Pada akhirnya, hal yang aku khawatirkan masih terjadi.
Sudah lewat jam kerja ketika aku tiba-tiba menerima telepon dari Han Feifei.
Dari ujung telepon terdengar isak tangis yang menyayat hati, seolah-olah dia sangat terguncang.
"Xu Tian…"
Dia terus menangis, sampai tak bisa berbicara dengan jelas, sesekali menyebut namaku, "Xu Tian, di mana kamu? Bisakah kamu datang dan menemani aku? Aku merasa seperti akan mati…"
Mendengar ini, hatiku menjadi tegang. Aku benar-benar takut wanita bodoh ini mungkin melakukan sesuatu yang gila.
Bagaimanapun, ketika orang berada pada titik terendah emosional yang ekstrem, tidak ada yang tidak akan mereka lakukan.
Jadi aku meminta alamatnya dan segera naik kereta cepat untuk menemukannya.
Dalam perjalanan ke sana, aku terus meneleponnya untuk menghiburnya.
Saat aku tiba, sudah pukul dua atau tiga pagi.
Suhunya masih cukup rendah, namun dia hanya mengenakan gaun tipis, duduk di pinggir jalan, menggigil dan gemetar.
"Xu Tian…"