Lututku tertekuk di bawahku.
Bukan suara dari suaranya—atau suaranya.
Itu adalah cara dia menyebut namaku.
Seperti telah menunggu.
Rindu.
Seperti dunia hanya berhenti sampai aku datang untuk menyaksikan kelahirannya kembali dalam dirinya.
Aku menatap, membeku. Tanganku gemetar di mana mereka melayang di dekat wajahnya yang melepuh, bau darahnya tajam dan metalik di antara kami. Penglihatanku kabur, bukan karena marah, tetapi dari jenis kesedihan yang membelah tulang.
"Berhenti," bisikku. "Berhenti memanggilku begitu. Dia belum pergi—dia belum."
Kuucapkan lagi, tetapi suaraku lebih kecil kali ini.
Lebih untuk meyakinkan diri sendiri.
Air mata tumpah, saat kata-katanya menghantamku seperti kereta api ke dada.
"EVE!" Suara Kael pecah seperti guntur di udara. Kepalaku berbalik ke arahnya. "AWAS!"
Kuputar, terlalu lambat.
Robekan basah yang menjijikkan menembus kesunyian—dan punggung tubuh Hades terbuka.
Merah.
Licin.