Pukul tiga pagi, suara lembut **Nadira** menyusup ke dalam mimpi indah **Liora**.
"Sayang, bangun yuk. Sudah waktunya sahur," bisik ibunya sambil mengetuk pintu kamar perlahan.
Liora membuka matanya perlahan, masih setengah sadar. "Hmmm... Iya, Bu. Sebentar ya," gumamnya sambil meregangkan tubuh. Ia menguap lebar, mencoba mengusir kantuk yang masih menggantung.
Setelah duduk sejenak di tepi tempat tidurnya, ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh wajahnya, memberikan kesegaran instan. "Aduh, ngantuk banget," keluhnya sambil menatap bayangannya di cermin.
Ia mengenakan kaus oversized dan celana piyama favoritnya. Rambut panjangnya diikat cepol asal, memberi kesan santai. Menuju ruang makan, aroma **nasi goreng kambing** dan **sate telur puyuh** menggoda hidungnya.
"Wah, Ibu masak spesial lagi nih," ucap Liora dengan senyum tipis saat duduk di kursinya.
"Biarlah, biar kamu semangat puasanya hari ini," balas Nadira sambil menuangkan **teh manis hangat** ke dalam gelas.
Sebelum mulai makan, mereka menengadahkan tangan bersama. Dengan khusyuk, mereka membaca niat puasa:
**"Nawaitu shauma ghadin an ada'i fardhi syahri Ramadhana hadzihis-sanati lillahi ta'ala."**
*(Aku berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala.)*
Setelah itu, mereka mulai menyantap hidangan sahur dengan penuh syukur.
"Bu, kok rasanya makin hari makin berat ya," kata Liora sambil mengaduk nasi gorengnya.
"Wajar, Sayang. Udah hari ke-27, badan mulai terasa lelah," jawab Nadira lembut.
"Padahal nanti sore ada rencana bagi-bagi takjil lagi. Tapi panas banget akhir-akhir ini."
"Makanya, perbanyak minum air putih ya. Jangan lupa istirahat juga."
"Iya, Bu."
Selesai makan, Liora menutup dengan doa:
**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**
*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*
Sebelum azan Subuh berkumandang, mereka mengambil wudhu dan melaksanakan salat berjamaah. Suasana hening menambah kekhusyukan ibadah mereka.
---
Usai salat, Liora kembali ke kamarnya. Matahari memang belum muncul, tapi udara sudah terasa hangat. "Kok panas banget sih, padahal masih pagi," gumamnya sambil menyalakan kipas angin.
Pukul delapan pagi, sinar matahari menembus tirai kamarnya, membuat ruangan semakin gerah. Liora mengelap keringat di dahinya. "Gila, baru jam segini udah panasnya kayak gini," keluhnya.
Ia memutuskan untuk mandi lagi, berharap air dingin bisa menyegarkan tubuhnya. Setelah berganti pakaian dengan kaus tipis dan celana pendek, ia duduk di depan kipas angin sambil memegang ponsel.
Pesan dari sahabatnya, **Mika**, masuk.
*"Lio, cuaca hari ini panas banget! Kita jadi nggak bagi-bagi takjilnya?"*
Liora mengetik cepat, *"Jadi dong! Meski panas begini, semangat harus tetap membara!"*
*"Hehe, semangat banget kamu. Oke deh, nanti jam empat kita ketemu ya."*
*"Siap!"*
---
Menjelang siang, matahari terasa semakin terik. Liora merasa lemas, tenggorokannya kering. Ia berjalan menuju dapur, melihat ibunya sedang membersihkan sayuran.
"Bu, panas banget ya hari ini," ujarnya sambil menyeka keringat.
"Iya, Sayang. Kamu nggak apa-apa? Kelihatan lesu gitu."
"Liora haus banget, Bu. Boleh minum nggak ya?"
Nadira menatap putrinya dengan lembut. "Kalau kamu nggak kuat, nggak apa-apa. Tapi coba tahan ya, tinggal beberapa jam lagi."
Liora menghela napas panjang. "Iya deh, Liora coba tahan."
"Yuk, duduk dulu di ruang tamu. Ibu nyalakan AC biar lebih sejuk."
Mereka duduk bersama, menonton acara televisi untuk mengalihkan pikiran dari rasa haus dan lapar.
---
Pukul tiga sore, awan gelap mulai berkumpul di langit. Angin bertiup kencang, membawa debu dan dedaunan kering. Liora melihat keluar jendela.
"Loh, mau hujan ya? Padahal tadi panas banget," katanya heran.
Ponselnya bergetar, panggilan dari Mika.
"Hei, Lio! Gimana nih? Kayaknya mau hujan deras. Jadi nggak kita bagi-bagi takjilnya?"
"Astaga, bener juga ya. Tapi kan kita udah janji, Mik. Masa dibatalin sih?"
"Tapi hujannya deras banget. Takutnya malah berbahaya."
Liora terdiam sejenak. "Nggak apa-apa deh. Biar Liora sendiri yang berangkat. Mika nggak usah ikut kalau nggak bisa."
"Eh, nggak gitu maksudnya. Ya udah, kita tetap jalan ya?"
"Yes! Kamu emang sahabat terbaik!"
---
Pukul empat sore, hujan turun dengan derasnya. Petir menggelegar, angin kencang membuat suasana semakin mencekam. Meski begitu, Liora tetap bersiap-siap. Ia mengenakan jaket tebal dan membawa payung besar.
"Sayang, kamu mau ke mana? Hujan deras begini," tanya Nadira khawatir.
"Liora mau bagi-bagi takjil, Bu. Udah janji sama teman-teman."
"Tapi cuacanya buruk sekali. Ibu khawatir."
"Nggak apa-apa, Bu. Liora hati-hati kok. Doain Liora ya."
Nadira menghela napas, lalu menggenggam tangan putrinya. "Baiklah. Sebelum berangkat, kita doa dulu ya."
Mereka menengadahkan tangan bersama, membaca doa keluar rumah:
**"Bismillahi tawakkaltu 'alallahi laa hawla wa laa quwwata illa billah."**
*(Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.)*
"Jaga diri baik-baik ya, Sayang."
"Iya, Bu."
---
Di tengah derasnya hujan, Liora berjalan menuju tempat pertemuan. Jalanan mulai tergenang air, membuat langkahnya semakin berat. Namun semangatnya tak surut.
Sesampainya di sana, Mika sudah menunggu di bawah kanopi toko yang tutup.
"Kamu gila ya, tetap datang hujan-hujanan begini," kata Mika setengah berteriak di antara suara hujan.
"Lah, kamu juga sama aja, Mik!" balas Liora dengan tawa kecil.
Mereka berdua tertawa, meski basah kuyup. "Ayo, kita mulai bagi-bagi takjilnya. Kasihan orang-orang yang masih di jalan," ajak Liora.
Dengan tekad kuat, mereka mendekati para pengendara yang berlalu lalang.
"Selamat berbuka puasa ya, Pak! Bu!" ucap mereka sambil menyerahkan takjil.
Banyak yang terkejut melihat dua remaja bersemangat di tengah hujan deras. "Terima kasih ya, Nak. Hati-hati di jalan," kata seorang bapak sambil tersenyum.
Hujan tak menghalangi niat baik mereka.
Meski dingin menusuk, hati mereka hangat oleh ucapan terima kasih dan senyuman tulus dari orang-orang.
---
Pukul lima sore, stok takjil mereka habis. Hujan mulai mereda, menyisakan rintik-rintik kecil.
Liora dan Mika berteduh sejenak, menikmati udara segar setelah hujan.
"Capek banget, tapi puas ya," kata Mika sambil meregangkan tangan.
"Banget! Nggak nyesel deh tetap jalan meski hujan," balas Liora dengan senyum lebar.
"Mungkin orang lain pikir kita gila."
"Biarin aja. Yang penting niat kita baik."
Mereka tertawa bersama, menikmati momen kebersamaan yang berharga.
---
Pukul 17.30, Liora tiba di rumah dengan pakaian basah dan wajah sumringah.
Nadira menyambutnya dengan handuk hangat.
"Ya ampun, basah semua. Cepat mandi air hangat biar nggak masuk angin," katanya sambil mengusap kepala Liora.
"Iya, Bu. Tadi seru banget! Liora senang bisa berbagi meski hujan-hujanan."
"Senang Ibu dengarnya. Tapi sekarang mandi dulu ya."
Setelah mandi dan berganti pakaian, Liora merasa lebih segar. Aroma **kolak pisang** dan **gorengan panas** menggoda indera penciumannya.
Azan Maghrib berkumandang. Mereka duduk di meja makan yang sederhana namun penuh kehangatan.
"Sebelum makan, kita baca doa buka puasa dulu ya," ajak Nadira.
Mereka menundukkan kepala, membaca doa:
**"Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'ala rizqika afthartu."**
*(Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.)*
Setelah itu, mereka meneguk air putih dan mencicipi kurma manis.
"Alhamdulillah, nikmatnya," ucap Liora dengan lega.
"Kamu pasti lapar banget ya, setelah seharian beraktivitas."
"Iya, Bu. Tapi puas banget rasanya."
Mereka menikmati hidangan berbuka dengan obrolan ringan.
---
Malam harinya, Liora duduk di teras rumah, menikmati udara segar sisa hujan.
Bintang-bintang mulai bermunculan di langit malam.
Ponselnya berbunyi, pesan dari Mika.
*"Lio, hari ini epic banget! Kita berhasil meski cuaca nggak mendukung."*
*"Setuju! Ini pengalaman yang nggak akan terlupakan."*
*"Besok kita ngapain lagi nih?"*
*"Rahasia dong. Tunggu aja kejutan dari gue."*
Mereka tertawa melalui pesan singkat itu, mengakhiri hari dengan perasaan bahagia.
Liora membuka jurnal pribadinya, mulai menulis:
"Jangan Takut Menjadi Seseorang Yang Baik Hati Dan Teruslah Melangkah Dengan Kepribadian Dirimu Sendiri."
Aku belajar bahwa niat baik harus tetap dijalankan meski rintangan menghadang. Terima kasih, Ya Allah, atas kekuatan dan kesempatan ini."
Setelah menutup jurnalnya, ia menatap langit malam. "Semoga esok hari bisa lebih baik lagi," bisiknya.
Sebelum tidur, Liora tak lupa membaca doa:
**"Bismikallahumma ahya wa bismika amut."**
*(Dengan nama-Mu ya Allah, aku hidup dan dengan nama-Mu aku mati.)*
Dengan hati yang tenang dan penuh syukur, ia memejamkan mata.
Pukul tiga pagi, suara lembut ibunya, **Nadira**, kembali membangunkan **Liora** dari tidurnya yang nyenyak.
"Sayang, bangun yuk. Sudah waktunya sahur," bisik Nadira sambil membuka pintu kamar perlahan.
Liora membuka mata perlahan, merasakan berat di kelopak matanya. "Iya, Bu... sebentar," gumamnya dengan suara serak. Tubuhnya terasa lemas, kepala sedikit pusing. Ia mencoba bangun, namun rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya.
Nadira memperhatikan raut wajah putrinya yang pucat. "Kamu kenapa, Sayang? Kelihatan nggak enak badan," tanyanya khawatir.
"Liora agak pusing, Bu. Tapi nggak apa-apa kok," jawabnya sambil memaksakan senyum tipis.
"Yakin bisa bangun? Kalau nggak enak badan, istirahat saja."
"Tidak apa-apa, Bu. Liora harus sahur biar bisa puasa hari ini."
Dengan perlahan, Liora bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Air dingin yang biasanya menyegarkan, kini terasa menusuk kulitnya. "Kok badan Liora panas ya," pikirnya sambil menyentuh kening sendiri. Memang terasa lebih hangat dari biasanya.
Di meja makan, aroma **soto ayam hangat** dan **perkedel kentang** menggugah selera. Tapi kali ini, Liora merasa mual melihat makanan.
"Bu, Liora nggak terlalu lapar. Boleh cuma minum teh manis saja?" tanyanya pelan.
"Kamu yakin? Kamu butuh energi untuk puasa."
"Iya, Bu. Liora nggak selera makan."
Nadira menatap putrinya dengan penuh kekhawatiran. "Kalau begitu, minum teh manis hangat dulu ya."
Sebelum mulai, mereka menengadahkan tangan bersama. Dengan suara pelan, mereka membaca niat puasa:
**"Nawaitu shauma ghadin an ada'i fardhi syahri Ramadhana hadzihis-sanati lillahi ta'ala."**
*(Aku berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban Ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala.)*
Setelah itu, Liora meneguk teh manis hangatnya perlahan. Namun, sesaat kemudian perutnya terasa melilit.
"Bu, perut Liora sakit..." ujarnya sambil memegang perut.
"Ya ampun, muka kamu pucat sekali. Sudah, kita batalkan saja puasanya. Kesehatanmu lebih penting."
"Tidak, Bu. Liora ingin tetap puasa. Mungkin nanti juga sembuh."
Nadira menghela napas. "Baiklah, tapi kalau merasa semakin buruk, jangan dipaksakan ya."
---
Setelah salat Subuh, Liora kembali ke kamar. Tubuhnya terasa lemas, keringat dingin mengucur di dahinya. "Mungkin kalau tidur sebentar, nanti mendingan," pikirnya sambil merebahkan diri.
Pukul delapan pagi, suara ponselnya berdering. Pesan dari **Mika** masuk.
*"Morning, Lio! Mau hangout nggak hari ini?"*
Liora mengetik dengan jari gemetar, *"Maaf, Mik. Liora lagi nggak enak badan. Mungkin lain kali ya."*
*"Waduh, kamu sakit? Cepat sembuh ya! Jangan lupa istirahat."*
*"Iya, makasih ya."*
Nadira masuk ke kamar, melihat Liora masih terbaring. "Sayang, bagaimana perasaannya sekarang?"
"Kepala Liora pusing banget, Bu. Badan juga panas."
Nadira menyentuh kening Liora. "Astaga, demammu tinggi sekali! Kita harus ke dokter."
"Tidak usah, Bu. Nanti juga sembuh sendiri."
"Tidak bisa begitu. Kesehatanmu penting."
---
Nadira segera menghubungi **Arya**, suaminya. "Yah, Liora demam tinggi. Kita perlu bawa ke rumah sakit sekarang."
"Baik, saya pulang sekarang juga," jawab Arya di seberang telepon dengan nada cemas.
Tak lama kemudian, Arya tiba di rumah. Wajahnya penuh kekhawatiran melihat kondisi putrinya.
"Sayang, ayo kita ke rumah sakit sekarang," ajak Arya sambil membantu Liora bangun.
Dengan langkah gontai, Liora dibantu menuju mobil. Perjalanan menuju rumah sakit terasa panjang. Di dalam mobil, Liora mulai mengigau.
"Ayah... Liora pusing sekali..."
"Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi sampai."
---
Sesampainya di rumah sakit, Liora segera dibawa ke ruang gawat darurat. Tim medis melakukan penanganan cepat. Suhu tubuhnya mencapai 40 derajat Celsius.
Dokter **Rian** mendekati Arya dan Nadira. "Pak, Bu, anak Anda mengalami demam tinggi dan dehidrasi. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut."
"Dok, bagaimana kondisinya? Apa yang harus kami lakukan?" tanya Nadira dengan mata berkaca-kaca.
"Kami akan memberikan infus dan obat penurun panas. Mohon Bapak dan Ibu tenang."
Di dalam ruangan, Liora terbaring dengan selang infus di tangannya. Wajahnya pucat, mata terpejam.
---
Waktu berlalu, namun kondisi Liora tidak menunjukkan perbaikan. Justru, ia mengalami kejang-kejang.
Dokter Rian kembali menemui Arya dan Nadira. "Pak, Bu, kami perlu memberitahu bahwa kondisi Liora kritis. Ia mengalami infeksi yang menyebabkan komplikasi."
"Apa yang harus kami lakukan, Dok?" tanya Arya dengan suara bergetar.
"Kami akan memindahkannya ke ruang ICU untuk penanganan intensif."
Air mata Nadira mulai mengalir. "Ya Allah, selamatkan anak kami..."
---
Di ruang ICU, suara mesin dan monitor memenuhi ruangan. Liora terbaring dengan berbagai alat medis terpasang di tubuhnya. Napasnya teratur dibantu ventilator.
Arya dan Nadira hanya bisa melihat dari balik kaca, hati mereka hancur melihat putri tunggal mereka dalam keadaan seperti itu.
"Bu, Liora akan baik-baik saja, kan?" tanya Arya mencoba menenangkan diri.
"Insya Allah, Yah. Kita harus berdoa."
---
Pukul 17.30, waktu berbuka puasa hampir tiba. Namun, suasana hati mereka diliputi kesedihan mendalam. Di kantin rumah sakit, Nadira menyiapkan kurma dan air mineral.
"Ayah, mari kita berbuka," ajak Nadira dengan suara pelan.
Mereka menengadahkan tangan bersama, meski hati terasa berat, mereka tetap membaca doa berbuka puasa:
**"Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'ala rizqika afthartu."**
*(Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.)*
Setelah itu, mereka meneguk air mineral. Rasa manis kurma seakan tak terasa di lidah.
"Bu, rasanya aneh berbuka tanpa Liora," ucap Arya dengan mata menerawang.
"Ya, Yah. Semoga Allah memberikan kesembuhan untuknya."
---
Malam semakin larut, namun tak ada tanda-tanda perbaikan. Dokter Rian mendekati mereka dengan raut wajah serius.
"Pak, Bu, Liora memasuki fase koma. Kami akan terus memantau kondisinya, tapi kami perlu Bapak dan Ibu untuk bersiap."
Nadira tak kuasa menahan tangis. "Ya Allah, cobaan apa ini..."
Arya memeluk istrinya erat. "Kita harus kuat, Bu. Untuk Liora."
---
Di dalam kamar ICU, Nadira duduk di samping tempat tidur Liora. Ia menggenggam tangan putrinya yang dingin.
"Sayang, Ibu di sini. Kamu harus kuat ya," bisiknya sambil meneteskan air mata.
Arya berdiri di belakangnya, menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Liora, Ayah percaya kamu bisa melewati ini."
---
Kabar tentang kondisi Liora menyebar. Mika datang ke rumah sakit dengan wajah cemas.
"Paman, Bibi, bagaimana kondisi Liora?" tanyanya terbata.
"Dia masih koma, Nak. Mohon doanya ya," jawab Arya.
Mika menahan air mata. "Boleh saya lihat Liora?"
"Tentu."
Di dalam ruangan, Mika menatap sahabatnya yang terbaring lemah. "Lio, ini aku, Mika. Kamu harus bangun ya. Banyak orang yang menunggumu."
---
Hari berganti, namun kondisi Liora belum menunjukkan perubahan. Nadira dan Arya tak pernah meninggalkan sisinya.
Bulan Ramadan hampir berakhir. Malam takbiran terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Suasana hati mereka campur aduk antara harapan dan keputusasaan.
"Nak, di luar sudah malam takbiran. Kamu harus bangun, merayakan Lebaran bersama kami," ucap Nadira sambil mengelus rambut Liora.
Arya menambahkan, "Banyak yang mendoakanmu, Sayang. Kamu tidak sendirian."
---
Di antara gema takbir, Liora perlahan menggerakkan jari tangannya. Monitor menunjukkan perubahan.
"Bu, lihat! Jarinya bergerak!" seru Arya dengan penuh harap.
Dokter Rian segera diperiksa. "Ini perkembangan yang baik, Pak. Kita harus terus berdoa."
---
Beberapa jam kemudian, mata Liora perlahan terbuka. Cahaya terang membuatnya sedikit silau.
"Liora... Sayang, kamu sadar?" tanya Nadira dengan mata berbinar.
"Bu... Ayah... di mana aku?" suaranya lemah namun jelas.
"Kamu di rumah sakit, Nak. Alhamdulillah, kamu sudah sadar," jawab Arya sambil menggenggam tangannya.
Air mata kebahagiaan mengalir. "Terima kasih, Ya Allah," ucap Nadira dengan tulus.
pagi yang cerah menyambut **Liora** saat ia membuka mata.
Setelah beberapa hari di rumah sakit dan melewati masa koma, akhirnya liora bisa kembali ke rumah.
Udara segar masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka.
"Alhamdulillah, akhirnya bisa pulang," gumamnya sambil meregangkan tubuh. Meski masih terasa lemah
Ibunya, **Nadira**, mengetuk pintu kamar dengan senyum hangat. "Sayang, bangun yuk. Waktunya sahur," ujarnya lembut.
Liora tersenyum kecil. "Iya, Bu. Liora turun sekarang."
Di meja makan, aroma **soto ayam kampung** menggoda selera. Ayahnya, **Arya**, sudah duduk menunggu. "Wah, akhirnya lengkap lagi nih keluarga kita," kata Arya dengan nada bahagia.
"Senyum terus dong, Lio. Biar makin cantik," goda Nadira sambil menuangkan **teh manis hangat** ke gelas putrinya.
Sebelum mulai makan, mereka menengadahkan tangan bersama. Dengan khusyuk, mereka membaca niat puasa:
**"Nawaitu shauma ghadin an ada'i fardhi syahri Ramadhana hadzihis-sanati lillahi ta'ala."**
*(Aku berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala.)*
Setelah itu, mereka mulai menyantap hidangan sahur. Liora menikmati setiap suapan dengan penuh syukur. "Bu, sotonya enak banget. Rasa rumah sakit nggak ada apa-apanya," ujarnya sambil tertawa kecil.
"Ya iyalah. Masakan Ibu selalu nomor satu," Arya menimpali dengan bangga.
Setelah selesai makan, Liora menutup dengan doa:
**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**
*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*
---
Usai salat Subuh berjamaah, Liora duduk di teras rumah, menghirup udara pagi yang segar. Burung-burung berkicau riang, seakan merayakan kepulangannya.
Ponselnya bergetar, notifikasi beruntun masuk. Ia membuka aplikasi V-Tube, dan matanya berbinar melihat pesan-pesan dari para fans yang merindukannya.
"Welcome back, Kak Liora!"
"Kami kangen banget sama live streaming-mu!"
