masak enak banget pagi ini," kata Liora sambil duduk.

"Biar kamu semangat puasanya. Yuk, sebelum makan, kita niat puasa dulu," ajak Nadira sambil menengadahkan tangan.

Mereka bersama-sama membaca niat puasa:

**"Nawaitu shauma ghadin an ada'i fardhi syahri Ramadhâna hâdzihis-sanati lillâhi ta'âlâ."**

*(Aku berniat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala.)*

Setelah itu, mereka mulai menyantap hidangan sahur dengan perlahan.

"Bu, kok Liora berasa makin lemas ya akhir-akhir ini," ujar Liora sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Mungkin karena aktivitasmu cukup padat, Sayang. Jangan lupa istirahat yang cukup," jawab Nadira dengan lembut.

"Iya sih. Tapi kayaknya puasanya makin berat aja."

"Wajar kok. Semakin mendekati akhir Ramadan, godaannya memang makin besar. Kamu harus tetap semangat ya."

Selesai makan, Liora minum segelas air putih lagi. "Biar nggak dehidrasi nanti siang," katanya sambil tersenyum.

Nadira menatap putrinya dengan penuh kasih. "Jangan lupa doa setelah makan, ya."

Mereka menundukkan kepala dan membaca:

**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**

*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*

Waktu imsak hampir tiba. Liora dan Nadira segera mengambil wudhu. Setelah itu, mereka menunaikan salat Subuh berjamaah dengan khusyuk.

---

Setelah salat, Liora kembali ke kamar. "Aduh, masih ngantuk," gumamnya sambil merebahkan diri di tempat tidur. Namun, pikiran tentang tugas-tugas yang harus diselesaikan membuatnya sulit tidur lagi.

"Ah, daripada ngelamun, mendingan beresin kamar aja," pikirnya.

Dia mulai merapikan tempat tidur, menyapu lantai, dan menata buku-buku yang berserakan di meja. Sesekali, dia menguap lebar. "Kopi aja kali ya... eh, lagi puasa," ujarnya sambil tertawa kecil.

Pukul delapan pagi, Liora turun ke ruang tamu. **Arya**, ayahnya, sedang duduk sambil membaca koran.

"Pagi, Ayah!" sapa Liora dengan semangat.

"Pagi, Sayang. Udah segar sekarang?" tanya Arya sambil tersenyum.

"Lumayan lah. Ayah sendiri kok nggak sahur tadi?"

"Ayah semalam lembur, jadi kebablasan deh."

"Wah, jangan sering-sering begitu dong, Yah. Nanti Ayah sakit."

"Iya, Ayah akan lebih hati-hati. Terima kasih sudah mengingatkan."

---

Menjelang siang, cuaca mulai panas. Liora duduk di teras rumah, mencoba menikmati angin sepoi-sepoi. Namun, haus mulai mendera.

"Aduh, tenggorokan kering banget," keluhnya sambil memegang leher.

Nadira keluar membawa baskom berisi cucian. "Kenapa, Sayang?"

"Liora haus banget, Bu. Padahal masih lama buka puasanya."

"Sabar ya. Anggap ini ujian kesabaran."

"Iya, Bu. Tapi godaannya berat banget."

"Kalau merasa terlalu lemas, istirahat aja dulu di dalam. Jangan terlalu banyak aktivitas di luar rumah saat panas begini."

"Baiklah, Bu."

Liora masuk ke dalam rumah, merebahkan diri di sofa ruang tamu. Dia mencoba mengalihkan pikiran dengan menonton televisi. Namun, iklan minuman dingin terus bermunculan.

"Duh, kenapa sih iklannya minuman semua," gumamnya sambil mengganti channel.

---

Pukul satu siang, perutnya mulai berontak. "Lapar banget," keluhnya sambil memegang perut.

Dia memutuskan untuk naik ke kamar dan mencoba tidur siang. "Mungkin kalau tidur, waktu terasa lebih cepat," pikirnya.

Namun, di tempat tidur pun, pikiran tentang makanan dan minuman terus menghantuinya. "Es kelapa muda enak kali ya... Astaga, jangan dipikirin, Lio!" ujarnya sambil menutup mata erat-erat.

Setelah bergulat dengan pikirannya sendiri, akhirnya Liora tertidur.

---

Pukul empat sore, Liora terbangun oleh suara notifikasi ponselnya. Pesan dari **Mika** masuk.

"Heii, Lio! Gimana puasanya? Masih semangat kan?" tulis Mika.

Liora membalas, "Lumayan lah, Mik. Tadi sempat lemas banget, tapi sekarang mendingan."

"Syukurlah. Eh, nanti sore mau ngabuburit bareng nggak? Kita bisa video call sambil nunggu buka puasa."

