"Ann, buka!" seru Ardan sembari menggedor pintu kamar adiknya dari luar.
Seperti biasa, pagi itu Ardan harus meneriaki Anna sambil mengetuk dengan keras atau memutar knop pintu berulang kali agar adiknya yang hampir selalu terlambat berangkat ke kampus itu segera membuka pintu.
"Jam berapa ini? Lo gak ngampus? Buka Ann!" serunya lagi, sengaja menaikkan volume suara lebih kencang.
Nyaris ingin mendobrak pintu, seorang wanita paruh baya yang masih tampak awet muda menghampirinya.
"Adek kamu udah berangkat dari tadi bang" ucap Hana, Ibu mereka.
Kening Ardan berkerut dalam, seraya melepas cengkeramannya dari gagang pintu. Ardan menatap sang mama tak percaya bercampur heran.
"Yaudah, ayo sarapan"
Hana melangkah ke ruang makan, diikuti putra sulungnya yang masih memasang raut penasaran.
"Sama cowoknya?" tanya Ardan agak malas.
Hana meletakkan sepiring nasi goreng dihadapan Ardan.
"Tadi sih keliatan buru buru, ada janji sama dosen katanya. Mama liat dijemput grab didepan" jelas Hana.
Ardan menaikkan sebelah alis, menatap semakin heran pada Hana yang duduk dikursi, diseberang meja.
Saat Hana perlahan menyuapkan roti isi kedalam mulut, Ardan justru belum menyentuh makanan yang disiapkan sang mama. Dia memilih mengeluarkan ponsel miliknya dan mengetik sesuatu dengan cepat didalam sana.
Sementara Anna kini tengah berada di sebuah taman. Di sekelilingnya segelintir orang berlalu lalang mengenakan pakaian santai, tengah berolahraga atau sekedar berjalan jalan di sekitar sana.
Anna sudah berada disana, sejak sejam lalu. Saat matahari belum terbit sempurna sepenuhnya. Terkaannya salah jika setelah bisa tidur dengan pulas, perasaannya akan menjadi lebih baik.
"Lo disini, rupanya"
Suara berat bersamaan derap langkah yang perlahan mendekatinya, membuyarkan lamunan Anna. Dia refleks menoleh, dan kembali memalingkan wajah seraya menghela nafas berat.
Seseorang kembali menemukan dirinya dalam situasi yang selalu nyaris sama.
"Lo berantem sama Ardan?" tanya Fano, sembari duduk disamping gadis itu.
Anna menggeleng pelan, enggan bersuara.
Fano merogoh sesuatu dari dalam tas, lalu menyodorkan pada Anna. Satu bungkus roti lapis dengan isian lengkap, seperti yang biasa Anna sarap.
"Nih, makan dulu. Lo boleh sedih, tapi tetep jaga kesehatan juga" ucap Fano.
Anna menatap beberapa detik pemberian lelaki disampingnya itu, sebelum mengambilnya. Jika biasa Anna akan menyarap dua bungkus sandwich atau sepiring nasi goreng buatan Hana, dia bahkan tak merasakan lapar sejak meninggalkan rumah tadi.
Tak ada percakapan setelah itu diantara mereka. Keheningan beberapa menit, sebelum Anna memutuskan beranjak setelah menerima sebuah pesan di ponselnya.
"Kak, thanks ya. Gue duluan" ucap Anna, lalu melangkah pergi.
Hanya berjarak sepuluh menit jarak dari sana untuk tiba dikampus, ditempuh dengan berjalan kaki. Anna kini sudah berada didepan gedung fakultas jurusannya.
Namun Anna mengurungkan niat untuk melangkah masuk, saat maniknya tertuju pada seseorang dari kejauhan didepan sana yang tak asing baginya.
Seseorang yang berniat ingin Anna hindari mulai hari ini, tampak celingukan di dalam koridor sana tengah mencari keberadaan dirinya. Anna bergegas membalikkan tubuh, agar tidak terlihat.
"Ann! Tunggu!"
Suara seseorang berseru memanggilnya, membuat Anna buru buru melangkah pergi mencari jalan lain menuju kelasnya.
Sialnya, kekasihnya itu justru mengenalinya meskipun tampak belakang. Ah ralat! Bagi Anna, lelaki yang tengah berusaha menyusulnya itu sudah menjadi mantannya.
Dia Anggala Maheswara. Salah satu bintang kampus, karena kepopulerannya sebagai ketua BEM dan seorang gitaris band bersama kedua temannya.