Liora tersenyum haru. "Wah, banyak yang nungguin aku ternyata," gumamnya.
Tak lama, pesan dari sahabatnya, **Mika**, muncul.
*"Morning, Lio! Gimana kabarmu hari ini?"*
*"Morning, Mik! Alhamdulillah, udah jauh lebih baik. Rencana mau live streaming sore ini."*
*"Mantap! Aku bantu persiapannya ya."*
*"Thank you, you're the best!"*
---
Pukul sepuluh pagi, Liora bersiap di kamar studionya. Meski sederhana, ruangan itu penuh dengan peralatan streaming dan dekorasi khas yang mencerminkan kepribadiannya.
"Mik, semua udah siap?" tanya Liora melalui panggilan video.
"Siap, Kapten! Suara dan gambar clear," jawab Mika sambil mengacungkan jempol.
"Oke, aku mulai ya."
Liora menekan tombol **"Go Live"**, dan wajah cerianya muncul di layar.
"Assalamu'alaikum teman-teman semua! Apa kabar kalian? Kangen nggak nih sama aku?" sapa Liora dengan semangat.
Komentar dan love langsung membanjiri layar.
"Wa'alaikumsalam, Kak Liora! Kangen banget!"
"Finally, Kak Liora balik!"
"Alhamdulillah sehat lagi ya, Kak!"
Liora terharu melihat antusiasme mereka. "Terima kasih banyak atas doa dan dukungannya ya. Kalian luar biasa!"
Selama streaming, ia bercerita tentang pengalamannya selama di rumah sakit, tentu saja dengan gaya cerita yang ringan dan menyenangkan agar tidak membuat suasana jadi sedih.
"Oh iya, ada kabar gembira nih! Paket giveaway **200 unit iPhone 16 Pro Max** udah sampai ke semua pemenang!" katanya dengan mata berbinar.
"Alhamdulillah, terima kasih Kak!"
"Aku udah nerima hadiahnya, Kak! Senang banget!"
"Semoga rezeki Kak Liora makin lancar!"
Liora merasa bahagia bisa melihat kebahagiaan orang lain. "Semoga hadiahnya bermanfaat ya. Jangan lupa dipakai untuk hal-hal positif."
---
Setelah dua jam live streaming, Liora menutup sesinya dengan doa dan ucapan terima kasih. "Sampai jumpa di streaming berikutnya ya! Love you all!"
---
Siang harinya, Liora merasa perutnya mulai keroncongan. Tapi ia tersenyum, "Sabar, tinggal beberapa jam lagi."
Ia teringat janjinya pada ibunya untuk belajar memasak. "Bu, tadi kita mau masak apa ya?" tanyanya sambil memasuki dapur.
Nadira tersenyum. "Kita mau belajar masak **Rawon Setan** khas Jawa Timur. Siap?"
"Wah, tantangan nih! Siap dong!"
Mereka mulai menyiapkan bahan-bahan: daging sapi, kluwek, bumbu rempah, dan lainnya.
"Pertama, kita rebus dagingnya dulu sampai empuk," instruksi Nadira.
Liora dengan telaten mengikuti arahan ibunya. Aroma harum mulai memenuhi dapur.
"Bu, kenapa disebut Rawon Setan?" tanyanya penasaran.
"Karena rasanya pedas banget dan biasanya dijual malam hari. Tapi tenang, kita bisa atur tingkat pedasnya kok."
"Ah, pantesan. Tapi Liora suka pedas, jadi gas aja!"
Mereka tertawa bersama. Momen kebersamaan ini terasa begitu berharga bagi Liora.
Setelah beberapa jam memasak, akhirnya Rawon Setan mereka siap disajikan.
"Wah, terlihat menggoda banget!" ujar Liora sambil mengabadikan hasil masakannya dengan ponsel.
"Jangan lupa sambelnya dan tauge segar ya," tambah Nadira.
---
Menjelang sore, Liora duduk di ruang tamu sambil membaca buku. Namun pikirannya melayang, mengingat betapa beruntungnya ia bisa kembali berkumpul dengan keluarga.
Ponselnya berbunyi, panggilan dari Arya.
"Hei, Putri Ayah! Lagi apa?" sapa Arya hangat.
"Lagi santai aja, Yah. Ayah masih di kantor?"
"Iya, sebentar lagi pulang kok. Ada titipan nggak?"
"Hmm, nggak ada sih. Ayah hati-hati di jalan ya."
"Oke, sampai ketemu di rumah."
---
Pukul 17.30, Arya tiba di rumah. "Wah, wangi apa ini? Harum banget!" katanya sambil melepas sepatu.
"Ini, Ayah. Liora sama Ibu masak Rawon Setan!" jawab Liora dengan bangga.
"Wow, mantap! Nggak sabar mau coba."
Mereka menyiapkan meja makan dengan penuh semangat. Hidangan Rawon Setan disajikan bersama nasi putih hangat, sambal, dan pelengkap lainnya.
Azan Maghrib berkumandang. Mereka menengadahkan tangan bersama untuk berbuka puasa.
**"Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'ala rizqika afthartu, birahmatika ya arhamarrahimin."**
*(Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mu Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.)*
Setelah itu, mereka meneguk air putih dan mencicipi kurma. Rasa manisnya seakan menyegarkan kembali tubuh yang lelah setelah seharian berpuasa.
"Bismillah, mari kita coba Rawon Setan ala Liora," kata Arya sambil mengambil sendok pertamanya.
Mereka mulai menyantap hidangan dengan lahap.
"Masya Allah, enak banget! Rasa rempahnya pas, dagingnya empuk," puji Arya sambil mengacungkan jempol.
"Seriusan, Ayah? Nggak bohong kan?" tanya Liora dengan mata berbinar.
"Iya dong. Ini bahkan lebih enak dari restoran!"
Nadira tersenyum melihat keakraban mereka. "Liora memang cepat belajar. Besok kita coba resep lain ya."
"Siap, Chef!" balas Liora sambil tertawa.
---
Setelah makan, mereka berkumpul di ruang keluarga. Arya menyalakan televisi, menonton berita tentang hilal dan penetapan Hari Raya Idul Fitri.
"Nggak terasa ya, besok udah Lebaran," ucap Nadira dengan nada haru.
"Iya, Bu. Ramadan kali ini penuh makna buat Liora," tambahnya sambil menatap kedua orang tuanya.
"Ayah dan Ibu juga bersyukur bisa melewati semuanya bersama," kata Arya sambil merangkul mereka.
---
Malam harinya, Liora membuka jurnal pribadinya. Dengan pena di tangan, ia mulai menulis:
*"Hari ke-30 puasa. Alhamdulillah, bisa menjalani puasa terakhir dengan penuh kebahagiaan. Banyak hal yang terjadi, dari sakit hingga kembali berkumpul dengan keluarga. Hari ini, bisa live streaming lagi dan berbagi cerita dengan teman-teman, Terima kasih, Ya Allah, atas segala nikmat yang Kamu berikan."*
Ia menutup jurnalnya dengan senyum puas. Ponselnya berbunyi, pesan dari Mika.
*"Lio, Rawon Setan kamu viral di sosmed! Banyak yang pengen resepnya."*
Liora tertawa kecil. *"Haha, seriusan? Nanti aku share ya."*
*"Kamu emang multitalenta deh!"*
*"Ah, kamu bisa aja. Besok jangan lupa kita shalat Id bareng ya."*
*"Siap! See you tomorrow!"*
---
Sebelum tidur, Liora berdiri di depan jendela kamarnya, menatap langit malam.
