Masuk ke Dunia Virtual

Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Caleb terasa seperti akhir dari segalanya bagi dunia luar. Namun bagi dirinya, ini hanyalah permulaan. Dua minggu setelah vonis dijatuhkan, Caleb dibawa dari penjara ke sebuah fasilitas rahasia. Mata Caleb ditutup, tangannya terbelenggu, namun pikirannya tetap jernih, menganalisis setiap langkah yang diambil para penjaga.

Ketika penutup matanya dilepas, ia mendapati dirinya di dalam sebuah ruangan putih steril dengan lampu neon yang memancar terang. Di tengah ruangan itu terdapat kapsul-kapsul besar, masing-masing berbentuk seperti tabung transparan dengan kabel-kabel menjulur ke berbagai arah. Di sekelilingnya berdiri dua puluh sembilan orang lainnya, masing-masing dengan ekspresi campuran antara takut, bingung, dan marah. Caleb menyadari bahwa mereka semua adalah terpidana mati, sama seperti dirinya.

Di depan mereka, seorang pria berkacamata dengan jas laboratorium berdiri di podium kecil. Wajahnya dingin dan tanpa emosi.

"Selamat datang," katanya dengan suara tenang, "Kalian semua telah dipilih untuk berpartisipasi dalam Proyek Integrasi Arcanum. Seperti yang sudah kalian ketahui, hukuman mati kalian dapat ditunda, asalkan kalian mengikuti aturan permainan. Dunia virtual yang akan kalian masuki tidak hanya menjadi ujian keterampilan dan kecerdasan, tetapi juga moralitas kalian. Ingat, hanya satu yang akan keluar hidup-hidup."

Ruangan itu dipenuhi bisikan ketakutan. Caleb tetap tenang, menyembunyikan kegelisahannya di balik ekspresi datar. Pria itu melanjutkan, "Permainan ini tidak seperti yang kalian bayangkan. Di dalam dunia virtual, kalian akan menghadapi ancaman yang dirancang untuk menguji batas kemampuan manusia. Dan satu hal lagi: tidak semua dari kalian adalah manusia."

Kata-kata itu membuat semua orang, termasuk Caleb, menegang.

"Dari tiga puluh peserta," pria itu melanjutkan, "lima di antaranya adalah humanoid. Mereka dirancang untuk menyerupai manusia, namun dengan kekuatan yang melampaui batas normal. Tugas kalian adalah bertahan, mencari sekutu, dan menentukan siapa yang dapat dipercaya. Kalian memiliki waktu dua puluh empat jam untuk membiasakan diri dengan dunia virtual sebelum permainan dimulai."

Satu per satu, para peserta diarahkan ke kapsul mereka. Caleb masuk ke dalam kapsulnya, merasakan dinginnya logam di punggungnya. Ketika pintu kapsul tertutup, suara mesin mulai berdengung. Caleb menutup matanya, dan tiba-tiba, segalanya menjadi gelap.

Ketika ia membuka mata, Caleb mendapati dirinya berdiri di tengah hutan yang lebat. Pohon-pohon tinggi menjulang, cahaya matahari yang menyelusup di antara dedaunan memberikan suasana yang aneh — seperti dunia nyata, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Ia mengenakan pakaian sederhana berwarna gelap, dan di pinggangnya tergantung sebuah pisau kecil.

Di kejauhan, ia melihat beberapa orang lainnya, tampak kebingungan seperti dirinya. Caleb mendekati mereka perlahan, mendengarkan percakapan mereka untuk mencari informasi. Namun, satu hal segera menarik perhatiannya: gerak-gerik lima dari mereka terasa tidak wajar. Cara mereka berdiri, mata mereka yang terlalu tajam, dan bagaimana mereka tampak mengamati peserta lain dengan intensitas yang mencurigakan.

"Ini bukan dunia biasa," gumam Caleb pada dirinya sendiri. "Dan mereka bukan manusia biasa."

Tiba-tiba, sebuah suara mekanis bergema di udara, membuat semua orang menoleh.

"Selamat datang di dunia permainan. Ini adalah tempat di mana kalian akan diuji hingga batas terakhir. Kalian harus bertahan hidup, menyelesaikan tantangan, dan mengungkap rahasia di balik dunia ini. Ingat, tidak semua di antara kalian adalah sekutu."

Seiring dengan suara itu, sebuah peta holografis muncul di depan mereka, menampilkan wilayah luas yang terdiri dari hutan, gunung, dan reruntuhan kota. Tanda merah kecil di peta menunjukkan lokasi mereka saat ini.

"Permainan dimulai dalam 24 jam," suara itu melanjutkan. "Manfaatkan waktu ini untuk mempersiapkan diri. Selamat bertahan hidup."

Para peserta segera berpencar, sebagian besar memilih untuk menjauh dari kerumunan. Caleb tetap di tempatnya, mempelajari peta holografis itu dengan seksama. Ia tahu bahwa langkah awalnya sangat penting. Mengungkap identitas humanoid adalah prioritas, tapi ia juga harus berhati-hati agar tidak menjadi target mereka.

Saat Caleb bergerak ke arah hutan, seseorang mendekatinya. Seorang wanita muda dengan rambut hitam pendek dan tatapan tajam. "Kau tidak terlihat panik seperti yang lain," katanya.

Caleb menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Panikan hanya akan membuatmu terbunuh lebih cepat."

Wanita itu tersenyum tipis. "Namaku Iris. Kita bisa bekerja sama, setidaknya sampai aku tahu siapa yang bisa dipercaya."

Caleb mengangguk pelan. "Caleb. Dan aku setuju. Untuk sekarang, kerja sama adalah langkah yang paling masuk akal."

Namun, di dalam pikirannya, ia tetap waspada. Bahkan Iris bisa saja salah satu humanoid. Dalam dunia ini, tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya.