dunia lain di mansion

Setelah kucing hitam itu berlari ketakutan, seolah ada sesuatu yang mengejarnya, Samsul segera bergerak. Dengan cepat, ia menutup dan mengunci pintu kamar. Tangannya gemetar saat menekan gagang pintu, memastikan tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh sesuatu di luar sana untuk masuk.

Ia duduk bersandar di balik pintu, mencoba menenangkan diri. Namun, ketakutannya semakin menjadi ketika suara aneh kembali terdengar dari luar.

Bukan langkah kaki manusia...

Bukan suara cakaran atau ketukan seperti sebelumnya...

Melainkan suara yang lebih aneh dan mengerikan.

Kres... Kres... Kres...

Seolah ada sesuatu yang menyeret dirinya di lantai kayu tua itu. Namun, suara ini bukanlah suara manusia, melainkan sesuatu yang terdengar seperti dedaunan kering dan kayu lapuk yang bergesekan satu sama lain.

Samsul menahan napas.

Suara itu semakin mendekat...

Aura mengerikan menyelimuti ruangan, hawa dingin menjalari tengkuknya. Ia bisa merasakan kehadiran sesuatu yang sangat berbahaya, berdiri tepat di balik pintu.

Ia bahkan bisa mendengar napas makhluk itu—kasar, berat, seperti suara angin yang melewati celah kayu tua.

Jantung Samsul berdetak kencang. Jika ia membuka pintu sedikit saja... jika ia membuat suara sedikit saja... sudah pasti nyawanya akan melayang dengan cara yang mengenaskan.

Beberapa menit berlalu.

Hening.

Lalu suara itu mulai menjauh, perlahan-lahan.

Samsul menutup matanya sejenak, mengatur napas yang tersengal. Ia merasa sedikit lega, tetapi tetap waspada. Makhluk itu mungkin saja kembali kapan pun.

Ia tidak bisa terus bersembunyi.

Dengan cepat, ia meraih tas punggungnya dan memakainya. Ia memasukkan beberapa peralatan penting—peluru tambahan, obat-obatan darurat, serta senter kecil. Ia juga memastikan bahwa kapak dan pisau berkarat yang ia simpan di pinggangnya masih dalam jangkauan.

Sambil menggenggam pistol dengan erat, ia bersiap untuk keluar.

Ia tahu bahwa tempat ini sudah tidak aman lagi.

Ia mengambil napas dalam-dalam, menenangkan pikirannya agar tetap fokus jika tiba-tiba makhluk itu menghadangnya. Dengan perlahan, ia mendekati pintu.

Tangannya menggenggam gagang pintu.

Ciiittt...

Pintu itu terbuka dengan bunyi berderit yang mengerikan.

Namun, apa yang ia lihat di luar membuatnya terkejut bukan main.

Mansion ini...

Tidak seperti yang ia lihat sebelumnya.

Bangunan ini kini tampak jauh lebih tua, lebih kumuh, seolah sudah ditinggalkan selama puluhan tahun.

Dinding-dindingnya dipenuhi lumut, lantainya tertutup debu dan serpihan kayu lapuk. Karpet merah yang sebelumnya tampak bersih kini tampak koyak dan berjamur. Beberapa bagian langit-langit bahkan terlihat runtuh, memperlihatkan rangka kayu yang sudah rapuh.

Samsul menelan ludah.

"Apa yang terjadi...? Mengapa semuanya berubah?" gumamnya dalam hati.

Namun, meski hatinya dipenuhi rasa takut, ia tetap melangkah keluar dengan hati-hati.

Ia berjalan menyusuri lorong gelap mansion, membuka beberapa kamar satu per satu.

Namun...

Tidak ada siapa pun.

Setiap kamar yang ia buka kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

"Kemana perginya mereka semua?" ucap Samsul dengan suara bergetar, bingung sekaligus takut.

Ia terus melangkah, berusaha mencari siapa pun yang masih ada di tempat ini.

Sampai akhirnya, ia tiba di depan pintu kamar pelayan.

Ia membuka pintu itu dengan perlahan.

Dan di dalamnya, ia melihat seseorang.

Seorang wanita.

Ia memiliki rambut pendek, wajah yang anggun, tetapi ekspresinya terlihat penuh ketakutan. Tubuhnya bergetar, berdiri dengan punggung menghadap ke Samsul, seakan tengah menyembunyikan sesuatu atau sedang dalam kondisi tertekan.

Samsul mengerutkan kening.

"Apa yang terjadi dengannya?" gumamnya dalam hati.

Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba wanita itu menoleh ke arahnya.

Lalu, dengan cepat, ia berlari dan langsung memeluk Samsul erat-erat.

