/Flashback/
Fano yang tengah duduk ditaman tadi, sibuk menatap ponsel di genggaman sembari sesekali tertawa kecil. Didalam sana, foto foto masa kecil Anna yang tampak sedikit gemuk dengan pipi chubby yang penuh dengan makanan didalam mulut, menggelitik perutnya.
Namun mendadak layar ponsel yang menampilkan foto gadis itu, tertutup oleh panggilan dari Ardan. Tanpa banyak berfikir, Fano langsung menjawab.
"Halo, Fan? Lo dimana? Anna sama lo kan?"
Ardan diseberang sana terdengar cemas.
"Anna tadi pulang sama temen temennya dan. Ada tugas kelompok katanya" jelas Fano.
Kebohongan yang bukan pertama kali, kembali terlontar dari mulut fano.
Sebelum berada disana, dia sempat melihat Gala dan Anna di koridor tengah berpelukan. Hingga dua tiket bioskop yang rencananya akan dia gunakan untuk mengajak Anna menonton film sepulang kuliah tadi, terpaksa remuk karena kepalan erat tangannya sendiri melihat adegan itu.
Namun Ardan tak menjawab meski panggilan masih tersambung.
"Kenapa dan? Kok kaya panik gitu? Lo gak kenapa kenapa kan?" tanya Fano, memastikan.
Ardan mulai menjelaskan, hingga membuat Fano buru buru menutup telepon sepihak tanpa berkata lagi.
/End/
Fano memutuskan keluar dari kampus lagi, dan mencari Anna di tempat tempat yang dia ketahui sering didatangi gadis itu. Namun hampir menjelang malam pun, dia tetap tak menemukan Anna.
Fano menepikan motor dipinggir sejenak, saat merasakan getar dari ponsel didalam saku celana. Setelah membuka helm, Fano mengeluarkan benda itu dan membuka sebuah pesan yang baru saja masuk.
| Gue udah dirumah kak. Sorry baru bales, hp gue lowbat tadi. Btw, thanks ya kak soal bang Ardan.
Seketika kelegaan merambat kedalam dada Fano, membaca pesan dari Anna. Kegelisahan tadi sepenuhnya hilang terganti senyum tipis di wajah Fano seraya mengetik balasan singkat dalam benda pipih di genggaman.
Rencana untuk mendatangi Anna langsung kerumah, terpaksa dia urungkan mengingat saat ini mungkin Anna lebih butuh beristirahat. Setidaknya, Fano bisa merasa tenang karena tak terjadi apapun pada gadis itu.
Sementara di dalam kamar, Anna memandangi wajah didepan cermin gantung. Jemarinya mengoleskan pelembab pada bibir tipisnya yang plumpy. Namun Anna refleks melempar wadah kecil ditangannya ke lantai saat bayangan dirinya bersama Gala didalam perpus tadi melintas dalam kepala.
"Gala sialan!" umpatnya penuh kesal.
Setengah hatinya masih tak terima dengan perlakuan Gala yang bisa mengubah pikirannya begitu cepat tadi. Padahal Anna sudah bertekad sepenuhnya untuk memutuskan hubungan mereka. Anna membuka laci dan mengeluarkan frame berisi foto dirinya dan Gala. Dipandanginya dengan raut datar beberapa saat, hingga dia memutuskan untuk kembali meletakkan benda itu diatas meja.
Sebuah pertanyaan kembali mengusik pikirannya lagi. "Jika gala memang berselingkuh darinya, mengapa lelaki itu tak mau memutuskan hubungan mereka?"
Namun Anna buru buru mengalihkan hal itu dengan mengeluarkan laptop dari dalam tasnya. Dia baru teringat pada beberapa tugas kampus yang belum selesai. Meski sulit untuk sepenuhnya fokus, Anna berusaha keras menepis satu persatu angan buruk yang menerobos masuk dalam kepala.
Sementara Anna yang pikirannya masih berkecamuk, Gala saat ini baru saja tiba didepan sebuah taman cukup luas yang tampak agak sepi dari luar. Taman itu bukanlah milik umum, melainkan kepemilikan pribadi sebuah keluarga, dari seorang bussiness man terkenal yang berusia sekitar pertengahan lima puluhan.