"Terima kasih, Ya-ALLAH, atas segala nikmat-Mu," bisiknya pelan.
Ia lalu berbaring di tempat tidur, menarik selimut hingga sebatas dada. Dengan hati yang tenang dan penuh syukur, ia memejamkan mata.
Pukul tiga pagi, suara alarm di ponsel **Liora** berdering pelan, memecah keheningan malam. Mata masih setengah terpejam, ia meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, mencari tombol snooze. Namun, ia tersadar. "Oh iya, hari ini aku sahur sendiri," gumamnya sambil meregangkan tubuh.
**Ibu Nadira** dan **Ayah Arya** sedang tidak di rumah. Mereka pergi sejak kemarin malam untuk urusan rapat penelitian di kantor **Fopuveria Foundation**. "Semoga urusan mereka lancar," pikir Liora sambil bangkit dari tempat tidur.
Dengan langkah malas, ia menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh wajahnya, memberikan kesegaran instan. "Ayo, semangat! Hari ini harus bisa puasa penuh," ujarnya menyemangati diri sendiri. Ia teringat bahwa ia harus mengganti puasa yang tertinggal pada tanggal 23 atau 24—entahlah, ia lupa tepatnya kapan. Yang jelas, ia sempat tergoda dan batal puasa saat itu.
Menuju dapur, perutnya mulai keroncongan. "Masak apa ya? Biasanya Ibu yang siapin makanan," katanya sambil membuka kulkas. Hanya ada beberapa bahan sederhana: telur, sayuran, dan sisa nasi semalam.
Liora mengambil ponselnya. "Masak apa ya yang gampang tapi enak?" Ia membuka aplikasi resep dan menemukan **nasi goreng Jawa**. "Wah, pas nih!"
Dengan cekatan, ia mulai memotong bawang merah, bawang putih, dan cabai. Suara desis minyak di wajan mengisi keheningan dapur. Aroma harum mulai tercium saat ia memasukkan bumbu dan nasi ke dalam wajan.
"Not bad, Lio!" pujinya pada diri sendiri saat mencicipi sedikit nasi gorengnya. Ia menyiapkan piring dan duduk di meja makan, sendirian. Sebelum makan, ia menengadahkan tangan, membaca niat puasa dengan khusyuk:
**"Nawaitu shauma ghodin 'an qadha fardhi syahri Ramadhana lillahi ta'ala."**
*(Aku berniat berpuasa esok hari untuk mengganti kewajiban bulan Ramadan karena Allah Ta'ala.)*
Setelah itu, ia membaca doa sebelum makan:
**"Allahumma barik lana fima razaqtana wa qina 'adzaban nar."**
*(Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau berikan dan peliharalah kami dari siksa api neraka.)*
Ia mulai menyantap nasi gorengnya dengan lahap. "Lumayan juga hasil masaknya," pikirnya sambil tersenyum. Meski sendirian, ia merasa bangga bisa mengurus dirinya sendiri.
Setelah makan, ia menutup dengan doa:
**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**
*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*
---
Usai sahur dan shalat Subuh, Liora kembali ke kamarnya. Matahari belum muncul, namun ia merasa enggan untuk kembali tidur. "Ngapain ya enaknya?" pikirnya sambil menatap langit-langit kamar.
Ide pun muncul. "Ah, kenapa nggak mulai nulis novel aja?" Ia mengambil laptopnya dan duduk di dekat jendela. Suasana hening pagi hari memberikan inspirasi tersendiri.
Judul novel yang sudah lama ada di pikirannya adalah **"Gadis Kelinci Ku"**. Dengan semangat, ia mulai mengetik:
**Bab 1: Kelahiran yang Ajaib**
*Di sebuah desa yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, lahirlah seorang gadis dengan keistimewaan unik. **~~**, namanya. Ia terlahir dengan sepasang telinga kelinci yang lembut dan panjang. Bukan cacat dan bukan pula kutukan. Telinga itu adalah tanda bahwa ia membawa keajaiban.*
Liora tersenyum sendiri saat menulis.
*Sejak kecil, ~~ dijauhi oleh penduduk desa. Mereka takut pada hal yang tidak mereka mengerti.*
Waktu berlalu tanpa terasa.
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Wah, sudah lama juga nulisnya," ujarnya sambil meregangkan tubuh. Perutnya mulai keroncongan lagi, namun ia ingat bahwa ia sedang berpuasa.
"Ayo, tahan sedikit lagi," katanya pada diri sendiri.
---
Hari mulai siang, Liora memutuskan untuk belajar memasak **makanan khas Jawa Timur** yang lain. "Biar nanti buka puasanya lebih spesial," pikirnya.
Ia membuka video tutorial di ponselnya tentang cara membuat **Rujak Cingur**. "Hmm, bahan-bahannya apa aja ya?" Ia mencatat daftar belanjaan: cingur sapi, sayuran, bumbu petis, dan lain-lain.
Setelah memastikan toko terdekat masih buka, ia bersiap pergi. Namun, ia teringat pesan ibunya untuk tidak terlalu capek. "Ya, belanjanya nggak banyak kok. Pasti kuat."
Dengan masker dan tas belanja, ia berjalan menuju pasar kecil di ujung jalan. Matahari cukup terik, namun angin sepoi-sepoi membuat perjalanan terasa nyaman.
Di pasar, ia berinteraksi dengan para pedagang. "Mbak, cingurnya yang segar ya," pintanya pada penjual daging.
"Iya, Neng. Ini baru datang tadi pagi," jawab penjual dengan ramah.
Setelah mendapatkan semua bahan, Liora pulang dengan hati gembira. "Nggak sabar mau coba masak ini."
---
Sore harinya, setelah semua bahan siap, ia mulai memasak. Tantangan terbesar adalah membuat bumbu petis yang pas rasanya.
"Sedikit saja petisnya, biar nggak terlalu kuat," gumamnya sambil mengaduk bumbu. Suara notifikasi ponsel menyela konsentrasinya. Pesan dari Mika masuk.
*"Hey Lio! Lagi ngapain?"*
*"Lagi masak Rujak Cingur nih! Nanti kalau berhasil, aku kirimin buat kamu," balasnya.
*"Wah, keren! Jangan lupa tambahin sambal ya."*
*"Siap, Boss!"*
Setelah semua selesai, ia menata Rujak Cingur buatannya di piring. "Wah, kelihatannya enak!" Ia mengambil foto dan mengirimkannya ke Mika.
---
Pukul empat sore, Liora bersiap untuk live streaming **ASMR**. Ia menyiapkan mikrofon khusus dan memastikan suasana kamar tenang.
"Semoga suara ini bisa menenangkan yang lagi stres," ujarnya sambil tersenyum.
Saat live dimulai, banyak penonton yang sudah menunggu.
"Assalamu'alaikum teman-teman, selamat sore. Hari ini kita akan relax bareng ya," sapanya dengan suara lembut.
Ia mulai membacakan cerita pendek dengan intonasi yang menenangkan. Sesekali ia memainkan suara alam seperti gemericik air dan angin sepoi-sepoi.
Komentar positif bermunculan:
"Suara Kak Liora bikin ngantuk, enak banget!"
"Terapi banget buat yang lagi mumet."
"Kak, sering-sering live ASMR ya!"
Liora merasa senang bisa membawa ketenangan bagi orang lain. "Terima kasih ya buat semuanya. Semoga hari kalian menyenangkan," tutupnya sebelum mengakhiri live.
