Sang Penyelamat

Eve

Penderitaan dalam jeritannya menghancurkan tengkorakku, menusuk dan tak berujung.

Pandanganku kabur, api berubah bentuk, suara api berderak berpadu dengan suara gemuruh di kepalaku.

Asap memenuhi paru-paruku.

Aku bisa merasakan diriku di sana, menyaksikan semuanya terjadi.

Mulutku terasa pahit.

Tulang belakangku meremang.

Aku terhuyung mundur selangkah, merintih.

"Rhea," aku tersengal dalam pikiranku. Tapi bahkan dia pun diam, gemetar bersamaku.

Kenangan itu tidak berhenti.

Jeritan yang sama.

Bau daging terbakar.

Sebuah tangan menekan kaca, berdarah dan tergelincir.

"Kamu tidak harus melakukan ini," wanita yang sama memohon.

Sebuah isak pecah dari tenggorokanku, tajam dan tak berdaya.

Tidak. Tidak, bukan sekarang. Tolong, bukan sekarang.

Kepalaku berputar.

Suara berputar baling-baling helikopter memotong kekacauan, keras, menindas, seperti rotor yang memotong tulang.

Aku memejamkan mata erat-erat.

Tapi kemudian — gemerisik.

Bukan di dalam kepalaku.

Nyata.