Di depan berdiri sebuah pagar besi ukir tinggi berwarna perak yang terbuka lebar. Ada sedikit keraguan yang tersirat di wajah Gala saat netranya tertuju pada gerbang itu sebelum akhirnya memutuskan masuk dengan langkah berat.
Seorang gadis mengenakan mini dress biru dari kejauhan tampak berlari kecil menghampirinya seraya tersenyum rekah.
"Akhirnya lo dateng juga. Ayo, Gal" ucap gadis itu menggandeng sebelah tangan Gala.
Tak ada respon penolakan yang ditunjukkan oleh Gala, seolah dirinya dengan senang hati menerima perlakuan gadis disampingnya itu yang perlahan turun menautkan sebelah telapak tangan mereka.
Didalam memang tampak seperti taman pada umumnya. Hanya saja sedikit berbeda karena berdiri sebuah rumah yang terlihat cukup mewah dari luar ditengah hamparan rumput yang luas.
Mereka memasuki bangunan mewah itu, dengan maksud bertemu seseorang yang sudah menunggu Gala didalam. Beberapa lelaki muda seusianya tampak berkumpul di suatu ruangan luas. Diatas sebuah meja kaca oval tebal, terdapat beberapa minuman botol dengan merk terkenal berkadar alkohol sedang dan beberapa makanan ringan.
Mereka tampak sibuk bercengkrama diselingi tawa kencang hingga tak menyadari kedatangan dua orang itu. Hingga salah satu dari mereka yang sedang meneguk sebotol wine, melirik keduanya.
"Liat siapa yang dateng!" serunya, berhasil menarik perhatian seisi ruangan yang langsung menoleh ke satu arah.
Semua pandangan tertuju pada Gala yang berdiri beberapa jarak dari kerumunan itu, hingga salah satu dari mereka menghampirinya.
"Lo baru kesini sekarang, setelah beberapa bulan.."
Lelaki berpostur tinggi sejajar dengan Gala itu, menatapnya lekat seraya tersenyum miring. Sejenak dia melirik gadis beraut datar yang berdiri disamping Gala. Ekspresi yang berbeda saat gadis bernama Bianca itu, menyambut Gala di depan tadi.
Kedua lelaki itu saling menatap tajam beberapa detik, hingga Gala akhirnya membuka suara.
"Gue gak bakal mutusin dia" tegas Gala.
Mendengar itu, membuat suasana seisi ruangan menjadi hening seketika. Ucapan Gala memantik amarah yang tampak jelas di wajah lelaki itu dan juga raut saling pandang di sekitar mereka.
"Lo gak waras. Cewek itu dari awal cuma buat taruhan!"
Lelaki dihadapan Gala itu, selangkah mendekat dengan wajah sengit. Sepasang netranya menyiratkan sepenuhnya rasa tak suka pada perkataan Gala, yang terdengar serius.
"Lo udah janji Gal!"
Rafka sengaja menekankan suara dengan nada tinggi, lantas mundur selangkah sambil tersenyum miring.
"Lo ngomong gini karena lo pengen pake cewek itu, dulu?"
Kedua telapak tangan Gala dibawah sana mengepal erat. Dia berusaha menahan diri agar amarah yang menyulut dalam dada tak terlampiaskan.
Rafka melirik Bianca yang tampak sedikit ketakutan. Wajah gadis itu berubah agak pucat, menatap lelaki dihadapan Gala.
Aca, sapaan akrabnya hanya menggeleng pelan. Sebuah kode yang dimaksudkan agar Rafka berhenti membuat suasana menjadi semakin tak menyenangkan untuk seisi ruangan itu.
Kembali menatap Gala, sebelah sudut bibir Rafka terangkat keatas.
"Seenggaknya lo bawa dia dulu kesini, biar yang lain bisa nyicip juga"
Perkataan bernada santai diselingi tawa remeh dari Rafka kembali menyulut amarah dalam diri Gala yang nyaris mereda.
Gala refleks meninju wajah lelaki itu dengan satu tangannya, hingga membuatnya jatuh tersungkur ke lantai. Dari beberapa orang yang masih diam memperhatikan mereka di ruangan itu, tak ada satupun yang mendekat.
"Jangan samain gue kaya lo, brengsek!"