Kabut tebal menyelimuti puncak Gunung Gelombang, menciptakan aura misterius yang menelan semua suara kecuali desiran angin dingin. Di tengah keheningan itu, dua sosok berdiri berhadapan di atas tebing yang sempit.
Kein, dengan jubah hitam yang berkibar tertiup angin, menggenggam pedang perak di tangan kanannya. Matanya tajam, memantulkan cahaya pucat bulan yang menyelinap di balik awan. Di hadapannya berdiri seorang pria bertubuh besar bernama Rhaegar, seorang pendekar yang dikenal karena teknik bela dirinya yang brutal. Dia membawa pedang besar yang terlihat seperti mampu menghancurkan batu dengan satu ayunan.
"Kein," suara Rhaegar berat, namun penuh penghinaan. "Apa kau benar-benar berpikir bisa menghentikanku di sini? Kau hanya bayangan di dunia ini."
Kein mengangkat pedangnya, ujungnya mengarah lurus ke dada Rhaegar. "Aku tidak perlu menghentikanmu. Aku hanya butuh waktu. Dan untuk itu, kau harus kalah."
Rhaegar tertawa keras. Suaranya bergema di antara puncak-puncak gunung. "Kau terlalu percaya diri."
Dalam sekejap, Rhaegar menyerang. Tanpa peringatan, pedangnya mengayun dari atas ke bawah, menciptakan celah besar di tanah tempat Kein berdiri beberapa detik yang lalu. Dengan kecepatan luar biasa, Kein melompat ke samping, menghindari serangan itu dan membalas dengan tusukan ke arah perut Rhaegar.
Namun, Rhaegar sigap. Dia memutar tubuhnya dan menggunakan bagian pipih pedangnya untuk menangkis tusukan itu. Percikan api meletup saat logam bertemu logam, dan suara benturan itu menggema di udara yang dingin.
Serangan dan Pertahanan
Pertarungan mereka menjadi tarian mematikan di atas tebing yang sempit. Rhaegar menggunakan kekuatannya untuk melancarkan serangan yang mematikan, sementara Kein memanfaatkan kecepatannya untuk menghindar dan menyerang celah pertahanan musuh.
Kein melompat mundur beberapa langkah, menatap Rhaegar yang tersenyum puas. "Apa kau hanya akan bertahan? Di mana tekadmu?" ejek Rhaegar.
"Tekadku adalah memastikan kau tidak pergi dari sini," jawab Kein dingin. Dia menggenggam gagang pedangnya lebih erat, memfokuskan kekuatan sihirnya ke dalam bilah perak itu. Cahaya biru samar mulai bersinar, dan udara di sekitar mereka menjadi semakin berat.
Rhaegar mengernyit. "Sihir? Kau membawa senjata kotor dalam duel ini?"
Kein tidak menjawab. Sebaliknya, dia meluncur maju dengan kecepatan yang mustahil. Dalam hitungan detik, dia berada di depan Rhaegar, mengayunkan pedangnya dalam gerakan yang melingkar. Rhaegar mengangkat pedangnya untuk menahan, tetapi bilah Kein yang bercahaya itu meluncur mulus melewati pedangnya, meninggalkan luka dangkal di lengannya.
"Jadi ini alasan mereka menyebutmu Sang Bayangan," gumam Rhaegar, menatap darah yang menetes dari lukanya.
Keunggulan Tak Terduga
Pertarungan itu terus berlangsung dengan intensitas yang meningkat. Rhaegar, meski lambat, memiliki ketahanan luar biasa. Setiap serangan Kein yang berhasil menembus pertahanannya hanya menghasilkan luka-luka kecil yang tidak cukup untuk melemahkannya. Sebaliknya, satu ayunan pedang Rhaegar yang meleset menghancurkan batu-batu besar di sekitar mereka, menciptakan longsoran kecil yang memaksa Kein untuk melompat-lompat mencari pijakan aman.
"Lama-lama kau akan lelah," kata Rhaegar sambil menyeringai.
Kein tetap diam, tapi di dalam hatinya dia tahu Rhaegar benar. Serangannya menguras energi sihirnya lebih cepat dari yang dia perkirakan. Namun, Kein memiliki rencana.
Dia memancing Rhaegar ke ujung tebing yang paling rapuh. Saat Rhaegar melompat untuk menyerang dengan seluruh kekuatannya, Kein memanfaatkan momen itu untuk menebas tanah di bawah kaki Rhaegar. Tebing itu runtuh, dan Rhaegar terjatuh beberapa meter ke bawah, sebelum berhasil menancapkan pedangnya ke dinding batu untuk menahan jatuhnya.
Kein berdiri di atas, menatapnya dengan dingin. "Kau seharusnya tidak meremehkan lawanmu."
Namun, Rhaegar hanya tertawa. Dengan kekuatan luar biasa, dia melompat kembali ke atas, menghancurkan pijakan Kein dengan pukulan keras. Kini giliran Kein yang terpaksa mundur, mencari posisi aman.
Teknik Terakhir
Kein tahu bahwa dia tidak bisa memperpanjang pertarungan ini lebih lama. Dia mengambil napas dalam-dalam, menutup matanya sejenak untuk memfokuskan energinya. Saat dia membuka mata, cahaya biru di pedangnya semakin terang, hampir menyilaukan.
Rhaegar memperhatikan perubahan itu dengan waspada. "Apa kau akhirnya akan serius?"
Kein tidak menjawab. Dia melompat ke udara, lebih tinggi dari sebelumnya, memutar tubuhnya dengan kecepatan luar biasa. Saat dia turun, dia mengarahkan pedangnya langsung ke Rhaegar, menciptakan ledakan energi yang mengguncang puncak gunung itu.
Rhaegar mencoba menangkis serangan itu dengan seluruh kekuatannya, tapi tekanan dari energi itu terlalu besar. Pedangnya patah, dan dia terhempas beberapa meter ke belakang, menabrak batu besar dengan keras.
Saat debu mereda, Kein berdiri dengan napas terengah-engah, pedangnya masih bersinar samar. Di hadapannya, Rhaegar tergeletak, terluka parah tapi masih hidup.
"Kenapa kau tidak membunuhku?" tanya Rhaegar dengan suara lemah.
Kein memandangnya dengan dingin. "Karena aku bukan seperti dirimu. Kau sudah kalah. Tinggalkan tempat ini, dan jangan pernah kembali."
Rhaegar terdiam sejenak, lalu tertawa kecil meski tubuhnya penuh luka. "Kau memang berbeda... Tapi kita akan bertemu lagi, Kein. Dunia ini terlalu kecil untuk tidak saling bertemu."
Tanpa menjawab, Kein berbalik dan mulai berjalan meninggalkan puncak gunung itu. Angin dingin kembali berhembus, membawa kabut yang semakin tebal. Di kejauhan, bayangan puncak gunung lain menanti, bersama tantangan berikutnya.