Anna masuk kedalam kelas dengan nafas tersengal sembari duduk di kursinya, hingga membuat seorang teman disampingnya setengah kaget.
"Kenapa sih lo? Kaya habis liat setan gitu" celetuk Kayra.
Anna melirik tajam gadis berkacamata oval disampingnya, seraya menghela nafas kasar.
"Ini lebih dari setan" sarkasnya.
Gala, sapaan akrab lelaki yang masih menjadi kekasih Anna itu menggerutu kesal karena kalah cepat.
"Tumben banget lo gal, udah olahraga aja pagi pagi gini" celetuk seorang lelaki disusul seorang lagi dibelakang.
"Lah iya, deres banget keringet lo"
Abian dan Keano serempak meledek Gala. Padahal dari kejauhan tadi, mereka melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Sialan lo berdua! Gue ngejar Anna" jelas Gala dengan raut kesal seraya mengatur nafasnya yang masih setengah memburu.
Kedua lelaki dihadapannya saling tertawa puas.
Rasanya Anna tak ingin mengikuti kegiatan perkuliahan hari ini. Pandangannya memang lurus menatap ke depan pada seorang dosen yang saat ini tengah mengajar, namun kepalanya tak bisa menyerap materi yang diterangkan.
Sementara layar ponsel miliknya terus menyala di bawah meja tanpa suara. Meski tau, Anna sengaja tak meresponnya sejak kelasnya belum dimulai.
Gala terus menghubunginya sejak semalam. Tapi Anna tau, lelaki itu pasti akan berusaha menjelaskan sesuatu karena tau dirinya melihat hal semalam.
Kepala Anna dipenuhi pertanyaan tak berujung yang membuat dadanya terasa kian sesak. Terlebih tentang kekurangan dirinya yang membuat Gala harus berpaling.
Hingga kelas selesai, Anna buru buru mengemasi barangnya dan beranjak menyelinap diantara kerumunan teman temannya yang lain keluar dari kelas.
Namun, mendadak dia ditarik dari keumunan itu dan menubruk tubuh seseorang. Anna langsung mendongak, ingin melampiaskan kekesalan.
"Gak ada ya lo seenaknya gini lagi sama gue, kita udah putus" sungut Anna seraya memalingkan wajah.
Gala yang sengaja menunggu Anna keluar dan memperhatikan gerak geriknya sejak tadi hanya tersenyum miring.
"Ngomong apa sih lo? Kalo ngomong sini liat orangnya" ucap Gala sembari menangkup wajah gadis setinggi dadanya itu, yang sengaja berbicara menatap kearah lain.
"Apa? Putus? Gede juga nyali lo mutusin gue duluan" ujar Gala berdecih lirih.
Koridor fakultas yang berangsur sepi, dimanfaatkan Gala untuk menjahili Anna. Dengan kedua tangan yang masih enggan melepaskan wajah gadis itu, Gala setengah membungkuk mensejajarkan pandangan keduanya.
"Kita gak bakal putus. You will always be mine" tukas Gala, menatap bergantian manik kecokelatan Anna.
Gala menegakkan punggung, seraya menarik tubuh Anna kedalam pelukan. Cukup erat, hingga membuat Anna yang memaksa ingin melepaskan diri, agak kesulitan karena Gala sengaja menahan satu tangan gadis itu dibawah sana.
Hanya ada senyum sumringah menghiasi wajah tampan Gala, tak peduli bagaimana wajah gadis dalam dekapannya itu sudah tampak memerah menahan kekesalan.
Anna hanya bisa pasrah, meski sebenarnya setengah hatinya sangat menikmati apa yang dilakukan Gala. Meski masih dikuasai amarah, tak dapat dipungkiri oleh Anna bahwa dia masih sangat menyayangi lelaki itu.
Setelah beberapa menit, Gala perlahan melepaskan dekapan erat itu. Kedua tangannya beralih menggenggam tangan Anna, khawatir jika gadis dihadapannya itu akan kabur seperti tadi.
"Kita harus ngomongin hal semalem" ucapnya dengan raut serius.
Anna menatap tajam Gala, tanpa menarik garis senyum seperti biasa. Bayangan akan hal semalam yang membuat perasaannya bercampur aduk, kembali menyusup kedalam pikirannya.
Kepala Anna dipenuhi dengan beragam angan buruk setelah melihat satu adegan malam itu. Refleks dia melepas paksa tangan Gala seraya mendorong lelaki itu menjauh.
"Gak ada yang perlu lo jelasin. Gue lebih percaya sama apa yang gue liat" tegas Anna.