WebNovelMASA RETAK100.00%

Pertama

 Udara yang dingin, embun air hujan dari pepohonan yang jatuh, genangan air keruh di pinggir trotoar, orang-orang dengan jaket dan payung berseliweran sepanjang jalan.

 Tampak jelas bahwa langit tidak bersahabat dengan manusia yang berusaha mencari penghidupan dan ilmu pagi ini.

 Beberapa di antara mereka sesekali berhenti dan mendongak ke atas, menyaksikan awan mendung di langit yang retak.

 Benar, retak.

 Sudah hampir satu setengah tahun sejak retakan pertama muncul di langit samudra Hindia yang kemudian menyebar ke negara-negara lain hingga sampai ke negeri ini setengah tahun kemudian.

 "Perasaanku saja atau retakannya agak mengecil?" tanyaku.

 Temanku ikut mendongak, menyipitkan matanya ke langit, "entahlah, aku tidak ingat" tukasnya.

 Aku menggigit es krim di tanganku, berpikir tentang betapa menakjubkannya mental seseorang yang bisa acuh terhadap hal-hal aneh di sekitar mereka.

 Ia menunjuk ke gerombolan siswa di seberang kami.

 "Lihat mereka, berkeliaran dengan tasbih dan kitab di tangan. Benar-benar hamba yang taat," aku bisa merasakan ejekan dalam suaranya.

 Aku melihat ke arah yang ia tunjuk, lalu kembali menatap es krim yang perlahan mencair di tanganku dalam diam.

 Sejak kemunculan fenomena retakan di langit orang-orang menyimpulkan bahwa ini adalah pertanda datangnya kiamat, membuat banyak dari orang berlomba kembali ke jalan Tuhan.

 Masyarakat menjadi lebih agamis dan religius, tingkat kriminalitas berkurang, segala peperangan dihentikan.

 Yang kaya memberi dengan dua tangan dan yang miskin menerima dengan dua tangan pula.

Intinya, orang-orang berhenti menjadi bajingan.

 Dunia yang ideal, damai, sejahtera.

 Omong kosong.

 Bagaimanapun juga manusia takut mati.

 Mencari segala cara untuk meneliti retakan dilangit dan bagaimana menutup retakan itu, membuat penelitian untuk mencari planet baru yang dapat dihuni, pindah ke bungker bawah tanah yang mewah.

 Semua cara bertahan hidup diupayakan oleh mereka yang takut pada hari penghakiman.

 Tapi beberapa orang hanya ingin menghabiskan hari-hari terakhir mereka bersama kerabat yang mereka sayangi, hingga banyak dari mereka berhenti bekerja dan mensyukuri kebersamaan dengan sumbangan nasi dan garam, menunggu sampai kiamat datang.

 Mereka yang tidak tahan dan takut dengan kesulitan akan tergoda dengan ajaran-ajaran sesat yang mengatakan bahwa mereka akan masuk surga dengan bunuh diri bersama satu keluarga.

 Ironis. Benar-benar ironis

 "apa kau melihat berita tadi malam?" tanya temanku.

 Aku menghela napas dan menghabiskan es krim di tanganku,

 "ya, pemerintah kita sudah gila" jawabku.

 Satu-satunya yang bisa ditonton di TV saat ini hanyalah berita yang diputar berulang-ulang di setiap saluran. Karena itu, aku tahu berita mana yang teman baikku maksud, itu adalah berita tentang keputusan penutupan seluruh sekolah di dalam negeri.

 "Aku akan mencari pekerjaan sampingan saja" kataku.

 "Aku hanya akan tidur di rumah," katanya santai, seolah seluruh dunia tak sedang terancam. ia kemudian berdiri dan menatapku.

 "Jaga dirimu," katanya sambil menatapku dengan serius. "Kalau kekurangan makanan, hubungi aku." Setelah itu, dia menepuk bahuku pelan sebelum berbalik dan berjalan pergi.

*******

 Android tua di saku celana belakangku bergetar.

Aku mengambilnya dan nama yang akrab terpampang di nama pemanggil,

Angkasa.

Menekan tombol jawab kemudian menjepit ponsel diantara telinga dan bahu, tanganku masih sibuk membereskan buku-buku dari bawah laci meja sekolahku.

 Selama beberapa detik yang kudengar hanyalah suara napas yang naik turun dengan cepat dari seberang telepon, "hei, ada apa?"

 Suara temanku baikku bergetar, "kau… dimana kau?" tanyanya

 "Sekolah, aku mengambil buku-buku pelajaran yang kutinggal dilaci"

 "kenapa?" tanyaku kemudian.

 "Kembali ke rumahmu sekarang, cepat!" Suara Angkasa terdengar putus-putus, napasnya memburu seperti seseorang yang baru saja berlari.

Aku meresleting tasku, "hah, apa, kenapa?"

Aku bingung 

 "Kumohon, jangan banyak tanya. Pulang saja!", aku mengernyit saat mendengarnya berteriak dari seberang telepon.

 "kalau sudah sampai dirumah hubungi aku lagi, kau mengerti?"

 Aku menyandang tasku, "oke oke, aku pulang", aku menutup telepon dan berjalan keluar dari sekolah dengan cepat.

 Setengah jalan menuju gerbang sekolah, telepon di tanganku bergetar lagi.

 Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal,

PERINGATAN DINI HURU HARA telah terjadi di Papua, Maluku, NTT, Sulawesi , Kalimantan Timur, Bali, Jawa Timur 02-Feb-19 10:14:56

Pesan spam, pikirku.

