Bab 40: Pengakuan di Bawah Langit

Pagi itu, Shen Wei berdiri di puncak paviliun, matanya memandang jauh ke cakrawala. Bukan kegelapan yang kali ini ia rasakan, melainkan energi yang lebih lembut, namun penuh bahaya.

Di kejauhan, di langit yang membiru, ia melihat bayangan seorang wanita bermahkota emas, mengenakan jubah putih yang berkilauan seperti cahaya bulan.

Shen Wei mengerutkan kening. "Dewi?"

Namun, aura Dewi ini bukanlah aura kebajikan. Di balik keindahan dan kemurnian yang terpancar dari sosoknya, Shen Wei bisa merasakan niat tersembunyi.

Dengan tatapan tajam, ia mencoba memahami apa yang direncanakan sosok itu. Dan saat itulah ia menyadari…

Dewi itu berencana untuk membunuh salah satu muridnya.

Tatapan Shen Wei berubah dingin. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."

Mengetahui bahwa ancaman kali ini bukan dari kegelapan melainkan dari langit itu sendiri, Shen Wei segera mengumpulkan semua muridnya.

Di halaman sekte, Mei Er, Lin Xia, Yu Lan, dan Chen Guang berdiri dengan penuh keseriusan.

"Kita akan menghadapi sesuatu yang berbeda kali ini," ujar Shen Wei.

"Senior, ancaman macam apa yang datang?" tanya Lin Xia.

Shen Wei menghela napas pelan. "Seorang Dewi… dan dia mengincar salah satu dari kalian."

Semua murid terkejut. Mei Er menggigit bibirnya, sementara Yu Lan menatap langit dengan waspada.

Chen Guang mengepalkan tangannya. "Lalu apa yang harus kita lakukan, Senior?"

Shen Wei menatap mereka dengan tegas. "Kita harus berlatih lebih keras. Jika dia datang, kita tidak boleh lengah."

Latihan dimulai.

Shen Wei tidak menahan diri kali ini. Ia mendorong murid-muridnya hingga batas mereka. Serangan energi spiritual, penguatan tubuh, pertahanan jiwa—semuanya diasah tanpa henti.

Mei Er, yang biasanya kuat, mulai kehabisan napas. Lin Xia dan Yu Lan terduduk di tanah, sedangkan Chen Guang berbaring dengan tubuh penuh keringat.

Setelah berjam-jam berlatih, satu per satu murid mulai tumbang ke tanah.

Namun, di wajah mereka tidak ada rasa putus asa. Mereka merasa lebih kuat.

Shen Wei mengangguk puas. "Baik. Kalian telah melampaui batas kalian hari ini."

Murid-murid tersenyum meski tubuh mereka kelelahan.

Saat yang lain mulai tertidur di bawah langit terbuka, Mei Er tetap terjaga.

Ia duduk di atas batu besar, menatap langit senja yang perlahan berubah menjadi malam.

Shen Wei berjalan mendekatinya, suaranya tenang namun penuh arti. "Mei Er."

Mei Er terkejut. Hatinya langsung berdebar.

"A-Ada apa, Senior?" tanyanya dengan suara yang sedikit gugup.

Shen Wei duduk di sampingnya, menatap lurus ke depan. Langit bertabur bintang, bulan menggantung dengan indah.

"Aku ingin bertanya sesuatu padamu," ucap Shen Wei pelan.

Mei Er menunduk. Wajahnya semakin merah.

"Aku tidak tahu siapa yang menyembuhkan lukaku malam itu," lanjut Shen Wei. "Tapi aku bisa merasakannya. Energinya lembut, penuh perhatian… dan aku yakin itu adalah milikmu."

Mei Er semakin gugup. Ia menggenggam jemarinya sendiri, mencoba menyembunyikan rasa malunya.

Shen Wei tersenyum lembut. "Mei Er, aku ingin tahu… apakah kamu menyukaiku?"

Mei Er langsung terdiam. Suaranya tercekat di tenggorokannya.

"A-Aku…" suaranya bergetar.

Shen Wei menatapnya dengan penuh ketenangan, membiarkannya mengambil waktu.

Setelah beberapa saat, Mei Er akhirnya mengambil napas dalam-dalam.

"Aku mencintaimu, Senior."

Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan. Ia tidak berani menatap Shen Wei.

Namun, yang terjadi selanjutnya membuatnya terkejut.

Shen Wei tersenyum dan mengangkat dagunya perlahan agar ia menatapnya.

"Mei Er, aku juga mencintaimu."

Mei Er menatapnya dengan mata membesar. Jantungnya seakan berhenti berdetak sejenak.

"S-Senior…?"

Namun, sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari.

Tanpa pikir panjang, Mei Er langsung memeluk Shen Wei erat-erat.

Shen Wei terkejut sesaat, tetapi kemudian ia membalas pelukan itu.

Malam itu, di bawah langit berbintang, dua hati yang telah lama menyimpan perasaan akhirnya bersatu.

(Bersambung ke Bab 41…)