Tengah malam hampir tiba di wilayah jenderal Robert di pinggiran kota.
Jenderal tua itu sedang di ruang kerjanya melihat beberapa kertas. Ia memegang gelas wiski di tangannya. Dia mendesah dalam sambil membaca kertas-kertas di hadapannya.
"Apa yang membuat jenderal tua ini mendesah dalam?" Suara seorang pria terdengar dari luar ruangan.
"Siapa di sana?!" Robert bersuara mengancam.
"Tenanglah jenderal tua, ini aku." Pria itu memasuki ruangan dengan pelan.
Ketika ia mendekat lampu, wajahnya terungkap. Pria dengan rambut dan mata cokelat terlihat.
"Ini kamu." Robert mendesah lega. "Apa yang diinginkan Yang Mulia, pangeran muda Regaleon dari Grandcrest, sampai berada di wilayah seorang tua ini di tengah malam."
"Aku berpikir untuk mengobrol dengan jenderal tua." Leon tersenyum. "Keamananmu agak kurang, jenderal Robert. Aku bisa masuk sini dengan mudah."
Leon berhenti di depan meja jenderal tua. Tidak jauh darinya, Dimitri berdiri tepat di pinggir bayangan.
"Hahaha tidak kurang, Yang Mulia." Robert tertawa. "Hanya saja pangeran muda dan pengawal kerajaannya ahli dalam menyelinap melewati penjagaku. Seperti yang diharapkan dari pangeran muda dan pengawal kerajaan Grandcrest, kamu memang layak mendapat gelar itu."
"Dan mendapatkan gelar ini tidak mudah. Aku berdiri di atas gunung mayat, darah, dan tulang hanya untuk mencapai tujuanku. Dan itu tidak berakhir di situ." Leon berkata dengan aura yang gagah.
Robert terkejut lalu mendesah. "Sifatmu sangat mirip seperti ayahmu saat umurmu sepertimu, aura yang kuat. Tetapi rupamu itu datang dari ibumu."
Leon meringis mendengar kalimat Robert. Dia mengusap rambutnya dengan tangannya dan cahaya biru muncul. Warna rambut Leon kembali menjadi hitam pekat. Kemudian dia meletakkan tangannya di atas matanya dan sekali lagi ada cahaya biru. Sekarang matanya berubah kembali menjadi biru seperti laut dalam.
"Ibumu telah mengajarmu dengan baik dalam seni sihir." Robert berseru.
"Aku hanya tahu beberapa trik saja, jenderal. Kamu tahu, sihir saat ini adalah suatu tabu." Leon berkata dengan dingin.
"Kamu benar-benar mirip ibumu. Aku masih ingat dia di masa-masa dulu, Beatrice yang muda." Robert berkata dengan sedikit kesedihan dalam suaranya.
"Itulah mengapa aku membenci wajahku." Ada sedikit kemarahan dalam suara Leon. "Hanya membuatku ingat bagaimana dia mati di pelukanku. Melihatnya saat nyawa menghilang dari matanya."
"Dia adalah gadis yang manis dan lembut." Robert mendesah. "Dia tidak seharusnya berada dalam harem. Tapi sayangnya dia sangat mencintai ayahmu."
Leon menggenggam tangannya dengan kuat. "Seharusnya dia tidak pernah menikah dengan ayah. Dia hanya dijadikan selir di dalam haremnya."
"Ayahmu mencintai ibumu, Leon." Robert menatap pangeran muda itu. Dia melihat kemarahan dan amarah di matanya.
"Dan karena dia disayangi oleh ayah, dia menjadi sasaran istri sah ayah, ratu." Kebencian terlihat jelas dalam suara Leon.
"Ibumu tidak punya pilihan. Dia hamil denganmu selama perang. Dia tidak ingin kamu lahir sebagai anak haram." Robert menjelaskan.
"Aku akan lebih senang terlahir sebagai anak haram jika itu berarti dia masih hidup hingga hari ini." Leon berkata dengan penuh kemarahan. "Heh, perang. Jika bukan karena perang, mereka tidak akan pernah bertemu satu sama lain."
"Ya. Perang dengan negara Atlantia." Robert berkata dengan wajah serius. "Perang yang pecah dua puluh tahun lalu adalah perang terbesar dan paling menghancurkan yang pernah dilihat benua ini. Dan aku khawatir ada kemungkinan itu akan terjadi lagi."