---
Menjelang pukul 17.00, perutnya mulai meronta. "Saatnya mempersiapkan buka puasa!" Ia kembali ke dapur, memanaskan Rujak Cingur yang tadi dibuatnya.
Ia juga menyiapkan **es dawet** sebagai pelengkap. "Wah, pasti segar nih!"
Sambil menunggu waktu berbuka, ia menata meja makan sendiri. Meski sepi tanpa kehadiran orang tua, ia tetap menikmati momen tersebut.
Azan Maghrib berkumandang. Liora menengadahkan tangan, membaca doa berbuka puasa dengan khusyuk:
**"Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'ala rizqika afthartu."**
*(Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.)*
Setelah itu, ia meneguk air putih dan mencicipi kurma. Rasa manisnya menyegarkan kembali tubuh yang lelah.
"Alhamdulillah," ucapnya dengan senyuman. Ia mulai menyantap Rujak Cingur buatannya. "Hmm, rasanya lumayan lah untuk percobaan pertama," komentarnya sambil tertawa kecil.
Setelah makan, ia menutup dengan doa:
**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**
*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*
---
Malam harinya, Liora duduk di ruang tamu sambil menonton televisi.
Ponselnya berdering, panggilan video dari Ibu Nadira.
"Assalamu'alaikum, Sayang! Gimana harimu?" sapa ibunya dengan wajah ceria.
"Wa'alaikumsalam, Bu! Alhamdulillah lancar. Liora masak sendiri loh tadi."
"Wah, hebat anak Ibu. Masak apa?"
"Rujak Cingur, Bu! Nanti Liora kirim fotonya ya."
"Jadi nggak sabar mau pulang dan coba masakanmu."
"Ayah mana, Bu?"
"Ayah lagi diskusi sama rekan kerja. Doakan ya, semoga urusannya cepat selesai."
"Iya, Bu. Liora kangen."
"Kami juga kangen, Sayang. Jangan lupa istirahat yang cukup ya."
Setelah panggilan berakhir, Liora merasa hatinya lebih tenang.
---
Sebelum tidur, ia kembali membuka laptopnya. Melanjutkan penulisan novel **"Gadis Kelinci Ku"**.
*"...~~ menyadari bahwa keistimewaannya bukanlah kutukan, melainkan anugerah. Ia bertekad untuk menggunakan kemampuannya demi kebaikan dan membuktikan kepada dunia bahwa perbedaan bukanlah hal yang harus ditakuti..."*
hingga tanpa sadar jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
"Wah, sudah malam. Saatnya tidur," ujarnya sambil menutup laptop.
Sebelum memejamkan mata, Liora berdoa:
**"Bismikallahumma ahya wa bismika amut."**
*(Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu aku mati.)*
---
Dalam kesendirian hari itu,. Dengan hati yang tenang, ia tertidur lelap.
Pukul tiga pagi, suara alarm ponsel **Liora** berdering nyaring, membangunkannya dari mimpi indah.
Mata masih berat, ia mengulurkan tangan untuk mematikan alarm. "Aduh, ngantuk banget," gumamnya sambil meregangkan tubuh. Hari ini, ia harus bangun sahur sendiri.
**Ibu Nadira** dan **Ayah Arya** sedang tidak di rumah. Mereka pergi menghadiri rapat penelitian di kantor **Fopuveria Foundation**.
"Semoga urusan mereka lancar," pikir Liora sambil bangkit dari tempat tidur. Meski sendirian, ia bertekad untuk menjalani puasa mengganti hari yang tertinggal pada tanggal 28 lalu.
Dengan langkah malas, ia menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh wajahnya, memberikan kesegaran. "Ayo, Lio! Kamu pasti bisa," ujarnya menyemangati diri sendiri. Setelah berwudhu, ia mengenakan kaus oversized dan celana pendek santai. Rambut panjangnya diikat cepol asal, memberi kesan messy yang manis.
Menuju dapur, ia membuka kulkas. "Hmm, masak apa ya buat sahur?" Hanya ada beberapa bahan: mi instan, sayuran, dan telur. Ia mengambil ponselnya dan mencari resep masakan khas Jawa. "Oke, kita coba bikin **Mi Godog Jawa**!"
Dengan semangat, ia mulai menyiapkan bahan-bahan. Ia memotong bawang merah, bawang putih, cabai, dan sayuran seperti sawi dan wortel. Suara gemericik air mendidih di panci mengisi keheningan dapur. Aroma harum mulai tercium saat bumbu ditumis.
"Wow, wangi banget!" serunya sambil mencium aroma masakannya. Ia menambahkan mi, sayuran, dan telur kocok ke dalam panci. Kuah kaldu yang gurih membuat perutnya semakin lapar.
Sebelum makan, ia duduk di meja makan sendirian. Meski sepi, ia merasa bangga bisa mandiri. Ia menengadahkan tangan, membaca niat puasa dengan khusyuk:
**"Nawaitu shauma ghodin 'an qadha fardhi syahri Ramadhana lillahi ta'ala."**
*(Aku berniat berpuasa esok hari untuk mengganti kewajiban Ramadan karena Allah Ta'ala.)*
Lalu, ia membaca doa sebelum makan:
**"Allahumma barik lana fima razaqtana wa qina 'adzaban nar."**
*(Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau berikan dan peliharalah kami dari siksa api neraka.)*
Ia mulai menikmati Mi Godog Jawa buatannya. "Hmm, enak juga!" pujinya pada diri sendiri. Setelah selesai, ia menutup dengan doa:
**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**
*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*
---
Usai sahur dan salat Subuh, Liora merasa belum ingin tidur lagi. "Ngapain ya enaknya?" pikirnya sambil duduk di sofa ruang tamu. Matanya tertuju pada laptop yang tergeletak di meja. "Ah, mending lanjut nulis novel aja!"
Ia membuka file novel **"Gadis Kelinci Ku"** yang sudah hampir selesai.
"Saatnya menyelesaikan kisah Alya," ucapnya sambil mulai mengetik.
*Bab Terakhir: ~~*
*Alya berdiri di puncak bukit, angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya.
Telinga kelincinya bergerak lembut tertiup angin. Setelah perjalanan panjang penuh tantangan, akhirnya ia menemukan tempat di mana ia diterima apa adanya.*
*Tiba-tiba, **Raka** muncul dari balik pepohonan. "Alya! Aku mencarimu ke mana-mana!" serunya dengan napas terengah.*
*"Raka? Kenapa kamu di sini?" tanya Alya terkejut.*
*"Aku ingin memberitahumu sesuatu yang penting," Raka mendekat. "Aku sadar, perasaanku padamu lebih dari sekadar teman."*
*Alya terdiam, pipinya merona. "Apa maksudmu?"*
*"Aku menyukaimu, Alya. Dengan segala keunikanmu. Telinga kelinci itu membuatmu spesial, dan aku mencintai setiap bagian dari dirimu."*
*Alya tersenyum bahagia. Air mata haru mengalir di pipinya. "Terima kasih, Raka. Kamu membuatku merasa diterima."*
*Mereka berdiri berdua, menatap matahari terbenam yang indah, beberapa saat kemudian Raka mencium bibir alya dengan sangat dalam sambil menghisap ujung lidahnya yang berwarna pink pastel ketika alya memandang pemandangan.*
---
Waktu berlalu tanpa terasa.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Liora menutup laptopnya dengan lega. "Finally, selesai juga!" serunya sambil meregangkan tubuh. Perutnya mulai keroncongan. "Eh, tapi kan lagi puasa. Sabar, Lio," ujarnya mengingatkan diri sendiri.