 Saat jariku akan menekan tombol hapus, sebuah pesan kembali masuk. 

PERINGATAN DINI HURU HARA telah terjadi di seluruh Indonesia bagian Timur dan bagian Tengah, 02-Feb-19 10:15:50

 Keluar dari aplikasi pesan, aku membuka browser dan headline dari berita teratas membuatku terdiam sesaat.

 Ibu jariku yang entah kenapa gemetar tanpa sengaja menekan salah satu website berita yang sedang melakukan siaran langsung, dan seketika darah ditubuhku terasa berhenti mengalir.

 Seluruh tubuhku terasa dingin namun juga panas disaat bersamaan, ubun-ubun kepalaku terasa kesemutan saat melihat apa yang disiarkan di layar.

 Huru-hara, tidak.

 Ini bukan huru-hara.

 "Apa… apa itu?!"

 Aku merasa tenggorokanku tercekat, mataku terpaku pada ponsel yang gemetar di tanganku.

 "mahkluk apa yang besar itu?"

Aku mendongak dan melihat siswa-siswi lainnya juga berhenti dan melihat ke ponsel mereka masing-masing, kami menonton hal yang sama.

 

 "akh! Orang itu mati! Putus, kepalanya putus" teriak seorang siswi.

 Semua siswa menahan napas dan saat tersadar semuanya berhamburan berlari kearah gerbang sekolah, saling bertabrakan dan bahkan menginjak satu sama lain.

 Namun aku masih ditempat yang sama, berdiri mematung menatap pembantaian yang masih ditayangkan dilayar hingga kamera yang menampilkan siaran langsung itu bergoyang dan jatuh membuat siaran langsung terputus begitu saja.

 Teriakan dan histeria tiba-tiba menjadi hening, digantikan suara terkesiap disekitar ku membuatku seketika tersadar, namun apa yang kulihat tepat di hadapanku ini membuatku lemas seketika.

 Tepat satu meter di hadapanku sebuah retakan membentuk sebuah lubang terbuka, tepat di tengah lapangan sekolah.

 Kakiku terasa lemah hingga aku jatuh terduduk, aku tahu aku harus bergerak menjauh namun seluruh tubuhku gemetar.

 Aku berbalik dan tengkurap, perlahan merangkak dengan siku dan lututku, terus merangkak, yang ada dikepalaku saat ini adalah aku harus menjauh dari lubang aneh itu.

 Menggunakan tiang ring basket sebagai tumpuan, aku mencoba berdiri dan berjalan dengan langkah terseret ke ruang laboratorium yang pintunya terbuat dari besi.

 Sembunyi dulu, pintu besi itu setidaknya bisa menahan mahkluk entah apa yang mungkin muncul hingga petugas penyelamat tiba.

 Sayangnya bukan hanya aku yang berpikiran begitu.

 Siswa siswi lainnya berlarian menuju kelas yang sama denganku,

 "Minggir bodoh!" seorang siswa mendorongku ke samping membuatku jatuh menghantam pot tanah liat yang tersusun di sisi koridor.

 Kepalaku berdenging dan pandanganku kabur seketika.

 Saat aku berhasil menyesuaikan pandanganku kembali aku bangkit dan berlari, mencoba menahan pintu yang nyaris tertutup.

 "Buka… buka pintunya! Tolong biarkan aku masuk!" Aku menggedor pintu sekuat tenaga, suaraku bergetar entah karena marah atau putus asa.

 "menyingkir sialan!" umpat siswa yang menutup pintunya

 Siswa-siswi lain yang berada di dalam laboratorium terus berteriak histeris menyuruh yang lain untuk segera menutup pintunya.

 Beberapa siswa yang tidak tahan lagi akhirnya membantu mendorong pintu itu hingga tertutup rapat. Aku bisa mendengar suara kunci besi yang diputar dipintu. 

 

 Bersamaan dengan itu, siswa siswi yang baru tiba mencoba untuk menggedor pintu, memohon agar dibiarkan masuk namun mereka yang berada di dalam tidak membuka pintunya bahkan seinci pun.

 

 Kepalaku terasa kosong dan yang tercetus dipikiranku saat ini hanyalah lari dan sembunyi sejauh mungkin dari lubang retakan itu.

Kemudian suara tarikan napas yang tajam dan teriakan tertahan terdengar dari kerumunan disekitarku dan aku ikut terpana.

 Dari lubang retakan yang berada tepat ditengah lapangan itu, mahkluk kerdil telanjang dengan kulit keriput kecoklatan dan berwajah seperti Dobby dari Harry Potter membawa sebuah kapak zaman purba keluar dari lubang itu satu persatu.

 Tidak ada suara selain napas dan isakan tertahan dari siswa siswi yang ketakutan.

 Seorang siswi yang terduduk lemah dipinggir lapangan tidak bisa menahan teriakan dan isak tangisnya membuat kesunyian mencekam itu pecah dengan suara menjijikan dari kapak tumpul yang memotong daging, disusul dengan teriakan ketakutan dari para murid yang menyaksikan saat mahkluk kerdil itu menebas leher siswi itu hingga lehernya yang hampir putus mengeluarkan asap dan buih-buih darah yang menyembur keluar.

 Salah satu makhluk itu melirik kami satu per satu, matanya menyipit seakan menilai siapa yang akan jadi korban berikutnya, sebelum akhirnya ia mengangkat kapaknya yang berlumuran darah ke udara—sebuah peringatan untuk kami agar segera melarikan diri