"Tolong aku... Aku sudah terjebak di sini selama berbulan-bulan..." ucap wanita itu dengan suara gemetar.

Samsul terdiam.

Berbulan-bulan?

"Apa maksudnya? Bukankah aku baru bertemu dengannya kemarin saat pemakaman tentara?" pikirnya.

Ia melepaskan pelukan wanita itu dengan lembut, memegang pundaknya, lalu bertanya dengan hati-hati, "Apa maksudmu terjebak di sini selama berbulan-bulan? Aku baru melihatmu kemarin, saat pemakaman tentara. Bagaimana mungkin kau sudah terjebak selama itu?"

Wanita itu terkejut.

"Waktu pemakaman? Tidak... Tidak mungkin! Aku sudah ada di sini selama berbulan-bulan! Aku tidak mungkin menghadiri pemakaman itu...!" jawabnya dengan ekspresi tak percaya.

Samsul menatapnya lekat-lekat.

Dari nada suaranya, dari ekspresi wajahnya, ia tahu bahwa wanita ini tidak berbohong.

Berarti...

Ada sesuatu yang sangat aneh terjadi di mansion ini.

Waktu di tempat ini mungkin berjalan dengan cara yang berbeda...

Mungkin mereka semua telah terjebak dalam suatu dimensi lain.

Tapi siapa yang menjebak mereka?

Apakah itu ulah makhluk mengerikan yang berkeliaran di lorong-lorong ini?

Atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini?

Samsul menghela napas, mencoba menyusun pikirannya.

"Baiklah, sebaiknya kau kembali ke kamarmu dan tetap di sana. Aku akan mencari orang lain. Tunggu aku, oke?" katanya, mencoba meyakinkan wanita itu.

Namun, wanita itu langsung menggelengkan kepala dengan panik.

"T-tidak! Tolong biarkan aku ikut denganmu! Aku sudah terlalu lama sendirian di sini! Aku tidak bisa terus bersembunyi...! Aku... Aku bahkan hanya ditemani oleh seekor kucing hitam yang selalu membawakan makanan untukku..." katanya, hampir menangis.

Samsul terdiam.

"Kucing hitam?" tanyanya heran.

"Iya... Kucing hitam itu sering datang ke kamarku, membawa sepotong roti kecil untukku..."

Samsul menatapnya dengan bingung.

"Kalau begitu... bagaimana dengan minumanmu?" tanyanya spontan.

Wanita itu terdiam sejenak, lalu menundukkan kepala.

"Tolong... jangan tanyakan itu..." katanya pelan, suaranya terdengar penuh kesedihan.

Samsul bisa memahami situasinya.

Ia mengangguk, lalu menyerahkan kapak kecil kepada wanita itu.

"Baiklah, ayo kita pergi bersama," katanya.

Wanita itu tersenyum kecil, meski matanya masih dipenuhi ketakutan.

"Oh iya, namamu siapa?" tanya Samsul.

"Aku Maya... Dan kamu?"

"Namaku Samsul. Senang berkenalan denganmu, Maya."

Maya tersenyum, namun senyumnya langsung menghilang saat matanya menangkap sesuatu di kejauhan.

Ia langsung menarik Samsul ke dalam kamar kosong di dekat mereka, bersembunyi di dalamnya.

Samsul hendak bertanya, namun Maya menempelkan jari telunjuknya ke bibir, menyuruhnya diam.

Ia pun mengintip dari celah pintu...

Dan di luar sana...

Ia melihat makhluk itu lagi.

Monster yang tubuhnya terbuat dari kayu dan dedaunan kering itu bergerak perlahan, menyeret dirinya dengan suara menyeramkan.

Samsul menahan napas.

Makhluk itu bergerak lambat, tapi aura yang dipancarkannya benar-benar mengerikan.

Samsul tahu...

Jika mereka ketahuan...

Mereka tidak akan selamat.

Samsul menahan napas saat mendengar suara gesekan mengerikan dari luar kamar. Monster tanaman itu bergerak perlahan, dedaunan dan ranting kering yang membentuk tubuhnya bergesekan dengan lantai kayu tua. Jantung Samsul berdegup kencang, begitu pula Maya, yang berdiri diam dengan ekspresi penuh kewaspadaan. Mereka tak berani mengeluarkan suara sekecil apa pun.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya suara gesekan itu menjauh. Samsul menghela napas pelan, begitu pula Maya. Keduanya saling bertatapan, berbagi perasaan lega sekaligus ketakutan. Namun, sebelum mereka bisa bersantai, tiba-tiba...

Tok... Tok... Tok...