Merasa lelah, ia memutuskan untuk istirahat sejenak. Namun, saat berdiri, kepalanya terasa sedikit pusing. "Aduh, kenapa nih?" gumamnya sambil memegang kepala. Mungkin karena kurang tidur.
Ia berjalan menuju kamar dengan langkah gontai. Setiap langkah terasa berat, perutnya keroncongan.
"Ternyata puasa sendirian begini cukup menantang ya," pikirnya. Saat melewati ruang tamu, pandangannya sedikit kabur. "Astaga, harus cepat sampai ke kamar," ujarnya sambil terus berjalan tertatih-tatih.
Sesampainya di kamar, ia merebahkan diri di tempat tidur. "Istirahat sebentar deh," katanya sambil menutup mata. Angin dari kipas menerpa wajahnya, memberikan sedikit kesegaran.
---
Siang hari, matahari bersinar terik. Suhu ruangan terasa panas meski kipas angin sudah dinyalakan. Liora membuka mata, keringat membasahi dahinya. "Haus banget..." keluhnya. Ia menatap jam dinding, pukul dua siang. "Masih lama nih sampai Maghrib," gumamnya.
Perutnya semakin lapar, sedangkan energi terasa terkuras. "Harus cari kegiatan biar nggak kepikiran terus," pikirnya. Ia mengambil ponsel dan memutuskan untuk belajar memasak **Gudeg Jogja** melalui video tutorial. "Biar nanti buka puasanya spesial," ujarnya mencoba menyemangati diri.
Ia mencatat bahan-bahan yang diperlukan. "Kayaknya bahan-bahannya ada semua di rumah." Dengan langkah pelan, ia menuju dapur. Mulai menyiapkan nangka muda, ayam, telur, dan bumbu-bumbu lainnya.
Proses memasak gudeg tidaklah cepat. Ia harus merebus nangka dan bumbu dalam waktu lama agar rasanya meresap. "Wah, butuh kesabaran ekstra nih," katanya sambil duduk di kursi dapur.
Aroma gudeg mulai tercium. "Hmm, wanginya menggoda!" Namun, aroma tersebut justru membuat perutnya semakin lapar. "Aduh, cobaan banget," keluhnya sambil menahan diri untuk tidak mencicipi.
---
Sore harinya, Liora bersiap untuk live streaming **ASMR**. Meski tubuhnya lemas, ia berusaha tetap semangat. "Semoga bisa menenangkan hati para penonton," ucapnya sambil memasang peralatan.
Pukul empat sore, ia memulai siaran. "Assalamu'alaikum teman-teman. Selamat sore," sapanya dengan suara lembut.
Komentar mulai bermunculan:
"Wa'alaikumsalam, Kak Liora!"
"Kak, suaramu bikin tenang banget."
"Aku suka banget sesi ASMR-mu."
Liora tersenyum. "Hari ini, kita akan relaksasi bersama. Semoga bisa menghilangkan penat kalian ya."
Ia mulai membacakan cerita pendek dengan intonasi menenangkan. Suara gemerisik lembut dan alunan musik instrumental menambah suasana damai.
Sesekali, ia menyesap bibirnya yang kering. "Aduh, pengen minum..." batinnya, tapi ia berusaha bertahan.
Setelah satu jam, ia menutup sesi ASMR-nya. "Terima kasih sudah bergabung. Sampai jumpa di streaming berikutnya ya! Love you all!" ucapnya sambil melambaikan tangan.
---
Menjelang pukul lima sore, energi Liora hampir habis. "Wah, lemas banget," katanya sambil duduk di sofa. Namun, ia teringat bahwa Gudeg Jogja buatannya sudah hampir matang. "Ayo, semangat sedikit lagi!"
Ia menuju dapur dan melihat panci gudegnya. Kuahnya sudah menyusut, warnanya kecokelatan. "Perfect!" ujarnya dengan senang. Ia menyiapkan nasi putih, sambal krecek, dan lauk pelengkap lainnya.
Menata meja makan dengan rapi, ia merasa puas dengan hasil kerjanya. "Nggak sabar mau makan," gumamnya sambil menatap jam. Masih tersisa beberapa menit sebelum Maghrib.
Azan Maghrib akhirnya berkumandang. Liora menengadahkan tangan, membaca doa berbuka puasa dengan khusyuk:
**"Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'ala rizqika afthartu, birahmatika ya arhamarrahimin."**
*(Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dengan rezeki-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Penyayang.)*
Ia meneguk air putih dan memakan sebutir kurma. "Alhamdulillah," ucapnya dengan lega.
Mencicipi Gudeg Jogja buatannya, ia tersenyum lebar. "Wah, enak banget! Kayak masakan asli Jogja," pujinya pada diri sendiri. Rasa manis dan gurih dari gudeg berpadu sempurna dengan sambal krecek yang pedas.
Setelah makan, ia menutup dengan doa:
**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**
*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*
---
Malam harinya, Liora duduk di balkon kamarnya, menikmati angin malam yang sejuk. Bintang-bintang berkelip di langit, membuat suasana semakin indah.
Ponselnya berdering, panggilan video dari **Ibu Nadira**.
"Assalamu'alaikum, Sayang!" sapa ibunya dengan wajah ceria.
"Wa'alaikumsalam, Bu! Gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, baik. Tadi Ibu dan Ayah sudah selesai rapat. Besok pagi kami pulang."
"Syukurlah. Liora kangen."
"Ibu juga kangen. Gimana puasanya hari ini?"
"Alhamdulillah, lancar. Tadi Liora masak Gudeg Jogja loh!"
"Wah, hebat dong! Harusnya simpan buat Ibu."
"Hehe, nanti Liora masakin lagi ya."
"Deal! Oh iya, kapan-kapan Ibu mau baca novelmu."
"Liora baru aja selesai nulis bab terakhir tadi pagi. Nanti Liora kirim file-nya."
"Baiklah. Ibu tunggu ya. Jangan lupa istirahat yang cukup."
"Siap, Bu. Salam buat Ayah."
---
Sebelum tidur, Liora menulis di jurnal pribadinya.
*Hari yang melelahkan tapi penuh pencapaian. Meski sempat lemas dan hampir menyerah, aku berhasil menjalani puasa dengan baik. Memasak Gudeg Jogja sendiri dan menyelesaikan novel membuatku bangga. Aku belajar bahwa ketekunan dan kesabaran adalah kunci. Terima kasih, Ya Allah, atas kekuatan yang Kau berikan.*
Menutup jurnal, ia meregangkan tubuh. "Saatnya tidur," ujarnya sambil berbaring di tempat tidur. Sebelum memejamkan mata, ia berdoa:
**"Bismikallahumma ahya wa bismika amut."**
*(Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu aku mati.)*
Liora pun tertidur dengan senyum terukir di bibir mungilnya yang berwarna merah muda
Pukul tiga pagi, alarm ponsel **Liora** berbunyi nyaring, memecah kesunyian malam. Mata masih berat, ia meraih ponsel dan mematikan alarm tersebut. "Aduh, ngantuk banget," gumamnya sambil meregangkan tubuh. Biasanya, **Ibu Nadira** yang membangunkannya untuk sahur, tapi kali ini ia harus melakukannya sendiri. **Ayah Arya** dan ibunya sedang pergi menghadiri rapat penelitian di kantor **Fopuveria Foundation**.
"Semangat, Lio! Hari ini harus bayar puasa ke 29 yang kemarin batal," ujarnya menyemangati diri sendiri. Perlahan, ia bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Air dingin membasuh wajahnya, memberikan kesegaran di tengah kantuk yang masih menempel.