"Boleh deh! Siap jam berapa?"

"Jam lima aja ya."

"Siap!"

Liora merasa semangatnya kembali. "Lumayan nih, ada kegiatan buat ngisi waktu," pikirnya.

---

Menjelang jam lima sore, Liora turun ke dapur. Ibunya sedang menyiapkan hidangan berbuka.

"Bu, ada yang bisa dibantu?" tanya Liora.

"Oh, bisa tolong iris-iris buah untuk es buah? Bahan-bahannya ada di kulkas."

"Siap, Bu!"

Sambil memotong buah-buahan segar, aroma manisnya menggoda indra penciuman Liora.

"Astaga, pengen nyicip," pikirnya sambil menelan ludah.

Namun, dia berusaha menahan diri. "Sabar, Lio. Sebentar lagi juga buka."

Setelah selesai, dia menata es buah di mangkuk-mangkuk kecil. "Wah, keliatannya enak banget," ujarnya sambil tersenyum.

---

Pukul lima sore, Liora kembali ke kamarnya dan menghubungi Mika melalui video call.

"Heii, Lio!" sapa Mika dengan wajah ceria.

"Hai, Mik! Gimana hari ini?"

"Ya begitulah, godaan di mana-mana, haha. Kamu sendiri gimana?"

"Sama aja. Tadi sempat ngiler lihat es buah yang aku buat sendiri."

Mereka tertawa bersama.

"By the way, aku ada cerita lucu nih," kata Mika sambil mulai bercerita.

Waktu terasa berjalan lebih cepat saat mereka berbincang dan bercanda. Sesekali, Liora melirik jam di dinding.

---

Pukul 17.30, Liora pamit pada Mika. "Mik, aku siap-siap buka puasa dulu ya."

"Oke, Lio. Selamat berbuka nanti!"

"Selamat berbuka juga!"

---

Di meja makan, hidangan berbuka sudah tertata rapi: es buah segar, kolak pisang, gorengan, dan kurma. Aroma makanan membuat perut Liora kembali berontak.

"Aduh, nggak sabar pengen makan," gumamnya sambil duduk.

Arya dan Nadira bergabung di meja. "Sabar ya, Sayang. Beberapa menit lagi," ujar Arya sambil tersenyum.

"Semangat, Lio. Kamu pasti bisa," tambah Nadira.

Pukul 17.45, adzan maghrib berkumandang. Mereka menutup mata, menengadahkan tangan, dan membaca doa berbuka puasa bersama:

**"Allahumma laka sumtu, wa bika amantu, wa 'ala rizqika afthartu, birahmatika ya arhamarrahimin."**

*(Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Penyayang.)*

Setelah itu, Liora meneguk air putih dengan perlahan. Rasa segar langsung menghilangkan dahaga yang menumpuk seharian.

"Alhamdulillah," ucapnya dengan lega.

"Bagaimana rasanya?" tanya Nadira sambil menatap putrinya.

"Legaaa banget, Bu. Semua lelah hilang seketika."

Mereka menikmati hidangan berbuka dengan penuh syukur. Es buah yang tadi dibuat Liora terasa lebih nikmat setelah menahan godaan seharian.

"Es buahnya enak banget, Lio," puji Arya sambil mengambil sendok kedua.

"Makasih, Ayah. Senang rasanya bisa menikmati bersama."

---

Setelah berbuka dan menunaikan salat Maghrib, Liora merasa energinya kembali. Dia duduk di teras rumah, menikmati angin malam yang sejuk.

Nadira menghampirinya. "Lagi mikir apa, Sayang?"

"Nggak ada sih, Bu. Cuma menikmati suasana aja."

"Ibu senang melihatmu tetap semangat meski puasanya makin berat."

"Iya, Bu. Kadang godaannya parah banget, tapi Liora berusaha kuat."

"Itulah perjuangan. Yang penting kita jalani dengan ikhlas."

"Iya, Bu. Makasih ya selalu mendukung Liora."

Mereka berdua duduk bersama, menikmati keheningan malam.

---

Malam harinya, setelah menunaikan salat Isya dan tarawih, Liora menulis di jurnal pribadinya:

"Hari kelima belas puasa, penuh dengan tantangan dan godaan. Tapi aku berhasil melewatinya dengan dukungan keluarga dan teman-teman. Terima kasih, YA-ALLAH, atas kekuatan yang Kau berikan. Semoga besok aku bisa lebih kuat lagi."

Dia menutup jurnalnya dengan senyum puas.

Sebelum tidur, Liora menatap langit malam melalui jendela kamarnya.

"Semangat, Lio. Kamu pasti bisa," bisiknya pada diri sendiri sebelum memejamkan mata.

Dengan perasaan tenang dan bahagia, Liora tertidur.