Ketukan pintu terdengar di kamar. Maya dan Samsul menoleh bersamaan, menatap pintu itu dengan ketegangan yang makin meningkat. Mereka tak berani bergerak, hanya menunggu dengan napas tertahan. Namun, yang mengejutkan, pintu itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.

Di ambang pintu berdiri seorang wanita muda, mengenakan gaun bangsawan yang kotor dan sobek di beberapa bagian. Rambutnya yang panjang berantakan, wajahnya pucat dengan keringat bercucuran. Dia terlihat kelelahan, seakan telah berlari jauh menghindari sesuatu yang mengerikan. Pandangannya buram saat menatap ruangan, lalu berbisik dengan suara lirih, "Maya..."

Dan kemudian, tubuhnya melemas, jatuh tak sadarkan diri.

Tanpa pikir panjang, Samsul dan Maya segera menghampirinya. Maya dengan sigap menopang tubuh wanita itu, sementara Samsul membantunya membawa sang wanita ke atas kasur tua di dalam kamar.

Samsul menatap Maya dengan bingung. "Siapa dia?" tanyanya pelan.

Maya menatap Samsul sejenak sebelum menjawab, "Namanya Rina."

Samsul mengangguk kecil, mengingat nama itu. Dia pernah bertemu wanita ini sebelumnya, namun dari cara Maya menatapnya, jelas mereka memiliki hubungan dekat.

Beberapa menit berlalu. Rina mulai siuman. Matanya berkedip lemah sebelum akhirnya terbuka perlahan. Dia mengerang pelan, menoleh ke arah Maya dengan ekspresi penuh kebingungan.

"Maya... di mana kamu?"

Maya tersenyum lembut dan menggenggam tangan Rina. "Saya di sini, Nyonya."

Mendengar suara Maya, Rina langsung bangkit dan tanpa ragu memeluknya erat. Bahunya bergetar, dan tangis lirih keluar dari bibirnya.

"Akhirnya aku menemukanmu... Kamu ke mana saja? Aku mencarimu ke mana-mana!"

Maya, yang tetap tenang, mengusap punggung Rina dengan lembut. "Saya selalu berada di sekitar sini, Nyonya."

Namun, jawaban itu membuat Rina mengangkat wajah dan menatap Maya dengan marah, meskipun suaranya tetap lembut. "Pembohong! Aku terjebak di sini sendirian! Kamu tidak pernah datang mencariku!"

Maya tersenyum lemah. "Maafkan saya, Nyonya... Saya tidak akan meninggalkan Anda lagi."

Samsul, yang memperhatikan keduanya, akhirnya memutuskan untuk menyela. Situasi memang emosional, tapi mereka tidak bisa berlama-lama di sini.

"Ehem," Samsul berdeham. "Bolehkah kita menunda reuninya? Kita masih dalam bahaya. Monster itu masih berkeliaran, dan kita belum menemukan jalan keluar dari mansion ini."

Maya dan Rina menatapnya, menyadari bahwa Samsul benar. Rina mengusap air matanya dan menghela napas dalam.

"Kita harus punya rencana," katanya pelan. "Kita tidak bisa hanya bersembunyi di sini."

Samsul mengangguk. "Itu betul. Jadi, apa rencananya?"

Maya berpikir sejenak sebelum berkata, "Bagaimana kalau kita tetap bersama? Kita mencari orang lain yang mungkin masih hidup di mansion ini."

Samsul hendak menyetujui ide itu, namun sebelum dia sempat berbicara, Rina langsung menyela.

"Tidak. Lebih baik kita berpencar. Jika kita menyebar, kita bisa mencari lebih cepat."

Samsul menatap Rina dengan ragu. "Berpisah? Itu berbahaya."

Maya juga tampak berpikir. "Tapi masuk akal... Dengan begitu, kita bisa menjelajahi lebih banyak tempat dalam waktu yang lebih singkat."

Samsul menghela napas. "Baiklah, kita coba saja. Tapi jika menemukan seseorang, kita harus kembali ke sini untuk berkumpul lagi."

Rina tersenyum tipis. "Kesepakatan yang bagus."

Maya tersenyum kecil dan berkata sambil bercanda, "Baiklah, Kapten Samsul, kita jalankan misinya."

Mereka akhirnya bersiap untuk berpisah, masing-masing membawa senjata seadanya dan bersiap menghadapi apa pun yang ada di mansion ini.

Saat Maya dan Rina melangkah keluar kamar, Samsul menatap lorong yang gelap di hadapannya.

Apa yang akan dia temukan di dalam mansion ini?

Apakah dia akan selamat?

Ataukah sesuatu yang lebih mengerikan sedang menunggu di dalam kegelapan...?

To be continued...