Di dapur, ia membuka kulkas. "Hmm, apa ya yang bisa dimasak buat sahur?" pikirnya.
Matanya tertuju pada beberapa bahan seafood yang tersimpan: udang, cumi, dan kerang hijau dan lobster. "Wah, bisa nih coba masak **nasi goreng dengan cincangan seafood**!" Dengan semangat, ia mengambil bahan-bahan tersebut.
Sambil menyiapkan bahan, ia membuka video tutorial di ponselnya. "Untung ada internet, jadi gampang belajar masaknya," katanya sambil tersenyum. Ia mulai memotong bawang putih, bawang merah, dan cabai. Aroma harum menyebar saat bumbu ditumis. "Hmm, wangi banget!"
Setelah selesai memasak, ia menata nasi goreng seafood di atas piring. Sebelum makan, Liora menengadahkan tangan, membaca niat puasa dengan khusyuk:
**"Nawaitu shauma ghodin 'an qadha fardhi syahri Ramadhana lillahi ta'ala."**
*(Aku berniat berpuasa esok hari untuk mengganti kewajiban bulan Ramadan karena Allah Ta'ala.)*
Kemudian, ia membaca doa sebelum makan:
**"Allahumma barik lana fima razaqtana wa qina 'adzaban nar."**
*(Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau berikan dan peliharalah kami dari siksa api neraka.)*
Ia mulai menyantap nasi gorengnya dengan lahap. "Wah, enak juga hasil masakan sendiri," ujarnya bangga. Suasana sepi di rumah tidak mengurangi kenikmatannya.
Setelah selesai, ia menutup dengan doa:
**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**
*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*
---
Usai shalat Subuh, Liora merasa belum ingin tidur lagi. "Ngapain ya enaknya?" pikirnya sambil duduk di ruang tamu. Ia memandang keluar jendela, melihat langit yang mulai terang. Ide pun muncul. "Ah, jalan-jalan pagi saja!"
Ia mengenakan hoodie oversized berwarna pastel, dipadukan dengan celana jeans favoritnya. Rambut panjangnya diikat ekor kuda, memberi kesan santai namun tetap manis. "Siap berpetualang!" serunya sambil mengenakan sepatu kets.
Keluar rumah, udara segar pagi hari menyambutnya. Jalanan masih lengang, hanya terdengar kicauan burung. "Tenang banget suasananya," gumamnya sambil berjalan menyusuri trotoar. Ia melewati taman kecil di ujung jalan, melihat beberapa orang berolahraga.
"Eh, seru juga ya kalau olahraga pagi," pikirnya. Namun, karena belum membawa peralatan, ia memutuskan untuk melanjutkan jalan-jalannya.
Sesekali, ia mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. "Bisa nih buat konten nanti," ujarnya sambil tersenyum.
---
Pulang ke rumah sekitar pukul sepuluh pagi, perutnya mulai keroncongan. "Aduh, mulai lapar padahal masih lama buka puasanya," keluhnya. Untuk mengalihkan pikiran, ia memutuskan untuk belajar memasak **seafood platter** yang pernah dilihat di internet.
"Kayaknya asik buat buka puasa nanti," katanya penuh semangat. Ia membuka ponsel dan mencari resep serta tutorialnya. Setelah mencatat bahan-bahan yang diperlukan, ia memastikan stok di kulkas. "Yap, semuanya ada! Nggak perlu belanja lagi."
Ia mulai membersihkan udang, cumi, dan kerang hijau. Membuat bumbu marinasi dengan campuran bawang putih, lemon, dan sedikit rempah. "Marinasi dulu biar bumbunya meresap," ujarnya sambil mengaduk-aduk seafood dalam mangkuk.
Sambil menunggu, Liora memilih untuk beristirahat sejenak. Tapi rasa lapar makin terasa. "Aduh, kuat nggak ya?" pikirnya. Ia berusaha mengalihkan perhatian dengan menonton video lucu di internet.
---
Menjelang sore, Liora merasa tubuhnya mulai lemas. "Kayaknya perlu gerak biar nggak ngantuk," ucapnya. Ia memutuskan untuk berolahraga ringan di halaman belakang. Mengenakan kaus tipis berwarna putih dan rok olahraga yang nyaman, ia bersiap. Rambutnya yang panjang diikat bun agar tidak mengganggu.
Ia memulai dengan pemanasan, menggerakkan tangan dan kaki agar otot tidak kaku. "Meski puasa, olahraga tetap jalan," katanya menyemangati diri sendiri. Ia melanjutkan dengan gerakan yoga sederhana, fokus pada pernapasan.
Keringat mulai membasahi dahinya, tapi ia merasa lebih segar. Angin sore yang sejuk membuat suasana semakin nyaman. Setelah sekitar tiga puluh menit, ia mengakhiri sesi olahraganya dengan cooldown.
---
Pukul lima sore, Liora kembali ke dapur untuk melanjutkan proses memasak seafood platternya. "Saatnya memanggang!" Ia menata seafood yang sudah dimarinasi di atas loyang, menambahkan irisan lemon dan sedikit parsley.
Sambil menunggu di oven, ia menyiapkan saus pendamping. "Butter garlic sauce pasti cocok," ujarnya. Aroma harum mulai memenuhi dapur, membuat perutnya semakin lapar. "Sabar, tinggal sedikit lagi," katanya menenangkan diri.
Azan Maghrib berkumandang. Liora menata seafood platter di meja makan, lengkap dengan saus dan irisan roti baguette. Sebelum mulai, ia menengadahkan tangan, membaca doa berbuka puasa dengan khusyuk:
**"Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'ala rizqika afthartu, birahmatika ya arhamarrahimin."**
*(Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dengan rezeki-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mu Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.)*
Ia meneguk air putih dan memakan sebutir kurma. "Alhamdulillah," ucapnya dengan lega.
Mencicipi seafood platternya, Liora tersenyum puas. "Wah, enak banget! Kayak di restoran," komentarnya. Rasa gurih seafood berpadu sempurna dengan saus butter garlic yang creamy.
Setelah selesai makan, ia menutup dengan doa:
**"Alhamdulillahil ladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin."**
*(Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim.)*
---
Malam harinya, Liora duduk santai di ruang tamu sambil menonton serial favoritnya. Rasa rindu kepada orang tuanya kembali muncul. Ia mengambil ponsel dan mengirim pesan kepada **Ibu Nadira**.
*"Bu, gimana kabarnya? Kapan pulang?"*
Tak lama, ibunya membalas.
*"Alhamdulillah, sehat. Besok pagi Ibu dan Ayah pulang. Kamu gimana di rumah?"*
*"Liora baik, Bu. Tadi masak seafood sendiri loh buat buka puasa."*
*"Wah, hebat anak Ibu. Besok masakin lagi ya buat Ibu dan Ayah."*
*"Siap, Bu! Nggak sabar ketemu."*
Setelah berkomunikasi dengan ibunya, hati Liora merasa lebih tenang. Ia bersyukur memiliki keluarga yang selalu mendukungnya.
Sebelum tidur, ia merenung tentang hari yang telah dilalui. "Ternyata, menjalani puasa sendirian memberikan banyak pelajaran. Aku jadi lebih mandiri dan belajar hal-hal baru," pikirnya.
Ia menutup hari dengan doa:
**"Bismikallahumma ahya wa bismika amut."**
*(Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu aku mati.)*
Lalu liora menutup matanya dan tertidur.